Peristiwa 18 Agustus 1945 : Pengkhianatan Kelompok Sekular
Menghapus Piagam Jakarta
Oleh: Artawijaya
Mohammad Natsir menyebut Piagam Jakarta
sebagai tonggak sejarah bagi tercapainya cita-cita Islam di bumi Indonesia . Sayang,
sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, ikhtiar umat Islam
Indonesia untuk menegakkan syariat Islam lewat Piagam Jakarta yang sebelumnya
disepakati oleh tokoh-tokoh nasional, ditelikung di tengah jalan. Natsir
menyebut penghapusan tersebut sebagai ultimatum kelompok Kristen, yang tidak
saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa Indonesia yang
baru 24 jam diproklamirkan. Terhadap peristiwa pahit itu, Natsir mengatakan,”
insya Allah umat Islam tidak akan lupa!”
Tetapi tahukah Anda? Ada
peristiwa penting yang tidak diketahui oleh sebagian orang, terutama generasi
bangsa saat ini, bahwa detik-detik jelang pembacaan naskah proklamasi, upacara
dimulai dengan pembacaan UUD 1945 yang berlandaskan Piagam Jakarta. Pembacaan
itu dilakukan oleh Dr Moewardi yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan dari
Ketua Panitia Suwirjo, kemudian setelah diawali pidato singkat, barulah
Soekarno membacakan naskah proklamasi. Keterangan ini dikutip oleh Ridwan Saidi
dari buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis oleh Sidik
Kertapati.
Dan tahukah Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada
satupun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam
suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam
acara tersebut.
Dan tahukah Anda? Ketika proklamasi dibacakan, tak ada
satupun tokoh Kristen yang hadir dalam peristiwa bersejarah itu. Seharusnya, dalam
suasana kemerdekaan dan untuk menunjukkan rasa persatuan, mereka hadir dalam
acara tersebut. Ada dugaan, ketidakhadiran
kelompok Kristen itu dikarenakan keberatan mereka terhadap Piagam Jakarta yang diduga bakal
dibacakan Soekarno dalam proklamasi kemerdekaan. Sementara tokoh-tokoh yang
hadir ketika itu adalah: Mohammad Hatta, KH A Wahid Hasyim, Abikoesno
Tjokrosoejoso, Soekarjo Wirjopranoto, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Dr Radjiman
Wedyoningrat, Soewirjo, Ny. Fatmawati ,
Ny . SK Trimurti, Abdul Kadir (PETA),
Daan Jahja (PETA), Latif Hendraningrat (PETA), Dr. Sutjipto (PETA), Kemal Idris
(PETA), Arifin Abdurrahman (PETA), Singgih (PETA), Dr Moewardi, Asmara Hadi, Soediro
Soehoed Sastrokoesoemo, Djohar Noer, Soepeno, Soeroto (Pers), S.F Mendoer (Pers),
Sjahrudin (Pers).
Kenapa kalangan Kristen tak menghadiri acara penting dan
sangat bersejarah itu? Belakangan diketahui, para aktivis Kristen itu sibuk
kasak-kusuk melakukan konsolidasi dan lobi-lobi politik untuk meminta
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta .
Kesimpulan ini didasarkan pada pernyataan Soekarno yang mengatakan bahwa malam
hari usai proklamasi kemerdekaan RI, ia mendapat telepon dari sekelompok
mahasiswa Prapatan 10, yang mengatakan bahwa pada siang hari pukul 12.00 WIB (tanggal
17 Agustus), tiga orang anggota PPKI asal Indonesia Timur, Dr Sam Ratulangi, Latuharhary,
dan I Gusti Ketut Pudja mendatangi asrama mereka dengan ditemani dua orang
aktivis. Kepada mahasiswa, mereka keberatan dengan isi Piagam Jakarta. Kalimat
dalam Piagam Jakarta, bagi mereka sangat menusuk perasaan golongan Kristen.
Latuharhary sengaja mengajak Dr Sam Ratulangi, I Gusti Ktut
Pudja, dan dua orang aktivis asal Kalimantan Timur, agar seolah-olah suara
mereka mewakili masyarakat Indonesia wilayah Timur. Mereka juga sengaja melempar isu ini ke kelompok mahasiswa yang
memang mempunyai kekuatan menekan, dan berharap isu ini juga menjadi
tanggungjawab mahasiswa.
Mahasiswa lalu menghubungi Hatta, yang kemudian mengundang
para mahasiswa untuk datang menemuinya pukul 17.00 WIB. Hadir dalam pertemuan
itu aktivis Prapatan 10, Piet Mamahit, dan Imam Slamet. Setelah berdialog, Hatta
kemudian menyetujui usul perubahan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Setelah
dari Hatta, malam itu juga para mahasiswa menelepon Soekarno untuk menyatakan
keberatan dari tokoh Kristen Indonesia Timur.
Singkat kata, keesokan harinya Soekarno dan Hatta mengadakan
rapat dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Pejambon Jakarta . Agenda sidang
dibatasi hanya membahas perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 45.
Rapat yang diagendakan berlangsung pukul 09.30 WIB mundur menjadi pukul 11.30
WIB. Belakangan diketahui, mulur-nya rapat tersebut disebabkan terjadinya
perdebatan yang sengit dalam lobi-lobi yang dilakukan untuk menghapus tujuh
kata dalam Piagam Jakarta. Lobi-lobi yang digagas Hatta terjadi antara Kasman
Singodimejo, Ki Bagus Hadikusumo, Teuku Muhammad Hassan, dan KH A Wahid Hasyim.
Pertemuan dengan Hatta berlangsung sengit dan tegang.
Saking sengit dan tegangnya pertemuan itu, sampai-sampai
Soekarno memilih tak melibatkan diri dalam lobi tersebut. Soekarno terkesan
menghindar dan canggung dengan kegigihan Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum
Muhammadiyah ketika itu, dalam mempertahankan seluruh kesepakatan Piagam
Jakarta. Soekarno kemudian hanya mengirim seorang utusan untuk turut dalam lobi
yang bernama Teuku Muhammad Hassan.
Seperti dikutip dalam buku R.M.A.B Kusuma Lahirnya Undang-Undang
Dasar 1945: Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2
Persiapan Kemerdekaan, Ki Bagus Hadikusumo bahkan lebih tegas lagi meminta kata-kata
”bagi pemeluk-pemeluknya” ditiadakan,sehingga berbunyi:”dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam.” Artinya, dalam pandangan Ki Bagus, syariat Islam harus berlaku
secara umum di Indonesia .
Lobi yang berlangsung sengit tak juga meluluhkan pendirian
Ki Bagus Hadikusumo. Lobi-lobi dan bujukan dari utusan Soekarno Teuku Muhammad
Hassan dan tokoh sekaliber KH A Wahid Hasyim pun tak mampu mengubah
pendiriannya. Di sinilah peran Kasman Singodimejo yang sesama orang
Muhammadiyah, melakukan pendekatan secara personal dengan Ki Bagus.
Dalam memoirnya yang berjudul Hidup Adalah Perjuangan, Kasman
menceritakan aksinya melobi Ki Bagus. Dengan bahasa Jawa yang sangat halus, ia
mengatakan kepada Ki Bagus:
“Kiai, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah
terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai
dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa presiden dan lain
sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia , terutama
pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana?! Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia
kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih
berada di bumi Indonesia
dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil (yang mau masuk kembali
ke Indonesia ,
pen) adalah sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang
modern juga. Jika kita cekcok, kita pasti akan konyol. Kiai, di dalam rancangan
Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu
pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna.
Rancangan yang sekarang ini adalah
rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin
yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit! Kiai,
tidakkah bijaksanaan jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas
ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan
cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang
berdaulat, adil, makmur, tenang tenteram, diridhai Allah SWT.”
(Hidup Adalah Perjuangan, 75 Tahun Kasman Singodimejo, Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1982).
Kepada Ki Bagus Kasman juga menjelaskan perubahan yang
diusulkan oleh Hatta, bahwa kata ”Ketuhanan” ditambah dengan ”Ketuhanan Yang
Maha Esa.” KH A Wahid Hasyim dan Teuku
Muhammad Hassan yang ikut dalam lobi itu menganggap Ketuhanan Yang Maha Esa
adalah Allah SWT, bukan yang lainnya.Kasman menjelaskan, Ketuhanan Yang Maha
Esa menentukan arti Ketuhanan dalam Pancasila.”Sekali lagi bukan Ketuhanan
sembarang Ketuhanan, tetapi yang dikenal Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha
Esa,”kata Kasman meyakinkan Ki Bagus.
Kasman juga menjelaskan kepada Ki Bagus soal janji Soekarno
yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat untuk membuat undang-undang yang sempurna. Di sanalah nanti kelompok
Islam bisa kembali mengajukan gagasan-gagasan Islam. Soekarno ketika itu
mengatakan, bahwa perubahan ini adalah Undang-undang Dasar sementara, Undang-undang
Dasar kilat. “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih
tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” kata
Soekarno.
Selain itu soal jaminan di atas, tokoh-tokoh Islam juga
dihadapkan pada suatu situasi terjepit dan sulit, dimana kalangan sekular
selalu mengatakan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan membutuhkan
persatuan yang kokoh. Inilah yang disebut Kasman dalam memoirnya bahwa kalangan
sekular pintar memanfaatkan momen psikologis, dimana bangsa ini butuh persatuan,
sehingga segala yang berpotensi memicu perpecahan harus diminimalisir. Dan yang
perlu dicatat, tokoh-tokoh Islam yang dari awal menginginkan negeri ini merdeka
dan bersatu, saat itu begitu legowo untuk tidak memaksakan kehendaknya
mempertahankan tujuh kata tersebut, meskipun begitu pahit rasanya hingga saat
ini. Sementara kalangan sekular-Kristen yang minoritas selalu membuat move
politik yang memaksakan kehendak mereka.
Alkhulasah, dalam hitungan kurang dari 15 menit seperti
diceritakan oleh Hatta, tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Setelah itu
Hatta masuk ke dalam ruang sidang Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI)
dan membacakan empat perubahan dari hasil lobi tersebut. Berikut hasil
perubahan kemudian disepakati sebagai preambule dan batang tubuh UUD1945 yang
saat ini biasa disebut dengan UUD 45:
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal dari bahasa Arab, muqaddimah,
diganti dengan kata “Pembukaan”.
Kedua, anak kalimat Piagam Jakarta yang menjadi pembukaan UUD, diganti dengan,” negara berdasar atas Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Ketiga, kalimat yang menyebutkan presiden ialah orang
Keempat, terkait perubuahan poin kedua, maka pasal 29 ayat 1
berbunyi,
“Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai
ganti dari,
“Negara berdasarkan atas Ketuhan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam
bagi
pemeluk-pemeluknya.”
Inilah musibah terbesar bagi umat Islam di negeri ini. Ketua
Umum Masyumi, Prawoto Mangkusasmito dengan sedih dan perih mengatakan,
”Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan
memeras otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka bangsa ini, kemudian
di dalam rapat ”Panitia Persiapan Kemerdekan” pada tanggal 18 Agustus 1945
dalam beberapa menit saja dapat diubah? Apa, apa, apa sebabnya? Kekuatan apakah
yang mendorong dari belakang hingga perubahan itu terjadi?”
Selain Prawoto, tokoh Masyumi lainnya seperti KH M. Isa
Anshari dan Mohammad Natsir juga merasakan keperihan serupa. Isa Anshari
menyebut peristiwa itu sebagai kejadian yang mencolok mata, yang dirasakan
seperti ”permainan sulap” dan pat-gulipat politik yang diliputi kabut rahasia. Sementara
Natsir mengatakan, penghapusan tujuh kata tersebut sebagai ultimatum kelompok
Kristen, yang tidak saja ditujukan kepada umat Islam, tetapi juga kepada bangsa
Indonesia
yang baru 24 jam diproklamirkan. Natsir menegaskan, peristiwa tanggal 18
Agustus 1945 adalah peristiwa sejarah yang tak bisa dilupakan. ”Menyambut
proklamasi tanggal 17 Agustus kita bertahmid. Menyambut hari besoknya, tanggal 18
Agustus, kita istighfar. Insya Allah umat Islam tidak akan lupa,” kata Natsir.
Siapa orang yang paling bertanggungjawab dalam penghapusan
tujuh kata tersebut? R.M.A.B Kusuma dalam bukuLahirnya Undang-Undang Dasar 1945:
Memuat Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan
Kemerdekaan (Jakarta :
Badan Penerbit PH-UI, 2004) mengatakan,
”Bung Hatta adalah orang yang paling bertanggungjawab
terhapuskannya ”tujuh kata” dari Piagam Jakarta. Beliua konsisten mengikuti
ajaran yang dianutnya. Beliau menghapus ”tujuh kata” tanpa berunding dengan
tokoh-tokoh Islam yang menyusun ”perjanjian luhur” Piagam Jakarta, yakni: K.H
Wachid Hasjim, K.H Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Beliau
hanya berunding dengan Ki Bagus Hadikusumo yang bukan penyusun Piagam Jakarta dengan janji
bahwa hal itu akan dibahas lagi di sidang MPR yang akan dibentuk. Pertimbangan
beliau hanya didasarkan pada pendapat orang Jepang yang mengaku utusan dari
Indonesia Timur. Beliau tidak menyatakan berunding dengan utusan Indonesia
Timur yang resmi, yakni D.G Ratulangie, M.r J. Latuharhary, Andi Pangeran Petta
Rani, Andi Sultan Daeng Raja, dan Mr Ketut Pudja.”
Dalam buku tersebut Kusuma juga mengatakan, ikhtiar
penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang dilakukan Hatta, yang mengaku
mendapat desakan dari kelompok Kristen di Indonesia Timur, tak lain makin
memperlihatkan sikap dan keyakinan politik Hatta yang sekular, yang berusaha
memisahkan ”urusan agama” dan ”urusan negara”. Hatta, kata Kusuma, bahkan tidak
pernah mengucapkan kata-kata yang identik dengan Islam, seperti Allah subhana
wa Ta’ala, Alhamdulillah, dan sebagainya.
Kusuma juga menuliskan keterangan yang berbeda dengan buku-buku
sejarah dan pernyataan Kaman Singodimejo yang menyebut KH A Wahid Hasyim ikut
dalam lobi untuk menghapuskan tujuh kata tersebut. Kusuma mengatakan, saat lobi
terjadi KH A Wahid Hasyim sedang berpergian ke Surabaya . ”Keterangan Bung Hatta bahwa pada
tanggal 18 Agustus 1945 beliau telah berunding dengan KH A Wahid Hasyim tidak
sesuai dengan kenyataan,” tegas Kusuma. Selain itu, tokoh Masyumi Prawoto
Mangkusasmito juga menyangsikan kehadiran
KH A Wahid Hasyim dalam lobi tersebut.
Sikap Hatta yang mengambil ikhtiar sendiri melakukan lobi-lobi
politik dengan tokoh-tokoh yang bukan penandantangan Piagam Jakarta juga dipertanyakan dengan keras oleh
KH Isa Anshari,
”Benarkah langkah Hatta tersebut dilakukan atas keberatan
kalangan Kristen dari Indonesia
bagian Timur sebagaimana disampaikan melalui opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang)?
Tapi kenapa Hatta sendiri tidak melibatkan A.A Maramis yang Kristen dan menjadi
salah satu penandatangan Piagam Jakarta, juga tidak mengajak serta minta
persetujuan K.H Wachid Hasyim dan H. Agus Salim yang juga penandatangan Piagam
Jakarta yang mewakili kalangan Islam? Kenapa Hatta malah melobi Ki Bagus
Hadikusumo yang tidak menjadi penandatangan Piagam Jakarta?
Untuk menepis segala tudingan itu, belakangan Hatta
menceritakan kronologis peristiwa penghapusan tujuh kata tersebut dalam buku
Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia :
”Pada sore hari (Tanggal 17 Agustus 1945) aku menerima telepon
dari Tuan Nishijima, pembantu Admiral Maeda menanyakan dapatkah aku menerima
seorang Opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau mengemukakan suatu hal yang
sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Aku
persilahkan mereka datang. Opsir itu, yang aku lupa namanya, datang sebagai
utusan Kaigun untuk memberitahukan sungguh, bahwa wakil Protestan dan Katholik,
yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang berkeberatan sangat terhadap bagian
kalimat pembukaan Undang-undang Dasar yang berbunyi: Kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat
mereka, hanya mengikat rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya
ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar,
berarti mengadakan diskriminasi terhadap mereka golongan minoritas. Jika
”diskriminasi” itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia ...
Opsir tadi mengatakan, bahwa itu adalah pendirian dan
perasaan pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah pendudukan Kaigun.
Mungkin waktu itu Mr AA Maramis cuma memikirkan, bahwa bagian kalimat itu hanya
untuk Rakyat Islam yang 90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang
beragama lain. Ia tidak merasakan bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi...
Karena Opsir Angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh
menyukai Indonesia merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada
semoboyan yang selama ini didengung-dengungkan ”Bersatu kita teguh dan berpecah
kita jatuh”, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandanganku. Tergambar di
mukaku perjuanganku yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan
pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka, bersatu dan tidak berbagi-bagi. Apakah
Indonesia
merdeka yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi
karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatra akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan
menjalankan politik divide et impera, politik memecah dan menguasa. Setelah aku
terdiam sebentar, kukatakan kepadanya, bahwa esok hari dalam sidang panitia
persiapan kemerdekaan akan ku kemukakan masalah yang sangat penting itu. Aku
minta ia menyabarkan sementara pemimpin Kristen yang berhati panas dan berkeras
kepala itu, supaya mereka jangan terpengaruh oleh propaganda Belanda...”
Benarkah keterangan Hatta yang mengatakan ada opsir Jepang, yang
datang membawa pesan penting dari kelompok Kristen di Indonesia Timur? Kenapa
pesan dan peristiwa penting dalam pertemuan Hatta dengan opsir Jepang itu
memunculkan pengakuan Hatta yang sangat naif bahwa dirinya lupa tentang nama
opsir tersebut? Sebuah logika sederhana akan mengatakan, jika ada seorang yang
membawa pesan penting, apalagi ini menyangkut masalah bangsa dan akan
mempengaruhi sejarah bangsa ke depan, tentu
Anda akan bertanya nama dari pembawa pesan tersebut. Sebagai sebuah bukti
adanya pertemuan itu, seharusnya Hatta mencatat nama Opsir Jepang itu!
Karena Hatta mengaku lupa nama Opsir itu, padahal peristiwa
sejarah yang sangat penting membutuhkan detil peristiwa yang valid, maka tak
heran jika ada yang meragukan keterangan Hatta soal opsir Jepang itu?
Menurut Ridwan Saidi, seperti dikutip dari Dr Sujono
Martosewojo dkk, dalam buku ”Mahasiswa ’45 Prapatan 10”, anggapan bahwa ada
opsir Jepang yang datang ke rumah Hatta pada petang hari tanggal 18 Agustus 1945
kemungkinan karena kesalahpahaman saja. Iman Slamet, mahasiswa kedokteran yang
menemani Piet Mamahit menemui Hatta memang berpostur tinggi, rambut pendek, mata
sipit, dan suka berpakaian putih-putih. Iman Slamet inilah yang kemungkinan
dikira sebagai opsir Jepang oleh Hatta.
Seperti ditulis di atas, bahwa Dr Sam Ratulangi mendatangi
kelompok mahasiswa Prapatan pada pukul 12.00, tanggal 17 Agustus 1945, dan
meminta mereka untuk terlibat dalam usaha penghapusan tujuh kata dalam Piagam
Jakarta. Kemudian mahasiswa itu menghubungi Hatta, dan Hatta mengatur pertemuan
pada sore harinya, maka keterangan Hatta soal adanya pertemuan dengan opsir
Jepang, yang ia lupa namanya, diragukan. Karena itu dalam sebuah diskusi
tentang Piagam Jakarta, Ridwan Saidi mengatakan, ”dengan segala hormat saya
pada Bung Hatta, dia seorang yang bersahaja, tapi dalam kasus Piagam Jakarta
saya harus mengatakan bahwa dia berdusta.”
Penelitian Ridwan Saidi dikuatkan dengan sebuah buku yang
diterbitkan di Cornell University AS, yang mengatakan bahwa dalang dibalik
sosok misterius opsir Jepang itu adalah Dr Sam Ratulangi, yang disebut dalam
buku itu sebagai an astute Christian politician from Manado, North Sulawesi (Seorang
politisi Kristen yang licik dari Sulawesi Utara).
Umat Islam dan bangsa ini sampai saat ini masih menyimpan
pertanyaan besar, kenapa Hatta memilih berunding dengan tokoh-tokoh Islam yang
bukan penandatangan Piagam Jakarta? Kenapa pula Hatta tidak berunding dengan tokoh
Kristen penandantangan Piagam Jakarta, dan lebih memilih mendengarkan ”pesan”
yang menurutnya disampaikan opsir Jepang tersebut? Selubung kabut sejarah ini
harus diungkap, demi sebuah kejujuran sejarah, demi kebenaran sesungguhnya!
Kisah Kasman Singodimejo dan Terhapusnya Piagam Jakarta
Seperti diceritakan di atas, karena lobi personal ala Kasman
Singodimejo yang diminta untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo, Ketua Umum
PP Muhammadiyah saat itu yang tetap keukeuh dengan tujuh kata dalam Piagam Jakarta,
diktum soal kewajiban menjalankan syariat Islam dihapuskan.
Kasman, seperti ditulis dalam memoirnya mengatakan, sikap
itu diambil karena tokoh-tokoh saat itu tidak mau negeri yang baru saja
diprokalmirkan kemerdekaannya pecah karena perdebatan soal tujuh kata dalam
Piagam Jakarta. Apalagi, ada konsesi, tujuh kata itu diganti dengan ”Ketuhanan
Yang Maha Esa”, yang dalam pengertian Kasman identik dengan Islam.
Dalam memoirnya Hidup Adalah Perjuangan: 75 Tahun Kasman Singodimejo , ia
menceritakan, kedatangannya ke Gedung Pejambon Jakarta dan diminta sebagai
anggota tambahan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah atas permintaan
Soekarno. Padahal, ketika itu ia sedang bertugas di Jawa barat. Sebagai
Panglima Tentara saat itu, ia ditugaskan mengamankan senjata dan mesiu untuk
tidak jatuh ke tangan Jepang
Setelah sukses melobi Ki Bagus Hadikusumo dan rapat
memutuskan penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut, malam harinya Kasman
gelisah tak bisa tidur. Kepada keluarganya ia tak bicara, diam membisu:
”Alangkah terkejut saya waktu mendapat laporan dari Cudhanco
Latief Hendraningrat, bahwa balatentara Dai Nippon telah mengepung Daidan, dan
kemudian merampas semua senjata dan mesiu yang ada di Daidan.Selesai laporan, maka
Latief Hendraningrat hanya dapat menangis seperti anak kecil, dan menyerahkan
diri kepada saya untuk dihukum atau diampuni. Nota bene, Latief sebelum itu, bahkan
sebelum memberi laporannya telah meminta maaf terlebih dahulu.
Ya apa mau dibuat! Saya pun tak dapat berbuat apa-apa. Saya
mencari kesalah pada diri saya sendiri sebelum menunjuk orang lain bersalah. Ini
adalah pelajaran Islam. Memang saya ada bersalah, mengapa saya sebagai militer
kok ikut-ikutan berpolitik dengan memenuhi panggilan Bung Karno!?
....malamnya tanggal (18 Agustus malam menjelang 19 Agustus 1945)
itu sengaja saya membisu. Kepada keluargapun saya tidak banyak bicara, sayapun
lelah, letih sekali hari itu, lagi pula kesal di hati. Siapa yang harus saya
marahi?”
Kasman mengatakan, ada dua kehilangan besar dalam sejarah
bangsa ini ketika itu. Pertama, penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia .
Kedua, hilangnya sejumlah senjata dan lain-lainnya yang sangat vital pada waktu
itu.
Kasman menyadari dirinya terlalu praktis dan tidak berpikir
jauh dalam memandang Piagam Jakarta. Ia hanya terbuai dengan janji Soekarno
yang mengatakan bahwa enam bulan lagi akan ada sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat yang akan dapat memperbaiki kembali semua itu. Padahal dalam waktu enam
bulan, mustahil untuk melakukan sidang perubahan di tengah kondisi yang masih
bergolak. Meski Kasman telah mengambil langkah keliru, namun niat di hatinya
sesungguhnya sangat baik, ingin bangsa ini bersatu. “Sayalah yang bertanggung
jawab dalam masalalah ini, dan semoga Allah mengampuni dosa saya,” kata Kasman
sambil menetaskan air mata, seperti diceritakan tokoh Muhammadiyah Lukman Harun,
saat Kasman mengulang cerita peristiwa tanggal 18 Agustus itu.
Seolah ingin mengobati rasa bersalah penyesalannya pada
peristiwa 18 Agustus 1945, pada sidang di Majelis Konstituante 2 Desember 1957,
Kasman tak lagi sekadar menjadi “Singodimejo” tetapi berubah menjadi “Singa di
Podium” yang menuntut kembalinya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dan menolak Pancasila sebagai dasar
negara.
Berikut kutipan pidatonya:
“Saudara ketua, satu-satunya tempat yang tepat untuk
menetapkan Undang-undang Dasar yang tetap dan untuk menentukan dasar negara
yang tent-tentu itu ialah Dewan Kosntituante ini! Justru itulah yang menjadi
way out daripada pertempuran sengit di dalam Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia yang
telah pula saya singgung dalam pidati saya dalam pandangan umum babak pertama.
Saudara ketua, saya masih ingat, bagaimana ngototnya
almarhum Ki Bagus Hadikusumo Ketua Umum Pusat Pimpinan Muhammadiyah yang pada
waktu itu sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
mempertahankan agama Islam untuk dimasukkan dalam muqoddimah dan Undang-undang
Dasar 1945. Begitu ngotot saudara ketua, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta
menyuruh Mr T.M Hassan sebagai putera Aceh menyantuni Ki Bagus Hadikusumo guna
menentramkannya. Hanya dengan kepastian dan jaminan bahwa 6 bulan lagi sesudah
Agustus 1945 kita akan bentuk sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Majelis
Pembuat Undang-undang Dasar yang tetap, maka bersabarlah Ki Bagus Hadikusumo
untuk menanti.
Saudara ketua, kini juru bicara Islam Ki Bagus Hadikusumo
itu telah meninggalkan kita untuk selama-lamannya, karena telah berpulang ke
rakhmatullah. Beliau telah menanti dengan sabarnya, bukan menanti 6 bulan
seperti yang telah dijanjikan kepadanya. Beliau menanti, ya menanti sampai
dengan wafatnya...
Gentlement agreement itu sama sekali tidak bisa dipisahkan daripada
“janji” yang telah diikrarkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
kepada kami golongan Islam yang berada dalam panitia tersebut. Di dalam hal ini
Dewan Konstituante yang terhormat dapat memanggil Mr. T.M Hassan, Bung Karno
dan Bung Hatta sebagai saksi mutlak yang masih
hidup guna mempersaksikan kebenaran uraian saya ini....
Suadara ketua, di mana lagi jika tidak di Dewan Konstituante
yang terhormat ini, saudara ketua, dimanakah kami golongan Islam menuntut
penunaian “janji” tadi itu? Di mana lagi tempatnya? Apakah Prof. Mr Soehardi
mau memaksa kita mengadakan revolusi? Saya persilakan saudara Prof Mr. Soehardi
menjawab pertanyaan saya ini secara tegas! Silakan!
Saudara ketua, jikalau dulu pada tanggal 18 Agustus 1945
kami golongan Islam telah difait-a complikan dengan suatu janji dan/atau
harapan dengan menantikan waktu 6 bulan,
menantikan suatu Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk membuat Undang-undang
Dasar yang baru dan yang permanen, saudara ketua, janganlah kami golongan
Islam di Dewan Konstituante sekarang ini difait-a complikan lagi dengan
anggapan-anggapan semacam: Undang-undang Dasar Sementara dan Dasar Negara tidak
boleh dirubah, tidak boleh diganti, tidak boleh diganggu gugat! Sebab fait-a
compli semacam itu sekali ini, saudara ketua, hanya akan memaksa dada meledak!”
Pidato Kasman di Sidang Konstituante yang sangat berapi-api
mengusulkan Islam sebagai dasar negara sungguh sebuah penebusan kesalahan yang
sangat luar biasa.Dalam pidato tersebut, Kasman secara detil mengemukakan
alasan-alasannya mengapa Islam layak dijadikan dasar negara, dan mempersilakan
golongan lain untuk mengemukakan alasan-alasannya terhadap Pancasila.
Bagi Kasman, Islam adalah sumber mata air yang tak pernah
kering dan tak akan ada habisnya untuk
digunakan sebagai dasar dari NKRI ini, jika negara ini dilandaskan pada Islam. Sedangkan
Pancasila yang dijadikan dasar negara tak lebih seperti “air dalam tempayan”, yang
diambil diangsur, digali dari “mata air” atau sumber yang universal itu, yaitu
Islam.
Kasman mengatakan,
“Ada
yang mengira, si penemu—katakan kalau mau, “si penggali,” air dalam tempayan
itu adalah sakti mandra guna, dianggapnya hampir-hampir seperti nabi atau lebih
daripada itu, dan tidak dapat diganggu gugat. Sedang air dalam tempayan itu, lama
kelamaan, secara tidak terasa mungkin, dianggapnya sebagai air yang keramat, ya
sebagai supergeloof yang tidak dapat dibahas dengan akal manusia, dan yang
tidak boleh didiskusikan lagi di Konstituante sini. Masya Allah!”
Dekrit Presiden dan Status Piagam Jakarta
Perdebatan dalam Sidang Majelis Konstituante memang berjalan
sengit. Inilah sidang yang memakan waktu cukup lama, dari tahun 1956 sampai
dengan 1959.Masing-masing kelompok tanpa tedeng aling-aling mengemukakan
gagasan-gagasannya. Mohammad Natsir menyebut suasana saat itu dengan istilah
masa-masa konfrontasi dalam suasana toleransi.
Kelompok Islam dimotori oleh M Natsir, Hamka, Kasman
Singodimejo, dan lain-lain, serta para tokoh NU, sepakat mengajukan Islam
sebagai dasar negara.Kelompok Islam mempersilakan kelompok lain untuk
menyampaikan gagasannya secara terbuka, jika memang mereka mempunyai konsep
yang jelas soal kenegaraan.
Pada 22 April 1959, Soekarno yang menganggap sidang
konstituante terlalu bertele-tele dan alot. Ia kemudian menyampaikan pidato
berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica” di Majelis Konstituante yang
meminta para anggota majelis untuk segera kembali kepada UUD 1945, seperti yang
dirumuskan pada 18 Agustus 1945.
Kemudian pada 2 Juni 1959 majelis mengadakan pemungutuan
suara dalam rangka kembali ke UUD 45, dengan dua pilihan yang diajukan: Pertama,
kembali kepada UUD 1945 seperti dirumuskan pada 18 Agustus 1945. Kedua, kembali
pada UUD 1945 dengan memasukkan anak kalimat Piagam Jakarta ke dalamnya. Voting
itu menghasilkan 263 suara setuju kembali ke UUD 1945 seperti dirumuskan
tanggal 18 Agustus 1945 dan 203 mendukung UUD 1945 yang di dalamnya berisi
tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Karena pemungutan suara tidak menghasilkan pemenang mutlak, maka
Soekarno melakukan langkah drastis dengan mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959
yang berisi pembubaran konstituante dan menetapkan berlakunya UUD 1945 yang
dijiwai oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945, yang ia sebut sebagai rangkaian
kesatuan dengan konstitusi.
Dekrit dirumuskan di Istana Bogor ,
pada 4 Juli 1959, dan dibacakan di Istana Merdeka, Jakarta , pada Ahad 5 Juli 1959, pukul 17.00
WIB dengan isi sebagai berikut:
DEKRIT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
TENTANG
KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI
ANGKATAN PERANG
Dengan ini menyatakan dengan khidmat;
Bahwa anjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada
Undang-Undang Dasar 1945, yang disampaikan kepada segenap rakyat Indonesia
dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan
dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa berhubung dengan pernyataan sebagian besar anggota
Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante
tidak mungkin lagi menyelesaikan tugas yang dipercayakan oleh rakyat kepadanya.
Bahwa hal yang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan
yang membahayakan persatuan dan keselamatan negara, nusa dan bangsa, serta
merintangi pembangunan semesta untuk mencapai masyarakat adil dan makmur.
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakyat Indonesia dan
didorong oleh keyakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunya jalan
untuk menyelamatkan negara proklamasi.
Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22
Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu
rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.
Maka atas dasar-dasar tersebut di atas
KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA /
PANGLIMATERTINGGI ANGKATAN PERANG
Menetapkan pembubaran Konstituante;
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari
tanggal penetapan dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar
Sementara.
Pembentukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara, yang terdiri atas anggota-anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dengan utusan-utusan daerah dan golongan-golongan serta
pembentukan Dewan Pertimbangan Agung sementara, akan diselenggaerakan dalam
waktu yang sesingkat-singkatnya.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1959
Atas nama rakyat Indonesia
Presiden Republik Indonesia /Panglima Tertinggi
Angkatan Perang
Soekarno.
Profesor A Sanusi, seperti dikutip Endang Saifudin Anshari, mengatakan
bahwa Piagam Jakarta yang disebut dalam dekrit 5 Juli 1959 adalah kembalinya
gentlement agreement dalam rangka persatuan dan perjuangan nasional. Karena itu
posisi Piagam Jakarta senapas dengan
konstitusi 1945. Sanusi mengatakan kata “menjiwai” dalam dekrit tersebut
berarti memberi jiwa. Sedang memberi jiwa berarti memberi kekuatan. Kata
“menjiwai” yang kemudian dirangkaikan dengan kata-kata “Suatu rangkaian
kesatuan” menunjukan bahwa Piagam Jakarta
merupakan satu rangkaian yang tak terpisah dengan UUD 1945.
Profesor Notonagoro, seorang ahli yang banyak melakukan
penelitian tentang Pancasila mengatakan, pengakuan tentang Piagam Jakarta dalam
dekrit itu berarti pengakuan akan pengaruhnya dalam UUD 1945, tidak hanya
pengaruh terhadap pasal 29, pasal yang harus menjadi dasar bagi kehidupan hukum
di bidang keagamaan.
Dengan demikian, perkataan “Ketuhanan” dalam pembukaan UUD 1945
bisa berarti “Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan
syariatnya”, sehingga atas dasar itu dapat diciptakan perundang-undangan atau
peraturan pemerintah lain. Dengan syariat Islam, ketetapan pasal 29 ayat 1
tetap berlaku bagi agama lain untuk mendasarkan aktivitas keagamaanya
KH. Saifuddin Zuhri, dalam sebuah peringatan 18 tahun Piagam
Jakarta, mengatakan,
“Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 maka hapuslah segala
selisih dan sengketa mengenai kedudukan yang legal daripada Piagam Jakarta 22
Juni 1945. Piagam yang pernah menjadi pengobar dan bebuka Revolusi Nasional
kita itu tegas-tegas mempunyai kedudukan dan peranan ketatanegaraan kita
sebagai yang menjiwai UUD dan merupakan rangkaian kesatuan dengannya dengan
sendirinya mempunyai pengaruh yang nyata terhadap setiap perundang-undangan
negara dan kehidupan ideologi seluruh bangsa”
Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Studi Tentang Percaturan
dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta:LP3ES, 1985) mengatakan
konsideran dalam dekrit tersebut merupakan kompromi antara pendukung Pancasila
dan Islam. Menurut Maarif, konsideran tersebut mempunyai makna konstitusional, meskipun
implisit, namun gagasan melaksanakan syariat Islam tidak dimatikan. “Inilah barangkali tafsiran yang akurat dan adil
terhadap kaitan Dekrit 5 Juli dengan Piagam Jakarta. Penafsiran yang lain dari
ini, disamping tidak punya makna, juga bersifat ahistoris,” jelasnya.
Pendapat serupa ditulis oleh Prof Hazairin, yang mengatakan
bahwa Piagam Jakarta yang dikatakan dalam Dekrit 5 Juli 1959 sebagai “menjiwai”
dan menjadi “rangkaian kesatuan” bagi UUD 1945 adalah maha penting bagi
penafsiran pasal 29 1 UUD 1945, yang tanpa perangkaian tersebut maknanya
menjadi kabur dan dapat menimbulkan penafsiran yang beragam dan absurd, karena
penjelasan yang resmi mengenai pasal tersebut tidak mencukupi, karena desakan
waktu.
Penghapusn tujuh kata dalam Piagam Jakarta pada 18 Agutus 1945
merupakan toleransi dari umat Islam yang menuntut diberlakukannya syariat Islam
bagi pemeluknya. Dekrit Soekarno jelas menegaskan soal keberadaan Piagam
Jakarta, yang “menjiwai” dan menjadi “rangkaian kesatuan” konstitusi bangsa ini.
Siapa yang menggagas ide untuk kembali ke konstitusi 1945
dan menyebut soal Piagam Jakarta dalam dekrit presiden tersebut? Ide tersebut
ternyata datang dari kalangan militer, yaitu Jenderal AH Nasution. Mengenai hal
ini bisa dilihat dalam buku Islam di Mata Para
Jenderal, (Jakarta: Penerbit Mizan, 1997, hal 20), yang memuat hasil wawancara
dengan Jenderal Nasution.
Keterangan ini dikuatkan oleh pengakuan tokoh NU, KH
Saifudin Zuhri yang menceritakan bahwa suatu hari di awal bulan Juli 1959 pada
pukul 01.30 dini hari ia ditelepon KH Idham Chalid. Kepada Zuhri, Kiai Idham
Chalid memintanya datang ke rumahnya di jalan Jogja 51 dini hari itu juga, terkait
dengan rencana kedatangan dua orang pejabat amat penting. Pukul 02.00 lebih
sedikit, Zuhri sudah tiba di rumah Kiai Chalid. Tak berapa lama datang dua orang
pejabat penting itu, yang tak lain adalah Jenderal A. H Nasution, Kepala Staf
Angkatan Darat/ Menteri Keamanan dan Pertahanan, dan Letkol CPM R. Rusli, Komandan
CPM (Corp Polisi Militer) seluruh
Indonesia.
Kedua orang pejabat tentara itu meminta saran kepada dua
orang tokoh NU tersebut terkait rencana keberangkatan mereka untuk menemui
Soekarno yang sedang berobat di Jepang. Dari kalangan tentara saat itu ingin
mengusulkan kepada presiden Soekarno agar UUD 1945 diberlakukan kembali lewat
Dekrit Presiden. Terkait hal itu, dua orang petinggi militer itu meminta saran
kepada tokoh NU untuk memberikan materi apa saja yang akan dimasukan dalam
dekrit.
“Isinya terserah pemerintah, tetapi hendaklah memperhatikan
suara-suara golongan Islam dalam Konstituante,” kata Kiai Idham Chalid. “Apa
kongkretnya tuntutan golongan Islam itu,” tanya Jenderal Nasution.
“Agar Piagam Jakarta diakui kedudukannya sebagai menjiwai
UUD 1945,” jawab Saifudin Zuhri.
“Bagaimana sikap NU apabila presiden menempuh jalan dekrit?”
Tanya Nasution.
“Kami tidak bisa katakan, itu hak presiden untuk menempuh
jalan menyelamatkan negara,” jawab Kiai Idham Chalid. (Lihat M. Ali Haidar, Nahdatul
Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan Fikih dalam Politik, Jakarta:PT Gramedia
Pustakan Utama, 1998, cet. Kedua, hal. 286).
Soal keterlibatan Jenderal Nasution dalam menggagas upaya
kembali ke UUD 1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui sebagai bagian dan
rangkaian kesatuan dari UUD, dan sikap NU yang menerima usulan tersebut dengan
syarat Piagam Jakarta diposisikan seperti itu, juga ditulis oleh pengamat NU, Andree
Feillard dalam buku ”NU vis-a-vis Negara.”
Andree Feillard menggambarkan sikap NU terhadap Piagam
Jakarta ketika itu seperti berikut:
”Pada tahun 1959, NU bersedia kembali ke Undang-undang Dasar
1945 dengan syarat Piagam Jakarta diakui ”menjiwai” dan ”satu rangkaian” dengan
Undang-Undang Dasar tersebut. Meskipun Pengurus Besar NU merasa puas dengan
kompromi ini, namun tidaklah demikian halnya dengan beberapa cabang daerah. PBNU
terpaksa menyebarkan edaran yang menjelaskan usaha-usaha mendukung Piagam
Jakarta. Dan usaha itu tidak berhenti di situ. Pada tahun 1962, Nahdlatul Ulama
meminta pemerintah supaya mengupayakan ”seluruh perundang-undangan organik dari
UUD secara otomatis dijiwai oleh Piagam Jakarta. Muktamar itu juga mengusulkan
pembentukan Mahkamah Agung Islam. Dalam pandangannya, Piagam Jakarta dasar
kehidupan hukum positif negara RI.”
Sikap para aktivis NU terhadap Piagam Jakarta, kata Andree
Feillard, juga terlihat dalam pawai-pawai di Jakarta ketika memperingati 40
tahun hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam pawai-pawai tersebut, tuntutan untuk
mengembalikan Piagam Jakarta sebagai bagian dari UUD 1945 bertebaran dalam
spanduk yang dibawa di jalan-jalan.
Pada bulan April 1966, para aktivis NU yang berkumpul di Bogor , Jawa Barat, kembali
menegaskan dukungannya terhadap Piagam Jakarta sebagai berikut:
1. Karena negara dilandaskan pada Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945, yang tidak dapat dipisahkan dari Piagam Jakarta,
jalan terbuka untuk mewujudkan cita-cita partai. Sebab bila Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 benar-benar dijalankan dalam masyarakat, hasilnya
adalah masyarakat yang sesuai dengan cita-cita partai.
2. Dengan demikian, perjuangan partai harus ditujukan untuk
mempertahankan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan
Piagam Jakarta yang mengilhaminya.
Sikap para aktivis NU dulu dan sekarang tentu saja berbeda. Sejak
NU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid hingga kini, sikap NU terhadap
Piagam Jakarta, bahkan secara umum terhadap penegakkan syariat Islam, terkesan
anti dan melakukan penentangan yang keras. Apalagi, sejak virus Sepilis (Sekularisme,
Pluralisme, Liberalisme) mewabah di kalangan anak-anak muda NU dan sebagian
oknum kiai NU, Piagam Jakarta justru dianggap sebagai ancaman terhadap NKRI dan
pluralisme.
Belakangan, para aktivis NU yang tergabung dalam jajaran
para pengasong paham Sepilis bahkan menerbitkan sebuah buku propaganda yang
sangat tendensius mengadu-domba antar elemen umat Islam dan antar elemen umat
Islam dengan bangsa Indonesia umumnya, yang berjudul Ilusi Negara Islam. Buku
tersebut, menyerang upaya umat Islam untuk mengembalikan Piagam Jakarta.
Bahkan, berkolaborasi dengan kelompok Kristen, para
pengasong Sepilis itu juga menyerang Perda-perda Anti Maksiat yang secara
konstitusional lahir dari upaya yang legal dan demokratis. Mereka menyebut
perda-perda tersebut sebagai upaya menegakkan semangat Piagam Jakarta dan
syariat Islam secara umum.
Dari kalimat dekrit yang disampaikan Presiden Soekarno, sampai
saat ini, fakta hukum Piagam Jakarta sebenarnya masih berlaku. Status hukum
Piagam Jakarta sampai saat ini adalah sesuatu yang ”menjiwai” dan sebagai
”rangkaian kesatuan” dari UUD 1945. Jadi, tinggal kita umat Islam meminta
kepada pemerintah untuk mengumumkan kepada masyarakat bahwa Piagam Jakarta
adalah hak konstitusional umat Islam yang sampai saat ini masih berlaku.Sebagai
sebuah fakta hukum, pemerintah harus memberlakukan Piagam Jakarta tersebut bagi
umat Islam!
Bahan Bacaan:
Ahmad Syafii Maarif, Studi Tentang Percaturan dalam
Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan,” Jakarta : LP3ES, 1985
Andree Feillard, NU Vis-a-Vis Negara:Pencarian Isi, Bentuk, dan
Makna, Yogyakarta :LKiS, 2008, Cet.Kedua
Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah
Konsensus Nasional Tentang Dasar negara
Republik Indonesia (1945-1949), Jakarta: Gema Insani Press, 1997, Edisi Ketiga,
cet. Pertama
Gatot Indroyono (ed), Islam di Mata Para Jenderal, Jakarta : Penerbit Mizan, 1997
Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 70 Tahun, Jakarta : Penerbit Bulan
Bintang, 1982
Lukman Hakiem, Perjalanan Mencari Keadilan dan Persatuan: Biografi
Dr Anwar Harjono, SH, Jakarta :
Penerbit Media Dakwah, 1993
M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam Indonesia Pendekatan
Fikih dalam Politik, Jakarta :PT
Gramedia Pustakan Utama, 1998
M. Natsir, Agama dan negara dalam Perspektif Islam, Jakarta : Media Dakwah, 2001
Prof. Dr Hazairin, S.H, Demokrasi Pancasila, Jakarta : PT Rineka Cipta,
1990, cet. Ke-6
Ridwan Saidi, Status “Piagam Jakarta” Tinjauan Hukum dan
Sejarah,”Jakarta :
2007. (Makalah disampaikan dalam pertemuan ulama, Habaib dan tokoh Islam di
Jakarta, 22 Mei 2007).
R.M.A.B Kusuma Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945: Memuat
Salinan Dokumen Otentik Badan Oentoek Menyelidik Oesaha2 Persiapan Kemerdekaan,Jakarta : Badan Penerbit
PH-UI, 2004
Sidik Kertapati, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta : Jajasan
Djambatan, 1964, cet. Ke-3
- See more at: http://www.voa-islam.com/read/intelligent/2009/08/19/697/peristiwa-18-agustus-1945-pengkhianatan-kelompok-sekular-menghapus-piagam-jakarta/;#sthash.ESTvG9nk.PgmOVORe.dpuf
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan