Sabtu, Agustus 06, 2016

jawabanku untuk Ust Nur Muttaqin – member FMP ke 5


Postingan extra , jawabanku untuk Ust Nur Muttaqin – member FMP
Ust  NUr muttaqin menulis lg :
Kalau kami pergi ke gunung. Kami tidak perlu bawa sajadah Pak Kiayi. Bagi kami, shalat beralaskan tanah pun jadi.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
 Sy di gunung  atau lembah, atau daratan , di rumah atau masjid tetap menjalankan salat wajib di tanah.
Tp bila gunung batu, mk sy tdk akan melakukan salat wajib di atasnya. Sbb ia bukan tanah yg bisa di buat tayammum.
Bila sy lakukan salat wajib di gunung batu atau di batu besar, mk  sy blm punya dalil, sy blm tahu dalilnya. Dlm kondisi spt ini , sy ikut ayat :
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
               Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui dalilnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( Al isra` 36 ).
Bila sy lakukan  salat wajib di gunung batu atau batu besar, mk sy ber arti menjalankan sesuatu tanpa dalil. Dan ini larangan menurut ayat al Isra`  36 tadi.
Mengerjakan sesuatu tanpa  dalil di larang oleh Allah dan di bolehkan oleh  setan manusia, ahli bid`ah dan mujrimin.

Anda menyatakan:

Berbeda dengan Pak Kiayi saat harus shalat di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi. Pak Kiayi harus mencari area tanah terlebih dulu.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Bila sy melakukan  salat di masjidil haram atau masjid Nabi  shallallahu alaihi wasallam  waktu dulu, mk sy tetap menjalankan  salat di amsjidil haram dan masjid Nabawi yg masih berlantai tanah.
Lain dg masjidil haram dan masjid nabawi yg sekarang ini, ia  sudh di kasih karpet atau permadani  yg empuk.
Bila sy melakukan salat di keduanya, mk sy akan melakukan salat wajib di karpet . Dan inilah titik perbedaan  antara  sujud yg sesuai dengan tuntunan  dan yg menyelisihinya.
 Sy ittiba` , tdk mau  salat wajib di karpet dan anda menjalankan salat di karpet tanpa dalil sedikit pun. Anda menyelisihi ayat ini:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولا
               Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui dalilnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. ( Al isra` 36 ).

Sajadah bg sy tdk boleh untuk salat wajib dan boleh untuk  salat sunat sbgmn dalil  yg telah dijlskan di makalah yg lalu.
Sy tdk akan menjalankan salat  wajib di lantai dua atau tiga masjidil haram atau masjid Istiqlal dll. Masjid  tingkat di tanah haram atau di Bali tidak syar`i. Bila di katakana syar`I sy blm tahu dalilnya. Bila anda tahu tunjukkan.
Sujud  salat wajib  adalah di tanah bukan di lantai tingkat bersajadah atau lantai sj.Juga bukan di keramik.


Anda menyatakan:

Entah kenapa Pak Kiayi. Justru kami yang lebih merasakan Sunnah Rasul. Di mana kami bisa shalat di mana saja. Sedangkan Pak Kiayi harus mencari area tanah terlebih dulu.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Mungkin anda mengacu pd hadis ini:
حَيْثُمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ فَصَلِّ وَالْأَرْضُ لَكَ مَسْجِدٌ *
 Dimana saja  kamu menjumpai waktu salat telah tiba , salatlah dan bumi adalah tempat sujudmu. Bukhori 3172
Menurut riwayat Muslim  sbb:
صحيح مسلم - (ج 3 / ص 106)
ثُمَّ الْأَرْضُ لَكَ مَسْجِدٌ فَحَيْثُمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ فَصَلِّ
Lantas bumilah sebagai tempat sujudmu ( bukan karpet ) , dimana saja kamu menjumpai  waktu salat, salatlah.

Realitanya  kebanyakan  kalian yg selalu melakukan salat di masjid berkarpet, jarang sekali salat di sawah , atau di tepi jalan ketika  waktu salat tiba saat itu. Anda masih mencari masjid yg berkarpet untuk melakukan salat wajib. Dan tdk menjalankan salat di mana – mn . 
Sy  tinggal  berwudhu  dan melakukan  salat di tempat itu baik di tanah lapang, tepi jalan , tanah di samping rel kereta api, di bawah gunung. Sy dan jamaah sy dh sering melakukannya. Waktu  sy ahli bid`ah , sy tdk pernah menjalankan hal spt itu , tp selalu di masjid yg berkarpet.
Jadi dlm masalah melakukan salat wajib sj beda  sekali ahlis sunnah yg komit dan yg tdk komit, antara muslim yg peduli ajaran dan yg mengabaikannya. 
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   yg bersabda  spt itu, dan beliaulah yg melakukan salat wajib dimn – mn  tanpa tikar slm hidupnya.
Ingatlah ayat:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahRasullullah SAW takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.
  Orang melakukan salat wajib di sajadah jls dan tdk samar lg menyalahi perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam .
Tdk benar bila dia yg melakukan salat di sajadah mengikuti  tuntunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam . Bila bgt, mk tunjukkan dalil. Ingat ayat ini:
قُلْ هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Katakanlah, “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar.”
Bila salat wajib di sajadah itu benar, mn hujjah dan burhanmu ?
Ternyata kalian bungkam seribu bhs, tangan  - tangan tdk mampu menulis yg benar, ia hanya mampu menjawab dengan jawaban yg salah banget. Pikiran buntu , no way outnya.
Masjid kalian penuh dg kebid`ahan, mulai lantai, karpet, tulisan kaligrafi  di tembok – temboknya, kadang di mihrabnya. Lampu yg banyak ketika menjalankan salat, tdk selalu  menggunakan sandal . Kadang ada animasi huruf di muka orang yg melakukan salat bukan di belakangnya. 


Anda bilang :
Sama seperti ahli kitab zaman dulu, yang kalau shalat harus mencari mihrob, kanais, biya'un, sholawat, bangunan tempat ibadah. Justeru kami melihat Pak Kiyai kok seperti mereka.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Itu komen jungkir balik, sy  yg melakukan salat di mana mn  dan realitanya  kebanyakan andalah yg selalu mencari masjid  berkarpet dulu  untuk melakukan salat.
Dan kebanyakan anda tdk pernah melakukan salat di mana – mn kecuali  dg sajadah. Beda  sekali dg sy yg ittba` pd rasul bukan ibtida`  spt kebanyakan anda.  Sy ittiba` menjalankan salat wajib dimn – mn tanpa karpet.
Kalimat mu itu terarah pd Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   dan para  sahabatnya  yg selalu menjalankan salat wajib di  tanah tanpa tikar.
Bila anda mengatakan : “Justeru kami melihat Pak Kiyai kok seperti mereka”.
Kamu bilang sy spt itu, realisasinya kalimat itu jg untuk Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   dan para sahabatnya , km katakana spt  ahli kitab nauudzu billah , ber hati hatilah  untuk memberikan stigma  jelek pd orang yg  hanya ittiba  dlm salat wajib ini. Sebab , bila kamu jelekin , hakikatnya  km jelekin pd Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   dan sahabatnya. INgatlah ayat ini:
وَمَا يَأْتِيهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Dan tidak datang seorang rasulpun kepada mereka, melainkan mereka selalu memperolok-olokkannya. Al Hijr 11
Di ayat lain, Allah menyatakan:
كَذَٰلِكَ مَا أَتَى الَّذِينَ مِن قَبْلِهِم مِّن رَّسُولٍ إِلَّا قَالُوا سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ
  Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila". 52 Dzariyat.
Anda menyatakan:
Padahal maksud Nabi adalah memberikan keringanan kepada umatnya. Dan Pak Kiayi tidak menikmati keringanan tersebut. Justru kami yang menikmatinya.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Ini logika tdk benar, menyalahi realita, cocok dg image atau hayalan anda  sendiri.
Kebanyakan  anda membangun masjid habis ratusan juta bahkan milyaran, karena ribet dengan keramik, marmer, karpet , permadani yg serba mahal .
Sy td bgt, masjid cukup dr tanah, sangat mudah  salat dimn mn  bisa tanpa sajadah.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   memberikan keringanan dg salat  tanpa  karpet, permadani yg mahal . Sy yg memeraktekkan itu ,   dan kebanyakan anda tdk mau ini. Sy yg pilih keringanan tsb dan kebanyakan anda memberatkan diri dg beli marmer dulu, permadani dll.
Kamu katai pd sy bgt, realisasinya km katai pada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   dan sahabatnya , sbb  sy ittiba` dan kamu ibtida` - bikin bid`ah ngaku ittiba`.


Anda menyatakan :
Saya jadi teringat sabda Nabi. Laqod hajjarta waasi'an. Engkau telah menyempitkan sesuatu yang luas.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Seolah anda mengacu pd hadis  ini : 
صحيح البخاري (8/ 10)
-           حَدَّثَنَا أَبُو اليَمَانِ، أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو سَلَمَةَ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي صَلاَةٍ وَقُمْنَا مَعَهُ، فَقَالَ أَعْرَابِيٌّ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ: اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّدًا، وَلاَ تَرْحَمْ مَعَنَا أَحَدًا. فَلَمَّا سَلَّمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لِلْأَعْرَابِيِّ: «لَقَدْ حَجَّرْتَ وَاسِعًا» يُرِيدُ رَحْمَةَ اللَّهِ

Perkataan Nabi  shallallahu alaihi wasallam “Laqod hajjarta waasi'an. Engkau telah menyempitkan sesuatu yang luas.
Kalimat  itu  km arahkan  kpd orang yg selalu  menjalankan salat wajib di tanah  tanpa  karpet, itu  sangat salah , tidk ada benarnya sedikitpun. Seolah anda  tujukan kpd Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   dan sahabatnya yg tdk pernah menjalankan  salat  wajib di tikar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   yg bersabda spt itu, sdh tentu  bukan  ngeritik perbuatan beliau sendiri.
Hadis itu  untuk  orang badui yg berdoa : Ya Allah kasihanilah aku da Muhammad, dan jangan beri kasih kepada seorangpun bersama kami”
Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam   bersabda : Laqod hajjarta waasi'an. Engkau telah menyempitkan sesuatu yang luas.

Jadi bila anda  tujukan dg hadis itu untuk orang yg  salat di tanah sangat  keliru, tiada relevansinya. Anehnya lg  dg hadis  itu anda buat pegangan untuk  membolehkan salat di atas karpet. Ini penyelewengan bukan kejujuran dan penempatan dalil  yg bukan pada tempatnya. Ini termasuk tahrif.  INgatlah ayat ini:
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلَا تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلَّا قَلِيلًا مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ

(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu (Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik. 


Bersambung……………..,



Artikel Terkait

1 komentar:

  1. Menurut Ibnu Taimiyah: Shalat Di Atas Sajadah itu Bid’ah, Benarkah?

    Ibnu Taimiyyah –rahimahullah– pernah ditanya tentang orang yang menggelar sajadah di masjid untuk shalat, apakah termasuk bid’ah ataukah bukan?

    Jawab Ibnu Taimiyah,

    الصلاة على السجادة بحيث يتحرى المصلى ذلك : فلم تكن هذه سنَّة السلف من المهاجرين والأنصار ومَن بعدهم مِن التابعين لهم بإحسان على عهد رسول الله ، بل كانوا يصلون في مسجده على الأرض لا يتخذ أحدهم سجادة يختص بالصلاة عليها

    “Jika ada yang shalat di atas sajadah dengan angapan bahwa patutnya dengan sajadah, maka seperti beramal seperti itu tidaklah diajarkan oleh salaf dari kalangan Muhajirin dan Anshar, juga diajarkan oleh tabi’in setelah mereka. Bahkan para salaf melakukan shalat di atas tanah. Di antara mereka tidak mengkhususkan shalat di atas sajadah.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 163)

    Kalau kita mau lihat konteks jawaban dari Ibnu Taimiyah, bukan memakai sajadah yang bid’ah, namun menganggap bahwa shalat itu mesti di sajadah. Bila tidak menggunakan sajadah berarti tidak afdhol. Itulah yang dimaksud. Buktinya adalah beliau membawakan riwayat yang sama dengan apa yang dibawakan oleh kakeknya dari kitab Al Muntaqo dalam beberapa halaman selanjutnya setelah membawakan perkataan di atas. Setelah itu, Ibnu Taimiyah berkata,

    وَإِذَا ثَبَتَ جَوَازُ الصَّلَاةِ عَلَى مَا يُفْرَشُ – بِالسُّنَّةِ وَالْإِجْمَاعِ – عُلِمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَمْنَعْهُمْ أَنْ يَتَّخِذُوا شَيْئًا يَسْجُدُونَ عَلَيْهِ يَتَّقُونَ بِهِ الْحَرَّ

    “Jika ada dalil pendukung yang menyatakan bolehnya shalat di atas alas -hal ini berdasarkan As Sunnah dan Ijma’ (kesepakatan para ulama), maka diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melarang shalat di atas alas untuk menghalangi dari panas.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 175).

    Jadi, jelas sekali Ibnu Taimiyah mengatakan asalnya boleh shalat di atas sajadah bahkan hal itu didukung oleh hadits, juga ijma’ (konsensus para ulama). Sehingga cara mengkompromi perkataan beliau adalah seperti yang penulis kemukakan di atas, yaitu yang keliru bila beranggapan bahwa patutnya shalat dengan menggunakan sajadah, tidak afdhol jika tidak menggunakannya.

    Lihat penjelasan Syaikh ‘Utsman Al Khomis yang menerangkan apa maksud Ibnu Taimiyah dengan perkataannya bahwa shalat dengan sajadah itu bid’ah.

    Syaikh ‘Utsman Al Khomis menerangkan, “Yang dimaksud bid’ah adalah jika berkeyakinan bahwa shalat mesti di sajadah dan ia mengharuskan seperti itu. Ini jelas bid’ah. Namun yang tepat, sujud di atas sajadah bukanlah bid’ah. Dan para ulama pun tidak menggolongkannya sebagai bid’ah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terkadang shalat di atas khumroh (tikar kecil), terkadang pula shalat di atas tanah, juga kadang shalat di atas hashir (tikar dengan ukuran lebih besar). Beliau shalat di tempat mana saja yang mudah bagi beliau. Beliau tidak bersusah-susah diri dalam melaksanakan shalat. Kalau ada tikar di depan beliau, beliau tidak memindahkannya lalu shalat di atas tanah. Begitu pula ketika ada permadani lainnya, beliau tidak memindahkannya dan shalat di atas tanah. Apa yang beliau peroleh, beliau shalat di situ. Jadi, perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah bagi yang memaksudkan shalat harus di sajadah dan mengganggap shalat selain pada sajadah bermasalah. Jadi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para ulama tidaklah mengatakan shalat di atas sajadah itu bid’ah secara mutlak. Sehingga tidak tepat mengatakan tidak boleh shalat di atas sajadah. Ini perkataan yang tidak benar.”
    Aturan Shalat dengan Sajadah

    Sumber: https://rumaysho.com/6433-shalat-di-atas-sajadah-apakah-termasuk-bidah.html

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan