Oleh: Alwi Shihab
Thomas Stamford Raffles yang berkuasa pada masa pemerintahan
Inggris di Indonesia
(1811-1816) pernah memuji kegigihan dakwah para ulama Betawi. Raffles selama lima tahun di Nusantara lebih banyak tinggal di Batavia , Ibu Kota Hindia
Belanda. Dia tinggal di Rijswijk
(kini Jl Segara), di gedung yang sekarang menjadi Bina Graha (sebelah Istana
Negara).
Dulu, gedung ini pernah dinamai Raffles House. Dalam salah
satu pidatonya pada peringatan ulang tahun Bataviasch Genootschap --lembaga
kesenian yang para anggotanya beragama Kristen-- Raffles meminta mereka belajar
pada keberhasilan para ulama dalam menyebarkan Islam. Terutama cara-cara
pendekatan mereka dalam mengajarkan Alquran yang kala itu menjadi bacaan dan
pelajaran di kampung-kampung Betawi.
Tampaknya, seperti juga Portugis dan Belanda, penguasa
Inggris ini khawatir terhadap perkembangan Islam, hingga ia meminta organisasi
Nasrani ini mencari jalan keluar mengimbangi dakwah para mubaligh.
"Jika kesuksesan para mubaligh itu dibiarkan, mungkin
dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan," kata
Letnan Jenderal Gubernur Inggris itu.
Seperti layaknya meneruskan perang salib, sekalipun tidak
sekeras Portugis, Belanda juga menunjukkan kebencian terhadap Islam, termasuk
terhadap para mubaligh dan kiai --figur yang dihormati di masa penjajahan.
Ulama Betawi Belajar Agama ke Arab Saudi
Menurut Risalah Rabithah Alawiyah, pada tahun 1925 pemerintah
kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak kegiatan dakwah dan
pendidikan. Di antaranya, tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama
atau mengaji.
Kebijakan ini --sekalipun oleh para ulama Betawi tidak
diindahkan-- lantaran sejak lahirnya Jamiat Kheir pada 1905 banyak lembaga
pendidikan Islam bermunculan. Sejak zaman VOC, kedatangan Belanda di Indonesia
sudah bermotif ekonomi, politik dan agama. Dalam hak actroi VOC terdapat suatu
pasal berbunyi, "Badan ini harus berniaga di Indonesia dan bila perlu boleh
berperang. Dan, harus memperhatikan agama Kristen dengan mendirikan sekolah."
Karena tekanan yang demikian keras dari penjajah, HAMKA yang
selama bertahun-tahun tinggal di perkampungan Betawi mengemukakan kekagumannya
terhadap keteguhan orang Betawi memeluk Islam. Menurut HAMKA, antara penjajah
dan anak negeri bagaikan minyak dan air -- meskipun keduanya dimasukkan ke
dalam satu botol tapi tidak akan bisa menyatu.
Menurut HAMKA, kalau para perantau yang datang ke Betawi
banyak meneruskan pendidikannya ke Belanda atau negara Eropa lainnya, orang
Betawi belajar agama di Arab Saudi. Kemudian di antara mereka banyak yang
berkedudukan cukup baik.
Di antara mereka terdapat Syaikh Junaid Al-Betawi, kelahiran
Pekojan, Jakarta Barat. Pekojan, pada abad ke-19 dan 20, banyak menghasilkan
ulama terkemuka.
Pada 1925, ketika Raja Ali takluk kepada dinasti Saudi, Raja
Saud meminta supaya orang-orang besar, para tokoh ulama Betawi, dibebaskan. Pada
1939 jamaah haji Indonesia
tidak bisa kembali ke Tanah Air, karena zona laut pada awal perang dunia ke-II
itu dinyatakan sebagai daerah peperangan. Raja Saud memberikan izin kepada para
jamaah Indonesia
untuk bermukim di negaranya.
Pekojan Kampung Ulama
Pekojan, di Jakarta Barat, tidak pelak lagi merupakan pusat
intelektual Islam. Syaikh Junaid Al-Betawi, misalnya, dilahirkan di kampung
Arab ini. Ridwan Saidi, yang ikut memberikan ceramah, menyatakan, Syekh Nawasi
dan Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi adalah murid Syaikh Junaid Al-Betawi.
Pekojan juga melahirkan banyak ulama. Antara lain, mualim
Roji'un, dan Kiai Syamun. Termasuk Guru Mansyur dari Kampung Lima yang pada masa revolusi fisik masjidnya
ditembaki NICA, karena memasang bendera merah putih. Bahkan Guru Mansyur
berseru kepada penduduk, "Betawi, rempug."
Lahir di Pekojan pada 1882, Habib Usman Bin Yahya merupakan
penulis sangat produktif. Tidak kurang dari 47 kitab karangannya, sebagian
besar disimpan di Arsip Nasional. Dia kemudian pindah ke Jatipetamburan, Tanah
Abang. Sebelum memiliki percetakan, karangan-karangannya dengan tulisan tangan
ditempelkan di Masjid Jatipetamburan. Jamaah harus mengantre untuk membacanya.
Ulama ini makin produktif menulis setelah memiliki percetakan.
Tapi, karangannya harus lebih dulu diserahkan kepada pemerintah kolonial
sebelum dicetak. Sebelum wafat, Habib Usman berpesan agar di makamnya tidak
dibuat kubah. Dia juga menolak diadakan haul untuk memperingati kematiannya.
Di antara murid Habib Usman adalah Habib Ali Alhabsji (1870-1966),
ulama kelahiran Kwitang, Jakarta Pusat. Ayahnya, Habib Abdurahman, adalah
sepupu pelukis kenamaan Raden Saleh Syarif Bustaman. Ada beberapa ulama Betawi terkenal yang
menjadi murid Habib Ali, seperti KH Abdullah Syafei, KH Tohir Rohili, dan KH
Syafei Al-Hazami. Dia, pada tahun 1911, mendirikan madrasah Unwanul Falah di
Kwitang (di samping Masjid Al-Riyad).
Pada masa revolusi fisik banyak ulama Betawi yang ikut
mengomandoi rakyat agar mempertahankan kemerdekaan --sebagai bagian dari jihad
fi sabillah. Seperti KH Nur Ali dari Bekasi, Guru Mansyur (Jembatan Lima), KH
Rahmatullah Sidik (Kebayoran), dan Muhammad Ali Alhamnidi (Matraman). Ada ratusan buku karangan
ulama Betawi yang ditulis dalam Arab Melayu. [rol]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan