media nkri info -Di Jakarta, sampai akhir 1950-an warga Cina
memiliki toko-toko besar dan kecil di pasar-pasar. Termasuk pedagang keliling
berupa tukang kelontong yang dipikul oleh kulinya.
Ketika itu, sudah banyak warga Tionghoa yang tinggal di
kampung-kampung Selam (Islam), setelah mereka dibolehkan pindah dari China Town
Glodok. Dalam berhitung mereka menggunakan ‘sipoa’ yang tidak kalah cepatnya
dalam menghitung dengan para pedagang sekarang yang gunakan kalkulator. Para
pemilik warung ini dalam melayani pembeli umumnya memakai celana pendek dari
blacu dan kain singlet.
Ada suatu peristiwa penting peristiwa berbau rasialis
terhadap warga Cina yang justru terjadi pada masa Presiden Sukarno. Ketika
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1959. Isinya melarang mereka
berdagang di daerah-daerah di bawah tingkat kabupaten.
Peraturan ini sebetulnya dimaksudkan terhadap orang Tionghoa
WNA (Warganegara Asing/RR Cina). Tapi nyatanya PP tersebut berimbas pada semua
warga Tionghoa yang berdagang di pedesaan. Tidak peduli WNA atau WNI.
Akibat PP 10/1959, ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri
leluhur. Untuk itu, pemerintah RR Cina sengaja mengirimkan sebuah kapal untuk
mengangkut mereka ke daerah Cina. Peristiwa yang mengganggu hubungan RI-RRC ini
baru dapat diselesaikan setelah perundingan antara Bung Karno dan PM Cho En Lai,
yang sengaja datang ke Jakarta.
Pembantaian 10 Ribu Etnis Cina
Warga Tionghoa yang berdomilisasi di Indonesia dan luar
negeri kala itu disebut Hoakiau. Ketika Presiden Sukarno dalam masa Demokrasi
Terpimpin menandatangani PP No 10/1959 itu: Semua pedagamng eceran Cina harus
menutup usahanya di pedesaan.
Tidak jelas apakah seluruh keturunan Cina di larang bermukim
di pedesaan. Tapi yang jelas, Pangdam Siliwangi Kolonel Kosasih memaksa mereka
pindah.
Di Indonesia khususnya di China Town Glodok peristiwa
rasialis yang sangat memilukan terjadi pada September 1740. Menurut data
kontemporer, sekitar 10 ribu warga Tionghoa dibunuh secara kejam.
Asimilasi warga Cina di Indonesia sudah berlangsung sangat
lama. Namun, warga Cina di Indonesia tidak hanya mengalami saat-saat
menyenangkan, tapi juga peristiwa kelam.
Dalam catatan sejarah, pada 1740 yang menurut para sejarawan
merupakan noda paling hitam di Jakarta. Data kontemporer menyebutkan tidak
kurang 10 ribu orang Cina —pria, wanita, lansia sampai bayi yang baru lahir—
dibantai VOC secara kejam.
Tragedi 1998
Pada 1998, saat terjadinya pemindahan kekuasaan dari
Soeharto kepada Habibie juga terjadi peristiwa kekerasan terhadap warga
Tionghoa. Toko, rumah dan berbagai tempat usaha mereka telah dibakar atau
dirusak.
Kasus pembantaian terhadap etnis Cina itu ratusan kali lebih
dahsyat dari kerusuhan Mei 1998 di Jakarta dan Solo. Nama Kali Angke (dalam
Mandarin berarti Kali Merah) menjadi kenangan bahwa kali yang berdekatan dengan
Glodok ini saat itu telah menjadi merah karena darah.
Peristiwa kekejaman itu dimulai ketika orang-orang Cina yang
mencari peruntungan di Batavia
jumlahnya mencapai 80 ribu orang. Banyak di antara mereka yang bekerja di
pabrik-pabrik gula yang masa itu merupakan penghasilan bidang perkebunan
terbesar di Jakarta. (republika)jurnal
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan