Umat Buddha Prosesi "Pindapata" Jelang Waisak
Senin, 16 Mei 2011 10:31 WIB | 35 Views
Magelang (ANTARA News) - Ratusan biksu Dewan Sangha Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) bersama umat menjalani prosesi "pindapata", di pusat Kota Magelang, Jawa Tengah, "Pecinan", Senin, menjelang puncak Tri Suci Waisak 2011.
Prosesi berupa penyerahan sedekah oleh umat Buddha Kota Magelang kepada para biksu itu, dimulai dengan pembacaan doa dan lantunan parita suci dipimpin Ketua Dewan Pimpinan Pusat Walubi, Bante Dutavira Mahastavira, di Keleteng Liong Hok Bio, di kawasan alun-alun setempat.
Para biksu telah berkumpul di kompleks kelenteng itu sejak sekitar pukul 07.30 WIB. Mereka kemudian memasuki tempat ibadah tersebut untuk berdoa dan membaca parita.
Beberapa kali mereka yang masing-masing membawa wadah berwarna kuning emas dan perak berjalan mengelilingi altar utama hingga teras kelenteng setempat yang dibangun pada 1864 itu.
Umat Buddha berdiri di depan rumah toko masing-masing di sepanjang satu kilometer trotoar Jalan Pemuda, kawasan "Pecinan" itu untuk memberikan sedekah, baik berupa uang maupun kebutuhan pokok sehari-hari para biksu.
Ratusan biksu dengan mengenakan jubah khas didominasi warna kuning keemasan mulai sekitar pukul 08.30 WIB berjalan beriringan keluar dari kelenteng setempat secara takzim menyusuri sepanjang trotoar jalan itu, untuk menerima sedekah dari para umat.
Petugas kepolisian mengalihkan sementara waktu arus lalu lintas melewati Jalan Pemuda ke jalur lain.
Ketua Yayasan Tri Bhakti Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji mengatakan, sekitar 140 biksu menjalani prosesi pindapata sebagai refleksi atas kesediaan umat untuk berbuat kebajikan.
"Bagi umat Buddha melakukan kebijakan sebagai kewajiban, setiap saat umat harus siap membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan," ucapnya.
Sedekah umat kepada biksu, katanya, menjadi simbol perbuatan kebajikan yang diajarkan Sang Buddha.
Tradisi pindapata oleh umat setempat, katanya, mengadopsi kebiasaan masyarakat buddhis Thailand memberikan sedekah kepada para biksu setiap hari.
"Karena bante tidak mengurus uang, makan, dan kebutuhan sehari-hari, sehingga ia mendapatkan kebutuhan itu dari umat, sedangkan umat memahami sebagai perbuatan kebajikan melalui pemberian sedekah," paparnya.
Ia mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir umat Buddha Magelang menjalani prosesi pindapata menjelang puncak Waisak.
Tetapi, katanya, mulai 2011 prosesi pindapata masuk agenda resmi perayaan Tri Suci Waisak yang dipusatkan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
"Mulai tahun ini, pindapata di kota ini masuk agenda resmi panitia Waisak," tuturnya, menjelaskan.
Sekitar pukul 09.30 WIB para biksu menyelesaikan prosesi pindapata dengan kembali ke kelenteng setempat disambut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Walubi Jateng, David Hermanjaya.
Puncak Tri Suci Waisak 2011 jatuh pada Selasa (17/5) ditandai dengan meditasi dan puja bakti di pelataran Candi Borobudur selama beberapa saat mulai pukul 18.08 WIB.
Sebelumnya, para biksu bersama umat Buddha prosesi jalan kaki dari Candi Mendut melewati Candi Pawon dan berakhir di Candi Borobudur sepanjang sekitar tiga kilometer antara lain mengusung air suci, api dharma Waisak, panji-panji Walubi, dan dewan sangha.
(*)
Prosesi berupa penyerahan sedekah oleh umat Buddha Kota Magelang kepada para biksu itu, dimulai dengan pembacaan doa dan lantunan parita suci dipimpin Ketua Dewan Pimpinan Pusat Walubi, Bante Dutavira Mahastavira, di Keleteng Liong Hok Bio, di kawasan alun-alun setempat.
Para biksu telah berkumpul di kompleks kelenteng itu sejak sekitar pukul 07.30 WIB. Mereka kemudian memasuki tempat ibadah tersebut untuk berdoa dan membaca parita.
Beberapa kali mereka yang masing-masing membawa wadah berwarna kuning emas dan perak berjalan mengelilingi altar utama hingga teras kelenteng setempat yang dibangun pada 1864 itu.
Umat Buddha berdiri di depan rumah toko masing-masing di sepanjang satu kilometer trotoar Jalan Pemuda, kawasan "Pecinan" itu untuk memberikan sedekah, baik berupa uang maupun kebutuhan pokok sehari-hari para biksu.
Ratusan biksu dengan mengenakan jubah khas didominasi warna kuning keemasan mulai sekitar pukul 08.30 WIB berjalan beriringan keluar dari kelenteng setempat secara takzim menyusuri sepanjang trotoar jalan itu, untuk menerima sedekah dari para umat.
Petugas kepolisian mengalihkan sementara waktu arus lalu lintas melewati Jalan Pemuda ke jalur lain.
Ketua Yayasan Tri Bhakti Kelenteng Liong Hok Bio Kota Magelang, Paul Candra Wesi Aji mengatakan, sekitar 140 biksu menjalani prosesi pindapata sebagai refleksi atas kesediaan umat untuk berbuat kebajikan.
"Bagi umat Buddha melakukan kebijakan sebagai kewajiban, setiap saat umat harus siap membantu siapa saja yang membutuhkan pertolongan," ucapnya.
Sedekah umat kepada biksu, katanya, menjadi simbol perbuatan kebajikan yang diajarkan Sang Buddha.
Tradisi pindapata oleh umat setempat, katanya, mengadopsi kebiasaan masyarakat buddhis Thailand memberikan sedekah kepada para biksu setiap hari.
"Karena bante tidak mengurus uang, makan, dan kebutuhan sehari-hari, sehingga ia mendapatkan kebutuhan itu dari umat, sedangkan umat memahami sebagai perbuatan kebajikan melalui pemberian sedekah," paparnya.
Ia mengatakan, sejak beberapa tahun terakhir umat Buddha Magelang menjalani prosesi pindapata menjelang puncak Waisak.
Tetapi, katanya, mulai 2011 prosesi pindapata masuk agenda resmi perayaan Tri Suci Waisak yang dipusatkan di Candi Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
"Mulai tahun ini, pindapata di kota ini masuk agenda resmi panitia Waisak," tuturnya, menjelaskan.
Sekitar pukul 09.30 WIB para biksu menyelesaikan prosesi pindapata dengan kembali ke kelenteng setempat disambut Ketua Dewan Pimpinan Daerah Walubi Jateng, David Hermanjaya.
Puncak Tri Suci Waisak 2011 jatuh pada Selasa (17/5) ditandai dengan meditasi dan puja bakti di pelataran Candi Borobudur selama beberapa saat mulai pukul 18.08 WIB.
Sebelumnya, para biksu bersama umat Buddha prosesi jalan kaki dari Candi Mendut melewati Candi Pawon dan berakhir di Candi Borobudur sepanjang sekitar tiga kilometer antara lain mengusung air suci, api dharma Waisak, panji-panji Walubi, dan dewan sangha.
(*)
Editor: AA Ariwibowo
Komentarku ( Mahrus ali ):
Dalam artikel itu di sebutkan :
"Karena bante tidak mengurus uang, makan, dan kebutuhan sehari-hari, sehingga ia mendapatkan kebutuhan itu dari umat, sedangkan umat memahami sebagai perbuatan kebajikan melalui pemberian sedekah," paparnya
Komentarku ( Mahrus ali )
Ini mirip dengan seorang guru , ustadz atau kiyai yang tidak mau bekerja lalu menanti belas kasih umat dan ini jelas kurang layak di lakukan , sebab dalam al quran , kerja di anjurkan sebagaimana ayat :
وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.[1]
Karena itu , jangan sampai para kiyai mengikuti jejak biksu yang tidak memikirkan keduniaan , lalu bagaimanakah kewajiban untuk memberi nafkah kepada anak – anaknya dan keluarganya.
Dalam artikel itu juga di jelaskan :
Sebelumnya, para biksu bersama umat Buddha prosesi jalan kaki dari Candi Mendut melewati Candi Pawon dan berakhir di Candi Borobudur sepanjang sekitar tiga kilometer antara lain mengusung air suci, api dharma Waisak, panji-panji Walubi, dan dewan sangha.
Komentarku ( Mahrus ali ) .
Air suci ini juga ada dalam tradisi ahli bid`ah yang mereka anggap air yang punya hasiat , air dari seorang kiyai yang punya beberapa keanehan sekalipun rokoknya ngebut , sarungnya sampai di bawah mata kaki . Bila di bacakan manakiban , maka para jamaah membawa botol lalu diisi dengan air yang menurut mereka air tersebut telah mendapat berkah dari Syaikh Abd Qadir Al jailani dll . Ternyata air suci ini mirip dengan keyakinan Budha . Hindarilah .
Kelenteng Pao Hwa Kong
Jl Yos Sudarso 180
Ampenan, Lombok
Kelenteng Kwan Kong – Manado
Jl. D.I. Panjaitan 193
Manado – Sulawesi Utara – 95122
Telp. (0431) 869297
Jl. D.I. Panjaitan 193
Manado – Sulawesi Utara – 95122
Telp. (0431) 869297
Kelenteng Liong Hok
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan