Senin, April 23, 2012

Mematahkan dalil buka wajah bagi wanita muslim ke tiga

Dalam Muslimah. or.id terdapat artikel sbb:

Ketiga, firman Allah subhanahu wa ta’ala,
قُلْ لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَايَصْنَعُونَ {30} وَقُل لِّلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An Nur: 30,31)
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)
Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)
Jarir bin Abdullah berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)
Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).

Komentarku ( Mahrus ali ):

Anda menyatakan:

Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77). Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)
Anda menyatakan:
Ayat ini menunjukkan bahwa pada diri wanita ada sesuatu yang terbuka dan mungkin untuk dilihat. Sehingga Allah memerintahkan untuk menahan pandangan dari wanita. Dan yang biasa nampak itu yaitu wajah dan kedua telapak tangan. (Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 76,77).
Komentarku ( Mahrus ali ):
Jadi kesimpulannya  menurut anda  ayat Nur 30-31 itu menunjukkan wanita diperkenankan membuka wajah dan kedua tapak tangannya
Saya katakan: Mengapa hanya wajah dan kedua tapak tangan saja yang diperbolehkan untuk di buka dimuka lelaki lain? Mana dalil yang memperbolehkan wajah dan kedua tapak tangan untuk di buka? . Jelas dalilnya masih di cari lagi dan belum di temukan. Bagaimana  bila di katakan ayat 30-31 Nur itu menunjukkan bahwa wanita boleh membuka auratnya dimuka lelaki lain. Karena adanya aurat terbuka itu, maka lelaki di perintahkan untuk menundukkan pandangannya kepada  wanita lain.
Pada hal perintah menundukkan pandangan bagi lelaki itu umum  baik terhadap  wanita yang mengenakan cadar atau hijab atau wanita yang  tidak mengenakannya, begitu juga kepada wanita non muslim yang biasanya membuka aurat.
Apakah anda berpandangan bahwa lelaki boleh melihat wanita yang sudah mengenakan hijab atau cadar itu? Menurut saya, kaum lelaki tetap  harus menundukkan pandangannya kepada wanita yang mengenakan hijab apalagi kepada wanita yang membuka auratnya.
Bila kesimpulan anda menyatakan boleh wanita muslimah untuk membuka wajah dan kedua tapak tangannya, maka akan bertentangan dengan ayat ini:
يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal orang baik , karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha pengampun lagi Maha penyayang . Al Ahzab 59
Ibnu Abbas memerintah agar jilbab tersebut juga untuk menutup wajah  dan hanya  mata satu yang tampak

Juga bertentangan dengan ayat ini:   
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka Al ahzab 53
Bila wajah dan kedua tapak tangan boleh di buka, maka untuk apakah perintah meminta sesuatu kepada istri – istri Nabi SAW harus dari balik hijab. Lebih baik langsung berbicara face to face.  Dan sedemikian ini bagi tradisi penduduk Saudi era sekarang masih di anggap aib sekali.
سنن الترمذي ٢٧٠٢: حَدَّثَنَا سُوَيْدٌ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ بْنُ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ نَبْهَانَ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهُ حَدَّثَهُ أَنَّ أُمَّ سَلَمَةَ حَدَّثَتْهُ  أَنَّهَا كَانَتْ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَيْمُونَةَ قَالَتْ فَبَيْنَا نَحْنُ عِنْدَهُ أَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ فَدَخَلَ عَلَيْهِ وَذَلِكَ بَعْدَ مَا أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجِبَا مِنْهُ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ هُوَ أَعْمَى لَا يُبْصِرُنَا وَلَا يَعْرِفُنَا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Sunan Tirmidzi 2702: Telah menceritakan kepada kami Suwaid telah menceritakan kepada kami Abdullah telah mengabarkan kepada kami Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab dari Nabhan bekas budak Ummu Salamah, bahwa ia telah menceritakan kepadanya, bahwa ia pernah berada di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dan Maimunah, Ummu Salamah berkata; Ketika kami berada di sisi beliau, Ibnu Ummi Maktum datang dan menghadap kepada beliau, yaitu setelah kami diperintahkan untuk berhijab, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berhijablah kalian berdua darinya, " maka aku bertanya; "Wahai Rasulullah, bukankah dia buta, dia tidak dapat melihat dan tidak mengetahui kami?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: "Apakah kamu berdua buta?" Bukankah kamu berdua dapat melihatnya?." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih.

Hadis tsb tercantm dalam tafsir Al Baghowi 33/6

أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ فِي اللِّبَاسِ ، بَابٌ فِي قَوْلِهِ تََعََالََى :" وَقُلَّ لِلْمُؤَمَّنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبصارِهِنَّ " 6 / 60 61 والترمذي فِي الأَدَبِ ، بَابٌ : مَا جَاءَ فِي اِحْتِجَابِ النِّساءِ مِنْ الرِّجَالِ : 8 / 61 62 وَقَالَ :" هَذَا حَديثُ حَسَنٌ صَحِيحٌ ". وَعَزَّاهُ الْمُنْذِرِيِ لِلْنَسَّائِيِ ، وَأَخْرَجَهُ الإمام أَحَمْدَ : 6 / 296 وَذكرَهُ الْمُصَنِّفُ فِي شَرْحِ السُّنَّةِ : 9 / 24 .2.

HR. Abu Dawud dalam bab: Pakaian, Bab tentang  firman Allah : "Katakanlah kepada wanita yang beriman untuk menurunkan pandangan mereka" 6/60 61-Tirmidzi dalam al adab , bab hadis yang datang dalam wanita berhijab agar tidak tampak oleh pria: 8/61 62 dan beliau berkata: ". Ini adalah Hadits  hasan shahih" Dan ia dinisbatkan Mundhiri  kepada Nasa`I, Ia juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 6/296 dan penyusun buku menyebutnya  dalam kitab Syarhus sunnah: 9/24 2..

Komentarku ( Mahrus ali ):

Ummahatul mukminin masih di suruh ntuk berhijab sekalipun ada tamu buta atau tuna netra. Apalagi lainnya.

Anda menyatakan lagi:

Semakna dengan ayat tersebut ialah hadits-hadits yang memerintahkan menahan pandangan dari wanita dan larangan mengulangi pandangan jika telah terlanjur memandang dengan tidak sengaja. Di antaranya,
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللهِ قَالَ إِيَّاكُمْ وَالْجُلُوسَ بِالطُّرُقَاتِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ مَا بُدَّ لَنَا مِنْ مَجَالِسِنَا نَتَحَدَّثُ فِيهَا فَقَالَ رَسُولُ اللهِ إِنْ أَبَيْتُمْ فَأَعْطُوا الطَّرِيقَ حَقَّهُ قَالُوا وَمَا حَقُّ الطَّرِيقِ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ غَضُّ الْبَصَرِ وَكَفُّ الأَذَى وَرَدُّ السَّلاَمِ وَاْلأَمْرُ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيُ عَنِ الْمُنْكَرِ
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”. Maka para Sahabat berkata, “Kami tidak dapat meninggalkannya, karena merupakan tempat kami untuk bercakap-cakap.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jika kalian enggan (meninggalkan bermajelis di jalan), maka berilah hak jalan.” Sahabat bertanya, “Apakah hak jalan itu?” Beliau menjawab, “Menundukkan pandangan, menghilangkan gangguan, menjawab salam, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 1150, Muslim, Abu Dawud (4816). Lihat Silsilah Al Ahadits Ash Shahihah 6/11-13)

Komentarku ( Mahrus ali ):

Arti yang pas sbb:

…………..dari Abu Sa'id AL Khudriy radliallahu 'anhuma dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah kalian duduk duduk di pinggir jalan". Mereka bertanya: "Itu kebiasaan kami yang sudah biasa kami lakukan karena itu menjadi majelis tempat kami bercengkrama". Beliau bersabda: "Jika kalian tidak mau meninggalkan majelis seperti itu maka tunaikanlah hak jalan tersebut". Mereka bertanya: "Apa hak jalan itu?" Beliau menjawab: "Menundukkan pandangan, menyingkirkan halangan ( gangguan atau kotoran ), menjawab salam dan amar ma'ruf nahiy munkar".

 

Anda menerjemahkan sbb:

“Janganlah kamu duduk-duduk di jalan”

Saya menerjemahkan sbb:

"Janganlah kalian duduk duduk di pinggir jalan"

Jadi bukan duduk di jalan tapi di pinggirnya. ……………

Hadis itu menurut  anda sebagai tanda wanita boleh membuka wajah dan kedua tapak tangan bukan kaki atau dada, mengapa demikian ini terjadi. Pada hal , hadis tsb tidak menyinggung masalah menutup atau membuka aurat. Mungkin anda memiliki paham ada perintah menundukkan pandangan, berarti ada aurat yang terbuka dari wanita. Pada hal wanita yang lewat di jalan di negara Islam maupun waktu nabi bukan saja wanita muslimah, tapi juga wanita non muslim yang biasanya menampakkan aurat dan jarang sekali dari mereka yang mau menutupinya.. Lihat saja firman Allah:

لَئِن لَّمْ يَنتَهِ الْمُنَافِقُونَ وَالَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٌ وَالْمُرْجِفُونَ فِي الْمَدِينَةِ لَنُغْرِيَنَّكَ بِهِمْ ثُمَّ لَا يُجَاوِرُونَكَ فِيهَا إِلَّا قَلِيلاً ﴿٦٠﴾

060. Sesungguhnya jika tidak berhenti orang-orang munafik, orang-orang yang berpenyakit dalam hatinya dan orang-orang yang menyebarkan kabar bohong di Madinah (dari menyakitimu), niscaya Kami perintahkan kamu (untuk memerangi) mereka, kemudian mereka tidak menjadi tetanggamu (di Madinah) melainkan dalam waktu yang sebentar,   Al Ahzab

Ayat itu menunjukkan orang – orang di Madinah bukan di kota lain  di saat Rasulullah SAW tidak hanya kaum muslimin tapi ada juga kaum kafirin dan munafiqin.

 

Anda menyatakan lagi:

Juga sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Ali radhiallahu ‘anhu,
يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعِ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ
“Wahai Ali, janganlah engkau turutkan pandangan (pertama) dengan pandangan (kedua), karena engkau berhak (yakni, tidak berdosa) pada pandangan (pertama), tetapi tidak berhak pada pandangan (kedua).” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh Al Albani dalam Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77)

Menurut terjemahan saya sbb:

سنن الترمذي ٢٧٠١: حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ أَخْبَرَنَا شَرِيكٌ عَنْ أَبِي رَبِيعَةَ عَنْ ابْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ رَفَعَهُ قَالَ يَا عَلِيُّ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ لَكَ الْأُولَى وَلَيْسَتْ لَكَ الْآخِرَةُ

قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ لَا نَعْرِفُهُ إِلَّا مِنْ حَدِيثِ شَرِيكٍ

Sunan Tirmidzi 2701: Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr telah mengabarkan kepada kami Syarik dari Abu Rabi'ah dari Ibnu Buraidah dari Ayahnya ia memarfu'kan (menyambungkan sampai Nabi shallallahu 'alaihi wasallam), sabdanya; "Wahai Ali, janganlah kamu ikuti pandangan yang pertama dengan pandangan berikutnya, karena yang pertama untukmu dan yang kedua bukan lagi untukmu." Abu Isa berkata; Hadits ini hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Syarik.

Komentarku ( Mahrus ali ):

Imam  Tirmidzi sendiri menyatakan hadis tsb adalah nyeleneh, unik bukan biasa, dan hanya jalur itu yang di jumpainya bukan jalur lain. Ini sebagai tanda bahwa hadis tsb harus di kaji ulang bukan di abaikan saja, Sanadnya terdapat nama Syarik yang suka berkata  benar tapi sering keliru bukan jarang.

  شَرِيْكٌ ابْنُ عَبْدِ اللهِ ابْنِ أَبِي نَمِرٍ القُرَشِى ، أَبُو عَبْدِ اللهِ المَدَنِى ، و قِيلَ اللَّيْثِى ) مِنْ أَنْفُسِهِمْ ، قَالَهُ الوَاقِدِى )
الطَّبَقَةُ : 5 : مِنْ صغارِ التَّابِعِينَ
الْوفاةُ : 140 ه تَقْريبَا
مَرْتَبَتُهُ عِنْدَ اِبْنِ حَجَرِ : صَدُوقٌ يُخْطِىءُ
مَرْتَبَتُهُ عِنْدَ الذَّهَبِيِ : قَالَ  ابْنُ مُعِينِ : لَا بَأْسَ بِهِ ، و قَالَ النسائى : لَيْسَ بِالْقَوى

Syarik anak Abdullah bin Abi Nimr al-Qurashi, Abu Abdillah, al madani, dan dikatakan Leitsy ( dari diri mereka sendiri, kata Waaqidi)
Kelas: 5:  Yunior Tabiin
Kematian:  kurang lebih 140 H
Peringkat menurut Ibnu Hajar : Dia  selalu berkata benar tapi keliru
Peringkat menurut Dzahabi : Kata  Ibnu Main, tiada masalah
dan Nasai berkata: Dia tidak kuat ( lemah ).

   Seluruh jalur baik menurut riwayat Ahmad , Abu dawud melalui jalur Syarik. Bahkan ada pula yang dari jalur  sbb :
سنن الدارمي ٢٥٩٣:  أَخْبَرَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ عَنْ سَلَمَةَ بْنِ أَبِي الطُّفَيْلِ عَنْ عَلِيٍّ قَالَ لِي قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُتْبِعْ النَّظْرَةَ النَّظْرَةَ فَإِنَّ الْأُولَى لَكَ وَالْآخِرَةَ عَلَيْكَ
Sunan Darimi 2593: Telah mengabarkan kepada kami Abu Al Walid Ath Thayalisi telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Muhammad bin Ishaq dari Muhammad bin Ibrahim dari Salamah bin Abu Ath Thufail dari Ali ia berkata kepadaku bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Janganlah engkau terus menerus memandang (sesuatu yang haram), karena pandangan pertama adalah boleh untukmu, sedangkan pandangan selanjutnya adalah haram bagimu."
Komentarku ( Mahrus ali ):
Ya`ni berdosa  untuk pandangan kedua. Maksud yang pertama adalah pandangan yang tidak disengaja. Bukan disengaja untuk pandangan pertama lalu di lamakan dan di anggap tidak berdosa berlandaskan hadis tsb. Ini kekeliruan bukan kebenaran.
Hadis tsb lemah bukan sahih  karena ada perawi bernama Salamah bin Abu Ath Thufail yang  tidak dikenal , tiada ulama ahli hadis yang mengetahui identitasnya. Dan ini sangat rancu untuk di buat pegangan, tapi harus di hilangkan saja dan ambillah ayat al quran.

لِسَانُ الْمِيزَانِ ( ج 1 / ص 446 )
سَلْمَةُ ابنُ أَبِي الطُّفَيْلِ : قَالَ اِبْنُ خَرَّاشٍ : مَجْهُولٌ اِنْتَهَى . وَذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانِ فِي الثِّقَاتِ وَقَالَ يَرْوِى عَنْ عَلِيي رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ رَوَى عَنْه مُحَمَّدٌ بنُ إبْرَاهِيم التَّيْمِيّ وَهُوَ الَّذِي يَقُولُ فِيه فَطُر سَلْمَةُ بُنِّ الطفيل .
الْمُغْنِي فِي الضّعفاءِ لِلْذَّهَبِيِ ( ج 1 / ص 130 )
2541
سلمةَ بُنِّ أَبِي الطفيل
قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ بنُ خَرَّاشٌ الْحافِظُ مَجْهُولٌ

Lisanul mizan  (Juz 1 / hal 446)

Ibnu Hajar al asqalani berkata:
Salamah Ibnu Abi Thufail : Ibnu Kharrasy berkata: Dia tidak diketahui atau di kenal . Dan disebutkan oleh Ibnu Hibban: Dia dipercaya dan dia bercerita dari Ali ra dan dari dia diriwayatkan oleh Muhammad bin Ibrahim Taymi

Dia di sebut sebagai Fithr  Salmah bin Abut Thufail
Al Mughni fi dhuafa` karya Dhahabi (Juz 1 / hal 130)
2541 Salamah bin Abi Tufail
Abdul-Rahman bin Khrash Al-Hafiz menyatakan ; Dia tidak dikenal.

Komentarku ( Mahrus ali ):

Biasanya dalam mustholah ahli hadis, perawi yang tidak dikenal itu bisa membikin hadisnya palsu, bukan lemah, hasan atau sahih. Hadis palsu harus di singkirkan.

 

Anda menyatakan lagi:

Jarir bin Abdullah berkata,
سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ نَظْرَةِ الْفَجْأَةِ فَقَالَ اصْرِفْ بَصَرَكَ
Aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang pandangan tiba-tiba (tidak sengaja), maka beliau bersabda, “Palingkan pandanganmu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, dan lainnya. Lihat Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 78)
Komentarku ( Mahrus ali ):
Hadis tsb tidak menunjukkan bahwa wanita diperkenankan buka auratnya dan aurat paling menarik adalah wajah bukan kaki atau rambut kepala. Mestinya lebih layak di tutupi bukan  di buka.
Anda menyatakan lagi:
Al Qadhi ‘Iyadh berkata, “Para ulama berkata, di sini terdapat hujjah (argumen) bahwa wanita tidak wajib menutupi wajahnya di jalan, tetapi hal itu adalah sunah yang disukai. Dan yang wajib bagi laki-laki ialah menahan pandangan dari wanita dalam segala keadaan, kecuali untuk tujuan yang syar’i (dibenarkan agama). Hal itu disebutkan oleh Muhyiddin An Nawawi, dan beliau tidak menambahinya.” (Adab Asy Syar’iyyah I/187, karya Ibnu Muflih. Lihat: Jilbab Al Mar’ah Al Muslimah, hal. 77).
Komentarku ( Mahrus ali ):
Pernyataan al Qadhi Iyadh itu perlu dalil yang kuat dan beliau tidak membawakan dalil yang kuat. Bila wajah boleh dibuka bukan harus di tutupi  mana dalilnya dan kapan istri – istri Rasulullah SAW mengajarkan seperti itu. Bahkan peraktek wanita – wanita sahabat bukan wanita sekarang  sama menutupi wajahnya bukan membukanya..
Syaikh Saleh Al Utsaimin menyatakan:
مؤلفات العثيمين - (ج 8 / ص 34)

اِعْلَمْ أَيُّهَا الْمُسْلِمُ أَنْ اِحْتِجَابَ المرأة عَنْ الرِّجَالِ الْأَجَانِب وَتَغْطِيَةَ وَجْهِهَا أَمرَّ وَاجِبٌ دَلِّ عَلَى وُجُوبِهِ كِتَابُ رَبِّكَ تَعَالَى ، وَسُنَّةُ نَبِيِّكَ مُحَمَّدِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيه وَسُلَّمَ ، وَالْاِعْتِبارُ الصَّحِيحُ ، وَالْقِيَاسُ الْمُطَّرِدُ :

 

Ketahuilah bahwa perempuan Muslim berhijab dimuka  pria lain dan menutup muka adalah perintah wajib dari petunjuk kitab  Tuhanmu dan Sunnah Nabi Muhammad saw, dan pemahaman yang benar, dan qiyas yang sahih.

Sumber: Muallafat Al Utsaimin 34/8

 

Komentarku ( Mahrus ali ):

Tanpa kiyas dalam hal ini, cukup dengan ayat 59 Ahzab

Ummu Kholid berkata:

قَوْلُهُ تَعَالَى :{ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ }. فَإِنَّ الْخِمَارَ مَا تُخَمِّرْ بِهِ المْرْأَةُ رَأَّسَهَا وَتُغَطِّيهُ بِهِ كَالْْغَدَفَةِ فَإذاَ كَانَتْ مَأْمُوْرَةً بِأَنْ تُضْرِبَ بِالْخِمَارِ عَلَى جَيْبِهَا كَانَتْ مَأْمُوْرَةً بِسَتْرِ وَجْهِهَا ، إِمَّا لِأَنَّه مِنْ لاَزِمِ ذَلِكَ ، أَوْ بِالْقِيَاسِ فَإِنَّه إذاً وَجَبَ سَتْرُ النَّحْرِ وَالصَّدْرِ كَانَ وُجُوبُ سَتْرِ الْوَجْهِ مِنْ بَابِ أَوْلَى ؛ لِأَنَّه مَوْضِعُ الْجَمَالِ وَالْفِتَنَةِ . فَإِنَّ النَّاسَ الَّذِينَ يَتَطَلَّبُونَ جَمَالَ الصُّوَرَةِ لَا يَسْأَلُونَ إلّا عَنِ الْوَجْهِ ، فَإذاً كَانَ جَمِيلَا لَمْ يَنْظُرُوا إِلَى مَا سِوَاهُ نَظَرًا ذََا أَهِمِّيَّةِ . وَلِذَلِكَ إذاً قَالُوا فُلاَنَةً جَمِيلَةٌ لَمْ يَفِهُمْ مِنْ هَذَا الْكَلاَمِ إلّا جَمَالُ الْوَجْهِ فَتَبَيَّنَ أَنْ الْوَجْهِ هُوَ مَوْضِعُ الْجَمَالِ طَلَبَا وَخَبَرَا ، فَإذاً كَانَ كَذَلِكَ فَكَيْفَ يُفْهِمُ أَنْ هَذِهِ الشَّرِيعَةَ الْحَكِيمَةَ تَأَمَّرَ بِسَتْرِ الصَّدْرِ وَالنَّحْرِ ثَمَّ تُرَخِّصُ فِي كَشْفِ الْوَجْهِ .

Firman Allah :Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka. [An Nur : 31]
. Kerudung  adalah apa yang di buat oleh  perempuan untuk menutupi  kepala seperti potongan kain . Jika perempuan diperintahkan untuk menutupi kepala sampai belahan baju lehernya maka sudah tentu diperintahkan untuk menutupi wajahnya, baik karena lazimnya atau keharusannya , atau karena kiyas, J ika menutupi leher  dan dada di wajibkan  maka lebih – lebih  untuk menutupi wajah, Karena wajah merupakan subyek dari keindahan dan fitnah. Orang-orang yang membutuhkan keindahan tidak bertanya kecuali wajah, Jika wajahnya cantik maka tidak perlu melihat hal lain.

 Oleh karena itu jika mereka mengatakan perempuan itu cantik, maka mereka  tidak memahami pembicaraan kecuali tentang kecantikan wajah  Jelas bahwa wajah adalah obyek dari aplikasi dan berita kecantikan, Jika demikian, bagaimana dipahami bahwa sariat yang bijaksana memerintah menutupi leher dan dada kemudian memperbolehkan buka wajah

Sumber: http://www.islam-sister.com/showthread.php?t=10444

Komentarku ( Mahrus ali ):

Tiada jalan lain bagi wanita muslim  yang membuka wajah kecuali harus merenung kembali sebelum ajal menjemputnya Dan tiada gunanya perenungan setelah kematian. Sangat di sayngkan bila  belum bisa mengambil langkah yang benar yang cocok dengan ajaran Allah yang Maha Bijak bukan ajaran pendapat manusia yang serba nafsu.

Bersambung……
Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan