Nukitab Salafiwahabi
mengirimkan sesuatu di DUKUNG USTADZ H. MAHRUS ALI DKK
Apa Hubungan Tarekat, Theosofi
Yahudi, dan NU...
Nukitab Salafiwahabi
26 Juni 0:53
Apa Hubungan Tarekat, Theosofi
Yahudi, dan NU dalam Mendukung Penjajah dan Menghadapi Islam?
blavatsky-theosophy
nu
Akhir-akhir ini semakin
berani adanya kelompok tertentu yang menyelisihi Ummat Islam pada umumnya dalam
mengawali puasa Ramadhan dan Idul Fithri. Seolah bahkan unjuk gigi. Di antara
yang jelas-jelas menyelisihi itu adalah kelompok Tarekat Naqsabandiyah Sumatera
Barat. Ramadhan 1432 H/ 2011, mereka mendahului keputusan pemerintah dua hari. Sehingga
mereka telah memulai puasa Ramadhan hari Sabtu 30 Juli 2011, padahal keputusan
pemerintah Indonesia bahkan Saudi Arabia dan lain-lain awal Ramadhan 1432 H
adalah hari Senin 1 Agustus 2011.
Secara petunjuk dari Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengawali puasa dan berhari raya Idul
Fithri itu adalah dengan melihat hilal (bulan sabit tanda tanggal satu), atau
kalau tertutup awan (tidak terlihat) maka bulannya disempurnakan 30 hari. Di
samping itu, mengawali puasa Ramadhan dan berhari raya itu sesuai dengan
keadaan masyarakat, awal puasa pada saat mereka mengawali puasa, dan berhari
raya saat mereka berhari raya.
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ ، وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ
“Berpuasalah karena melihat
hilal, begitu pula berhari rayalah karena melihatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ وَانْسُكُوا لَهَا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا ثَلَاثِينَ فَإِنْ شَهِدَ شَاهِدَانِ فَصُومُوا وَأَفْطِرُوا
“Berpuasalah kalian karena
melihatnya, berbukalah (berhari raya Fithri lah) kalian karena melihatnya dan
sembelihlah kurban karena melihatnya pula. Jika -hilal- itu tertutup dari
pandangan kalian, sempurnakanlah menjadi tiga puluh hari, jika ada dua orang
saksi, berpuasa dan berbukalah kalian.”( HR. An Nasai no. 2116. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dalam hadits ini
dipersyaratkan dua orang saksi ketika melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Namun
untuk hilal Ramadhan cukup dengan satu saksi karena hadits ini dikhususkan
dengan hadits Ibnu ‘Umar yang telah lewat. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/ 92).
Di samping itu ada sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الصَّوْمُ
يَوْمَ تَصُومُونَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa kalian ditetapkan
tatkala mayoritas kalian berpuasa, idul fithri ditetapkan tatkala mayoritas
kalian beridul fithri, dan idul adha ditetapkan tatkala mayoritas kalian
beridul adha.” ( HR. Tirmidzi no. 697. Beliau mengatakan hadits ini hasan
ghorib. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih). Ketika
menyebutkan hadits tersebut, Abu Isa At Tirmidzi rahimahullah menyatakan, ”Sebagian
ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Puasa dan hari raya hendaknya
dilakukan bersama jama’ah (yaitu pemerintah kaum muslimin) dan mayoritas
manusia (masyarakat)”. ” (lihat http://muslim.or.id/ramadhan/menentukan-awal-ramadhan-dengan-hilal-dan-hisab.html,
atau lihat http://nahimunkar.com/pemerintah-putuskan-awal-puasa-ramadhan-1432h-senin-1-agustus-2011/)
Berita tentang pengumuman
pemerintah mengenai awal Ramadhan 1432H dan penyelisihan kelompok Tarekat
Naqsabandiyah Sumatera Barat sebagai berikut:
Pemerintah akhirnya
memutuskan awal puasa Ramadhan 1432H jatuh pada Senin, 1 Agustus 2011. Keputusan
ini diambil dalam siding itsbat di Kementerian Agama, yang dipimpin Menteri
Agama, Suryadharma Ali, Ahad, 31 Agustus 2011. Dari 38 lokasi yang tersebar di
seluruh Indonesia, tiga
lokasi melihat penampakan hilal yaitu di Makassar,
Gresik, dan Bangkalan.
Permulaan puasa 1 Agustus
juga akan berlaku di Kuwait,
Qatar, Uni
Emirat Arab, dan Yaman. Di Indonesia, permulaan puasa Ramadan juga akan
berlangsung 1 Agustus.
Sementara itu, sejumlah umat
Islam dari pengikut Tarekat Naqsabandiyah Islam tradisional di Sumatera Barat
sudah mulai puasa sejak Sabtu, 30 Juli 2011. Pimpinan jemaah Naqsabandiyah
untuk Musala Baitul Makmur di Pasar Baru, Kecamatan Pauh, Kota Padang, Syafri
Malin Mudo, mengatakan berdasarkan hisab ajaran Naqsabandiyah penetapan awal
Ramadan, Idul Fitri, dan Idul Adha selalu lebih awal 2 hari dari versi
pemerintah.
“Hal itu didasarkan pada
metode hisab Munjid yang digunakan Tarekat Naqsabandiyah yang berasal dari
Mekkah, Arab Saudi. Berdasarkan kalender kami, 1 Ramadan 1432 Hijriah jatuh
hari Sabtu 30 Juli 2011,” kata Syafri, Minggu 30 Juli 2011.
Masjid pengikut ajaran ini
juga terdapat di sejumlah kota
dan kabupaten lain di Sumatera Barat. Pengikut Naqsabandiyah di Kota Padang lebih dari 3.000
orang, sedangkan di Sumatera Barat sekitar 8.000 orang.
TEMPO Interaktif, MINGGU, 31
JULI 2011 | 18:43 WIB (http://nahimunkar.com/pemerintah-putuskan-awal-puasa-ramadhan-1432h-senin-1-agustus-2011/)
Pantas dipertanyakan, apa
latar belakang Tarekat Naqsabandiyah menyelisihi pelaksanaan awal Ramadhan, dan
juga biasanya menyelisihi dalam berhari raya Idul Fithri itu? Karena sebenarnya
dalam Islam sudah ada petunjuk dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bagaimana
tatacara untuk mengawali puasa Ramadhan, dan menentukan hari raya, seperti
tercantum dalam hadits-hadits shahih yang telah dijelaskan oleh para ulama
tersebut. Sedangkan Islam ini ketika sudah ada petunjuk dari Allah dan Rasul-Nya,
maka tidak ada pilihan yang lain-lain lagi. Dalilnya firman Allah Ta’ala:
وَمَا
كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ
يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki
yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan
Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang
lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya
maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs al-Ahzab 33:36).
Jadi sebenarnya, ada apa di
balik Tarekat Naqsabandiyah Sumatera Barat?
Mari kita lihat kaitannya
dengan gerakan kebatinan Yahudi yakni Theosofi dan juga gerakan kaum Adat di
Sumatera Barat. Inilah uraiannya, sebuah tulisan dari pengamat tentang Yahudi, Artawijaya:
Gerakan Theosofi dan Kaum
Adat di Minangkabau
Datuk-Sutan-Maharadja
Datuk Sutan Maharadja, tokoh
adat, penganut tarekat, penganut Theosofi Yahudi, penentang kelompok Islam
Theosofi adalah perkumpulan
sinkretisme yang kemudian banyak melahirkan istilah-istilah baru, seperti agama
kemanusiaan, agama budi, agama kemerdekaan, agama universal dan lain-lain.
Theosofi adalah organisasi
kebatinan yang didirikan oleh para Yahudi dan aktivis Freemasonry, yaitu: Helena
Petrovna Blvatsky, Henry Steel Olcott, William Quan Judge, Dr Annie Besant, dan
Charles Webster Leadbeater. Mereka adalah orang-orang yang bergiat dalam
diskusi-diskusi mengenai okultisme, ancient wisdom (kearifan kuno), dan doktrin-doktrin
kabbalah. Mereka kemudian mendirikan the Theosophical Society (Masyarakat
Theosofi) pada tahun 1875 di New York,
Amerika Serikat.
Apa itu organisasi Theosofi? Dalam
situs www.theosofi-indonesia.com, dijelaskan, “Theosofi adalah sebuah badan
kebenaran yang merupakan dasar dari semua agama, yang tidak dapat dimiliki dan
dimonopoli oleh agama atau kepercayaan manapun. Theosofi menawarkan sebuah
filsafat yang membuat kehidupan menjadi dapat dimengerti, dan Theosofi
menunjukkan bahwa keadilan dan cinta-kasihlah yang membimbing evolusi kehidupan.”
Dari penjelasan di atas, maka
bisa disimpulkan bahwa, Theosofi menganggap bahwa kebenaran adalah dasar semua
agama yang tidak bisa dimonopoli oleh agama atau kepercayaan apapun. Dengan
kata lain, tidak boleh ada satu agama manapun yang merasa keyakinannya paling
benar. Semua agama, selama membawa kebenaran dan kebaikan, menurut Theosofi
pada hakikatnya sama. Kebenaran yang dimaksud oleh Theosofi adalah kesatuan
hidup menuju pada Yang Satu, sedangkan kebaikan adalah wujud dari pengabdian
kepada kemanusiaan. Theosofi berkeyakinan, “There is no religion higher than
truth” (Tidak ada agama yang lebih tinggi daripada kebenaran). (http://www.suara-islam.com/news/kajian-dan-dakwah/freemasonry/2335-doktrin-pluralisme-agama-jil-dan-theosofi-bag2)
***
Penganut Theosofi di
Minangkabau menolak penegakkan syariat yang dianggap ancaman terhadap adat
istiadat Minangkabau. Padahal syariat yang ingin ditegakkan ketika itu hanyalah
ingin menghapus adat istiadat yang bertentangan dengan akidah Islam.
Gerakan Theosofi tak hanya
ada di Tanah Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat, organisasi kebatinan Yahudi
ini juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka yang dididik di sekolah-sekolah
milik pemerintah kolonial, elit setempat yang memiliki kedekatan dengan Belanda,
dan para penganut tarekat. Para penganut tarekat menganggap Theosofi sama
dengan tasawuf, sebagaimana anggapan ini juga pernah hinggap pada Haji Agoes
Salim yang sempat menjadi anggota Theosofi dan kemudian keluar dari keanggotaan
setelah mengetahui tujuan sesungguhnya dari Theosofi yang tidak sejalan dengan
Islam. Haji Agoes Salim bahkan pernah menerjemahkan buku berjudul “Kitab
Theosofi” yang ditulis oleh tokoh Theosofi dunia, Charles Webster Leadbeater.
Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut
Theosofi di Minangkabau juga memiliki kedekatan dengan pemerintah Belanda. Mereka
juga terlibat dalam permusuhan dengan kelompok Islam, utamanya mereka yang
menginginkan ajaran Islam bersih dari unsur-unsur tradisi dan adat istiadat
yang bukan berasal dari Islam atau yang bertentangan dengan Islam. Di Sumatera
Barat, tokoh kaum adat yang menginginkan tradisi tetap berada di atas (mengungguli?,
red nm) hukum syariat, adalah mereka yang tercatat sebagai penganut organisasi
Theosofi. Sedangkan mereka yang menginginkan tradisi Minangkabau bersih dari
unsur-unsur bid’ah, khurafat, dan takhayul yang berasal dari tradisi di luar
Islam, disebut sebagai kaum muda Islam. Namun, kaum adat menyebut mereka yang
ingin mengadakan pemurnian ajaran Islam ini dengan sebutan “Kelompok Paderi”
atau “penganut Wahabi”.
Dalam sejarah tercatat, mereka
yang dituduh sebagai pewaris gerakan Paderi dan pembawa paham Wahabi, serta
penentang kelompok adat adalah Syekh Abdul Karim Amrullah (ayah dari Buya Hamka),
Haji Miskin, Haji Abdullah Ahmad, Syekh Djamil Djambek, dan Syekh Achmad Khatib.
Mereka sendiri tidak pernah menyebut dirinya sebagai kelompok Wahabi dan tak
pernah juga menyatakan dirinya sebagai pewaris gerakan Paderi. Semua label itu
diberikan oleh kaum adat, yang pada masa lalu khawatir bahwa adat istiadat, tradisi
dan budaya Minangkabau tergerus dengan syariat Islam. Namun begitu, kelompok
yang dituduh sebagai penganut Wahabi berhasil menjadikan Minangkabau sebagai
wilayah yang kental dengan nuansa syariat Islam, dengan semboyannya yang
terkenal hingga kini: Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah!
Siapa tokoh penganut Theosofi
di Sumatera Barat? Diantara tokoh kaum adat yang juga penganut Theosofi adalah
Datuk Sutan Maharadja. Selain penganut Theosofi, Sutan Maharadja juga
dikabarkan sebagai penganut Tarekat Martabat Tujuh. Datuk Sutan Maharadja yang
bernama asli Mahyudin lahir pada 27 November 1862 di daerah Sulit Air, Solok, Sumatera
Barat. Ia menamatkan pendidikan di Europeesche Lagere School (ELS),sekolah elit
yang kebanyakan muridnya anak-anak tuan-tuan Belanda. Sutan Maharadja bisa
mengenyam pendidikan di sekolah tersebut karena kedekatan ayahnya dengan
pemerintah kolonial. Seperti keterangan sejarawan Deliar Noer, Sutan Maharadja
dikenal sengit dalam menentang kelompok Islam.
Ayah Sutan Maharadja bernama
Datuk Bandaro. Sosok sang ayah dikenal sangat memusushi ulama dan menjunjung
tinggi adat istiadat. Datuk Bandaro mengkhawatirkan sepak terjang para ulama
yang berusaha memurnikan ajaran Islam dari tradisi dan adat istiadat di luar
Islam, sebagai pewaris gerakan Paderi atau penganut Wahabi yang ingin
menghapuskan adat dan tradisi Minangkabau. Padahal, apa yang dilakukan para
ulama ketika itu, sekadar membersihkan Minangkabau dari adat dan tradisi yang
bertentangan dengan Islam. Para ulama ketika
itu dengan tegas menyatakan bahwa Islam yang merupakan jati diri rakyat
Minangkabau harus bersih dari adat dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Datuk Sutan Maharadja
terinspirasi dengan Gerakan Turki Muda (Young Turk Movement) yang dipelopori
oleh seorang Yahudi Dunamah anggota Freemason, Mustafa Kemal At-Taturk. Karena
terinspirasi dengan revolusi yang terjadi di Turki, Sutan Maharadja kemudian
mendirikan kelompok kaum adat dengan tujuan menjaga kelestarian adat istiadat
Minangkabau dan menjauhkannya dari pengaruh Kesultanan Aceh, yang pada masa
lalu sangat menjalin erat dengan Khilafah Utsmaniyah di Turki. Oleh para
pendukungnya, Sutan Maharadja kemudian mendapat gelar “Datuk Bangkit” karena
usahanya untuk membangkitkan kembali adat istiadat Aceh, yang menurutnya pada
masa lalu sudah tercemar oleh pengaruh kesultanan Aceh.
Datuk Sutan Maharadja selalu
menyatakan dirinya sebagai penganut Theosofi. Ia juga menegaskan pentingnya
pendidikan Barat dan perlunya menjaga keteguhan adat istiadat Minangkabau dari
pengaruh luar, khususnya Aceh yang berjuluk “Serambi Makkah.” Untuk melawan
gerakan kaum muda yang ia sebut sebagai pewaris “Kelompok Paderi dan Wahabi” ia
dan beberapa bangsawan Minangkabau kemudian mendirikan Sarikat Adat Alam
Minangkabau (SAAM) pada 1916.
Untuk menyampaikan gagasan-gagasan
dan mengkonter pemahaman yang ia sebut sebagai “Wahabi”, Sutan Maharadja
kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam slogannya, surat kabar ini menulis, “Tegoehlah
Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda,
red)”. Dengan slogan ini, jelaslah bahwa Oetoesan Melayoe sangat pro terhadap
pemerintah kolonial Belanda, dan dalam artikel-artikelnya juga sangat jelas
mendukung pemerintah Hindia Belanda.
Sutan Maharadja menyerang
kelompok kaum muda lewat tulisan-tulisannya di surat kabar yang ia pimpin. Ia dengan tegas
menolak upaya kaum muda dengan ajaran-ajaran syariatnya yang ingin menghapus
adat dan tradisi Minangkabau. Pertentangan ini sampai membuat Haji Abdullah
Ahmad, tokoh Islam yang disebut Wahabi oleh Sutan Maharadja, menyebut kelompok
kaum adat, terutama Sutan Maharadja sendiri, “Tak tentu agamanya dan tak tentu
adatnya.”
Selain Sutan Maharadja, tokoh
kelompok Sarikat Alam Adat Minangkabau (SAAM) yang menjadi anggota Theosofi
adalah Abdul Karim. Selain menolak penegakkan syariat Islam, pada masa lalu
SAAM juga menolak pelajaran Islam masuk dalam sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka
khawatir, pelajaran agama Islam yang masuk ke sekolah-sekolah adalah pelajaran
yang mengadopsi pemahaman Wahabi yang bisa menjadi ancaman bagi adat istiadat
masyarakat Minangkabau.
Untuk menolak pelajaran agama
Islam di sekolah-sekolah, kaum adat kemudian membuat artikel di Surat Kabar
Oetoesan Melayoe pada 28 Oktober 1918. Mereka menulis,”Relakah orang-orang
Theosofi seperti Engku A Karim dan lain-lain bila anak kemenakan beliau itu
akan dapat pelajaran agama Islam di sekolah, yaitu kalau yang diajarkan agama
Islam itu hanya fekah (fikih) atau hukum syara’ saja? Kecuali kalau yang akan
diajarkan di sekolah itu ialah pelajaran yang perbaikan hati, pensucian hati, supaya
berhati suci dan berhati mulia. Sedang sekolah-sekolah agama Islam yang
diadakan sekarang kalau cuma namanya saja yang sekolah agama Islam, padahal
yang diajarkan melainkan hukum syara’ atau fikih saja. Pendeknya, yang
diajarkan adalah Arabich Cultuur (Kultur Arab).”
Selain memuat penolakan
terhadap pelajaran agama Islam di sekolah-sekolah, kaum adat yang dimotori oleh
Sutan Maharadja juga membuat fitnah dengan mengatakan bahwa sekolah Adabiah yang
dikelola oleh Haji Abdullah Ahmad memungut biaya yang sangat mahal kepada anak-anak
didiknya. Kemudian, dengan bahasa yang sangat menjilat kaum adat meminta kepada
pemerintah Belanda untuk membangun sekolah HIS (Holland Inlands School) lainnya
di Minangkabau.
Pada masa lalu, di
Minangkabau kelompok yang disebut pewaris Kelompok Paderi dan penganut paham
Wahabi memang menolak keberadaan Theosofi dan kelompok-kelompok tarekat lainnya
yang dianggap berseberangan dengan akidah Islam. Untuk membantah kelompok kaum
muda yang disebut Wahabi, Sutan Maharadja kemudian membuat sebuah tulisan di
Oetoesan Melayoe pada 11 Juni 1917 dengan judul “Theosofie dan SAAM (Sarikat
Alam Adat Minangkabau”. Ia menulis, “…sepanjang kata murid Haji Abdullah Ahmad
itu, Theosofi dikatakan sebagai agama baru. Dikatakan agama baru oleh murid
Haji Abdullah Ahmad, karena pada gurunya tak ada ilmu tasauf dan tidaklah ia
tahu bahwa ilmu tasauf itu bukanlah agama baru, melainkan sudah sejak dari
zaman Nabi Adam. Theo itu artinya “Allah”. Sofie itu artinya ilmu. Jadi
Theosofie itu ilmu Allah, ma’rifatullah…” demikian tulis Sutan Maharadja.
Benarkah Theosofi itu tasauf
dan ilmu mengenal Allah? Dalam buku The Key to Theosophy, Blavatsky mengatakan,
Theosofi adalah the wisdom religion (agama kebijaksanaan) yang berusaha
mempersatukan agama-agama dalam sebuah “Kesatuan Hidup” yang selaras dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Tujuan Theosofi, kata Blavatsky, sama dengan apa yang
dilakukan oleh seorang Yahudi bernama Ammonius Saccas, yang berusaha mengajak
para gentiles/goyim (non Yahudi), para pemeluk Kristen, pemuja dewa-dewa, untuk
mengenyampingkan tuntutan mereka dengan mengingat bahwa mereka memiliki
kebenaran yang sama. Agama menurutnya, adalah tunas-tunas dari batang pohon
yang sama, yaitu the wisdom religion.
Theosofi mempunyai misi
menyatukan agama-agama dalam sebuah puncak persaudaraan universal, yang pada
ujungnya justru menihilkan sama sekali agama-agama yang ada. Karena, masing-masing
orang tidak boleh merasa agamanya yang paling benar, dan masing-masing orang
harus mengakui bahwa semua agama sama, menuju pada yang sama, dan mengabdi pada
kemanusiaan. Theosofi adalah perkumpulan sinkretisme yang kemudian banyak
melahirkan istilah-istilah baru, seperti agama kemanusiaan, agama budi, agama
kemerdekaan, agama universal dan lain-lain. Dan, atas nama “menjaga kearifan
lokal masa lalu” kelompok Theosofi pada masa lalu juga berusaha menjadikan
nilai-nilai tradisi berada di atas agama. Jadi, agama tak boleh mengalahkan
tradisi. Inilah yang juga menjadi sikap Datuk Sutan Maharadja, yang berusaha
mati-matian untuk menjaga agar adat istiadat dan tradisi tak terhapus oleh
ajaran-ajaran yang dibawa oleh syara’.
Jika Sutan Maharadja memang
anggota Theosofi sejati, tentu ia sangat tahu siapa saja pendiri Theosofi, apa
latarbelakangnya, dan bagaimana ajaran-ajarannya. Jika ia sudah tahu tapi masih
menjadi penganut Theosofi, maka bisa dipastikan ia tak lain adalah kepanjangan
tangan pemerintah kolonial, yang pada masa lalu banyak dari elit-elitnya adalah
anggota Theosofi dan Freemason. Sebagai aliran kebatinan Yahudi yang memiliki
banyak pemahaman sesat seperti pluralisme agama, kesatuan wujud hamba dengan
Tuhan (manunggaling kawula gusti), kesatuan Tuhan bagi semua agama-agama yang
ada, tentu Theosofi sangat berbahaya bagi masyarakat Minangkabau yang begitu
berurat berakar dengan jatidiri keIslamannya.
Artawijaya
Penulis buku “Gerakan
Theosofi di Indonesia” dan “Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara” Pustaka
Al-Kautsar, Jakarta
http://suara-islam.com/, Wednesday,
03 August 2011 15:11 | Written by Shodiq Ramadhan |
Mendukung Penjajah Belanda, Memusuhi
Islam
Butir-butir yang penting
dalam uraian tersebut di antaranya:
Gerakan Theosofi tak hanya
ada di Tanah Jawa. Di Minangkabau, Sumatera Barat, organisasi kebatinan Yahudi
ini juga memiliki banyak pengikut. Terutama mereka yang dididik di sekolah-sekolah
milik pemerintah kolonial, elit setempat yang memiliki kedekatan dengan Belanda,
dan para penganut tarekat. Para penganut tarekat menganggap Theosofi sama
dengan tasawuf…
Sebagaimana di Tanah Jawa, penganut
Theosofi di Minangkabau juga memiliki kedekatan dengan pemerintah Belanda. Mereka
juga terlibat dalam permusuhan dengan kelompok Islam, utamanya mereka yang
menginginkan ajaran Islam bersih dari unsur-unsur tradisi dan adat istiadat
yang bukan berasal dari Islam atau yang bertentangan dengan Islam.
Untuk menyampaikan gagasan-gagasan
dan mengkonter pemahaman yang ia sebut sebagai “Wahabi”, Sutan Maharadja
kemudian mendirikan Surat Kabar Oetoesan Melayoe pada 1911. Dalam slogannya, surat
kabar ini menulis, “Tegoehlah Setia Perserikatan Hati Antara Anak Bangsa Anak
Negeri dengan Orang Wolanda (Belanda, red)”. Dengan slogan ini, jelaslah bahwa
Oetoesan Melayoe sangat pro terhadap pemerintah kolonial Belanda, dan dalam
artikel-artikelnya juga sangat jelas mendukung pemerintah Hindia Belanda.
Dalam kenyataan, faham
tarekat yang terbukti dalam sejarah di antara orang-orangnya mendukung penjajah
Belanda, justru faham tarekat itu diwadahi secara resmi dalam NU (Nahdlatul Ulama).
Secara sejarah pula, NU tidak diragukan pula kedekatannya dengan penjajah
Belanda, disamping memelihara keyakinan batil yang bertentangan dengan Al-Qur’an
dan As-Sunnah sampai hal-hal yang berkaitan dengan kerjasama dengan jin atau
syetan, di antaranya ilmu kebal.
Beritanya sebagai berikut:
Astagfirullah!! Densus NU
Diwajibkan Puasa 40 Hari Supaya Sakti Kebal Petasan
19 JULY 2011
Pada peringatan Harlah NU ke-85
diprolamirkan Densus 99 Banser NU untuk menangkal teror bom. Para personelnya
diwajibkan puasa 30-40 hari untuk mendapatkan kesaktian ilmu kebal petasan.
Bertepatan dengan Harlah
Nahdlatul Ulama (NU) ke-85, Gerakan Pemuda Ansor memproklamirkan Detasemen
Khusus 99 Banser Nahdlatul Ulama (Densus 99 Banser NU) untuk mengabdikan diri
terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam mencegah aksi
terorisme.
Ketua Umum GP Ansor, Nusron
Wahid menyatakan Densus 99 terdiri dari 204 personil yang memiliki kemampuan
ilmu kebal dan seni bela diri mumpuni. Selain ilmu kebal, detasemen yang
dikomandani Gus Nuruzzaman ini juga dibekali keahlian menjinakkan bom. (http://nahimunkar.com/astagfirullah-densus-nu-diwajibkan-puasa-40-hari-supaya-sakti-kebal-petasan/)
Kembali kepada masalah apa
hubungan tarekat dengan NU dan penjajah, disamping memadahi tarekat, masih pula
NU dalam sejarahnya ada catatan tentang dukungan NU terhadap penjajah Belanda. Inilah
sorotannya.
Kongres NU 1927 Menjunjung
Sepuluh Jari Pemerintah Belanda
Untuk mengetahui sebagian
kiprah NU terutama yang belum tentu menguntungkan Islam bahkan kadang jauh dari
Islam yang benar, dapat disimak tulisan berikut ini:
…yang menyandang sikap yang
kadang tidak menguntungkan Islam, sehingga sikapnya itu gampang cocok dengan
musuh Islam justru dilakukan pula oleh jum’iyyah terbesar di Indonesia yakni NU.
Makanya bagi yang faham akan
watak NU (Nahdlatul Ulama), tidak begitu kaget ketika kini di Indonesia sudah
disiapkan kader NU warisan Gus Dur yang diplot untuk membangun sebuah jejaring
politik dan bisnis Yahudi di Indonesia.
Memangnya kenapa tidak begitu
kaget?
Ya, coba buka sejarah atau
buku-buku tentang dosa-dosa NU, atau buku Bila Kyai Dipertuhankan Membedah
Sikap Beragama NU karya Hartono Ahmad Jaiz. Di sana telah tertera dalam sejarah
secara jelas dan gamblang watak NU. Mari kita simak kutipan ini:
Kadang-kadang NU disifatkan
orang sebagai suatu partai yang secara khas biasa mendukung setiap pemerintahan
yang ada. Karena kesediaannya setiap waktu memasuki kabinet apapun, partai ini
juga sering dituduh sebagai berpaham petualang. “Para pemimpin NU adalah tipe
“solidarity maker”, pembangun lambang-lambang, baik lambang tradisional maupun
lambang kebangsaan”. Namun warna dan suasana NU jelas tetap bersifat
konservatif sewaktu ia menjadi partai politik. Partai memberi kesan dikuasai
oleh para kiai dan ulama. Menurut Herbert Feith, “Tidak seorang pun terdapat
dalam kalangan kepemimpinan NU ini yang memiliki kemahiran yang diperlukan dalam
negara modern.” (BJ Boland,Pergumulan Islam di Indonesia, terjemahan, Grafiti
Pers, Jakarta, cetakan pertama 1985, halaman 55, mengutip Feith, The declien, h
234).
Catatan sejarah tentang NU
bisa disimak pula, untuk menjelaskan komentar tersebut di atas, sebagai berikut:
“Arsip kolonial dengan kode 261/X/28.
Isi arsip melaporkan kongres
NU di Surabaya 13 Oktober 1927 yang penuh dengan pidato-pidato yang menjunjung pemerintah Belanda sebagai pemerintah yang
adil, cocok dengan Islam, dan patut dijunjungsepuluh jari. Sementara itu tokoh
Islam yang menantang Belanda, menurut laporan itu, dicaci maki dan pantas
dibuang ke Digul.” (Majalah Tempo, Jakarta, 26 Desember 1987, seperti dikutip
KH Firdaus AN,Dosa-dosa Politik, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan pertama, 1999,
halaman 52, lihat buku Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kyai
Dipertuhankan, Membedah Sikap Beragama NU).
(Hartono Ahmad Jaiz, Keserakahan
Yahudi, Nasrani, dan Gengnya, WIP Solo 2011, halaman 87-88). (lihat http://nahimunkar.com/astagfirullah-densus-nu-diwajibkan-puasa-40-hari-supaya-sakti-kebal-petasan/).
Ini bukan berarti semua orang
dari kelompok-kelompok itu seperti itu gambarannya. Hanya saja catatan telah
menunjukkan demikian. Dan sampai sekarang masih terasa pula aromanya, bahkan
arahnya seperti tidak jauh berbeda, walau istilah colonial atau penjajah kurang
tampak, karena penjajahan kini bukan lagi penjajahan fisik namun sudah lebih
berbahaya lagi karena bahkan sampai penjajahan akal, budaya, ekonomi, politik, pandangan
hidup, informasi dan lainnya.
Apa yang tercatat dari kasus-kasus
yang lalu ini mungkin bisa dijadikan pelajaran yang berharga bagi yang
memperhatikannya dan masih sayang-sayang terhadap Islamnya.
Perlu berkaca diri pula, puasanya
itu untuk Allah Ta’ala dengan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam atau demi lainnya dan mengikuti ajaran lainnya?
Kalau memang untuk Allah
Ta’ala dengan mengikuti Rasul-Nya, kenapa harus mendahului sampai dua hari? Kenapa
pula ada puasa sampai 40 hari?
Tuntunan siapa dan untuk
siapa sebenarnya amalan mereka itu?
http://muslim.or.id/ramadhan/menentukan-awal-ramadhan-dengan-hilal-dan-hisab.html
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan