Senin, 9 Sya'ban 1434 H / 17
Juni 2013 22:39
Pengkhiatan Syiah di balik
runtuhnya kekhilafahan Islam
Oleh: Artawijaya*
(Arrahmah.com) - Jejak kelam
Syiah dalam sejarah runtuhnya kekhilafahan Islam menjadi pelajaran penting, bahwa
mereka adalah para pengkhianat yang menikam kaum muslimin dan meruntuhkan
kekuasaan Islam.
***
Baghdad baru saja ditaklukkan oleh pasukan Tartar. Pusat
pemerintahan Dinasti Abbasiyah dan situs-situs peradaban Islam diluluhlantakkan.
Pasukan yang dipimpin oleh Hulagu Khan dari ras Mongolia
itu berhasil menaklukkan salah satu kota
yang menjadi simbol gemilangnya peradaban Islam pada 656 Hijriyah. Sejarah
menceritakan, sungai di Baghdad
yang jernih berubah pekat menghitam akibat ribuan, bahkan jutaan buku yang
ditenggelamkan. Sebagian lagi terbakar oleh keganasan invasi pasukan kafir
tersebut. Takluknya Baghdad menandai runtuhnya imperium Khilafah Abbasiyah yang
dikenal sebagai salah satu pusat peradan Islam.
Mengenai keruntuhan Baghdad dan penyerangan
pasukan Tartar, sejarawan Dr. Raghib As-Sirjani menceritakan kisah ini dalam
bukunya “Qishah At-Tatar min Al-Bidayah ila ‘Ain Jalut” (hlm. 129-170). Sedangkan
sejarawan lainnya, Dr. Muhammad Ali Ash-Shalabi menceritakan dengan apik dalam
bukunya “Al-Moghul Baina Al-Intisyar wa Al-Inkisyar” (hlm.310-312). Kedua
sejarawan tersebut sangat mumpuni dalam bidangnya, karena disamping sebagai
sejarawan (mu’arrikh), mereka juga ahli hadits (muhaddits), yang bisa memilah
mana kisah-kisah palsu dan mana yang mu’tabar.
Kejatuhan Daulah Abbasiyah ke
tangan pasukan Tartar tak lepas dari pengkhianatan tokoh Syiah Rafidhah bernama
Alauddin Ibnu Alqami. Dalam keterangan lain, kejatuhan Baghdad karena adanya konspirasi antara
pasukan Tartar dan kelompok Syiah Qaramithah yang mempunyai hasrat menjatuhkan
pemerintahan Daulah Abbasiyah, kemudian menggantikannya dengan Daulah
Fathimiyah.
Ia diangkat sebagai perdana
menteri oleh Khalifah Al-Mu’tashim Billah. Namun Ibnu Alqani memendam hasrat
untuk merampas kekhilafahan Abbasiyah agar jatuh ke tangan Dinasti Fathimiyah. Ibnu
Alqani berkorespondensi dengan pimpinan bangsa Tartar dan mendukung pasukan
kafir tersebut masuk dan menyerang kota Baghdad. Ibnu Katsir
menceritakan, “Ibnu Alqani menulis surat kepada
pasukan Tartar yang intinya mendukung mereka menguasai Baghdad dan siap melicinkan jalan bagi mereka
(Tartar). Ia membeberkan kepada mereka kondisi terakhir Khilafah Abbasiyah, termasuk
kelemahan pasukan Al-Mu’tashim. Itu semua tiada lain karena pada tahun tersebut
ia ingin melihat Khalifah Abbasiyah, Al-Mu’tashim, tumbang, dan bid’ah aliran
sesat Syiah Rafidhah berkembang pesat. Khalifah diambil oleh Dinasti Fathimiyah,
para ulama dan mufti sunnah musnah.” (Lihat: Al-Bidayah wa An-Nihayah, XIII/202)
Baghdad berhasil takluk. Khalifah Al-Mu’tashim Billah wafat
terbunuh pada 14 Shafar 656 H/1258 M. Pembunuhan Al-Mu’tashim tak lepas dari
pengkhianatan Ibnu Alqani dan Nashiruddin Ath-Thusi, yang menjalin hubungan
dengan Hulagu Khan. Pengkhianatan itu mengakibatkan banyaknya ulama yang
terbunuh, sekolah-sekolah dan masjid yang hancur, perpustakaan sebagai gudang
ilmu luluhlantak, dan kekejaman lainnya yang luar biasa. Baghdad yang indah dan megah bersimbah darah.
Kaum muslimin ketika itu berduka. Pusat peradaban Islam yang gemilang, tinggal
kenangan.
Setelah berhasil menaklukkan
Baghdad, pada 22 Shafar 657 Hijriyah pasukan Tartar yang dipimpin oleh Hulagu
Khan kemudian bergerak menuju Syam, wilayah yang menjadi pusat kekuasaan Islam
pada masa itu. Mereka melakukan invasi dengan menyeberangi sungai Furat dan
mengepung pintu masuk Syam selama tujuh hari. Pengepungan berhasil, bangsa
Tartar kemudian masuk menyerbu kota.
Sejarawan Ali Muhammad Ash-Shalabi mengatakan, Aleppo (halb) adalah kota
pertama yang menjadi tujuan penaklukan Hulagu dan pasukannya, yang ketika itu
dipimpin oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran Syah, wakil dari Malik An-Nashir. Sebelum
memasuki Aleppo,
sebagaimana kebiasaan Hulagu, ia memberi peringatan penguasa agar tunduk dan
menyerah. Namun, peringatan Hulagu Khan ditanggapi oleh Al-Malik Al-Mu’zham Tauran
Syah dengan mengatakan, “Tidak ada yang pantas bagi kalian dari kami, kecuali
pedang…!”
Hulagu Khan kemudian mengirim
panglimanya yang bernama Katabgha untuk menaklukkan kota Damaskus pada akhir bulan Rajab, tahun 658
Hijriyah. Penaklukan berlangsung tanpa perlawanan, hingga akhirnya Damaskus
yang merupakan kota terbesar di Suriah selain Aleppo, berhasil tunduk
pada kekuasaan Tartar.
Negeri Syam yang dikenal
sebagai tanah yang berkah, saat itu terkotori dengan ulah pasukan Tartar. Kemenangan
pasukan Tartar kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Nashrani untuk mendekati
Hulagu Khan. Mereka membujuknya agar Hulagu membiarkan umat Nashrani menyiarkan
agamanya. Setelah mendapat persetujuan, umat Nashrani berkeliling kota mengangkat salib-salib
mereka di atas kepala, sambil berteriak mengatakan, “Agama yang benar adalah
agama Al-Masih..”. Mereka mengarak salib-salib besar mereka keliling kota, kemudian memaksa
para penduduk untuk berdiri menghormati salib tersebut. Tartar ketika itu
mengangkat seorang pemimpin di Damaskus yang bernama Ibil Siyan, pemimpin yang
dikenal sangat melindungi kaum Nashrani.
Kota Damaskus dan Aleppo berhasil
ditaklukkan. Kota
yang bersejarah dan menyimpan peradaban Islam itu harus menyerah pada kekuatan
pasukan Tartar. Jika Baghdad berhasil ditaklukkan oleh bangsa Tartar karena
pengkhianatan Syiah Rafidhah, maka diantara faktor yang melemahkan semangat
jihad umat Islam di negeri Syam saat itu adalah pengkhianatan kelompok Syiah
Nushairiyah. Melalui para pemimpinnya, mereka berusaha merapat pada Hulagu Khan,
dengan iming-iming yang ditawarkan pada pimpinan pasukan Tartar itu berupa
harta milik kaum Muslimin yang berhasil dilumpuhkan. Diantara pemimpin Syiah
yang berkhianat terhadap umat Islam adalah Syaikh Al-Fahr Muhammad bin Yusuf
bin Muhammad Al-Kanji. Imam Ibnu Katsir Rahimahullah menceritakan hal ini dalam
buku monumentalnya, Al-Bidayah wa An-Nihayah, dengan menulis, “Ia adalah tokoh
Syiah yang telah membujuk bangsa Tartar dengan harta kaum Muslimin. Ia sosok
berhati busuk, orientalistik, dan meminta bantuan mereka (Tartar) dengan harta
kaum muslimin…”
Dr. Imad Ali Abdus Sami
Husain dalam bukunya “Khianaat Asy-Syiah wa Atsaruha fi Hazaimi Al-Ummah Al-Islamiyah”
menceritakan bahwa ketika pasukan Tartar masuk ke kota Aleppo pada 658 Hijriyah,
merampas dan mencuri harta dan tanah kaum muslimin di kota itu, pimpinan Syiah
yang bernama Zainuddin Al-Hafizhi justru mengagung-agungkan Hulagu Khan dan
meminta kepada umat Islam untuk tunduk menyerah dan tidak mengobarkan api
perlawanan terhadap pasukan penjajah tersebut
Padahal Ketika itu, Raja An-Nashir
yang berasal dari kalangan sunni sudah berkirim surat kepada Raja Al-Mughits di
Kurk dan Al-Muzhaffar Qutuz di Mesir untuk mengirimkan bala bantuan kepada kaum
muslimin di Aleppo. Namun sayang, kondisi mereka yang ketika itu juga dalam
keadaan lemah, tidak mampu memenuhi permintaan Raja An-Nashir.
Sikap pemimpin Syiah
Nushairiyah, Zainuddin Al-Hafizhi, memantik kemarahan Malik Az-Zhahir Ruknuddin
Baybars Al-Bunduqdari. Ia begitu marah kepada pemimpin Syiah itu, kemudian
memukulnya sambil mengatakan, “Kalianlah penyebab kehancuran kaum Muslimin!”
Baybars adalah tokoh pejuang Muslim asal Kazakhstan yang kemudian berjihad
melawan bangsa Tartar dan kaum Kristen, dan wafat di Damaskus. Namanya begitu
dikenal sebagai pahlawan Islam yang cukup ditakuti dan disegani musuh. (Mausu’ah
At-Tarikh Al-Islamiy: Al-Ashr Al-Muluki, Amman:
Dar Usamah li An-Nasyr, 2003, hlm. 24-36)
Seorang ulama bernama
Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim bin Abdul Salam bin Taimiyah Al-Harrani atau
biasa disebut Syaikh Ibnu Taimiyah, yang berjuluk hujjatul Islam, termasuk
orang yang berjuang melawan pasukan Tartar. Ia juga mengetahui bagaimana
kelompok Syiah Nushairiyah berkhianat terhadap kaum muslimin. Karenanya, Ibnu
Taimiyah yang tahu persis bagaimana sepak terjang kelompok Syiah ekstrem ini, menyatakan
bahwa mereka adalah kaum kafir dan non muslim yang harus diperangi. Ketika
orang-orang Tartar mengepung kota
Damaskus, Ibnu Taimiyah dengan lantang mengatakan,”Jangan kalian serahkan
benteng ini, meskipun tinggal satu batu bata saja, karena benteng ini adalah
untuk kepentingan kaum muslimin. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah menjaga
benteng ini untuk kaum muslimin, sebagai perisai bagi penduduk Syam yang
menjadi pusat iman dan sunnah, sampai Isa Ibnu Maryam Alaihissalam turun di sana.”
Dalam buku Tarikh Al-Alawiyyin
yang ditulis penganut Syiah Nushairiyah, Muhammad Amin Ghalib Ath-Thawil
dijelaskan bahwa sikap kooperatif mereka dengan bangsa Tartar adalah bagian
dari siasat untuk mengembalikan kekuasaan mereka, yang menurutnya telah
dirampas oleh kaum Sunni.
Tarikh Al-Alawiyyin juga
menjelaskan bagaimana kerjasama tokoh Syiah di Aleppo, Thamur Thusi, yang
bekerjasama dengan Timur Lenk untuk menguasai kota tersebut. Timur Lenk
membunuh kaum muslimin sunni dan membiarkan mereka yang menjadi pengikut
Alawiyah. Timur Lenk adalah penganut Syiah Rafidhah yang wafat pada 808
Hijriyah. Anak keturunannya pun mengikuti jejak keyakinan Timur Lenk sebagai
penganut ajaran Syiah. Karenanya, di setiap wilayah kekuasannya, Syiah banyak
terlibat dalam pemerintahan, termasuk di negeri Persia
(Iran).
(Lihat: Tarikh Alawiyyin, hlm. 407)
Negeri Syam, termasuk wilayah
Damaskus, berhasil kembali ke tangan kaum muslimin, setelah pasukan Syaifuddin
Quthuz dan panglima Malik Azh-Zhahir Ruknuddin Baibars Al-Bunduqdari berhasil
mengalahkan pasukan Tartar dalam Perang Ain Jalut, sebuah wilayah di Palestina.
Perang yang berlangsung pada 25 Ramadhan 659 H/September 1260 M itu berhasil
memukul mundul pasukan Tartar dan membuat mereka lari tunggang langgang
menyebar ke beberapa wilayah. Pasukan yang dipimpin oleh Syaifuddin Quthuz dan
panglima Baibars, berhasil membunuh seorang pemimpin dari sekte Syiah Rafidhah
di Damaskus, karena keberpihakan tokoh tersebut kepada pasukan Tartar dalam
merampas dan menjarah harta kaum muslimin. Dengan kemenangan di Perang Ain
Jalut ini, Syaifuddin Quthuz yang berasal dari Kerajaan Mamalik Bahriyah (kerajaan
wilayah maritim yang dibangun oleh para budak) kemudian menggabungkan negeri
Syam dengan Mesir, sehingga kekuasaannya semakin luas.
Ada yang menarik dalam buku “Al-Maushu’ah Al-Muyassarah
fi At-Tarikh Al-Islamiy”. Tim Riset dan Studi Islam sebagai penyusun buku itu, membuat
sub bab berjudul “Baybars dan Sekte Bathiniyah”. Buku yang diberi kata
pengantar oleh ahli sejarah dari Mesir, Dr. Raghib As-Sirjani ini menulis, “Baibars
berhasil menundukkan Sekte Bathiniyah, cabang dari Sekte Ismailiyah di Syam. Orang-orang
Eropa menyebut sekte ini Al-Hasyasyin. Sebelumnya mereka adalah ancaman bagi
raja-raja Mesir, sejak masa pemerintahan Shalahuddin Al-Ayyubi.” (Tim Riset dan
Studi Islam Mesir, Ensiklopedi Sejarah Islam Jilid I (terj), Jakarta:Pustaka Al-Kautsar, 2013, hlm.478)
Dari keterangan di atas, jelaslah
bahwa pada masa lalu, Syiah Rafidhah, baik itu Sekte Ismailiyah, Nushairiyah, Qaramithah,
dan Syiah ekstrem lainnya telah melakukan pengkhianatan terhadap umat Islam di
Syam. Sejarah juga mencatat, mereka kemudian diperangi oleh para pemimpin Islam.
Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi yang dikenal sebagai penakluk Baitul Maqdis, semasa
berkuasa terus berusaha mengikis habis pengaruh Syiah Rafidhah, baik pengaruh
dari buku-buku, maupun pengaruh dari para pemimpin mereka. Sultan Shalahuddin
Al-Ayyubi berusaha memerangi kelompok Syiah Rafidhah yang bercokol di Mesir, Yaman,
dan Syam. (Lihat: Dr. Ali Muhamamd Ash-Shallabi, Shalahuddin Al-Ayyubi wa
juhduhu fi Al-Qadha Ad-Daulah Al-Fathimiyah wa Tahrir Bait Al-Muqaddas, Mesir: Daar
Ibnu Al-Jauzi, 2007, hlm. 257-258
Pengkhianatan Selanjutnya
Ketika Daulah Utsmaniyah
berusaha menguasai Syam dan merebutnya dari penjajahan bangsa Eropa; Perancis
dan Inggris, pengkhianatan kelompok Syiah Nushairiyah juga terus berlangsung. Jumlah
mereka yang minoritas, selalu menyimpan ketakutan akan sikap diskriminasi
kelompok Sunni yang menjadi warga mayoritas di Syam. Karenanya, Tokoh Syiah
Nushairiyah Shaleh Al-Alawi bahkan menjalin hubungan dan menandatangani nota
kesepahaman dengan tokoh sekular Yahudi Dunamah Turki, Mustafa Kamal Attaturk
pada tahun 1920. Nota kesepahamaman ini tentu saja bertujuan membendung
pengaruh imperium Utsmani di Syam, khususnya di wilayah Suriah yang juga
menjadi musuh kaum sekularis seperti Attaturk. Karenanya, Attaturk dengan
organisasinya Ittihad wa At-Taraqi (Partai Persatuan dan Kemajuan) berhasil
menumbangkan Khilafah Utsmaniyah pada 1924.
Kelompok Syiah Nushairiyah
tentu mempunyai kepentingan untuk menyelamatkan entitasnya jika Daulah
Utsmaniyah tetap bercokol di Syam. Mereka khawatir, Daulah Utsmaniyah yang
Sunni akan memposisikan mereka secara diskriminatif. Kekhawaturan inilah yang
kemudian terus terpelihara sehingga mereka merasa perlu melakukan berbagai
pengkhianatan terhadap umat Islam dengan berkolaborasi pada musuh-musuhnya. Padahal
sesungguhnya sikap khianat mereka adalah ambisi untuk merebut kekuasaan
sehingga terbentuk rezim Syiah. Belakangan terbukti, rezim Syiah Nushairiyah
yang minoritas, justru melakukan berbagai aksi diskriminasi dan kekejaman
terhadap kaum muslimin di Suriah.
Sebuah dokumen luar negeri
Perancis, Nomor 3547 tertanggal 15 Juni 1936 melansir adanya surat dari tokoh-tokoh
Alawiyah/Nushairiyah kepada pemerintah Perancis, yang diantaranya
ditandatangani oleh Sulaiman Al-Asad, kakek dari Hafizh Asad. Surat tersebut berisi permohonan agar
Perancis tetap bersedia berada di wilayah Suriah, karena mereka khawatir, jika Perancis
hengkang, keberadaan mereka terancam. Surat
tersebut berbunyi:
“Presiden Perancis yang terhormat,
Sesungguhnya bangsa Alawiyah yang
mempertahankan kemerdekaannya dari tahun ke tahun dengan penuh semangat dan
pengorbanan banyak nyawa. Mereka adalah masyarakat yang berbeda dengan
masyarakat Muslim (Sunni), dalam hal keyakinan beragama, adat istiadat, dan
sejarahnya. Mereka tidak pernah tunduk pada penguasa dalam negeri.
Sekarang kami lihat bagaimana penduduk
Damaskus memaksa warga Yahudi yang tinggal bersama mereka untuk tidak mengirim
bahan pangan kepada saudara-saudara mereka kaum Yahudi yang tertimpa bencana di
Palestina! Kaum Yahudi yang baik, yang datang ke negeri Arab yang Muslim dengan
membawa peradaban dan perdamaian, serta menebarkan emas dan kesejahteraan di
negeri Palestina, tanpa menyakiti seorang pun, tak pernah mengambil sesuatupun
dengan paksa. Namun demikian, kaum muslimin menyerukan “Perang Suci” untuk
melawan mereka, meskipun ada Inggris di Palestina dan Perancis di Suriah.
Kita menghargai kemuliaan bangsa yang
membawa kalian membela rakyat Suriah dan keinginannya untuk merealisasikan
kemerdekaannya. Akan tetapi Suriah masih jauh dari tujuan yang mulia. Ia masih
tunduk pada ruh feodalisme agama terhadap kaum muslimin.
Kami sebagai rakyat Alawiyah yang diwakili
oleh orang-orang yang bertandatangan di surat
ini berharap, pemerintah Perancis bisa menjamin kebebasan dan kemerdekaannya, dan
menyerahkan nasib dan masa depannya kepadanya (Alawiyah, pen). Kami yakin bahwa
harapan kami pasti mendapaykan dukungan yang kuat dari mereka untuk rakyat
Alawiyah, teman yang telah memberikan pelayanan besar untuk Perancis.”
Demikian surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Syiah
Nushairiyah, yang membujuk Perancis untuk tetap menjamin dan mendukung
keberadaan mereka. Surat tersebut ditandatangani oleh Sulaiman Asad (kakek
Hafizh Asad), Muhammad Sulaiman Ahmad, Mahmud Agha Hadid, Aziz Agha Hawwasy, Sulaiman
Mursyid, dan Muhammad Beik Junaid. (Lihat:Syaikh Abu Mus’ab As-Suri, Rezim Nushairiyah:
Sejarah, Aqidah dan Kekejaman Terhadap Ahlu Sunnah di Syiria (terj), Solo: Jazeera,
2013, hlm. 65-66)
Pada saat ini, keberadaan
rezim Syiah Nushairiyah di Suriah mendapat dukungan yang kuat dari kelompok
Syiah Itsna Asyariyah atau Syiah Imamiyah di Libanon dan Iran. Mereka
mempunyai kesamaan ajaran, ideologi, bahkan cita-cita, untuk mewujudkan dendam
mereka merebut kekuasaan dari kelompok Sunni. Mereka yang hidup minoritas di
Suriah, kemudian berkolaborasi dengan bantuan Syiah di Libanon, melalui kelompok
militer Hizbullah yang dipimpin oleh Hasan Nashrullah, untuk bertahan dan
survive, serta mengamankan kekuasaan mereka yang direpresentasikan dalam
kekuasaan Rezim Bashar Al-Asad. Dimanapun, kelompok minoritas akan selalu
waspada, struggle, dan berjuang habis-habisan untuk mengamankan eksistensinya. Bahkan,
dalam kasus Suriah saat ini, mereka berusaha mengamankan kekuasaan yang sudah
sejak tahun 70-an mereka pegang. Mereka khawatir, jika umat Islam berkuasa, maka
keberadaan mereka akan terusik. Padahal, mereka sesungguhnya adalah pengkhianat
yang tak bisa hidup berdampingan dengan kaum muslimin, selama akidah mereka
melecehkan para sahabat, dan mengganggap Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu
sebagai tuhan atau menyatu dengan Tuhan.
Untuk mempertahankan
keberadaanya, Syiah Nushairiyah sampai hari ini tak segan-segan untuk
berkhianat, bahkan berkolaborasi dengan musuh-musuh Islam sekalipun. Sebagai
kelompok minoritas di Suriah, mereka menerapkan prinsip, “Sebaik-baik
pertahanan adalah menyerang!”
*Editor Pustaka Al-Kautsar
dan Dosen STID Mohammad Natsir Jakarta
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan