Sabtu, Juni 25, 2011

Syariat di nomer duakan


Posted Desember 28, 2010 by ibnuabdulbari in curhat.

i
“Sekarang bukan wacana lagi, tetapi sudah aplikasi.”
Kata Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi M.Ed, M.Phil. .
Selasa, 28 Desember 2010. Pagi sekitar pukul 05.30, saya menemani seorang teman asal Makasar yang ingin bersilaturahmi ke rumah Ustadz Hamid Fahmi Zarkasyi. Setidaknya, ia ingin memberitahukan kedatangannya ke kampus ISID (Institut Studi Islam Darussalam) Gontor, Ponorogo, shubuh tadi. Selain itu, ia juga memberikan kabar bahwa kepergiannya ke Jakarta-Balikpapan selama dua minggu lebih adalah dalam rangka untuk menghadiri daurah para masyayikh dari Ummul Qura, Madinah, di Jakarta dan mengantar mereka ke salah satu ma’had di Balikpapan. Jakarta-Balikpapan-Jakarta-Balikpapan lagi. Teman saya ditunjuk menjadi utusan yang menemani para masyayikh tersebut karena hanya dia –pada saat itu- yang sudah pernah ke Balikpapan dan bisa berkomunikasi dengan mereka. Dan ternyata, para masyayikh itu adalah wakil rector dan dua dosen di Ummul Qura. Selanjutnya, teman saya nantinya akan mengikuti muqabalah ke Ummul Qura untuk mengambil S2. Ia menunggu panggilan pada bulan Februari nanti. Pemberitahuan bahwa ia menunggu panggilan dari Ummul Qura inilah yang membuatnya bertanya kepada Ustadz Hamid, “Bagaimana pendapat ustadz, apakah saya masih diperkenankan disini, atau bagaimana?.”
“Ya, disini aja, lagian Februari nanti belum pasti kan; diterima tidaknya?”
“Ya, tadz, masih nunggu panggilan dari sana.”
“Sekarang fokus disini dulu aja sampai nanti ada panggilan. Kalau memang jadi, terserah antum nantinya.”
Intinya, Ustadz Fahmi memperkenankan, dan tidak mempermasalahkan keberadaannya di sini. Ini sekedar sebagai pembuka tulisan saja. Yang terpenting justru percakapan kami dengan beliau. Perbincangan yang sangat mahal karena belum tentu kami mendapatkan waktu luang bisa berdialog dengan beliau kecuali hanya di kelas saja. Itupun tidak menentu jadualnya. Alasannya, beliau banyak diminta workshop di berbagai Negara. Karena bukan hanya me-nasional, tetapi sudah go internasional. November lalu beliau mengirimkan tugas membuat paragraf dengan kutipan langsung, tidak langsung dan ringkasan langsung dari Salzburg, Austria, yang bertanggal 17 November 2010. Beliau mengirimkan tugas ini lewat email. Hmm, perhatian beliau sangat terasa. Betapa sayangnya. Disela-sela mengisi workshop masih sempat ingat kepada kami.
Ini yang membuat saya bisa menjawab tanya seorang teman, “Kenapa ya, kita og terasa sangat dekat dengan ustadz Hamid. Padahal, masuknya beliau ke kelas kita sangat sedikit dibandingkan dosen-dosen yang lain. Seolah terasa sepi belajar di sini kalau tidak ada beliau.” Teman saya bertanya pada saat ustadz Hamid pergi ke Eropa pertengahan November hingga awal Desember 2010 kemarin, sehingga merasakan kesepian. Sangat terasa, padahal setiap hari, selain Jum’at, kuliah tetap masuk, dan tugas-tugas untuk presentasi setiap pelajaran juga menumpuk. Tetapi ketiadaan ustadz Hamid terasa berbeda….,dan ini dirasakan oleh mayoritas teman-teman seangkatan, angkatan ke-4.
Untuk sejenak, saya berdiam diri, lalu berusaha menjawab, “Kalau menurut saya, karena hanya beliau saja yang paling perhatian dan sayang kepada kita. Beliau merasa bahwa dialah yang paling bertanggungjawab atas semua kegiatan kita disini. Kita tidak mengenyampingkan perhatian dosen-dosen yang lain. Tidak. Tetapi perhatian ustadz Hamid melebihi yang lainnya, sekalipun beliau jarang masuk ke kelas kita. Perhatian itu bener-bener tulus dan murni, terlahir dari hati sehingga kita bisa merasakan bahwa perhatian beliau adalah karena cinta dan sayangnya, bukan yang lainnya. Entah, bagaimana prosesnya, tetapi ketika perhatian itu berasal dari hati yang jernih-murni, kita akan merasakannya juga. Sekalipun beliau tidak mengungkapkannya dengan kata-kata.”
Teman saya langsung mengiyakan, dan menjawab, “Iya juga ya.”
Hua…, tulisannya meloncat kesana-kemari, dan tidak fokus ya?? Ok, kembali ke perbincangan dengan Ustadz Fahmi. Perbincangan dengan orang cerdas, dan seorang doctor memang mengandung banyak pelajaran. Tidak ada yang mubadzir, menurut saya, dari kata-kata yang beliau ucapkan. Berisi dan mengandung manfaat. Setidaknya, itulah yang saya dapatkan.
Terlebih ketika beliau menyinggung tentang kehadiran beliau ke tempat berkumpulnya orang-orang Jil. Biasa. Diskusi. Pembahasan pada saat itu adalah tentang hak asasi manusia. Selama aturan Tuhan tidak sesuai dengan hak asasi manusia, kata mereka, maka hak asasi harus diprioritaskan, dan aturan Tuhan dinomor duakan. Mendengar itu, beliau memberikan analogi sederhana dan ternyata membuat mereka tidak bisa menjawab. Akibatnya, mereka tidak lagi berdialog dengan kepala dingin, tetapi mengeluarkan sumpah serapah. Menjelek-jelekkan ustadz Hamid. Suasana memanas dan tidak kondusif untuk melanjutkan dialog.
“Ya sudah, diskusi og emosi kayak begitu” kata Ustadz Hamid “Berbeda kan kalau ia mengemukakan argumentnya tanpa marah-marah. Kan enak, ndak emosi kayak begitu. Iya kan?”
Kami berdua mengangguk. Satu lagi, beberapa hari yang lalu, beliau mendapatkan buku baru, “Kado Pasangan Nikah Beda Agama –seingat saya judulnya begitu-.”
“Buku itu karangan mantan santri ISID yang sekarang menjadi orang Jil.” Kata beliau “Lebih herannya lagi, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan ustadz Syukri Zarkasyi, MA –sekarang menjadi direktur pondok-. Bener-bener tidak tahu adab.”
“Dulu pernah belajar di sini ustadz?”
“Ya, di ISID sini. Dulu, dia jadi murid saya. Ia temannya Lalu S2 angkatan pertama yang dari Lombok itu.”
Betul. Tidak tahu adab, dan tidak bersopan santun sama sekali. Sudah diajarin baik-baik selama di pondok. Eh, sekarang malah mencatut nama untuk yang tidak-tidak. Apa dulu ia diajarin berpikiran liar-liberal seperti saat ini, sehingga ia harus mencantumkan nama KH. Abdullah Syukri Zarkasyi? Tentu tidak. Setidaknya, dosanya dua kali. Mencemarkan nama baik, dan menumpuk hutang budinya kepada ustadz Syukri.
Perbincangan yang lain dengan ustadz Hamid, beliau tetap menyampaikan beratnya tantangan pemikiran pada saat ini. Katanya, “Pada saat ini, kerja orang-orang liberal sudah maju. Mereka sekarang tidak lagi fokus kepada wacana dengan workshop-workshop, tetapi sudah pada tahap aplikasi. Nikah beda agama sekarang lagi disemarakkan oleh mereka. Aplikasi pernikahanya, dengan mendatangkan tokoh muslim setempat dan seorang pastur ketika akad nikah. Salah satu yang menjadi penyambung keduanya adalah penulis buku, “Kado Pasangan Nikah Beda Agama” itu tadi.”
“Aplikasi agenda yang lain adalah” lanjut beliau “mereka menerbitkan karya-karya mereka. Nikah Beda Agama adalah buku tebal yang merupakan kumpulan tulisan orang-orang liberal kayak Musdah mulia, Muqsith, dll. Setidaknya, untuk kalangan mereka, dan yang memihak mereka. Kedepannya, kepada orang-orang yang tidak memiliki basic akidah yang kuat, dengan menghalalkan nikah beda agama.”
“Ini nanti yang menjadi tugas angkatan kalian.” Kata beliau lagi.
“Begini ustadz” kata saya “yang menjadi persoalan adalah tentang status menikah dengan ahlul kitab. Ini yang masih menjadi polemik.”
“Ya, itu nanti dibahas sama yang senang buku-buku turats. Kitab-kitab kuning.” –kata-kata ini menunjuk kepada saya ke’nya. Sangat seneng sekali bila diberi kehormatan membahas masalah ini; hukum nikah dengan ahlul kitab.- “Yang dipermasalahkan adalah muslimah menikah dengan non muslim. Kalau ini kan sudah jelas. Haram. Tetapi justru ini yang disinggung oleh orang-orang liberal. Mereka menghalalkan wanita Muslimah menikah dengan lelaki non-Muslim.” Lanjut beliau, “Jadi, saya minta isu-isu seperti ini yang harus dibantah oleh angkatan sekarang, angkatan ke-empat.”
Saya bertanya, “Tadz, apa tidak lebih efektif bila issue-issue tantangan pemikiran kontemporer seperti tadi antum tuliskan; bertemakan tentang masalah apa saja, kemudian kita tinggal mengcounternya?”
“Tidak usah. Langsung aja, bantah itu buku Nikah Beda Agama. Minta uang ke elvan untuk membeli buku itu.”
“Bagus itu tadz.”
“Ya, itu yang menjadi tugas angkatan sekarang, di samping tugas akhir PKU nanti. Antum harus berkontribusi dalam masalah ini. Tulisan-tulisan di buku Nikah Beda Agama itu kan banyak, karena memang ditulis kolektif oleh mereka. Dan masing-masing tulisan nanti dibagi-bagi kepada teman-teman, kemudian dibantah.”
-Teman-teman angkatan ke-empat, semangka-semangka…, eh, bukan ding; SEMANGAT-SEMANGAT. Sekalipun tugas masih menumpuk, insya’Allah semuanya berbarakah….,dan kelak kita akan merindukan saat-saat seperti ini; waktu ternikmat belajar dengan banyaknya tugas yang berjubel….,Believe it or not! Fa satadzkurûna mâ `aqûlu lakum, kalian akan mengingat kata-kataku yang satu ini-
Untuk saya sendiri; Rabu, 29 Desember 2010, presentasi “Orientalisme dan sejarah teks al Qur’an.”. kamis, 30 Desember 2010 presentasi “Tauhid : Inti Pengalaman Agama.” Dan Sabtu, 1 Januari 2011 presentasi kajian tokoh; membaca pemikiran Hasan Hanafi…., dan tugas-tugas lainnya.
Sudah dulu ya…, sekedar berbagi dengan perbincangan bersama Ustadz Fahmi tadi pagi. Semoga bermanfaat, dan memacu semangat kita agar lebih giat lagi. Kalau demi kebatilan, mereka –orang-orang liberal- semangatnya luar biasa, maka tidak sepatutnya kita bermalas-malasan karena memang kita berada di atas kebenaran, dan mendakwahkan kebaikan. Bravo alaih…!
Kota Ilmu, Selasa, 28 Desember 14.43 Wib.
-Teringat dengan pesan-pesan para penulis; diantara sarana yang memberikan inspirasi untuk menulis adalah dengan membaca, berdiskusi, jalan-jalan dan bersilaturahmi. Sekarang memang terbukti-.[1]
Komentarku ( Mahrus ali )
Bila benar menomer duakan ayat atau sariat sama dengan orang kafir lihat ayat ini :
مَا يُجَادِلُ فِي ءَايَاتِ اللَّهِ إِلاَّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَلاَ يَغْرُرْكَ تَقَلُّبُهُمْ فِي الْبِلَادِ(4)
Tidak ada yang memperdebatkan tentang ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu janganlah pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain memperdayakan kamu.[2]
وَمِنْهُمْ مَنْ يَسْتَمِعُ إِلَيْكَ وَجَعَلْنَا عَلَى قُلُوبِهِمْ أَكِنَّةً أَنْ يَفْقَهُوهُ وَفِي ءَاذَانِهِمْ وَقْرًا وَإِنْ يَرَوْا كُلَّ ءَايَةٍ لَا يُؤْمِنُوا بِهَا حَتَّى إِذَا جَاءُوكَ يُجَادِلُونَكَ يَقُولُ الَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ هَذَا إِلَّا أَسَاطِيرُ الْأَوَّلِينَ
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan (bacaan) mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka (sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di telinganya. Dan jikapun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata: "Al Qur'an ini tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu".[3]
Untuk nikah beda agama akan kita bahas di bab tersendiri .



[1] http://ibnuabdulbari.wordpress.com/2010/12/28/ketika-orang-liberal-beraksi
[2] Ghofir 4
[3] Alan`am 25
Artikel Terkait

1 komentar:

  1. saya nurkholis santri Gontor alumni 94, saya ingin kopi paste ke blog saya ustaz, karna kontennya yang sejalan dengan konten blog saya.
    alamatnya : http://www.islamshout.blogspot.com

    BalasHapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan