Tulisan ini merupakan surat-surat sufi besar Imam al-Junaid bin
Muhammad al Bagdadi, seorang sufi besar sepanjang masa. Surat-
surat ini telah
menarik berbagai kalangan ulama hingga peneliti. Surat-surat ini telah
tersimpan sejak abad III Hijriah. Ada
alasan mengapa al Junaid membuat surat-surat ini secara rahasia. Pertama, abad
tersebut belum ada buku-buku yang memberi batasan haluan dunia tasawuf dan
mengulas prinsip- prinsipnya. Kedua, di zaman itu pengetahuan dari berbagai
disiplin ilmu lain cukup deras publikasinya. Tasawuf prinsipnya tidak populer,
bahkan diidentikan sebagai penyimpangan dan zindiq. Tampaknya hal inilah yang
mendorong al-Junaid dan para pengikutnya tidak memberikan lahan pemikiran dan
pandangan untuk khalayak. Disamping itu lebih pada sejumlah misteri dan rahasia
yang harus dijaga.
l-Junaid, bagi kalangan sufi adalah tokoh terkemuka. Ia adalah
pemimpin komunitas dan kelompok tersebut. Al-Junaid adalah simbol para wali di
zamannya sekaligus pahlawan kaum yang telah menggapai tahap ma'rifat
-sebagaimana ditegaskan oleh as-Subky dalam kitab Thabaqat-nya (Juz I, hlm.
280)
Mengenai Al Junaid ini banyak sekali komentar dari para murid
maupun kalangan peneliti dan pengamat sufisme. Diantara komentar itu datang
dari salah satu murid al-Junaid, Ja'far al-Khuldy mengatakan, "Kami tak
pernah melihat di antara para syekh kami, seseorang terintergrasi dalam
dirinya, ilmu dan kondisi spiritual (al-haal) selain al-Junaid. Bila aku
melihat ilmunya, aku terpaku pada kondisi spiritualnya, dan bila kulihat
kondisi spiritualnya aku terpaku pada ilmunya."
Ja'far juga mengatakan, " Suatu hari al-Junaid berkata,
'Allah tidak akan mengeluarkan ilmu, sementara Dia memberikan jalan keluar
kepada makhluk, melainkan Allah pasti menjadikan suatu bagian untukku."
Sedangkan Abul Qasim al-Ka'by, teolog Mu'tazilah berkomentar,
"Dua mataku tak pernah melihat orang seperti dia (al-Junaid). Para penulis
hadir untuk mencatat kata-katanya, dan para filosuf hadir untuk menyimak
kedalam maknanya, sementar para teolog hadir untuk menyerap ilmunya."
Apabila al-Junaid disebut sebagai Bapak Tasawuf Islam, kita harus
kembali pada surat-surat dalam buku ini yang memuat sejumlah pandangannya, agar
kita mengenal keutamaannya, mengetahui pemikiran Sufistiknya, dan dan akhirnya
kita bisa melihat lebih jelas, rahasia yang tidak diketahui khalayak.
Faktor pertama, mengapa rahasia itu tersembunyi, adalah disebabkan
munculnya kontroversi pemikirannya yang berbeda dengan kesepakatan para pakar
rasionalis, serta tidak adanya komitmen di kalangan mereka.
Faktor kedua, tidak ada kepercayaannya jika disebarluaskan
dihadapan khalayak. Al-Junaid membatasi komunitasnya, merekalah yang bisa
mendapatkan ilmunya, namun hal ini tidak dipopulerkan di khalayak. Sehingga
ketika menjelang wafat al-Junaid pun meminta murid-muridnya agar ia dipendam
dengan daun-daunnya saja.
Faktor terpenting, mengapa pandangan pemikiran sufistik ini tidak
menyebar, adalah karena hakikat-hakikat sufistik sebenarnya sulit diungkapan
lewat kata-kata atau ungkapan kalimat, karena ketidak muatan kata-kata itu
untuk mengkomunikasikan isyarat-isyaratnya dan pengalaman ruhaninya. Bahkan
kebanyakan khalayak manusia tidak dapat memahaminya, diantaranya adalah Ibnu
Araby, yang menegaskan bahwa dirinya juga tidak dapat memahami ucapan-ucapan
al-Junaid.
Abu an-Nashr as-Sarraj dalam kitab al-Luma' membuat bab khusus
mengenai para syeikh yang telah dituduh melakukan kekufuran, zindiq, bid'ah,
dan diyakini sebagai tindakan batil. Bahkan as-Sarraj sendiri dikatagorikan
sebagai kelompok mereka itu, antara lain, Amr- bin Usman al-Makky, Abul Abbas
Ahmad bin Atha, dan As-Sarraj mengakhiri wacananya, dengan ucapannya,
"Begitu juga al-Junaid dengan segenap pengetahuannya yang begitu banyak,
kedalam pemikirannya, serta ketekunannya dalam wirid dan ibadah, keutamaannya
melebihi para Ulama di zamannya dalam pemahaman, pengetahuan dan agama.
Sehingga beliau mendapat gelar sebagai Thawusul Ulama'. Seringkali mereka
dikejar dan ditangkap, lalu dituduh sebagai pelaku kekufuran dan
kezindiqan."
Ulasan ini pasti panjang. Kami sampaikan sekedar untuk
mengingaatkan hal tersebut. Agar para pakar abad kita tidak kesulitan
menguraikan sebenarnya peristiwa tersebut.
Lalu tragedi yang menimpa para syeikh itu benar-benar terjadi di
Baghdad, yakni tragedi (Ghulam al-Khalil) dimana ia dituduh dan didepan
khalifah al-Watsiq.
Juga yang menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid, dalam eksekusi
kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenankan publikasi
rahasia-rahasia spiritual. Apalagi pandangan al-Hallaj kemudian disalahpahami
oleh khalayak, seputar Wujud Rabbany dan Wujud Insany yang mendorong khalayak
terjerumus pada pandangan "serba boleh", yang ini merupakan pandangan
kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum
syariat, melalui metode "ketiadaan" dan ketidakwujudan mereka,
sehingga berbagai aturan hukum tidak berlaku bagi mereka. Mereka ini disebut
sebagai "Ahlul Ibadah".
Fakta itulah yang menyebabkan mereka terdorong untuk menyembuyikan
rahasia-rahasia spiritual dari pandangan publik.
Sementara itu pada konteks studi-studi orientalis -- dalam hal ini
-- al-Junaid menempati posisi pemikiran yang senantiasa dianggap misteri yang
dalam. Berbagai metode dilakukan untuk membuka tirai agar bisa mengulas
perkembangan pemikiran kaum Sufi dalam lingkaran Tasawuf. Dimulai dari Gobineau
sampai pada Horten (1874-1945). Lalu Goldziner (1850-1921) yang
mentransformasikan Zuhud dalam Tasawuf. Namun, wawasan Tasawuf yang luas dan
lengkap pada abad III Hijriah, tetapi belum bisa ditafsiri secara sempurna
materi-materinya. Ketika Tholuck menulis studinya yang lengkap tentang Tasawuf,
malah membuat jangkauan yang menyimpang jauh dari posisi pandangan al-Junaid.
Dan ia melihat bahwa al-Junaid telah selesai pemikirannya pada pemikiran
kesatuan wujud (Wahdatul Wujud). Pandangan demikian diikuti pula oleh Dozy
(1820-1883). Pada tahun 1868 Von Kremer mengulas perkembangan Tasawuf, dan
mengakui pentingnya pandangan al-Junaid, minimal posisinya sebagai guru al-Hallaj.
Persoalan demikian diikuti oleh Krimsky (1871-1941), dimana tahun
1895 ia memberlakukan studi-studi di barat dalam bidang Tasawuf. Ia meyajikan
kesimpulan bahwa Tasawuf merupakan warisan kebudayaan Turki, Persia dan Arab.
Lantasan menyajikan ulasan tentang perkembangan Tasawuf sehingga akhir abad III
Hijriah. Ia juga menampilkan pemikiran tersembunyi yang telah ditegakkan oleh
al-Junaid, disamping ajaran dan pendidikan Tasawuf yang menjadi salah satu
thariqat keagamaannya.
Tahapan ini tidak terbuka, karena tersembunyinya dasar-dasar
praktik al-Junaid. Publikasi surat-surat Sufi ini berarti telah membuka - tidak
saja pada watak dan dasar pemikiran al-Junaid - perkembangan Tasawuf sampai
pada Thariqatnya. Namun surat-surat ini dirasakan memang sangat dalam dan sulit
untuk memahami kandungannya.
Akhirnya Harman (1851-1918) dalam bukunya, mengutip al-Qusyairy
menegaskan bahwa al-Junaid tokoh yang mengislamkan Tasawuf dan telah membuat
formasinya menjadi dasar-dasar orisinal. Ia mengakui bahwa al-Junaid adalah
seorang pemikir orisional, namun tertutup dalam lingkaran perkembangan Sufisme,
padahal ia lah yang membangkitkan Tasawuf Islam.
Realitasnya, bukan hal yang mudah untuk merelevansikan antara
pandang kaum Sufi dengan doktrin Islam; antara pemikiran tentang isolasi dan
penyatuan ketuhanan dengan penetapan wujud ekstra metafisik; antara pemikiran
bahwa ketuhanan adalah kondisi yang meliputi segala sesuatu yang penempatan
wujud hakiki yang tunggal, yang merupakan totalitas wujud itu sendiri, yaitu
pemikiran yang berpangkal pada pemikiran Wahdatul Wujud (kesatuan wujud) dan
Hulul. Disusul kemudian, dengan pandangan Wujud Tunggal, dimana tak ada lagi
yang Disembah dan yang menyembah. Lalu adakah peluang kewajiban dan hak-hak
syariat bagi yang tidak lagi berwujud, sebagaimana pandangan yang menyatakan
seorang hamba manakala telah sampai kepada Allah (wushul), ia telah menjadi
bebas, dan manakala ia bebas, kewajiban ibadahnya gugur, sebagaimana pendapat
kalangan liberalis kebatinan (ahlul ibahah).
Bagaimana al-Junaid mampu mengintegrasikan norma yang berbeda-beda
tersebut dalam relevansi Tasawuf dan doktrin Islam? Bagaimana ia melepaskan
diri - yang tidak bisa dilakukan oleh al-Hallaj dan Abu Yazid al-Bisthami,
ataupun Ahlul Ibahah (Liberalis kebatinan) seperti Rabah dan Kulaib?
Kenyataannya, para Ulama dan sastrawan Sufi benar-benar menerima
al-Junaid dan memuji keutamaan dan konsistensi pemikiranya, sementara ada
beberapa kalangan yang kontra Tasawuf dan melakukan polemik yang datang dari
para teolog, seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, yang melihat Tasawuf dari
sekedar petikan-petikan yang tersemburat, baik dari ucapan-ucapan, surat-surat
moralnya maupan dari otobiografinya yang bagus. Sementara dasar dan pemikiran
al-Junaid tetap saja tersembunyi, sebagaimana kedalam ungkapan yang sulit
dipahami, dan samar.
Pengarang surat-surat Sufi ini adalah Abul Qasim al-Junaid bin
Muhammad bin al-Junaid al-Kharraz al-Qawariry. Beliau lahir dan tumbuh di
Bagdad, namun berasal dari persia. Keluarganya pindah ke Bagdad dari Nahawand
melalui bukit. Para sejarawan tidak mempunyai data kelahirannya. Namun pada
usia mudanya dan dari perjumpaannya, sangat jelas ia bahwa ia sekitar tahun 210
H. Beliau dididik oleh pamanya sendiri, As-Sarry as-Saqathy semenjak ayahnya
wafat. Sedangkan rumahnya as-Saqathy senantiasa dipenuhi oleh para syeikh Sufi,
untuk forum mudzakarah. al-Junaid sendiri ikut aktif dalam forum-forum
tersebut.
Mazhab fiqihnya mengikuti aliran Abu Tsaur, namun beliau tidak
memasuki area ilmu kalam. Pada zamannya, beliau berguru kepada Ulama dan Sufi
ketika itu, seperti al-Muhasiby, adz-Dzary, abu Sa'id al-Kharraz dan para Ulama
besar lainnya. al-Junaid juga melahirkan muridnya terkenal seperti asy-Syibly
dan al-Hallaj. Beliau wafat di Bagdad tahun 294 H.
Tema-tema utama yang ditekuni para pakar dan pemikir pada abad III
H. Adalah "Tauhid dan Hubungan Manusia dengan Allah". Di sana ada
kelompok Mu'tazilah, yang mengklaim sebagai pakar keadilan dan tauhid (Ahlul
'Adl -Tauhid) yang cenderung pada rasionalisme. Ada juga kalangan Sufi yang
menamakan dirinya sebagai pemilik Tauhid (Arbab at-Tauhid), yang cenderung
berpijak pada Mujahadah Kalbu dalam menauhidkan Allah swt. Ibnu Katib
mengatakan, "kaum Mu'tazilah menyucikan Allah swt. dari segi akal dan
mereka akhirnya berbuat kesalahan. Sedangkan kaum Sufi mensucikan Allah swt.
dari segi ilmu, dan mereka ini mendapatkan bebenaran." Begitu pula
al-Junaid masuk dengan metode fana' dalam frekuensi yang berbeda-beda, sehingga
seorang hamba bisa fana' dari dirinya dan tak ada yang tetap abadi kecuali
Allah swt. Dalam salah satu suratnya beliau mengatakan:
"Arah kedua, adalah tauhidnya kalangan khusus. Ia hadir di
hadapan-Nya, tak ada oknum yang ketiga. Pada dirinya berlaku aturan-Nya dalam
alur aturan-aturan hukum kekuasaan-Nya, dalam keluasan dan kedalam lautan
tauhid-Nya, melalui kefana'an darinya, kemudian fana' dari panggilan Allah
kepadanya, dan fana' dari upaya pengabulan-Nya baginya, oleh Allah,... dan
mengenai hal tersebut, bahwa seorang hamba kembali pada awal mulanya, bahwa ia
ada sebagaimana firman Allah swt, "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak adam dari Sulbi mereka dan Allah mengambil
kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), bukankah Aku ini Tuhanmu?
Mereka menjawab, betul (Engkau Tuhan kami)....." (Q.S. AL-A'raaf: 172).
Maka siapa yang ada (ketika itu) dan bagaimana sebelum ia itu ada?
Itulah pangkal dari tujuan tauhid orang yang menyatu terhadap Yang Maha Satu
dengan tiadanya 'Dia'. "
Manakala kefana'an wujud hamba yang manunggal menuju wujud yang
haq (Allah swt.) terkadang menyeret pada istilah hulul atau ittihad, maka
al-Junaid membuat paradigma kebenaran bahwa fana' tersebut adalah fana' dalam
Allah melalui kembalinya hamba yang manunggal kepada al-Baqa' setelah mengalami
al-fana', dan kembali kepada al-Hudhur setelah mengalami al-ghoibah. Tahap
inilah yang disebut dengan tahap kesadaran (ash-shahw). Sehingga hamba yang
manunggal kembali kepada wujud semula, namun disertai keabadian fana'nya
didalam Allah. Maka hamba ini adalah hamba yang fana' nan abadi. Dengan artian
sang hamba keluar dari kehendak dirinya dan masuk kedalam kehendak al-Haq,
seperti yang diungkapan oleh al-Junaid:
"Mereka adalah hamba-hamba yang maujud, yang fana' dalam
kondisi ruhani kefana'annya, dan yang baqa' dalam kondisi ruhani kebaqa'annya...
dan dari hakikat wujud ia berada dalam hakikat syuhud dengan sinarnya dari
wujudnya. Dengan sinarnya wujud pada dirinya, justru jernihlah wujudnya. Dengan
sinarnya kejernihannya, ia ghaib dari sifat-sifatnya. Dan dengan ghaibnya,
berarti ia hadir dengan totalitas universalnya. Disana ia berada dalam mawujud
yang sirna; dan sirna yang mawujud. Ia berada didalam wahana ketika belum ada.
Dan ia tiada ketika dalam wahana ada. Kemudian setelah ia tiada ketika ia pada
wahana ada, berarti ia ada. Maka ia adalah ia setelah ia tiada. Ia adalah
maujud yang maujud setelah ia menjadi maujud yang sirna. Karena ia telah keluar
dari tahap ketakberdayaan dia menuju kesadaran yang jelas. Ia dikembalikan
kepada penyaksiaan (musyahadah) karena penempatan segala sesuatu pada
tempatnya, dan diletakan pada proporsinya, melalui penemuan sifat-sifatnya,
lewab kebaqa'an efek-Nya, dan mengikuti perbuatan-Nya setelah ia sampai pada
pangkal milik-Nya yang datang dari-Nya."
Dari prinsip inilah al-Junaid menjelaskan dengan wacana ash-shahw
setelah hamba tersirnakan, dalam mengalami kehadiaran setelah mencapai
keghaiban. Al-Junaid akhirnya menegakkan mazhab Sufi lewat penegakkan
simbol-simbol Syariat, dan sekaligus melindungi dirinya dari ungkapan hulul dan
ittihad, dimana kalangan liberal kebatinan yang ekstrim seperti Rabah al-Qaisy
dan Kulaib yang berasumsi bahwa, "Cinta Allah telah jatuh pada hati
mereka, hasrat asmara dan kehendak mereka, sehingga cinta-Nya telah mengalahkan
segala yang ada pada mereka. Apabila hal itu terjadi pada mereka disertai
tahap, ia telah mendapatkan keistimewaan dari Allah. Lalu ia dibolehkan
mencuri, berzina, meminum khamr, melakukan tindak kejahatan, atas dasar
prioritas keistimewaan antara mereka dengan Allah. Bukan didasari tindakan
halal, tetapi didasari tindakan prioritas persahabatan. Sebagai mana sahabat
dekat dihalalkan mengambil harta sahabatnya tanpa ijinnya." Sedangkan kaum
Sufi melepaskan diri dari tindakan seperti itu, karena pandangan demikian penuh
dengan kekeliruan. Itulah diantara keutamaan al-Junaid, hingga ia mendapatkan
gelar "Bapak Tasawuf Islam" dan imam Thariqat Sufi.
Surat-surat dan risalah Sufi yang ada ditangan kita ini adalah
satu-satunya dokumen manuskrip yang ada di Istambul (terdata pada bagian 374 No
1314). Naskah tersebut hanya ditulis melalui satu tangan, yakni lewat Ismail
bin Syauykin, yang wafat pada abad VII H, atau tahun 646 H, salah seorang murid
Ibnu Araby, Sufi besar yang terkenal itu. Pertama-tama saya mempublikasikan untuk
kepentingan studi saya mengenai al-Junaid dalam Gibb Memorial Series. Kemudian
saya menterjemahkannya dalam edisi inggris di London The Life, personallity and
Writing of al-Junayd (Gibb Memorial Series, New Series 22, 1992). Tulisan
tersebut kami muat selain risalah terakhirnya (KHitabu Dawa' At-tafrith) yang
merupakan manuskrip di Birmingham Inggris, dan kami tidak mendapatkan manuskrip
selain yang ada disana. (Mingan Arabic Collection Silly Ohk Libraly, No 905
Folios 109-119).
Kami dapatkan bagian pertamanya dari kitab Hilyatul Auliya' karya
Abu Nu'aim al-Asfihany (Juz VII, Hal. 271-173). Maka pada bagian didalam buku
ini kami menyertakanya. Dan naskah tersebut seperti risalah-risalah al-Junaid
yang ada pada bagian pertama yang memiliki ciri pemikiran yang dalam, jika
diukur dalam kriteria dan kejujuran/kebenarannya. Wa-billaahi At-taufiq. [1]
Komentar:
raden mas menulis:
aku penggagum, syekh
Junaidi Al-Baghdadi, bahkan aku selalu bertawasul tiap ba'da dzikir setalah
shalat 5 waktu, semoga mendapat limpahan barokah.
Adi Sumaryono menulis:
saya minta pengembangan dalam bidang tasawuf dalam generasi muda
saat ini.Agar menjadi generasi yang mempunyai semangat juang untuk
memebangkitkan kecintaan kepada Allah I dan
mengembalikan kejayaan umat islam
Komentarku ( Mahru ali ):
Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata:
"Tasawuf prinsipnya tidak populer, bahkan diidentikan sebagai
penyimpangan dan zindiq".
Komentarku
( Mahrus ali ):
Jadi saat itu tasawuf di anggap
menyimpang bukan ilmu yang lurus dan
orang masih pikir – pikir mau mengutarakan
ilmu tasawuf bukan ilmu hadis dan Quran di kalangan masarakat, karena ada anggapan
miring seperti itu. Jadi kalau di tinjau
dari realita seperti itu bukan dari hayalan, layak sekali bila masa ini
bertambah maju, bukan bertambah baik, tapi tambah jauh dari ajaran Islam.
Saat itu, ilmu hadis dan al Quran
masih di gunakan hujjah bukan tasawwuf oleh masarakatnya sehingga ajaran tasawuf yang bersebrangan dengan
keduanya harus di sembunyikan bukan di sebar luaskan. Bila di lontarkan akan
membikin kacau belau dan masarakat akan terkejut dengannya lalu tidak bisa menerimanya. Bahkan di katakan kafir, zindiq dll. Anehnya
masarakat sekarang bila ada orang yang menyalahkan ajaran tasawuf yang jelas
keliru, malah di anggap wahaby, luar line dll. Dan yang membenarkan tasawuf di
anggap ahlus sunnah. Itu penilaian terbalik, bukan penilaian yang tepat.
Jadi kekeliruan itu menurut masarakat bukan
karena tidak punya dalil, tapi terserah budaya dan lingkungannya. Bila
lingkungannya kristen, maka ajaran yang
berbau Islam di lontarkan di lingkungan tersebut akan di lemparkan dan tidak di
terima di kelirukan.
Dalam fatwa al azhar di katakan:
Ketika tasbih membudaya di
kalangan kaum muslimin karena banyak dari
kalangan orang awam yang melakukannya, dan para
ulama nya tidak menganggap baik.
Karena itu pada abad ke tiga Hijriyah di tangan Junaid terdapat tasbih, lalu ada
orang yang memprotesnya lalu di katakan:
أَنْتَ مَعَ شَرَفِكَ تَأْخُذُ بِيَدِكَ سُبْحَةً؟ فَقَالَ: طَرِيْقٌ
وَصَلْتُ بِهِ إِلَى رَبِّى لاَ أُفَارِقُهُ
Kamu yang mendapat kemuliaan ini juga memegang tasbih, lalu beliau menjawab: Tasbih ini adalah jalan yang aku bisa sampai
kepada Allah, maka aku tidak akan meninggalkannya. [2]
Komentarku
( Mahrus ali ):
:
Ketika saya mendengar kalimat tersebut dari
Junaid, saya berkata dalam hatiku, lho para nabi dan Rasul atau para sahabat
tidak pernah berkata wusul atau sampai
kepada Allah, apakah Junaid lebih hebat dari mereka.
Lalu bagaimanakah sampai kepada
Allah itu, maksudnya bagaimana ? Sebab para rasul
sendiri tidak pernah bilang tentang hal itu.
Saya hanya mengetahui ayat sbb:
أَلاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ
اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ
يَحْزَنُونَ(62)الَّذِينَ ءَامَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ(63)لَهُمُ الْبُشْرَى
فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي اْلآخِرَةِ لاَ تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللهِ ذَلِكَ
هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali
Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka
bersedih hati.(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa.Bagi
mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat.
Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu
adalah kemenangan yang besar.[3]
Kita ini di perintahkan untuk
mendekat kepada Allah sebagaimana hadis:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا
فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ
إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ
بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي
يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا
وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي َلأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنِ
اسْتَعَاذَنِي َلأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا
فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا
أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ *
,Rasulullah t bersabda:
Sesungguhnya Allah I
bersabda:” Barang siapa yg
memusuhi wali-Ku, sungguh Aku memberi izin kepadanya untuk berperang, Tiada kebaikan yg di lakukan oleh hamba-Ku yg
lebih Ku-senangi dari pada menjalankan apa yg Ku-wajibkan kepadanya Tiada
hentinya seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan ibadah – ibadah sunah hingga
Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, Akulah yg menjadi pendengarannya yg dibuat mendengar
( hingga dia akan senang mendengar kebaikan dan benci mendengar kejelekan ) dan
penglihatannya yg dibuat melihat, tangannya yg dibuat menampar ( hingga tidak akan dibuat menampar sesama muslim dan
akan dibuat bergerak di jalan Allah ), menjadi kakinya yg
dibuat berjalan,Bila dia minta kepadaku, akan-Ku beri. Bila minta perlindungan
kepadaKu akan Ku lindungi.
Aku selalu mondar mandir untuk mencabut rohnya karena dia tidak suka mati
dan Aku tidak mau menyakitinya.[4]
Ibnu taimiyah berkata:
وَقَدْ أَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهِ
ابْنُ عَرَبِيٍّ - صَاحِبُ الْفُصُوصِ - وَادَّعَى أَنَّ الجنيد وَأَمْثَالَهُ مَاتُوا
وَمَا عَرَفُوا التَّوْحِيد
Ibnu Arabi
sendiri – pengarang kitab fushus tidak cocok dengan Junaid dan menganggap bahwa
Junaid dan sesamanya mati dan tidak mengerti tauhid. [5]
Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata:
Faktor terpenting, mengapa pandangan pemikiran sufistik ini tidak
menyebar, adalah karena hakikat-hakikat sufistik sebenarnya sulit diungkapan
lewat kata-kata atau ungkapan kalimat, karena ketidak muatan kata-kata itu
untuk mengkomunikasikan isyarat-isyaratnya dan pengalaman ruhaninya. Bahkan
kebanyakan khalayak manusia tidak dapat memahaminya, diantaranya adalah Ibnu
Araby, yang menegaskan bahwa dirinya juga tidak dapat memahami ucapan-ucapan
al-Junaid.
Komentarku ( Mahru ali ):
Jangan asal ngomong, ilmu macam apa tasawuf itu sehingga tidak
bisa di tulis dalam buku atau tidak bisa di ceritakan dengan lidah agar bisa di
dengar oleh masarakat, keluarga atau anak istri, lalu bagaimana tehnis
pengajarnnya bila tidak bisa di
katakan dengan lidah.
Ajaran Islam saja bisa di tulis dalam al Quran, dan bisa di
sebarkan dengan lidah, juga dengan buku. Apakah tidak malu kepada generasi mendatang atas
omongan yang menyatakan ajaran tasawuf
beda dengan ajaran al Quran yang bisa di tulis atau di ceritakan. Allah
berfirman:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا
الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur'an untuk
pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?[6]
ِ
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ
وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
. Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan,[7]
Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir
berkata:
"Begitu juga al-Junaid dengan segenap pengetahuannya yang
begitu banyak, kedalam pemikirannya, serta ketekunannya dalam wirid dan ibadah,
keutamaannya melebihi para Ulama di zamannya dalam pemahaman, pengetahuan dan
agama. Sehingga beliau mendapat gelar sebagai Thawusul Ulama'. Seringkali
mereka dikejar dan ditangkap, lalu dituduh sebagai pelaku kekufuran dan
kezindiqan."
Komentarku ( Mahru ali ):
Bila generasi dulu sudah menyatakan kekufuran dan kezindiqannya,
maka saya kira tidak salah penilaian ulama dulu.
Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir berkata:
Juga yang menimpa al-Hallaj, murid al-Junaid, dalam eksekusi
kematian dan penyaliban, karena ia telah memperkenankan publikasi
rahasia-rahasia spiritual. Apalagi pandangan al-Hallaj kemudian disalahpahami
oleh khalayak, seputar Wujud Rabbany dan Wujud Insany yang mendorong khalayak
terjerumus pada pandangan "serba boleh", yang ini merupakan pandangan
kalangan yang mewenangkan segala yang haram dan mengabaikan hukum-hukum
syariat, melalui metode "ketiadaan" dan ketidakwujudan mereka,
sehingga berbagai aturan hukum tidak berlaku bagi mereka. Mereka ini disebut
sebagai "Ahlul Ibahah".
Komentarku ( Mahru ali ):
Rahasia sepiritual itu bila
cocok dengan sariat, silahkan pakai dan bila bertentangan dengannya,
maka tinggalkan,.peganglah ayat:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ
اْلأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ(18)
Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu
syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan
janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.[8]
شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى
بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ
وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلاَ تَتَفَرَّقُوا فِيهِ كَبُرَ
عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ اللهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ
يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ(13)
Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang
telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan
apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah
agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang
musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu
orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama) -Nya orang yang
kembali (kepada-Nya).[9]
Namun syariat Allah lama kelamaan tidak bisa orsinil
sebagaimana semula. Ia mengalami
perobahan oleh tangan ulama sebagaimana
di kisahkan oleh Allah
فَبِمَا نَقْضِهِمْ مِيثَاقَهُمْ
لَعَنَّاهُمْ وَجَعَلْنَا قُلُوبَهُمْ قَاسِيَةً يُحَرِّفُونَ الْكَلِمَ عَنْ
مَوَاضِعِهِ وَنَسُوا حَظًّا مِمَّا ذُكِّرُوا بِهِ وَلاَ تَزَالُ تَطَّلِعُ عَلَى
خَائِنَةٍ مِنْهُمْ إِلاَّ قَلِيلاً مِنْهُمْ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاصْفَحْ إِنَّ
اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ(13)
(Tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk
mereka, dan Kami jadikan hati mereka keras membatu. Mereka suka merobah
perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan
sebagian dari apa yang mereka telah diperingatkan dengannya, dan kamu
(Muhammad) senantiasa akan melihat kekhianatan dari mereka kecuali sedikit di
antara mereka (yang tidak berkhianat), maka maafkanlah mereka dan biarkanlah
mereka, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.[10]
Bapak DR. Ali Hasan Abdul Qadir
berkata:
. Dan ia melihat bahwa al-Junaid telah selesai pemikirannya pada
pemikiran kesatuan wujud (Wahdatul Wujud). Pandangan demikian diikuti pula oleh
Dozy (1820-1883). Pada tahun 1868 Von Kremer mengulas perkembangan Tasawuf, dan
mengakui pentingnya pandangan al-Junaid, minimal posisinya sebagai guru
al-Hallaj.
Komentarku ( Mahru ali ):
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas berkata:
Keyakinan wahdatul wujud [11]
(meyakini bahwa semua yang ada ini hanya satu) dan i’tiqad bahwa Allah menjelma
(hulul) pada makhluk-Nya, maka semua keyakinan ini adalah kufur dan
mengeluarkan seseorang dari Islam.[12]
Keyakinan hululiyyah[13]
dan ittihadiyyah[14] merupakan jenis kekufuran
yang paling buruk. Sama halnya dengan bentuk yang khusus seperti orang-orang
yang berkeyakinan bahwa Allah Azza wa Jalla menitis kepada ‘Isa Alaihissallam,
kepada ‘Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu dan sebagian anak cucunya, kepada
sebagian raja-raja atau syaikh-syaikh, dan orang yang memiliki bentuk fisik
yang indah, atau yang lainnya dari perkataan yang lebih parah kesesatannya dari
perkataan kaum Nasrani.
Orang-orang yang berkeyakinan sesat tersebut berpendapat bahwa
hulul dan ittihadnya Allah adalah dalam segala perwujudan hingga meliputi
anjing, babi, atau benda-benda najis. Hal tersebut seperti keyakinan
orang-orang Jahmiyah dan orang-orang yang mengikuti keyakinan tersebut, seperti
Ibnu ‘Arabi, Ibnu Sab’in, Ibnul Faridh, Tilmisani, Balyani, dan selainnya.
-Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan-.
Sedangkan jalan para Nabi dan orang-orang yang mengikutinya dari
orang-orang Mukmin, berkeyakinan bahwa Allah adalah Yang menciptakan alam
semesta, Rabb Penguasa langit dan bumi serta apa-apa yang ada di antara
keduanya, Rabb Pemilik ‘Arsy yang agung, dan seluruh makhluk adalah hamba-Nya
dan semuanya butuh kepada-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
"Wahai manusia, kamulah yang membutuhkan Allah; dan Allah
Dia-lah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” [Al-Faathir:
15]
Juga firman-Nya Subhanahu wa Ta’ala
"Allah adalah Ilah yang bergantung kepada-Nya segala urusan.”
[Al-Ikhlash: 2]
Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di atas langit, bersemayam di
‘Arsy-Nya, berpisah dari makhluk-Nya. Meskipun demikian Allah tetap bersama
para makhluk-Nya di mana pun mereka berada. Sebagai-mana firman Allah dalam
surat al-Hadiid di atas.[15]
[1]
Di tulis oleh DR. Ali Hasan Abdul
Qadir / http://www.sufinews.com/index.php?subaction=showfull&id=1103071882&archive=&start_from=&ucat=16&do=sastra
[2]
Arrisalah al Qusairiyah ,
fatawa al azhar 11/9
[3]
Yunus 62-64
[4]
HR Bukhori / Roqoq/6502.
[5]
Majmu` fatawa 155/1
[6] Al Qamar 22
[7]
Annakhel 44
[8]
Al Jatsiyah 18
[9]
Syura 13
[10]
Al maidah 13
[11]
Inilah penamaan yang lebih
tepat (dengan huruf wawu difat-hah) menurut kaidah bahasa Arab, walaupun lafazh
yang lebih masyhur adalah wihdatul wujud
[12] Lihat Mujmal Ushuul Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah fil ‘Aqiidah (hal. 10).
[13] Hululiyyah adalah salah satu keyakinan
Tashawwuf yang meyakini bahwa Allah menitis kepada makhluk-Nya.
[14]
Ittihadiyyah yaitu
keyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluk-Nya.
[15]
Lihat Majmuu’ Fataawaa
Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah (III/393).
Artikel Terkait
Bagaimana dengan pengkelasan kualitas ibadah seorang muslim dari syariat, tarikat dan makrifat apa memang ada dalilnya dan bagaimana menilai tiap kelompok/kelas tersebut, terima kasih.
BalasHapusUntuk taniberkredit
BalasHapusIlmu hakikat tidak dikenal di kalangan sahabat dan tabiin, itu ilmu baru, bukan Islami. Ilmu tasawwuf yang menyimpang bukan yang lurus. Baca lagi disini
Memoar Pengembaraan Imam Al Ghazali dalam Mencari Hakikat ...
28 Mei 2011
anda tau kopi..??? tau proses pembuatannya..???
BalasHapusklw anda sdh tau coba anda minum..??? bagaimana rasanya..???
pahit atau maniskah..??? coba ungkapkan bagaimana rasa manis atau pahit itu sendiri..???
Mahrus ali dedengkot wahabi
BalasHapusUntuk heri mumbo
BalasHapusSadarlah, jangan mabuk laut, darat atau udara. Tapi kembalilah kepada Al quran dan hadis. Anda ditunjukkan malah menuduh wahabi kepada yang menunjukkan. Itu bahaya sekali untuk anda bukan menyelamatkan. Tunjukkan mana yang salah.