Seorang juru masak yang kebetulan muslim disebuah restoran Jepang
mengakui bahwa arak itu haram hukumnya. Tetapi dia mengaku mendapat ilmu dari
gurunya bahwa untuk masakan tertentu harus menggunakan arak tertentu pula.
Kalau tidak pakai arak, masakan itu akan hambar dan tidak enak.
Rasa arak memang sulit didefinisikan. Bukan karena alkoholnya,
tetapi justru flavour dan aroma yang muncul itulah yang menghasilkan rasa
tertentu. Malangnya arak telah dikembangkan berabad-abad dan diyakini sebagai
bahan masakan yang lezat. Arak
ditemukan hampir disemua suku bangsa sebagai bagian dari tradisinya. Di Cina,
minum arak sudah menjadi budaya yang tak terpisahkan. Oleh karena itu kita mengenal
dewa mabuk dalam cerita-cerita kungfu. Di Jepang budaya minum Sake telah
terjadi selama berabad-abad. Di Eropa ada anggapan bahwa softdrink dan jus
buah berkonotasi dengan anak-anak. Oleh karena itu pesta tanpa minuman keras
dikatakan sebagai pestanya anak-anak.
Budaya minuman keras
rupanya bukan hanya monopoli budaya asing. Di Indonesia minuman memabukan itu
telah dikenal dalam adat berbagi daerah di Indonesia. Orang Bali mengenal Brem,
orang Jawa mengenal tuak, orang Sulawesi Utara mengenal Cap Tikus, dan
berbagai minuman sejenis lainnya di daerah-daerah.
Kesukaan pada minuman
keras itu rupanya juga berimbas pada masakan dan makanan lainnya. Kegemaran
akan aroma dan rasa khas yang terdapat pada arak itu ingin juga dimasukkan pada
masakan. Oleh karena itu mulailah berbagai masakan dicampur dengan arak guna
mendapatkan sensasi khas minuman keras.
Budaya itu telah
mengakar dan berlangsung secara turun-menurun hingga saat ini. Karena lekatnya masyarakat
dengan barang haram itu, maka masakan itu menjadi kurang enak jika tidak
ditambah arak. Sebenarnya enak dan tidak enak itu tipis sekali batasannya.
Bagi orang Jawa yang sejak kecil sudah biasa makan terasi, tentu saja makan
terasa hambar tanpa sambal terasi. Sebaliknya orang eropa akan nyengir diberi
makan berterasi karena memang tidak biasa. Demikian juga dengan keju yang di
fermentasikan. Bagi orang Eropa, makan berbagai fermented cheese adalah hal
yang menarik. Tetapi bagi anda yang tidak biasa akan menganggapnya masakan
busuk. Rasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, lingkungan sejak
kecil dan faktor kebiasaan. Orang Belanda yang sudah lama hidup di Indonesia
akan sangat menikmati hidangan asli Indonesia, karena sudah terbiasa. Demikian
juga anak Indonesia yang lahir dan besar di Eropa, atau di biasakan dengan
gaya Eropa akan lebih menikmati keju dan salad atau oncom. Saat ini berbagai
masakan banyak menggunakan arak sebagai bahan penyedap. Meskipun dalam proses pemasakannya
alkohol telah terbang, tetapi rasa dan aroma arak masih tetap menempel pada
masakan tersebut. Hal yang sama akan terjadi pada masyarakat, karena
dibiasakan dengan rasa dan aroma arak lama-lama masakan itulah yang
dianggapnya enak. Konsumen akan lebih akrab dengan rasa dan aroma
arak itu dibanding masakan lain. Kalau sudah demikian, maka benarlah anggapan
sang juru masak tadi, bahwa masakan tanpa arak akan hambar. Hambar dan enak
yang serba relatif, yang tercipta karena mitos yang ditanamkan selama
bertahun-tahun. Mungkin oleh arak secara langsung, mungkin dari masakan yang menggunakan
arak, atau mungkin juga dari flavour atau bahan perasa yang mengarah kepada
arak. oleh Nur Wahid [1]
Komentar : Untuk terasi , memang saya dan keluarga saya telah lima tahun tidak makan
makanan yang ada terasinya , karena trasi itu dari bahan ikan kecil yang di
lembutkan bersama tahinya dan saya tidak
akan makan tahi dan tahi haram.
Bacalah lagi disini:
17 Agt 2011
Bacalah lagi
diblog ke dua : www.mantankyainu2.blogspot.com
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan