Luthfi Bashori
Senin siang 4 Pebruari
2013, penulis diajak menengok perkampungan Dayak di desa Magalau. Jarak dari
Sampanahan sekitar 15 kilo meter. Sepeda motor adalah alternatif kendaraan yang
paling tepat untuk sampai ke tempat tujuan.
Sampanahan sendiri
sekalipun sebagai wilayah kecamatan, namun jalan rayanya masih terdiri dari
tanah makadam (jalan tanah berbatu rapat). Sedangkan untuk menuju desa Magalau,
harus melewati jalan tanah yang rusak, becek dan berlobang di sana-sini.
Penulis sendiri
dibonceng oleh Pak H. Abdullah yang usianya 55 tahun, namun kondisi badannya
masih tegap dan kuat. Bahkan pada jalanan yang tidak tepat dikatakan sebagai
jalan yang enak itu, Pak Haji Abdullah cukup kencang saat mengendarai sepeda
motornya.
Perjalanan yang
berliku-liku, naik turun tebing yang curam sangat mendebarkan hati, apalagi
sudah lama penulis tidak naik sepeda motor di daerah pedesaan. Maka rasa ngeri
sempat menyelimuti hati, karena untuk sampai ke desa Magalau harus lewat hutan
belantara yang sangat rimbun.
Di salah satu jalan
yang lokasinya naik dan turun cukup terjal, penulis sempat berteriak kepada Pak
H. Abdullah untu berhenti. Begitu motor dihentikan, karena Pak H. Abdullah
merasa kaget mendengar teriakan penulis, maka secara spontan penulis melompat
dari sadal tempat duduk sepeda motor dan memilih jalan kaki akibat rasa ngeri
saat melintasi jalan terjal itu.
Pak H. Abdullah hanya
bisa tersenyum melihat tingkah laku penulis yang sedikit ketakutan, bahkan
beliau dengan sabar menghibur penulis agar dapat menghilangkan rasa takut di
perjalanan itu. Demikianlah kondisi jalan yang harus ditempuh jika akan masuk
desa Magalau.
Menurut penulis, betapa
tidak adilnya pemerintah pusat dalam memberikan fasilitas bagi rakyat khususnya
yang berada di desa terpencil.
Begitu sampai di
tempat tujuan, ternyata penulis diajak menengok beberapa pekerja yang sedang
mendulang emas di sungai besar dengan aliran air yang cukup deras, namun
mengandung butiran pasir emas yang sangat berharga.
Ada sampan besar yang
dimodifikasi dengan mesin fuso dan rangkaian selang dan pipa berukuran super
jumbo, serta modifikasi saringan kayu ulin yang tahan air, juga beberapa keset
karpet bertuliskan welcome, diatur berjajar sedemikian rupa untuk menahan
butiran emas agar terkumpul di keset-keset itu.
Subhanallah, dari desa
kecil terpencil tanpa fasilitas yang memadai ini, ternyata Magalau menjadi
salah satu sumber penghasilan uang negara yang cukup besar. Karena para
petambang emas ini pada akhirnya juga harus setor kepada pihak-pihak yang
berhubungan dengan pemerintahan negara, baik langsung maupun tak langsung.
Penulis mendengar
hitungan 16 gram koma sekian, dengan harga total Rp 6 juta sekian, hari itu
yang dapat dihasilkan oleh salah satu group kerja dengan 5 orang anggota yang
kebetulan termasuk `anak buah` Pak H. Abdullah pemilik dua sampan pendulang
emas. Hasil jumlah itu setelah ditimbang dan dihitung ternyata setiap pekerja
mendapatkan uang bagian (bersih) sekitar Rp 600 ribu di hari itu.
Menurut info, sistem
pembagian hasil adalah harian, yaitu sepulang dari mendulang/menyedot emas di
sungai maka langsung ditimbang dan hasilnya dibagi saat itu juga sesuai
perjanjian. Hampir setiap hari warga setempat mendapatkan butiran emas itu yang
jika dirata-rata dengan uang, maka penghasilan perhari mereka adalah sekitar Rp
500 ribu/orang.
Tapi anehnya, karena
tidak ada kepedulian dari pemerintah terhadap kemaslahatan warga desa Magalau
kecamatan Sampanahan itu, maka tetap saja kondisi desa mereka masih tertinggal
jauh dibandingkan situasi mayoritas daerah-daerah yang ada di pulau Jawa.
Lampu PLN saja hanya
dapat menyala mulai pukul 5 sore sampai pukul 5 pagi, sedangkan untuk siang
harinya PLN sengaja mematikan aliran listriknya dari pusat. Karena kondisi
semacam inilah maka warga setempat, sekalipun simpanan uang mereka cukup
melimpah, namun tetap saja cara berpikirnya jauh tertinggal di bawah standar
pemikiran masyarakat pulau Jawa.
Sekali lagi, sistem
pendidikan dan pembagian fasilitas umum di negeri ini sangat tidak merata dan
tampak timpang jika ditimbang-timbang antara standar pulau Jawa dan non pulau
Jawa, seperti keberadaan desa pendulang emas Magalau, kecamatan Sampanahan, kabupaten
Kota Baru, propensi Kalimantan Selatan ini.
Ya Allah, kapan negeri
ini dapat menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur,
negeri yang baik dan
makmur dalam naungan ampunan Allah? Indonesia sangat butuh presiden
taat syariat yang adil dan berpihak kepada rakyat.
Komentarku ( Mahrus
ali):
Itulah rejeki halal,
tapi harus – hati- hati ketika menyimpannya, bisa jadi termasuk ayat:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ
الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلَا يُنْفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَبَشِّرْهُمْ
بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
orang-orang
yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih."
(QS. At-Taubah : 34
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan