Tim penulis LBM
Jember menyatakan:
…………….para ulama
membagi bid`ah menjadi dua, bid`ah hasanah ( baik ) dan bid`ah sayyiah ( buruk ) Lebih rinci lagi bid`ah itu terbagi lima
bagian sesuai dengan jumlah hukum Islam yang lima, wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah
Komentarku ( Mahrus ali ):
Setahu saya, tiada para
sahabat yang melakukan pembagian bid`ah menjadi lima bagian
itu, begitu juga generasi tabiin. Ia di lakukan oleh sebagian kecil
ulama belakangan yang tiada dalilnya. Bid`ah
yang jelas sesat dan tertolak, malah di wajibkan. Ini lucu sekali, apalagi di sunahkan. Mewajibkan suatu kebid`ahan atau
mensunnahkan nya harus berdalil. Bila tidak, maka sama dengan membuat sariat
baru. Dan ini sama dengan hukum jahiliyah. Allah berfirman:
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ
يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum Jahiliyah yang
mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah
bagi orang-orang yang yakin?
Al-Ustadz Abu Muhammad Harits
pernah menulis sbb:
Adakah Bid’ah Hasanah?
Banyak alasan yang dipakai
orang-orang untuk ‘melegalkan’ perbuatan bid’ah. Salah satunya, tidak semua
bid’ah itu jelek. Menurut mereka, bid’ah ada pula yang baik (hasanah). Mereka pun
memiliki dalil untuk mendukung pendapatnya tersebut. Bagaimana kita
menyikapinya?
Di antara sebab-sebab
tersebarnya bid’ah di negeri kaum muslimin adalah adanya keyakinan pada
kebanyakan kaum muslimin bahwa di dalam kebid’ahan ini ada yang boleh diterima
yang dinamakan bid’ah hasanah. Pandangan ini berangkat dari pemahaman bahwa
bid’ah itu ada dua: hasanah (baik) dan sayyiah (jelek).
Berikut ini kami paparkan apa
yang diterangkan oleh Asy-Syaikh As-Suhaibani dalam kitab Al-Luma’: Bantahan
terhadap Syubhat Pendapat yang Menyatakan Adanya Bid’ah Hasanah
Syubhat pertama:
Pemahaman mereka yang salah
terhadap hadits:
“Barangsiapa membuat satu
sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam maka dia mendapat pahalanya
dan pahala orang yang mengamalkannya sesudahnya tanpa mengurangi pahalanya
sedikitpun. Dan barangsiapa yang membuat satu sunnah yang buruk di dalam Islam,
dia mendapat dosanya dan dosa orang-orang yang mengerjakannya sesudahnya tanpa
mengurangi dosanya sedikitpun.” (Shahih, HR. Muslim no. 1017).
Bantahannya
Pertama: Sesungguhnya makna
dari (barangsiapa yang membuat satu sunnah) adalah menetapkan suatu amalan yang
sifatnya tanfidz (pelaksanaan), bukan amalan tasyri’ (penetapan hukum). Maka
yang dimaksud dalam hadits. Makna ini adalah amalan yang ada tuntunannya dalam
Sunnah Rasulullah ini ditunjukkan pula
oleh sebab keluarnya hadits tersebut, yaitu sedekah yang disyariatkan.
Kedua: Rasul yang mengatakan:
“Barangsiapa yang membuat
satu sunnah (cara atau jalan) yang baik di dalam Islam.”
Adalah juga yang mengatakan:
“Semua bid’ah itu adalah
sesat.”
Dan tidak mungkin muncul dari
Ash-Shadiqul Mashduq Rasul yang benar
suatu perkataan yang mendustakan ucapannya yang lain.dan dibenarkan saling bertentangan. Tidak mungkin pula
perkataan beliau
Dengan alasan ini, maka tidak
boleh kita mengambil satu hadits dan mempertentangkannya dengan hadits yang
lain. Karena sesungguhnya ini adalah seperti perbuatan orang yang beriman
kepada sebagian Al-Kitab tetapi kafir kepada sebagian yang lain.
mengatakan (barangsiapa
membuat sunnah) bukan
Ketiga: Bahwasanya Nabi mengatakan (barangsiapa yang membuat bid’ah).
Juga mengatakan (dalam Islam). Sedangkan bid’ah bukan dari ajaran Islam. Beliau
juga mengatakan (yang baik). Dan perbuatan bid’ah itu bukanlah sesuatu yang
hasanah (baik).
Tidak ada persamaan antara As
Sunnah dan bid’ah, karena sunnah itu adalah jalan yang diikuti, sedangkan
bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan di dalam agama.
Keempat: Tidak satupun kita
dapatkan keterangan yang dinukil dari salafus shalih menyatakan bahwa mereka
menafsirkan Sunnah Hasanah itu sebagai bid’ah yang dibuat-buat sendiri oleh
manusia.
Syubhat kedua:
Pemahaman mereka yang salah
terhadap perkataan ‘Umar bin Al- Khaththab “Sebaik-baik bid’ah adalah ini (tarawih
berjamaah)”.
Jawaban atas syubhat ini:
1. Anggaplah kita terima
dalalah (pendalilan) ucapan beliau seperti yang mereka maukan – bahwa bid’ah
itu ada yang baik, namun sesungguhnya, kita kaum muslimin mempunyai satu
pedoman; kita tidak dengan pendapat
siapapun juga boleh mempertentangkan sabda Rasulullah (selain beliau). Tidak dibenarkan kita
membenturkan sabda beliau dengan ucapan Abu Bakar, meskipun dia adalah orang
terbaik di umat ini sesudah beliuu
Firman Allah
“(Kami mengutus mereka) sebagai
rasul-rasul pemberi berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada
alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul itu.” (An-Nisa`:
165)
Sehingga tidak tersisa lagi
bagi manusia satu alasan pun untuk membantah Allah dengan telah diutusnya para
rasul ini. Merekalah yang telah menjelaskan urusan agama mereka serta apa yang
diridhai oleh Allah. Merekalah hujjah Allah terhadap kita manusia, bukan selain
mereka.
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al-Hujurat: 1)
Asy-Syaikh ‘Abdurrahman As-Sa’di
t (secara ringkas) mengatakan: “Ayat ini mengajarkan kepada kita bagaimana
beradab terhadap Allah dan Rasul-Nya, hendaknya kita berjalan (berbuat dan
beramal) mengikuti perintah Allah dan Sunnah Rasul-Nya, jangan mendahului Allah
dan Rasul-Nya dalam segenap urusan. Dan inilah tanda-tanda kebahagiaan dunia
dan akhirat.”
Ibnu ‘Abbas mengatakan: “Hampir-hampir kalian ditimpa
hujan batu dari langit Aku katakan: Rasulullah bersabda demikian...demikian, (tapi). kalian mengatakan: Kata Abu Bakr dan ‘Umar
begini…begini....”
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengatakan: “Tidak ada (hak) berpendapat bagi.”siapapun
dengan (adanya) sunnah yang telah ditetapkan Rasulullah
Al-Imam Asy-Syafi’i t
mengatakan: “Kaum muslimin telah sepakat bahwa, tidak halal bagi orang
yang telah jelas baginya sunnah Rasulullah untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat
(pemikiran) seseorang.”
Al-Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “Barangsiapa yang menolak hadits,
berarti dia (sedang) berada di tepi jurang kehancuran.”
2. Bahwa ‘Umar
mengatakan kalimat ini tatkala beliau mengumpulkan kaum muslimin untuk
shalat tarawih berjamaah. Padahal shalat tarawih berjamaah ini bukanlah suatu
bid’ah. Bahkan perbuatan tersebut termasuk sunnah dengan dalil yang
diriwayatkan oleh ‘Aisyah, bahwa Rasulullah
pada suatu malam shalat di masjid, kemudian orang-orang mengikuti beliau.
Kemudian keesokan harinya jumlah mereka semakin banyak. Setelah itu malam berikutnya
(ketiga atau keempat) mereka berkumpul (menunggu ). Namun beliau tidak keluar. Pada
pagi harinya, beliau Rasulullah bersabda:
“Saya telah melihat apa yang
kalian lakukan. Dan tidak ada yang menghalangiku untuk keluar (shalat bersama
kalian) kecuali kekhawatiran (kalau-kalau) nanti (shalat ini) diwajibkan atas
kalian.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no. 1129)
Secara tegas beliau
menyatakan di sini alasan mengapa beliau meninggalkan shalat tarawih berjamaah.
Maka tatkala ‘Umar melihat ) sudah tidak ada lagi alasan ini (kekhawatiran
Rasulullah ) beliau menghidupkan kembali shalat tarawih berjamaah ini. Dengan
demikian, jelaslah bahwa tindakan khalifah ‘Umar ini mempunyai landasan yang kuat yaitu perbuatan Rasulullah
Jadi jelas bahwa bid’ah yang
dimaksudkan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab adalah bid’ah dalam pengertian secara
bahasa, bukan menurut istilah syariat. Dan jelas pula tidak mungkin ‘Umar
berani melanggar Rasulullah yang
telah menyatakan bahwa: “Semua bid’ah
itu sesat.”
Syubhat ketiga:
Pemahaman yang salah tentang
atsar dari Ibnu Mas’ud:
“Apa yang dianggap baik oleh
kaum muslimin, maka dia adalah baik di sisi Allah.” (Dikeluarkan oleh Al-Imam
Ahmad, 1/379)
Bantahan:
Ini adalah ucapan Ibnu Mas’ud
semata.. Atsar ini tidak shahih jika di-rafa’-kan (disandarkan) kepada Rasulullah
Ia diriwayatkan dari Anas tetapi sanadnya gugur,
yang shahih adalah mauquf (hanya sampai) kepada Ibnu Mas’ud z.
Dan tentunya yang dimaksud
dengan kata Al-Muslimun di sini adalah para shahabat. Dan tidak ada satupun
riwayat yang dinukil dari mereka yang menyatakan adanya bid’ah yang hasanah.
- Kalaulah dianggap bahwa ini
menunjukkan keumuman (maksudnya seluruh kaum muslimin), maka artinya adalah
ijma’. Dan ijma’ adalah hujjah. Maka sanggupkah mereka menunjukkan adanya satu perbuatan
bid’ah yang disepakati berdasarkan ijma’ kaum muslimin bahwa perbuatan itu
adalah bid’ah hasanah? Tentunya ini adalah perkara yang mustahil.
- Bagaimana mereka berani
berdalil dengan ucapan beliau seperti ini, padahal beliau sendiri adalah orang yang
paling keras kebenciannya terhadap bid’ah, di mana beliau z pernah mengatakan:
“Ikutilah! Dan jangan berbuat
bid’ah. Sungguh kalian telah dicukupkan. Dan sesungguhnya setiap bid’ah itu
adalah sesat.”(Shahih, HR. Ad-Darimi 1/69).
Secara ringkas, semua keterangan
di atas yang menunjukkan betapa buruknya bid’ah. Kami simpulkan dalam beberapa
hal berikut ini, yang kami nukil dari sebagian tulisan Asy-Syaikh Salim Al-Hilali
t:
Cukuplah semua akibat buruk
yang dialami pelaku bid’ah itu sebagai kejelekan di dunia dan akhirat, yakni:
1. Amalan mereka tertolak, sebagaimana
sabda Rasulullah
“Barangsiapa yang membuat-buat
sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kami yang bukan berasal daripadanya, maka
semua itu tertolak.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Aisyah x)
2. Terhalangnya taubat mereka
selama masih terus melakukan kebid’ahan itu. Rasulullah bersabda:
“Allah menghalangi taubat
setiap pelaku bid’ah sampai dia meninggalkan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Abi Ashim
dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam As Shahihah no. 1620 dan As Sunnah
Ibnu Abi Ashim hal. 21)
3. Pelaku bid’ah akan
mendapat laknat karena Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang berbuat
bid’ah, atau melindungi kebid’ahan, maka dia akan mendapat laknat dari Allah, para
malaikat dan seluruh manusia.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari ‘Ali bin
Abi Thalib z).
Akhirnya, wahai kaum muslimin,
hendaklah kita menjauhi semua kebid’ahan ini setelah mengetahui betapa besar
bahayanya bid’ah. Selain kita menjauhi bid’ah itu sendiri, juga kita diperintah
untuk menjauhi para pelakunya apalagi juru-juru dakwah yang mengajak kepada
pemikiran-pemikiran bid’ah ini. Seandainya ada yang mengatakan: Bukankah mereka
orang yang baik dan apa yang mereka sampaikan itu dalah baik juga? Hendaklah kita ingat firman
Allah
“Kalau kiranya Allah
mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat
mendengar. Dan jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka
pasti berpaling juga, sedang mereka memalingkan diri.” (Al-Anfal: 23)
Perlu pula kita ketahui bahwa
bid’ah itu lebih berbahaya dari kemaksiatan. Seseorang yang bermaksiat dia akan
merasa takut dan melakukannya dengan sembunyi-sembunyi atau melarikan diri
setelah berbuat. Sedangkan pelaku bid’ah semakin tenggelam dalam kebid’ahannya
dia akan semakin merasa yakin bahwa dia di atas kebenaran. Satu lagi, bid’ah
itu adalah posnya (pengantar kepada) kekufuran.
Wallahu a’lam. Semoga Allah
tetap membimbing kita mendapatkan hidayah dan taufik-Nya serta menyelamatkan
diri dan keluarga kita dari bid’ah ini.
Sumber Bacaan:
1 Al-Qaulul Mufid (2), Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimin
2 Al-Qaulul Mufid, Asy-Syaukani
3 Al-I’tisham (1), Asy-Syathibi
4 Al-Luma’, As-Sahibani
5 Al-Bid’ah wa Atsaruhas
Sayyi‘, Salim Al-Hilali
6 Al-Bid’ah wa Atsaruha, ‘Ali
Al-Faqihi
7 Riyadhul Jannah, Asy-Syaikh
Muqbil
8 Taisir Al-Karimir Rahman, As-Sa’di
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan