Muhammad Taqiyyuddin Alawiy
Pengasuh Pondok Pesantren
Salafiyah Syafi'iyah NURUL HUDA Mergosono Malang - Dosen Fakultas Teknik
Elektro Universitas Islam Malang menyatakan:
Masih adakah mujtahid pada
masa ini?
Secara akal memang tidak
tertutup kemungkinan adanya mujtahid mutlak yang memenuhi semua kriteria
mujtahid diatas pada akhir zaman. Namun dalam kenyataanya, para ulama besar
seperti Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M – 505 H/ 1111 M), Ibnu Shalah (577 H/1181
M-643 H/1245 M), Imam Fakhr Ar-Razi (543 H-606 H) dan beberapa ulama besar
lainnya dengan tegas menyatakan bahwa semenjak masa setelah Imam Syafii
(767-820 M) tidak didapatkan seseorangpun yang memenuhi standar sebagai
mujtahid mutlak. Imam Rafii (wafat 623 H), Imam Nawawy (1233 – 1278 M)
menyatakan bahwa “manusia pada saat ini bagaikan telah sepakat bahwa tidak
ada mujtahid”.[1]
Imam Ibnu Hajar menerangkan bahwa mujtahid yang dimaksudkan oleh Syaikhany
(Imam Rafii dan Imam Nawawy) adalah mujtahid mustaqil. Sehingga hal ini
tidaklah bertentangan dengan perkataan Ibnu Ruf`ah bahwa Ibnu Abdis Salam (577
H – 606 H) dan Ibnu Daqiqil `id (615 H – 702 H) telah mencapai derajat ijtihad,
karena ijtihad yang beliau maksudkan adalah ijtihad pada sebagian masalah.[2]
Syeikh
Yusuf bin Ismail An Nabhany (1849–1932 M) mengatakan bahwa dakwaan ijtihad pada
masa ini oleh sebagian orang yang telah alim hanyalah sebuah dakwaan dusta yang tidak perlu
dipedulikan. Perkataan beliau bukanlah tanpa dasar tetapi berdasarkan pernyataan
para ulama terkemuka yang lebih dahulu antara lain Imam Sya`rany (898 H/1493 M
– 973 H/1565 M), Imam Ibnu Hajar Al-Haitamy (909 H – 974 H), Imam Al Manawy (925
H – 131 H) dll.
Imam Ibnu
Hajar menyebutkan, ketika Imam Jalal As Suyuthy (849 H – 921 H) mendakwakan
ijtihad, maka bangkitlah beberapa ulama membawakan beberapa masalah yang belum
di tarjih oleh para imam terdahulu. Mereka meminta kepada Imam As Sayuthy jika
memang beliau telah sampai pada derajat ijtihad yang paling rendah yaitu
mujtahid fatwa maka hendaklah beliau menentukan pendapat yang kuat dari
beberapa pendapat tersebut. Namun Imam As Sayuthy tidak menjawabnya dan beliau
beralasan bahwa disibukkan dengan berbagai kegiatan. Derajat mujtahid fatwa
adalah tingkatan mujtahid yang paling rendah, namun juga sangat sulit untuk
dicapai, apalagi tingakatan mujtahid mazhab dan mujtahid mutlaq.
Imam Haramain(399 H – 460 H),
dan Imam Ghazaly (450 H/ 1058 M – 505 H/1111 M) merupakan dua ulama besar yang
diakui pada zamannya, namun jangankan tingkatan mujtahid mutlak, termasuk dalam
Ashabil Wujuh saja masih ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama. Imam
Rauyany (wafat 502 H) juga tidak termasuk dalam Ashabil wujuh padahal ilmu
beliau sangat luas, bahkan beliau sendiri pernah mengatakan bahwa ‘’kalau
seandainya semua nash Imam Syafii hilang maka aku sanggup mengdektekannya dari
dadaku’’. Imam Al Qaffal (291 – 365 H) yang merupakan guru dari para Ashabil
Wujuh mengatakan: “fatwa ada dua; pertama; seseorang yang telah berhimpun
padanya syarat ijtihad. Orang tingkatan ini sudah tidak didapatkan lagi. Yang
kedua; seseorang yang sanggup menguraikan mazhab salah satu Imam Mujtahid dan
menguasai dasar-dasar mazhab tersebut. Bila ditanyakan masalah yang belum ada
nash dari Imam Mazhab, mereka sanggup menggali hukumnya berdasarkan qaedah Imam
Mazhab. Kemudian beliau mengatakan bahwa mufti tingkatan kedua ini ‘’lebih
sulit didapatkan dari pada belerang merah’’.
Dapat
disimpulkan bahwa derajat mujtahid bukanlah derajat yang mudah dicapai. Para
imam-imam yang terkemuka seperti Imam Ghazali, Imam Fakhrur Razi, Imam Nawawy,
Imam Rafii belum sampai pada tingkatan mujtahid, mereka masih mengikut pada
mazhab Imam Syafii, tidak berijtihad sendiri.[3]
Adapun
orang-orang yang mengajak untuk berijtihad seperti Ibnu Qayyim (1292 M- 751
H/1350 M), Muhammad Abduh (1849 – 1905 M), Rasyid Ridha (1865-1935 M),
Jamaluddin Afghany (1838 – 1897 M) dan beberapa tokoh kontemporer lainnya tak
seorangpun dari mereka yang setingkat dengan Imam Ibnu Hajar Al Haitamy, Imam
Nawawy atau para ulama lainnya yang masih taqlid kepada Imam Syafii. Demikian
juga karangan mereka, tak ada yang sebanding dengan kitab Tuhfatul Muhtaj atau
Kitab Majmuk Syarah Muhazzab karangan Imam Nawawy.[4]
Komentarku ( Mahrus ali):
Begitulah kebanyakan
perkataan ahli bid`ah bukan ahli hadis.
Setahu saya, ijtihad itu
tidak boleh dibuka, bukan sudah ditutup. Tapi ia tidak boleh dibuka, tidak usah
Ijtihad, Ittiba` saja. Karena ijtihad tiada dalilnya dan ittiba` ada
perintahnya. Lihat ayat;
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ
غَفُورٌ رَحِيمٌ(31)
Katakanlah: "Jika kamu
(benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan
mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.Ali imran
Pergilah ke blog kedua http://www.mantankyainu2.blogspot.com/
Atau blog bahasa arabku http://mahrusaliindonesia.blogspot.com/
blog ke tiga
Mau
nanya hubungi kami:
088803080803. 081935056529
088803080803. 081935056529
Alamat
rumah: Tambak sumur 36 RT 1 RW1
Waru Sidoarjo Jatim
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan