Para pembaca….
Ada pihak pihak yang menuduh syi’ah sesat, ada yang
menuduh NU sesat, itu semua tuduhan yang cuma merusak islam.. Web MPTTS merajut
persatuan umat islam, dukunglah web ini !! MPTTSS = Majelis Persatuan Tauhid
Tasawuf Sunni Syi’ah
.
Ulama dari Indonesia yang meneliti Syi’ah di antaranya
adalah Prof Dr H Abu Bakar Atjeh (beliau adalah seorang ahlu sunnah) yang
karyanya diterbitkan dengan judul “Syi’ah Rasionalisme dalam Islam” yang dalam
bukunya beliau mengutip pendapat Prof. Hamka yang menyebutkan bahwa madzhab
Syafi’i yang dianut mayoritas muslim Indonesia lebih dekat dengan
madzhab Syi’ah. Dalam bukunya tidak disebutkan peran Abdullah bin Saba’ dalam pendirian Islam, malah beliau menunjukkan
bahwa syi’ah dilahirkan oleh Rasulullah S.A.W.
Wakil Ketua Dewan Pembina Partai
Demokrat, Marzuki Alie [SP/Hendro Situmorang]
Wakil Ketua Dewan Pembina
Partai Demokrat, Marzuki Alie
Ketua DPR: Aliran Syiah Tidak
Sesat
Senin, 27 Agustus 2012 | 14:40
Marzuki Ali (Ketua DPR RI):“
Syi’ah itu mahzab yang diterima di negara manapun diseluruh dunia, dan tidak
ada satupun negara yang menegaskan bahwa Islam Syi’ah adalah aliran sesat “(okezone.com)
Ketua DPR RI Marzuki Alie
menegaskan, aliran syiah di Indonesia
bukan aliran sesat. Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengeluarkan fatwa bahwa
aliran ini tidak sesat.
Hal itu dikatakan Marzuki
Alie di Jakarta, Senin (27/8), menjawab
pers terkait kerusuhan di Sampang, Madura, Jawa Timur.
Menurut Marzuki, kalau MUI
sudah mengeluarkan fatwa itu tidak sesat,
maka persoalan sekarang adalah kenapa masih muncul konflik? Itu pasti sosialisasi keputusan MUI yang
masih kurang.
“Itu tugas Kementerian Agama
dan MUI,” katanya. Kalau pun sosialisasi sudah dilakukan dan masih juga konflik
terulang, kata dia, maka pasti ada yang salah di tahapan sosialisasinya.
Taushiyah Sesepuh Bangsa Prof.Dr.KH.
Ali Yafie Untuk Umat Islam
KH. Alie Yafie (Ulama Besar Indonesia):“Dengan tergabungnya Iran yang mayoritas bermazhab Syiah sebagai
negara Islam dalam wadah OKI tersebut, berarti Iran diakui sebagai bagian dari
Islam. Itu sudah cukup. Yang jelas, kenyataannya seluruh dunia Islam, yang
tergabung dalam 60 negara menerima Iran sebagai negara Islam.”(tempointeraktif)
Muhammad Jusuf Kalla
10th Vice President of Indonesia
Jusuf Kalla (Mantan Wakil
Presiden RI):
“ Harus ada toleransi
terhadap perbedaan karena perbedaan adalah rahmat ” (tempo.co)
Mahfud MD: Madura Rukun, Salawat
Sunni Pun Sebut Syiah
MAHFUD MD TERIMA CEDERA MATA
DARI JAKOB OETAMA -
.
Mahfud MD: Madura Rukun, Salawat
Sunni Pun Sebut Syiah
Muhammad Mahfud MD (Ketua MK):“ Kalau saya
mengatakan semua keyakinan itu tidak boleh diintervensi oleh negara. Keyakinan
itu tak boleh diganggu orang lain, kecuali dia mengganggu keyakinan orang lain,”(Okezone.com)
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahfud MD lahir dan dan besar di pondok pesantren di Madura. Sejak kecil hingga
dirinya kini menjadi tokoh nasional, tak pernah ada konflik Sunni dan Syiah di
Madura.
Kini Mahfud pun heran, kenapa
ada konflik Syiah dan Sunni di Madura. Saking rukunnya, warga Sunni pun saat
bersalawat juga menyebut ahlul bayt (keluarga Nabi Muhammad SAW) yang selama
ini dipercaya oleh Syiah sebagai penerus kekhalifahan.
“Saya orang Madura, sejak
bayi hingga umur 16 tahun saya hidup dan besar di Madura. Dari dulu tidak ada
konflik Sunni dan Syiah. Itu baru muncul 2010. Di Madura tidak pernah
dipermasalahkan aliran-aliran itu. Semuanya hidup berdampingan secara damai. Di
Madura juga ada gereja, kelenteng. Dari dulu orang Madura berbeda-beda agama
dan aliran, tapi tidak ada apa-apa,” ujar Mahfud MD saat memberi ceramah dalam
acara Halal Bihalal Karyawan Kompas Gramedia di Halaman Gedung Oranye Kompas
Gramedia, Jakarta,
Kamis (6/9/2012).
Ditambahkan Mahfud, orang
Madura baru marah jika istrinya digoda
orang lain. “Selama ini tidak ada apa-apa. Yang masalah, kalau istri diganggu
orang,” ujar Mahfud sambil tersenyum.
Menurut Mahfud, konflik Syiah
dan Sunni di Madura itu terjadi baru belakangan ini. Mahfud yang besar di
pondok pesantren, menceriterakan hidup rukunnya Syiah dan Sunni yang sampai digunakan
dalam salawat.
“Saat bersalawat, orang Sunni
juga mengakui (kekhalifahan) Syiah. Contohnya ahlul bayt itu kerap disebut
dalam salawat. Dan selama ini enggak apa-apa,” jelas Mahfud.
Bahkan dalam doa warga Sunni
di Madura juga menyebut detail keturunan Nabi Muhammad yang dipercaya menjadi
khalifah. “Itu enggak apa-apa, tidak ada masalah selama ini,” lanjut Mahfud.
Seperti diketahui, kaum Sunni
mengakui bahwa khulafur rasyidin atau empat khalifah yakni Abu Bakar, Umar Bin
Khatab, Ustman Bin Affan dan Ali Bin Abi Thalib. Sedangkang kaum Syiah hanya
mengakui Ali Bin Abi Thalib sebagai khalifah. Kaum Syiah menganggap, penerus
sah kepemimpinan Muhammad SAW adalah Ali dan lalu diteruskan imam yang suci
dari kalangan Ahlul Bayt (keluarga Nabi Muhammad SAW).
Menurut dia, masalah
keyakinan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk negara
sekalipun.
“Kalau saya mengatakan semua
keyakinan itu tidak boleh diintervensi oleh negara. Keyakinan itu tak boleh
diganggu orang lain, kecuali dia mengganggu keyakinan orang lain,” jelasnya.
.
Menurut Mahfud MD budaya NU
mengamalkan ajaran Syiah seperti Ahlul Kisa (Keutamaan Rasulullah, Sayyidah
Fatimah, Sayidina Ali b. Abi Thalib, Sayidina Hasan dan Sayidina Husayn) yang
menjadi hafalan masyarakat Sampang dan NU pada umumnya.
Ayatullah Ali Taskhiri dan Syekh Molavi Eshak
Madani mengapit Prof. Dr. Umar Shihab
Ayatullah Ali Taskhiri dan
Syekh MolaviEshak Madani mengapit Prof. Dr. Umar Shihab
Fatwa Politik
fatwa MUI Pusat tahun 1984
tentang bahaya Syiah sebagai sebagai fatwa berbau politik. Alasannya, 5 tahun
sebelumnya Iran baru saja
melakukan revolusi dan Indonesia
takut revolusi itu akan ke negaranya.
“MUI tahun 1984 keluarkan
fatwa untuk waspadai Syiah, jelas itu adalah suatu konotasi politik. Fatwa MUI
Pusat adalah fatwa politik,” terangnya.
“Slamet Effendi (Ketua PBNU
dan Ketua MUI Pusat, red) di Depdagri menjelaskan latar belakang fatwa waspada
Syiah yang dikeluarkan pada tahun 1984. Sebab baru saja Iran itu revolusi dan Indonesia takut revolusi itu akan
ke negaranya,” jelasnya tambahnya.
Saat bertemu dengan para
pelajar Indonesia di Qom (Selasa, 13 Oktober 2009) beliau tidak bisa
menyembunyikan rasa harunya ketika mendapatkan kesempatan dan taufik dari Allah
Swt. untuk berziarah pertama kalinya ke makam kakek beliau, Imam Ali ar-Ridha. Bagi
beliau, sosok Imam Ridha adalah teladan bagi seluruh umat Islam.
Tokoh Islam yang sejak kecil
bercita-cita untuk mempersatukan barisan kaum Muslimin ini menghimbau para
pelajar Indonesia di Iran supaya menjadi dai-dai yang menyerukan persatuan dan
menghindari timbulnya perpecahan di tengah umat Islam. Beliau sangat anti
terhadap gerakan takfiriah (usaha mengkafirkan sesama muslim) hanya karena
perbedaan masalah furu’ (masalah cabang alias tidak prinsip). Beliau sangat
mengapresiasi upaya serius ulama-ulama Iran di bidang pendekatan antara
pelbagai mazhab Islam.
Untuk mengetahui lebih jauh
pandangan Prof. Dr. KH. Umar Shihab, berikut ini kami melakukan wawancara
singkat dengan beliau. Dengan harapan, semoga kerukunan beragama dan bermazhab
di tanah air tercinta berjalan dengan baik dan tidak terjadi kekerasan yang
mengatasnamakan agama dan mudah-mudahan tercipta suasana saling memahami dan
ukhuwah islamiah antara pelbagai mazhab Islam.
Setelah melihat Iran dari dekat,
bagaimana pandangan dan kesan Anda?
Iran merupakan tempat perkembangan pengetahuan, khususnya
pengetahuan agama. Ini ditandai dengan banyaknya perpustakaan besar di sana-sini.
Sekiranya saya masih muda, niscaya saya akan belajar di sini.
Beberapa bulan yang lalu adik
saya, Quraish Shihab, juga datang ke Iran guna memenuhi undangan Lembaga
Pendekatan Mazhab Islam. Sepengetahuan saya, hanya Iran satu-satunya negara yang
secara resmi memiliki lembaga yang peduli terhadap persatuan antara mazhab-mazhab
Islam. Iran
secara getol menyerukan persatuan antara sesama umat Islam, apapun mazhab
mereka. Kalau saja negara-negara Islam meniru strategi pendekatan mazhab yang
dilakukan Iran
niscaya tidak ada pengkafiran, dan kejayaan dan kemenangan Islam akan terwujud.
Bagaimana seharusnya kita
menyikapi isu ikhtilaf antara Syiah dan Ahlussunah?
Saya orang suni, tapi saya
percaya Syiah juga benar. Sebagaimana saya percaya bahwa mazhab Hanafi dan
Maliki juga benar. Saya tidak mau disebut sebagai pembela Syiah, tapi saya
pembela kebenaran. Jangankan mentolerir kekerasan antarmazhab yang MUI tidak
pernah mengeluarkan “fatwa sesat dan kafir” terhadap mazhab tersebut, kepada
Ahmadiah yang kita fatwakan sebagai ajaran sesat pun kita tidak mengizinkan
dilakukannya kekerasan terhadap mereka.
Kita tidak boleh gampang
mengecap kafir kepada sesama muslim hanya karena masalah furu’iah (masalah
cabang/tidak utama). Antara Syafii dan Maliki terdapat perbedaan, meskipun Imam
Malik itu guru Imam Syafii. Ahmadiah kita anggap sesat karena mengklaim ada
nabi lain sesudah Nabi Muhammad saw, sedangkan mazhab ahlulbait (Syiah) dan
ahlusunah sama meyakini tidak ada nabi lain sesudah Nabi Muhammad saw.
Perbedaan itu hal yang alami
dan biasa. Imam Syafii, misalnya, meletakkan tangannya di atas dada saat
melaksanakan salat. Namun saat berada di Mekkah—untuk menghormati Imam
Malik—beliau meluruskan tangannya dan tidak membaca kunut dalam salat subuhnya.
Orang yang sempit pengetahuannya yang menyalahkan seseorang yang tangannya
lurus alias tidak bersedekap dalam salatnya.
Sebagian kalangan menganggap
Syiah sebagai mazhab sempalan dan tidak termasuk mazhab Islam yang sah? Bagaimana
pendapat Anda?
Orang yang menganggap Syiah
sebagai mazhab sempalan tidak bisa disebut sebagai ulama. Syiah dan ahlusunah
tidak boleh saling menyalahkan. Masing-masing ulama kedua mazhab tersebut
memiliki dalil. Syiah dan ahlusunah mempunyai Tuhan, Nabi, dan Alquran yang
sama. Orang yang mengklaim bahwa Syiah punya Alquran yang berbeda itu hanya
fitnah dan kebohongan semata.
Saudara Prof. Muhammad Ghalib
(Guru Besar Tafsir dan Sekretaris MUI Sulsel, Makassar yang ikut bersama beliau
ke Iran) akan membawa
Alquran cetakan Iran
yang konon katanya berbeda itu ke tanah air. Saya sangat kecewa kalau ada salah
satu ulama mazhab membenarkan mazhabnya sendiri dan tidak mengapresiasi mazhab
lainnya. Salat yang dilakukan oleh orang-orang Syiah sama dengan salat yang
dipraktikkan Imam Malik.
Apa pesan Anda terhadap kami
sebagai pelajar-pelajar agama?
Pesan pertama dan utama saya,
peliharalah persatuan dan kesatuan antara umat Islam. Banyak ayat dalam Alquran
yang mengecam perpecahan dan perselisihan di antara sesama umat Islam, seperti
usaha menyebarkan fitnah dan percekcokan di tubuh umat Islam dll. Kita harus
menjadi pelopor persatuan dan tidak membiarkan perpecahan terjadi di tubuh umat
Islam. Contoh ideal persatuan dan persaudaraan antara sesama muslim adalah apa
yang dilakukan oleh Rasulullah saw. saat mempersaudarakan antara kaum Muhajirin
dan Ansar.
Pesan kedua, persatuan yang
ditekankan dalam ajaran Islam bukan persatuan yang pura-pura atau untuk
kepentingan sesaat, namun persatuan yang bersifat kontinu dan sepanjang masa. Kita
tidak boleh terjebak dalam fanatisme buta. Saya saksikan sendiri di Iran, khususnya di Qom, banyak orang-orang alim yang sangat
toleran. Saya tahu persis di Iran
ada usaha serius untuk mendekatkan dan mencari titik temu antara mazhab-mazhab
Islam yang tidak ditemukan di tempat lain.
Saya mengunjungi perpustakaan
di Qom dan saya
melihat usaha keras para ulama di bidang pendekatan antara mazhab Islam. Saya
tekankan bahwa setiap ulama mazhab memiliki dalil atas setiap pendapatnya dan
pihak yang berbeda mazhab tidak boleh menyalahkannya begitu saja. Sebagai
contoh, kalangan ulama berbeda pendapat berkaitan dengan hukum mabit (bermalam)
di Mina. Ada
yang mewajibkannya dan ada pula yang menganggapnya sunah. Jangankan antara
Syiah dan ahlusunah, antara sesama internal ahlusunah sendiri pun terdapat
perbedaan, misalnya antara Syafii dan Hanafi. Jadi, perpecahan itu akan
melemahkan kita sebagai umat Islam.
Pesan ketiga, sebagai pemuda,
jangan berputus asa. Allah Swt. memerintahkan kita untuk tidak berputus asa. Belajarlah
bersungguh-sungguh karena menuntut ilmu itu suatu kewajiban. Hormatilah guru-guru
Anda karena mereka adalah ibarat orang tua bagi Anda. Menghormati guru sama
dengan menghormati orang tua Anda. Harapan kita dan umat Islam terhadap Anda
begitu besar. Kami berterima kasih atas semua pihak yang membantu Anda di sini,
terutama guru-guru Anda.
Saya menghimbau para pelajar
Indonesia di Iran—setelah mereka pulang—hendaklah mereka menjadi dai-dai yang
menyerukan persatuan di antara umat. Islam menekankan persatuan sesama muslim
dan tidak menghendaki timbulnya fitnah, seperti apa yang dilakukan oleh Rasul
saw. saat beliau memerintahkan untuk menghancurkan Masjid Dirar. Karena tempat
itu dijadikan pusat penyebaran fitnah dan usaha untuk memecah belah umat.
Seringkali karena fanatisme, kita
melupakan persatuan. Orang yang memecah belah umat patut dipertanyakan
keislamannya. Sebab, orang munafiklah yang bekerja untuk memecah belah umat. Dan
orang-orang seperti ini sepanjang sejarah pasti ada dan selalu ada hingga hari
ini. Sejak kecil saya bercita-cita untuk mempersatukan sesama umat Islam. Dan
di akhir hayat saya, saya tidak ingin melihat lagi perpecahan dan pengkafiran
sesama Islam.
KH Nur Iskandar Sq (Ketua
Dewan Syuro PPP):“ Kami sangat menghargai kaum Muslimin Syiah, ”
rhoma irama jadi calon
presiden
Rhoma Irama ( Seniman dan
Mubaligh ):“Tuhan kita sama, nabi kita sama, kiblat kita sama, sholat kita sama,
puasa kita sama, zakat kita sama, haji kita sama, kenapa harus saling
mengkafirkan” (tempo.co)
Rektor IAIN Sunan Ampel Prof Dr Abd A’la Surabaya.
Rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, Prof. Dr. Abd A’la menegaskan bahwa aliran
Syiah yang dianut warga Sampang bukanlah aliran sesat. “Masalah keyakinan Syiah
itu sudah clear, tidak sesat, Syiah bagian dari Islam,” kata A’la kepada Tempo,
Minggu, 27 Agustus 2012.
Menurut A’la, jika Syiah
dianggap sesat maka sama artinya dengan tidak mengganggap negara Iran sebagai
negara Islam. “Iran itu mayoritas Syiah dan dianggap negara Islam. Apa kita
akan mengingkari hal itu,” ujarnya.
Memang terdapat banyak aliran
dalam Syiah, namun dari kacamata A’la, di dunia ini hanya mengakui satu aliran
Syiah yang sesat yaitu Syiah Ghulam. Sedangkan yang ada di Indonesia, kata A’la,
bukanlah aliran Ghulam.
A’la juga minta ormas Islam
seperti Nahdlatul Ulama serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak gampang
melabeli sesat kepada aliran tertentu.
Selain itu, A’la juga minta
seluruh tokoh masyarakat mampu menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Seorang
tokoh yang hanya menebarkan kebencian untuk memaksakan suatu keyakinan
merupakan tokoh yang tak mengetahui hakikat dari Islam itu sendiri.
A’la lantas menukil salah
satu ayat dari surat Yunus ayat 99 yang berbunyi. “Dan jikalau Tuhanmu
menghendaki, tentulah beriman semua orang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah
kamu hendak memaksa manusia supaya mereka menjadi beriman semua?”.
A’la juga minta pemerintah
tak gegabah dalam merelokasi warga Syiah Sampang. “Relokasi malah akan
menjadikan Syiah eksklusif, dan ini justru bahaya.”
Konflik yang melibatkan Syiah,
tambah A’la, mayoritas bukan karena perbedaan keyakinan melainkan adanya faktor
lain, seperti faktor politik maupun konflik keluarga. Dia mencontohkan
terbunuhnya Husain bin Ali, serta peperangan antara Muawiyah dan Ahlul Bait
yang semuanya bernuansa politik.
Karenanya, konflik antara
Syiah dan warga Sampang diduga juga bukan karena adanya perbedaan keyakinan. “Kan
sebentar lagi ada Pilkada, saya tidak bermaksud mengecilkan masalah, tapi
faktor politik seringkali memicu,” tutur A’la.
Apalagi antara Syiah dan NU, kata
A’la pula, sebenarnya memiliki banyak ritual yang sama. Ritual pujian ala NU, misalnya,
adalah meniru ritual ala Syiah.
Tetapi Islam juga mengajarkan
bahwa perbedaan juga rahmat. Jangan mudah saling mengkafirkan atau begitu mudah
menuduh sesat dan mengabaikan perbedaan yang sudah ditakdirkan pada ummat Islam.
Dakwah Islam tidaklah dengan kekerasan tetapi dengan bil hikmah.
Pihaknya menegaskan, Syiah
Sampang itu bukanlah aliran sesat. Pasalnya, masalah keyakinan Syiah itu sudah
klir dan tidak sesat. Syiah dianggap sebagai bagian dari Islam, seperti halnya
Sunni.
“Jika dianggap Syiah sesat, maka
sama artinya dengan tidak mengganggap negara Iran sebagai negara Islam. Iran
itu mayoritas Syiah dan dianggap negara Islam. Apa kita semua akan mengingkari
hal itu,” ujarnya.
Memang ada banyak aliran
dalam Syiah, namun dari pandangan dirinya, di dunia ini hanya mengakui satu
aliran Syiah yang sesat yaitu Syiah Ghulam. Dan yang ada di Indonesia, katanya
bukanlah aliran Ghulam.
Pihaknya juga meminta ormas
islam seperti NU dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) tak gampang memberi labe
atau fatwa sesat kepada aliran tertentu.
Selain itu, pihaknya meminta
seluruh tokoh masyarakat mampu menciptakan kedamaian di tengah masyarakat. Seorang
tokoh yang hanya menebarkan kebencian untuk memaksakan suatu keyakinan, dinilai
merupakan tokoh yang tak mengetahui hakikat dari Islam itu sendiri.
Slamet Effendy Yusuf (Ketua
PB NU) tentang syi’ah :“ Caranya terus menjaga persamaan sesama Umat Islam, bukan
mencari perbedaannya,”(republika.co.id)
Ketua Komisi Kerukunan Umat
Beragama Majelis Ulama Indonesia (MUI) Slamet Effendy Yusuf membantah keras, jika
Fatwa MUI merupakan pemicu kekerasan terhadap Ahmadiyah di berbagai tempat.“Sejak
awal, MUI tidak pernah mentolerir kekerasan. Namun sikap MUI jelas, bahwa
Ahmadiyah itu aliran sesat, di luar Islam. Bukan hanya Bahtsul Matsail NU yang
menilai Ahmadiyah sesat, tapi ormas Islam seperti Muhammadiyah, Persis, bahkan
ulama di dunia pun menilai Ahmadiyah sebagai ajaran yang menyesatkan,” ujar
Slamet yang juga Ketua PBNU ini
menanggapi Insiden Ciekusik, Pandeglang, Banten, usai Diskusi “Peluang
Kita Memperbaiki Wajah Kebebasan Beragama” di kantor Kontras, Jakarta, Senin (7/2/2011).
Amien Rais
Amien Rais
Amien Rais
Ketua Majelis Permusyawaratan
Rakyat ke-10
Masa jabatan
1999–2001
Amien Rais: “Sunnah dan
Syi’ah adalah madzhab-madzhab yang legitimate dan sah saja dalam Islam
Amin Rais (Mantan Ketua PP
Muhammadiyah):“Sunnah dan Syi’ah adalah madzhab-madzhab yang legitimate dan sah
saja dalam Islam “(satuislam.wordpress.com)
Jumat, 20 Juli 2007
baca juga : Amien Rais : “tradisi
intelektual dan berfikir di Iran itu tidak pernah berhenti, di perpustakaan di
Iran pun juga 80% lebih buku-bukunya itu karangan sunni. Jadi mengapa orang
sunni itu alergi kepada syiah dan sementara syiah juga alergi kepada sunni”
baca juga : Amien Rais : “Islam
di tangan tokoh-tokoh ulama syiah itu menjadi lain, Islam yang moving Islam
yang menggerakkan yang merubah gitu dan itu yang saya kira yang kita perlukan. Jadi
dari sunni nggak usah malu untuk belajar dari syiah”
Pada pembukaan Konferensi 6
BKPPI se-Timur Tengah ini digelar juga empat orasi ilmiah dan diskusi dengan
mengusung berbagai tema. Orasi ilmiah pertama dari Prof. Amien Rais sekaligus
seremonial pembukaan acara konferensi BKPPI kali ini diiringi dengan pembacaan
doa. Dalam orasinya mantan ketua MPR ini menjelaskan bahwa mengapa bangsa
Indonesia yang sesungguhnya kaya akan sumber daya alam dan sumber daya
manusianya ini justeru masih tertinggal jauh dibanding Negara-negara lainnya, ia
mengatakan karena Indonesia selama ini telah kehilangan kemandiriannya. Hilangnya
kemandirian ini lanjut Amien, berdampak pada hilangnya juga kebanggaan nasional.
Orang Indonesia di luar negeri malu untuk mengaku sebagai orang Indonesia
ketika ditanya orang asing. Pada akhirnya karena kemandirian dan kebanggaan
terhadap bangsa sudah hilang maka pelan-pelan kedaulatan bangsa pun akan hilang.
Inilah masalah yang paling fundamental tambahnya, dan diperlukan keberanian
dari para pemimpin bangsa untuk bersikap tegas terhadap Negara-negara asing
yang berusaha melakukan korporatografi kepada Indonesia yang menjadi penyebab
hilangnya kedaulatan ekonomi bangsa ini.
Dr. Bambang Pranowo staff
Menhan yang menggantikan Juwono Sudarsono yang tidak bisa memnuhi undangan
panitia konferensi menyoroti masalah posisi Indonesia di tengah percaturan
politik dunia dengan berbagai ancaman dan tantangannya seperti globalisasi, perdagangan
bebas dan perubahan-perubahan social kemasyarakatan yang terjadi di tengah
masyarakat Indonesia membuktikan
pentingnya rasa nasionalisme dan kecintaan terhadap bangsa sebagai sebuah
kekayaan yang perlu dipertahankan.
Sementara itu Husein Heryanto
dosen ICAS lebih banyak mengupas masalah pentingnya budaya dan system nilai
masyarakat sebagai sebuah benteng kokoh pertahanan Indonesia.
Konferensi kali ini diisi
pula oleh orasi ilmiah lain dari Dr. Mashitoh Chusnan dari DEPDIKNAS yang
menggantikan Menteri Pendidikan Bambang Sudibyo yang berhalangan hadir. Dr
Mashitoh menyinggung masalah Human Development Index (HDI) Negara -negara Islam
yang lemah khususnya Indonesia yang saat ini berada pada peringkat 112 dari 175
negara dunia. Umat Islam di Negara-negara berkembang menurut Dr Mashitoh
itu miskin, bodoh dan dijajah secara
ekonomi, pada saat yang sama Negara-negara Islam yang kaya minyak masih di
bayangi masalah hedonisme sehingga belum bisa mengangkat SDM muslim oleh karena
itu lanjutya Negara-negara muslim termasuk Indonesia dituntut harus segera
menguasai IPTEK dan penguasaan dalam bidang ekonomi sehingga bisa lepas dari
keterjajahan ekonomi Negara-negara barat.
Hadir dalam konferensi
beberapa rektor dari universitas kenamaan Islam di Indonesa, Pof.DR.HM Ridwan
Nasir.MA [Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya], Prof. DR. Abdul Jamil [Rektor IAIN Wali Songo, Semarang], Prof. DR. Fuad
Amsyari.Phd [Guru Besar Universitas Airlangga/ UNAIR, Surabaya] yang dalam
konferensi kali ini berkesempatan menyampaikan orasi, lebih banyak menyoroti
masalah alumni Timur Tengah yang masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat
Indonesia seperti diungkapkan oleh Rektor IAIN Wali Songo Semarang Prof. Abdul
Jamil.“Alumni timur tengah yang pulang ke Indonesia merupakan sebuah resources
bagi bangsa tetapi pertanyaannya adalah apakah
mereka mampu mengambil posisi dalam proses national building berbekal
ilmu-ilmu keislaman yang dikantongi dari timur tengah, ditambah lagi dengan
stigma sebagian orang yang mengatakan alumni timur tengah itu pikirannya belum
bisa diajak untuk maju”. Demikian statemen beliau dalam salah satu diskusi yang
dipandu oleh Muladi Mughni (delegasi Pakistan).
Sementara itu Purkon Hidayat,
perwakilan HPI Iran yang satu meja
diskusi dengan para rector tersebut lebih banyak menyinggung masalah pola pemikiran barat yang
masuk ke wilayah-wilayah pemikiran Islam dan menghegemoni kerangka pemikiran
banyak pemikir Islam kemudian menawarkan sebuah solusi atas masalah ini dengan
memeprkenalkan figure dan pengalaman Imam Khomeini.
Indonesia Masih Gerbong, Belum
Bisa Jadi Lokomotif
Amien Rais beserta keluarga
tiba di Iran Minggu 15 Juli 2007 memenuhi undangan Panitia Pelaksana Konferensi
BKPPI Se Timur Tengah dan sekitarnya untuk mengisi orasi ilmiah di acara
konferensi ini dan sekaligus membukanya. Amien Rais dalam pembukaan konferensi
yang bertemakan “Membangun Kemandirian
Bangsa Menuju Indonesia yang Berkeadilan” mengatakan bahwa kewajiban membangun dan
merekonstruksi bangsa dan negara pada hakikatnya adalah kewajiban keagamaan dan
bukan sekedar kewajiban kewarganegaraan,
politik atau keduniaan. “Saya tidak setuju dengan teman yang mengatakan biarlah
di dunia ini kita umat Islam menjadi umat pinggiran, umat kalahan dan bangsa-bangsa
muslim itu menjadi bangsa pelengkap penderita tapi insyaallah di akhirat kita
berbondong-bondong masuk surga, saya
kira itu pikiran yang ngawur. Itu adalah manifestation of defeatation, itu
adalah manifestasi kebangkrutan, kekalahan, kepecundangan, tidak mau berjuang
dan kemudian agama dijadikan opium, dijadikan pelipur lara dan dijadikan candu penenang”. “Sebenarnya kalau
kita bergerak membangun bangsa sesungguhnya itu kewajiban qur’aniah dan kewajiban
keagamaan kita”. tegasnya.
Bangsa Indonesia sudah sejak
lama ingin membangun dirinya, tetapi sampai sejauh ini belum dianggap berhasil
dibandingkan negara-negara Asia lainnya yang dalam kurun waktu beberapa tahun
terakhir telah mengalami kemajuan yang cukup pesat seperti India dan Cina. Padahal
menurut Amien negara-negara tersebut adalah negara yang tidak beragama dan
jelas bukan negara muslim, selain itu negara kita memiliki sumber daya alam dan
sumber daya manusia yang melimpah. Tetapi mengapa Indonesia tidak maju-maju
juga. Indonesia ini masih gerbong belum bisa menjadi lokomotif, tegasnya. Pertanyaan
mengapa Indonesia masih belum bisa sejajar dengan negara-negara lain menurut
Amien Rais ada tiga faktor yang menyebabkannya. “Sesuai dengan tema konferensi
kita kali ini, selama ini kita sudah agak lama kehilangan kemandirian, jadi
self confidence sudah agak lama hilang dari khazanah bangsa Indonesia baik
masyarakat umum dan mungkin juga sampai ke pemimpinnya”.
Menurut Amien sebuah bangsa
yang telah kehilangan kemandiriannya akan kehilangan juga kebanggaan nasional, jika
kedua komponen ini telah hilang maka kehilangan kedaulatan bangsa menjadi
sesuatu yang tidak begitu terasa lagi. Ini adalah masalah bottom line, masalah
yang paling fundamental, gara gari kita kehilangan kemandirian dan kebanggaan
nasional sebenarnya pelan-pelan kita kehilangan kedaulatan nasional di berbagai
dimensi kehidupan”. Kedaulatan ekonomi Indonesia adalah salah satu kedaulatan
bangsa yang mulai hilang dan memiliki contoh yang mencolok pada kasus Indonesia,
dijualnya berbagai asset nasional, pertambangan-pertambangan yang keuntungannya
justeru dikuasai asing dan berbagai indikator lain yang menguatkan hal tersebut.
Arsip Konferensi BK-PPI se-Timur
Tengah di Qom Iran (Selasa, 17 Juli 2007)
Mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif
Buya Syafii: Kebenaran Bukan
Milik Individu
Senin, 2 Januari 2012 07:31
wib
Buya Syafii Ma’arif (Cendikiawan
Muslim, Mantan Ketua PP Muhammadiyah):
“Kalau Syiah dikalangan
mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima,” (okezone.com)
Mantan Ketua Umum PP
Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif mengutuk keras aksi pembakaran terhadap pondok
pesantren Syiah di Kecamatan Karang Penang, Sampang. Terlebih jika aksi
pembakaran tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan pandangan keagamaan
.
Menurut pria yang lebih akrab
dipanggil Buya ini, hal semacam itu harus dihentikan. Sebab kebenaran bukanlah
milik individu apalagi kelompok. “Saya rasa sikap yang tidak baik, ada monopoli
kebenaran,” ujar Buya kepada okezone, Minggu (1/1/2012).Buya pun heran terhadap
tindakan anarkistis sebagian masyarakat lantaran menganggap Syiah bertentangan
dengan Islam. Padahal kata dia, Syiah diakui sebagai mazhab kelima dalam Islam.
“Kalau Syiah dikalangan mazhab, dianggap sebagai mazhab kelima,” jelasnya
.
Dia pun menyatakan bahwa
setiap orang sekalipun atheis berhak hidup. Hal yang terpenting kata dia, bisa
hidup rukun dan toleran. “Jadi perbuatan-perbuatan semacam itu harus
dihentikkan, apalagi di Sampang itu bersaudara, masak agama memecah belah,”
paparnya.Dia meyakini para pemeluk agama yang melakukan tindakan anarkistis
bukanlah penganut agama yang diridhai. “Menurut saya semacam itu bukan agama
yang autentik,”
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din
Syamsuddin
Din Syamsuddin (Ketua Umum PP
Muhammadiyah):“ Tidak ada beda Sunni dan Syi’ah. Dialog merupakan jalan yang
paling baik dan tepat, guna mengatasi perbedaan aliran dalam keluarga besar
sesama muslim” (republika.co.id)
Ketua Umum Muhammadiyah, Din Syamsudin, mengatakan
tak ada perbedaan besar antara dua mazhab besar dalam Islam Sunni dan Syiah, sebuah
pernyataan sejuk yang menutup pintu perpecahan dan adu domba yang bisa
menghancurkan harmoni Muslimin Indonesia. Din berkata baik Sunni dan Syiah
mengakui Tuhan dan Rasul yang sama. Soal itu perlu diluruskan agar tidak
memecah persaudaraan umat Islam
.
MAY 5, 2008
Ketua Umum PP Muhammadiyah
Din Syamsuddin menyatakan persatuan umat Islam, khususnya antara kaum Sunni dan
Kaum Syiah, mutlak perlu sebagai prasyarat kejayaan umat agama itu.
“Kejayaan umat Islam pada
abad-abad pertengahan juga didukung persatuan dan peran serta kedua kelompok
umat Islam tersebut,” kata Din dalam siaran persnya yang diterima ANTARA di
Jakarta, Senin.
Din Syamsuddin mengikuti
Konperensi Islam Sedunia yang sedang berlangsung di Teheran, 4-6 Mei. Konperensi
dihadiri sekitar 400 ulama, baik dari kalangan Sunni maupun Syiah dari berbagai
belahan dunia.
Din yang berbicara pada sesi
pertama bersama enam tokoh Islam lainnya menegaskan bahwa antara Sunni dan
Syiah ada perbedaan tapi hanya pada wilayah cabang (furu’iyat), tidak pada
wilayah dasar agama (akidah).
Keduanya berpegang pada
akidah Islamiyah yang sama, walau ada perbedaan derajat penghormatan terhadap
Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, kata dia, kedua kelompok harus terus
melakukan dialog dan pendekatan. Seandai tidak dicapai titik temu maka perlu
dikembangkan tasamuh atau toleransi.
“Seluruh elemen umat Islam, dalam
kemajemukannya, perlu menemukan ‘kalimat sama’ dalam merealisasikan misi
kekhalifahan di
muka bumi,” katanya.
Kemudian dalam menghadapi
tantangan dewasa ini, kata Din, umat Islam perlu menemukan dalam dirinya “musuh
bersama”. “Dua hal ini, ‘kalimatun swa’ (kalimat sama) dan ‘aduwwun sawa’ (musuh
bersama) adalah faktor kemajuan umat,” kata Din.
“Musuh bersama” itu, kata Din,
terdapat di dalam diri umat Islam yaitu kemiskinan dan keterbelakangan. (Republika
5 Mei 2008)
Ketua PBNU KH Said Aqil
Siradj Bicara Tentang Syiah
Ketua PBNU KH Said Aqil
Siradj Membolehkan Syiah
Dibawah ini adalah sebuah
tulisan yang diambil sepenuhnya dari majalah SYI’AR yang kebetulan memuat
wawancara dengan DR. KH. Said Aqiel Siradj (sekarang Ketua Umum PBNU). Tulisan
ini memberikan gambaran singkat namun jelas tentang Syi’ah dan budayanya serta
relasinya terhadap tradisi NU. Sebagai seorang cendekiawan muslim, ulasan
beliau cukup memberikan wawasan tentang bagaimana seharusnya sikap umat
nahdliyin terhadap tudingan golongan tertentu.
Tulisan yang judul aslinya
tentang “Ja’fari Mazhab Resmi Islam ke-5” saya ambil dengan tujuan sebagai
penambah khazanah pengetahuan bagi umat muslim pada umumnya dan Nahdliyin pada
khususnya. Semoga bermanfaat!! Jazakumullah Khoiron Katsiro kepada majalah
Syi’ar.
Bicaranya lugas khas kiai
pesantren. Namun data dan istilah yang rancak terselip dalam kalimat-kalimatnya
menunjukkan bahwa dia bukan sekadar kiai pesantren biasa, melainkan juga
intelektual yang mengenyam pendidikan tinggi dan mempunyai pergaulan yang luas.
Kyai Said, demikian sapaan akrab DR. KH. Said Aqiel Siradj.
Ditemui SYI’AR di ruangannya
di kantor PBNU, ulama asal Palimanan, Cirebon, ini cerita banyak tentang
kunjungannya ke Qatar, sikapnya tentang kerukunan antar-mazhab, kultur Syiah
dalam NU dan penjabarannya tentang kondisi umat Islam.
TENTANG SUNNI-SYIAH
Anda bisa ceritakan tentang
pertemuan Qatar?
Saya diundang dalam pertemuan
Suni-Syiah di Doha, ibukota Qatar, pada 20-22 Januari 2007. Tujuannya
mempersempit atau memperkecil sudut pandang Suni-Syiah yang sudah barang tentu
penting sekali.
Pertemuan pada hari pertama
memang panas. Terutama pihak Suni. Yusuf Qardhawi, Syekh Wahbah Zuhaili dan
Syekh Ali Syabuni punya syarat bahwa mereka bisa bertemu apabila pihak Syiah
menghentikan caci maki terhadap sabahat. Mereka tidak akan mau bertemu apabila
Syiah masih mengatakan misalnya ‘laknat Allah’ kepada Aisyah karena Suni
mengatakan ‘Semoga Allah meridhainya’.
Kemudian yang sangat
disayangkan dan juga dikritik oleh Syekh Yusuf Qaradhawi adalah penyebaran
Syiah di kalangan Suni. Dia juga bilang Indonesia sebagai salah satu basis
penyebaran Syiah dengan menyebarkan buku-buku terjemahan dan lain sebagainya.
Lebih seru lagi, Syekh
Qaradhawi di forum ini meminta Ali Taskhiri mengucapkan Aisyah radhiya Allahu
anha (ra). Dan Syekh Ali Taskhiri mau melakukannya. Tidak berhenti di situ, dia
juga minta semua utusan Iran mengucapkan hal yang sama seperti Ali Taskhiri. Ini
kejadian yg sangat disayangkan dan sesungguhnya tidak perlu terjadi di forum
yang mulia ini. Tetapi pada hari kedua sudah mulai cair.
Hasil dari seminar itu, pada
intinya, masing-masing pihak menghargai peranan masing-masing dan mengendalikan
kalangan ekstrim dari masing-masing mazhab.
Menurut Ali Taskhiri, di
kalangan Syiah memang ada juga orang-orang yang ekstrim dan fanatik dan dengan
tidak bertanggungjawab mencaci maki sahabat dan Suni. Demikian pula di Suni. Sementara
NU sendiri tidak pernah mencaci maki Syiah. Tapi di kalangan Wahabi memang
banyak yang ekstrim.
Pada pertemuan itu, saya diberi
kesempatan berbicara dua kali. Pada forum tersebut, saya mengajak kedua pihak
untuk masing-masing menulis buku tentang pengakuan dan penghargaan Suni
terhadap Syiah dalam membangun peradaban. Begitu juga Syiah, menulis buku
tentang peranan Suni dalam membangun peradaban.
Sebenarnya hal (pertemuan
Suni-Syiah) ini sudah lama dilakukan oleh Syekh Syaltut dan Ayatullah Burujerdi.
Hasil dari kesepakatan kedua tokoh tersebut adalah bahwa mazhab Ja’fari
diajarkan secara resmi di al-Azhar. Bahkan salah satu keberhasilan tersebut
adalah diakuinya mazhab Ja’fari sebagai mazhab resmi dalam Islam sebagaimana
empat mazhab lainnya. Bahkan rektor Al-Azhar, Dr. Ahmad Thayyib, mengatakan
banyak kaidah hukum yang diambil dari mazhab Ja’fari adalah sah, ketika tidak
ditemukan pada empat mazhab. Walhasil, mazhab Ja’fari adalah setara dengan
empat mazhab lainnya.
Hal apakah yang mendorong
terselenggaranya pertemuan tersebut?
Saya kira pertemuan itu
didorong oleh kondisi di Irak. Masing-masing menuduh. Suni menuding Iran menyuplai
senjata. Demikian pula Syiah menuding kelompok Suni Irak mendapat senjata dari
Saudi. Lepas dari masalah itu semua, perpecahan di Irak harus dihentikan. Para
ulama di sana harus mengendalikan umatnya, karena bukan hanya sekadar perbedaan
pendapat tapi juga sudah ribuan nyawa melayang di sana.
Apakah benar Iran di belakang
konflik sektarian itu?
Saya tahu ini rekayasa
Amerika. Saya tahu sengaja dibangun opini bahwa ini adalah konflik mazhab Suni-Syiah.
Padahal ini murni politik, toh dulu tidak pernah terjadi konflik seperti ini.
Saya bisa tegaskan di sini
bahwa Iran, selalu dan selamanya, membela Palestina. Padahal di Palestina tidak
ada Syiah, semuanya Suni. Tapi Iran matian-matian sampai berkorban dan rela
ditekan Amerika karena perjuangannya bagi Palestina. Karena itu harus dipahami
Iran berdiri bukan hanya untuk Syiah, bukan hanya untuk partai, tapi juga untuk
Islam.
Apakah pertemuan Doha itu
memang khusus untuk masalah sektarian di Irak atau memang pertemuan reguler?
Pertemuan Doha ini terdorong
karena keadaan di Irak. Kalau yang reguler adalah yang di Iran dan semua pihak
diundang dalam pertemuan itu.
Walhasil, masing-masing pihak
selalu ada yang ekstrim, dan itu salah. Di Syiah ada yang ekstrim mencaci maki
Suni dan di Sunni juga tidak kurang atau kelewatan.
Waktu Imam Khomeini pulang ke
Iran, terbit sebuah buku yg menghujat beliau kira-kira judulnya Ja’a Daurul
Majus ‘Tibalah Saatnya Majusi Kembali’. Itu sudah keterlaluan.
Sebenarnya bila bicara
masalah perbedaan mazhab, itu bukan konsumsi pasar. Bukan obrolan orang awam. Tapi
kalau masing-masing sudah menyebarkan buku murahan dan saling caci maki dan
menjadi konsumsi awam akan berbahaya sekali. Bahaya terhadap Islam.
Jadi siapa yang berhak
menetralisir segala macam isu yang bisa memecah belah persatuan umat ini?
Ulama, dong. Seperti yang
saya katakan tadi, Syekh Al-Azhar, Syekh Mahmud Syaltut, mengadakan pendekatan
dengan Ayatullah Burujerdi yang kemudian berdampak besar, sampai akhirnya
Mazhab Ja’fari resmi dianggap sebagai mazhab kelima, selevel dengan mazhab yang
empat.
Apa isu Suni-Syiah demikian
krusialnya sampai-sampai diadakan pertemuan Doha? Apa tidak ada isu lain?
Kenyataannya, sekarang (di
Irak) sudah saling bunuh. Faktanya begitu. Dalang di belakang kejadian ini kita
semua tahu. Juga isu senjata Syiah disuplai Iran dan senjata Sunni disuplai
Saudi. Kita semua tahu siapa dalang sesungguhnya. Ini adalah kerjaan Amerika
untuk memecah belah Irak. Tapi kan, beberapa ulama terpengaruh. Tanpa
mengurangi rasa hormat saya kepada Syekh Qardhawi, Wahbah Zuhaili dan Ali
Syabuni barangkali terpengaruh juga oleh isu ini.
Seandainya kita bisa
berbicara dengan jernih, kembali pada dasar yang paling prinsip, semua mazhab
hakikatnya sama kecuali pada hal-hal yang furu’ (parsial). Kenapa kita bisa
dialog dengan non-Muslim tapi tidak bisa dengan Syiah kalau tidak dibesar-besarkan
oleh kepentingan politik?.
TENTANG TEOLOGI KERUKUNAN
Pelajaran apa yang bisa kita
ambil seiring dengan berkembangan Pluralitas dan Multikultural saat ini?
Satu, kita harus memahami
watak orang Irak. Sejak dulu mereka susah dipersatukan. Masyarakat Irak pernah
bersatu ketika ia dipimpin oleh seorang diktator yaitu Hajjaj bin Yusuf Tsaqafi.
Setelah itu selalu saja ada ajang pertikaian.
Irak modern sekarang ini
adalah mayoritas Suni kalau dilihat dari Kurdi non-Arab dan mayoritas Syiah
kalau dilihat dari Arabnya saja. Jadi (mayoritas) Arab Irak itu Syiah, sedangkan
Arab Irak Suni sedikit. Tapi kalau menghitung Kurdi yang non-Arab maka Suni
menjadi mayoritas.
Kita berkata terus terang: ayo,
Anda mau berangkat dari mana, yang mau ditilik darimana? Bila qaumiah Arabiah (Nasionalisme
Arab), maka yang akan jadi mayoritas adalah mayoritas Syiah. Untuk Suni sendiri,
dia harus memasukkan suku Kurdi. Masalahnya, suku Kurdi sendiri mazlum (tertindas)
selama kekuasaan Saddam Hussain.
Satu-satunya presiden yang
membunuh rakyatnya sendiri dengan senjata massal, terlepas adanya oposisi atau
tidak, hanyalah Saddam Hussain. Di Halabja, jangankan suku Kurdi, ayam, bebek
dan unggas lain yang tak tahu menahu pun, semuanya pada musnah.
Banyak juga presiden yang
membunuh rakyatnya sendiri secara massal tapi tidak dengan senjata pemusnah
massal seperti yang dilakukan oleh Saddam Hussain.
Jadi Saddam Hussain lah yang
pertama kali menggunakan senjata pemusnah massal untuk membunuh rakyatnya
sendiri. Korbannya ada yang menyong mulutnya, ada yang kulitnya terkelupas dan
lain sebagainya. Yang selamat pun mengalami cacat.
NU dikenal sebagai kelompok
konservatif dan Muhammadiyah modernis. Sehingga NU bisa dikatakan memiliki
ikatan emosional dengan tradisi-tradisi atau agama-agama lokal seperti Islam
waktu telu dan Sunda wiwitan. Bagaimana pendapat Anda ?
Kita tetap harus berdakwah
tentang Islam yang sebenarnya kepada mereka. Ada prinsip-prinsip ma’lum min ad-din
bidh-darûrah (yaitu ada prinsip agama yang tidak bisa ditawar), seperti rukun
Islam itu ada lima, rukun iman itu ada enam, Nabi Muhammad itu Nabi terakhir, al-Quran
itu wahyu terakhir. Masalah rincian yang parsialnya silakan berbeda.
Kalau begitu, dari berbagai
mazhab di Indonesia yang keras dan yang lunak itu, kira-kira perekatnya apa?
Tetap. Kalau mereka mereka
masih meyakini rukun Iman dan rukun Islam, mereka masih dikategorikan Islam.
Soalnya masih ada kelompok
yang masih mempermasalahkan masalah-masalah yang kecil-kecil begitu.
Gak apa-apa, masalah-masalah
itu justru merupakan dinamika kita dalam bermasyarakat. Yang tahlil, yang nggak
tahlil, yang salat tarawih 20 atau 8 rakaat itu dipersilakan.
Masih ada yang menyesatkan dan
mengafirkan orang tanpa dasar. Padahal mereka tahu bahwa kelompok yang mereka
kafirkan itu masih mengimani Allah, al-Quran dan sebagainya?
Kalau begitu nggak akan
pernah ketemu. Jangankan dengan non-Muslim, dengan sesama Muslim pun, baik yang
Persis, NU, Muhammadiyah, atau pun Syiah, tidak akan ketemu kalau itu masih
dipersoalkan.
Ada kalangan yang berpendapat
bahwa karena mayoritas Indonesia itu Islam dan tradisinya adalah tradisi Muslim
itu maka formalisasi syariat Islam melalui Perda-perda syariat Islam akan
semakin menguatkan posisi Islam Indonesia. Pandangan Anda?
Pertama-tama, yang Anda harus
ketahui, berapa persen masyarakat Indonesia yang familiar dengan al-Quran? Yang
melek sejarah Islam saja, berapa persen? Paling-paling Cuma 12% yang bisa baca
dan familiar dengan al-Quran. Kita ini masih dalam marhalah (fase) dakwah, masih
jauh dari Islam yang sebenarnya kita inginkan.
TENTANG MAULID NABI SAW
Kenapa perayaan Maulid Nabi
di masyarakat NU itu lebih meriah dan lebih simbolis ketimbang di masyarakat
Muhammadiyah?
Karena di sini ada budaya
Syiah. NU menerima budayanya, bukan fikih atau teologinya. Budaya Syiah itu ya
mencintai Nabi dan Ahlulbait. Di dalam bait-bait syair Barzanji tidak ada yang
memuja dan nyanjung Abu Bakar, Umar dan Usman. Nggak ada.
Contohnya, “Kami mempunyai
bapak yang sangat kami cintai, yaitu Muhammad, kami punya Ali al-Murtadha, kami
punya as-Sibthain (Hasan dan Husain), kam Imam min ba’da khalafu (dan imam-imam
setelahnya) seperti Ali Zainal Abidin, anaknya Muhammad al-Baqir, sebaik-baiknya
wali, dan putranya ash-Shadiq (Imam Ja’far Shadiq) dan putranya Ali Ridha, begitu
lho.
Jadi budaya Syiah masuk ke NU.
Bahkan budaya Syiah pun masuk pesantren. Contohnya penghormatan kepada kyainya.
Kalau kyainya meninggal maka yang menggantikannya adalah anaknya sekalipun
secara kualitas sangat jauh berbeda. Soalnya keilmuannya, ya dia akan bisa
mendapatkan dari guru-gurunya yang lain.
Kalau banyak berasal dari
kultur Syiah, apakah masyarakat yang sadar akan beralih ke gaya mencintai Nabi
ala Muhammadiyah?
Nggak. Silakan Maulid Nabi
dan Dibaan itu dikritik, tetap saja nggak bisa hilang dari kami. Malah yang
kritik itu sendiri yang terpental.
Mengapa?
Sebab Allah Swt sendiri yang
memuji beliau. Dalam al-Quran, “Innaka la’alâ khuqin azhîm”. Dan kita punya
keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah pemberi syafaat sebagaimana yang tercantum
di dalam hadis-hadis sahih. Orang-orang yang banyak dosanya, kalau mereka
berziarah kepada Nabi Muhammad dan beristigfar, dan Nabi sendiri memintakan
ampunan, pasti mereka akan diampuni dosa-dosanya. “Walau annahum zhalamû
anfusahum jâ’ûka fastagfaruhumullah wastagfaruhumur- rasul. Lawajadûllaha
tawwabar-rahima.”
Ada yang bertanya, apakah
Nabi Muhammad saw masih hidup sampai sekarang? Jawabannya, ya. Nabi masih hidup
sampai sekarang. Buktinya, “Assalamu ‘alaika” dalam tahiyat salat, “‘alaika”
berarti beliau masih hidup.
Jadi, mereka yang datang ke
kuburan jasad Nabi (di Madinah) lalu dia beristigfar dan Nabi memantau istigfar
kita kepada Allah, maka Allah akan pasti akan mengampuni dosa-dosanya.
TENTANG KULTUR SYIAH dan NU
Suni plus kultur Syiah ini, apa
hanya khas di NU saja ataukah ada di tempat lain juga?
Tidak. di Mesir Maulid Nabi
semarak sekali, ada tahlilan dan tawasulan. Begitu pula di Maroko. Di Saudi
nggak semua (mengharamkan) , hanya Najd dan Riyadh saja. Orang-orang Hijaz dan
Madinah masih (membaca) Barzanji segala macam.
Pada dasarnya umat Islam yang
ada di Nusantara ini pada umumnya, terutama NU, berhutang budi banyak terutama
kepada Ahlulbait yang telah menyebarkan Islam di Nusantara sejak dahulu kala. Kita
semua tahu bahwa beberapa Wali Songo itu rata-rata keturunan Ahlulbait. Karena
itu budaya Ahlulbait, budaya Syiah, mempunyai kesamaan dengan budaya Islam
Indonesia. Seperti tawassul kepada Sayidina Ali dan Ahlulbait lainnya. Doa-doa
seperti hizib yang dibaca oleh orang-orang kampung itu dimulai dengan (mengirim)
surah Al-Fatihah kepada Rasulullah dan Ahlulbait.
Tapi tradisi-tradisi seperti
itu mulai menghilang dengan datangnya Wahabisme dan modernitas?
Di Indonesia ada syair yang
dibacakan kalau ada yang tertimpa musibah atau penyakit menular, yaitu: “li
khamsatun utfi biha harral wabai hatimah, al-Mustafa wal murtadha wabna huma wa
Fathimah” (Saya mempunyai lima orang yang bisa menolak bala yaitu yang pertama,
al-Mustafa Muhammad, yang kedua al-Murtahda Ali, dan kedua anakanya Hasan dan
Husain, serta yang kelima Fathimah).
Itu dibacakan oleh orang-orang
kampung. Luar biasa. Selama itu masih dibaca, selama itu pula budaya Syiah
masih ada di Indonesia.
Dengan kata lain, Anda ingin
mengatakan bahwa Wahabisme tidak bisa masuk ke dalam tradisi NU?
Ya. Silahkan mereka membuat
yayasan di mana-mana, tetapi karena sudah jadi budaya itu tidak akan lepas dari
NU.
Bagaimana kasus komunitas
Syiah di Bondowoso yang diisukan dekat dengan NU?
NU tidak pernah memusuhi
Syiah. Mungkin malah sayang Syiah. Tapi bagaimanapun NU kan Suni yang beraliran
Asy’ari dan di bidang tasawufnya adalah al-Ghazali.
Hubungan kita dengan
Ahlulbait (Syiah) sudah sangat indah sekali, tidak bisa dilepaskan atau
dijauhkan antara keduanya.
Orang-orang awam belum
mengetahui sejauh mana budaya Syiah itu. Hanya kita-kita yang berpendidikan
sajalah yang memahami semua hal itu.
Bagaimana dengan transfer
khazanah keilmuan dari Persia ke budaya Indonesia?
Sangat luar biasa. Contohnya,
huruf terakhir kata Arab yang diserap dalam Bahasa Indonesia yang berakhiran
“h” dibaca “t”, seperti “surat”. Ini adalah budaya Persia.
Ada lagi budaya Persia yang
masuk ke dalam budaya Indonesia. Kalau kita membaca al-Quran, misalnya “Hudan
lil-muttaqin” , maka (di akhir ayat pendengar) akan dijawab dengan “Allah” (dengan
nada panjang dan lembut). Itu merupakan budaya Iran yang mencirikan kelembutan
khas Iran.
Mesir tidak begitu. Kalau
mereka mendengar kata “Hudan lil-muttaqin” dibacakan maka mereka akan menjawab
“Allahu Akbar” (dengan suara lantang). Kalau mereka mendengar orang membaca al-Quran
dengan merdu kemudian tersentuh hatinya, seperti bacaan Syekh Abdul Basith, maka
mereka akan berucap “Allah” (dengan keras).
Konflik antar mazhab semakin
mengeras semenjak Wahabisme muncul.
Bagaimana NU memahami Wahabi?
Saya memahami Wahabi bagian
dari Suni, tetapi Suni versi Mazhab Hambali. Hambali sendiri adalah di antara
empat (mazhab) yang paling keras. Hambali ini pun kemudian ditafsirkan oleh
Ibnu Taimiyah sehingga menjadi lebih keras. Operasionalnya dilakukan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab, menjadi semakin keras lagi dibandingkan dengan kepala
induk dari mazhab ini sendiri. Salah seorang imam yang paling keras adalah Ibnu
Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab lebih keras lagi daripada Ibnu Taimiyah.
Apakah yang Anda bisa
simpulkan dari fenomena ini?
Kesimpulannya yang ingin saya
sampaikan adalah bahwa Islam datang ke Indonesia dulu bil hikmah wal mau’izhah
wal mujadalah. Dengan penuh hikmah (wisdom), akhlakul karimah, budaya, mauizhah
(ceramah yang bagus), dengan diskusi dan debat yang ideal dan bagus. Semua itu
dilakukan oleh Ahlulbait dan diteruskan oleh para mubalig dan para Kyai.
Konon ada beberapa kyai yang
keturunan Ahlulbait, tapi gelarnya dikesampingkan dan ditutupi. Saya sendiri, katanya,
ada (garis) keturunan dari Syarif Hidayatullah, Sunan Gunung Jati. Kyai Sahal
Mahfudz keturunan Sunan Kudus. Dan apalagi Gus Dur keturunan Sunan Ampel. Semua
itu kembali kepada Ahlulbait. Orangtua-orangtua kita menghapus atau tidak
menyebutkan al-Haddad, al-Habsyi dan sebagainya. Semua leluhur saya bliang begitu.
Kakek saya semuanya keturunan Ahlulbait.
Kesimpulan kedua, karena
dakwahnya bil hikmah, maka budaya itu menyatu dengan kehidupan kita sebagai
orang Islam melalui salawatan, puji-pujian dan melalui doa-doa. Jadi kita tidak
bisa dipisahkan dengan budaya Ahlulbait. Sekali lagi, budayanya lho, bukan
akidah atau politiknya.
Cara berpikir Syiah boleh
kita ambil meskipun kita berfikih Syafi’i dan berakidah Asy’ari. Lama-lama ini
akan menjadi sebuah budaya dan nggak usah ditutup-tutupi.
Di Indonesia juga ada tradisi
Asyura (seperti upacara Tabut di Padang dan itu adalah budaya Syiah) juga
tradisi mencintai Imam Ali. Semua orang tahu bahwa Sayidina Ali adalah seorang
yang hebat dan mulia. Semua ini sudah menjadi sebuah budaya yang turun temurun
yang diciptakan di komunitas masyarakat Islam Indonesia
.
Salah satu menanamkan nilai-nilai
adalah lewat peringatan-peringat an, dan itu juga menjadi momentum persatuan
umat.
Ya. Dulu Maulid Nabi dimulai
pertama kali oleh Khalifah Mu’idz Lidinillah, khalifah Fathimiah, salah satu
khalifah keturunan Abdullah dari Tunisia tahun 363 H. Dia lalu masuk Kairo dan
mengalahkan Ahmad bin Thulun. Khalifah Mu’idz kemudian menyatukan umat untuk
merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran.
Dia kemudian mendirikan
sekolah al-Azhar dengan nama Jauhar ath-Thaqul, lalu membangun kota Qahirah (Kairo)
hingga kemudian dikalahkan oleh Dinasti Mamalik dan kemudian oleh Sultan
Shalahuddin Al-Ayyubi.
Artinya, seremonial-seremoni
al seperti itu bisa menyatukan umat, dan menyatakan kepada umat bahwa kita
memiliki seorang pemimpin yang namanya Muhammad dan kita harus mengikuti ajaran
dan dakwahnya. Hal ini, sama halnya dengan kita memperingati hari 17 Agustus, untuk
memperingati bahwa dulu bapak-bapak dan orangtua-orangtua kita telah
mengorbankan nyawa, harta dan pikirannya demi kemerdekaan dan membangun Negara
Indonesia yang tercinta ini. Adapun bentuk seremonialnya bisa disesuaikan
dengan aneka kebudayaan umat yang ada, seperti di Yogyakarta misalnya dengan
cirinya sendiri, di Cirebon dengan cirinya sendiri dan di Mesir pun akan lain
lagi.
qurais-shihab.jpg
kata Quraish, banyak di
antara umat yang terjebak pada sikap yang picik, tanpa wawasan akal yang
memadai. Tanpa menelaah kitab-kitab secara benar, banyak yang merasa dirinya
paling benar dan tiba-tiba saja mengkafirkan yang lain. Ia tidak menampik fakta
banyak ulama masa silam yang juga terjebak kebodohan, sehingga mempengaruhi
umat di masa kini. Makanya, sikap kritis mesti diperlukan untuk menelaah
kembali semua pemikiran di masa silam demi menemukan titik-titik kesamaan di
masa kini
.
“Kalau kita mau cari
perbedaan supaya kita konflik, akan banyak sekali ditemukan. Namun, apa
tujuannya kita berkonflik? Kita semakin membatasi diri kita. Lebih baik kita
mencari titik kesamaan supaya kita bersatu sebagai sesama umat Islam,“ katanya
.
Prof. DR. Quraish Shihab : “Siapa
yang tidak mengagungkan Imam Husain maka diragukan keimanannya.”
.
DR. Quraish Shihab saat
menerima tamu dari Iran yang bermadzab Syiah
Jakarta -
Kita tidak dapat menjangkau
seluruh makna arba’în. Kita tidak tahu persis mengapa angka 40 hari itu yang
dipilih; bukan 30, bukan 20, bukan juga 100. Tapi yang jelas angka 40 disebut
di dalam Al-Quran sebanyak empat kali. Nabi Musa AS tadinya dijanjikan untuk
“bertemu” dengan Allah, tapi kemudian Allah menyempurnakannya: … Maka
sempurnalah waktu yang telah ditentukan Tuhannya empat puluh malam (QS. Al-A’râf
[7] : 142). Seorang manusia oleh Al-Quran juga dinyatakan bahwa manusia
mencapai kesempurnaannya. Hatta idzâ balagha asyuddahu wa balagha arba’în
sannah (QS. Al-Ahqâf [46] : 15). Bani Israil pun yang dihukum Tuhan, disebutkan
bahwa mereka dihukum Tuhan tersesat selama 40 tahun.
.
Dalam hadis-hadis pun kita
temukan angka 40 itu. Sekian banyak ulama, baik dari mazhab apapun, mengakui
sabda Nabi yang menyatakan, “Barang siapa yang menghafal 40 hadis dan
memeliharanya, ia akan dibangkitkan kelak dalam kelompok orang-orang alim.”
Karena itu dari kalang Sunni misalnya, kita menemukan Imam Nawawi menyusun Al- Arba’în
An-Nawawiah. Dalam kalangan Syiah kontemporer Imam Khomeini menulis 40 hadis
pilihan. Kita menemukan di dalam hadis misalnya, ada hadis yang menyatakan
“Barang siapa yang shalat 40 kali— dalam riwayat lain 40 hari —di Madinah Rasul,
maka ia terbebas dari kemunafikan.”
.
Kita menemukan misalnya dalam
hukum, 2,5% zakat harta atau 1 bagi setiap 40 ekor binatang; juga menggunakan
angka 40. Kelihatannya 40 ini adalah angka kesempurnaan. Jika demikian kalau
kita memperingati tokoh yang telah berlalu, yang kita ingin teladani pada masa
keempatpuluhnya, maka sebenarnya salah satu yang diharapkan adalah kesempurnaan
keteladan kita kepada beliau. Hal kedua yang ingin saya garis bawahi adalah, Allah
SWT memerintahkan kita untuk merenung. Berulang-ulang dalam Al- Quran, tidak
kurang 200 kali, kata “merenung”, “mengingat” terulang di dalamnya
.
Banyak hal yang perlu
direnungkan. Sejak dulu misalnya, Allah berpesan kepada Nabi Musa agar
mengingatkan kaummya: Wa dzakkirhum bi ayyâmillâh. Ingatkanlah mereka kepada hari-hari
Allah (QS. Ibrâhîm [14] : 5), maka kita dapat berkata, bahwa salah satu hari
Allah adalah hari gugurnya Sayyidina Husain. Saya terkadang berpikir, kalau
unta atau sapi dijadikan Allah min sya’âirillâhsya’âirillâh? Kalau Ka’bah, al-hadya,
al- qalâid (binatang yang dibawa ke Ka’bah untuk disembelih saat haji), semua
dinamai Allah sebagai sya’âirillâh, maka heran rasanya kalau ada tokoh, baik
yang disebut di dalam Al-Quran maupun yang tidak, selama dia tokoh, heran kalau
dia tidak dapat dinilai sebagai salah satu dari sya’âirillâh. (bagian dari
syiar-syiar Allah), maka apakah tokoh tidak dapat menjadi salah satu dari
sya’airillah?
.
.
Seperti kita baca dalam Al-Quran:
Barang siapa yang mengagungkan sya’âirillâh (syiar-syiar Allah) maka
sesungguhnya itu adalah tanda ketakwaan dari hati (QS. Al-Hajj [22] : 32). Itu
sebabnya kita merayakan maulid Nabi, itu sebabnya kita mengagungkan tokoh-tokoh.
Itu sebabnya sebagaimana kita bergembira dengan kelahiran Nabi Muhammad, sebagaimana
kita menyambut tokoh- tokoh yang kita agungkan, kita pun wajar bersedih dalam
batas-batas yang dibenarkan agama, dengan kepergian siapa yang mesti kita
cintai.
.
Syi’âr – sya’âir – sya’irah
seakar dengan kata syu’ûr, rasa. Setiap yang menjadi syiar mesti menimbulkan
rasa. Ketika pada hari Idul Adhha misalnya, kita melihat kambing, domba atau
sapi yang dijadikan syiar oleh Allah, maka ketika itu dia tidak menjadi syiar
kalau dia tidak menjadi tanda kebesaran Allah dan tidak timbul di dalam hati
Anda rasa kekaguman akan kebesaran Allah. Ketika kita menjadikan seorang tokoh
sebagai syiar, maka harus timbul rasa di dalam hati Anda. Rasa hormat, rasa
kagum dan boleh jadi rasa menyesal kenapa kita tidak hidup pada masa beliau (Imam
Husain) dan ikut berjuang bersama beliau.
.
Hal ketiga yang ingin saya
kemukakan, mengapa kita mengagungkan Sayyidina Husain? Tentu akan sangat
panjang uraian kalau kita berbicara tentang beliau. Kita hanya bisa menunjuk
dengan jari telunjuk; kita tidak dapat merangkul semua dari keistimewaan beliau.
Untung kata orang menunjuk ke suatu gunung yang tinggi terkadang lebih mampu
untuk menggambarkannya dari pada usaha kedua lengan untuk merangkul dunia ini. Kita
hanya ingin menunjuk dan menyinggung sedikit dari banyak yang diakui oleh
seluruh muslim, apapun mazhabnya baik Sunni atau Syiah, dan yang terdapat dalam
semua kitab menyangkut Sayyidina Husain.
.
Pertama, beliau dan Sayyidina
Hasan adalah Sayyid Syabâb Ahli Jannah (Pemimpin Pemuda Penghuni Surga), semua
mengakui. Ada hal yang menarik dari dua sosok agung ini. Sepintas terlihat
bahwa kepribadiannya bertolak belakang. Sayyidina Hasan mau damai, Sayyidina
Husain revolusioner. Kelihatannya bertolak belakang, tapi sebenarnya tidak
bertolak belakang. Semua bersumber dari didikan ayah beliau, Sayyidina Ali bin
Abi Thalib, dan semua yang dari Imam Ali bersumber dari Rasulullah SAW. Semua
diajarkan untuk membela agama dan mempertahankannya sambil melihat kondisi yang
sedang dialami.
.
Kondisi yang dihadapi oleh
Imam Hasan sudah berbeda dengan kondisi yang dialami oleh Imam Husain. Ketika
masa Sayyidina Hasan diperlukan kedamaian yang bersyarat. Tetapi ketika
kedamaian yang bersyarat itu ternodai, situasi berubah dan tampillah Sayyidina
Husain. Kalau begitu, ketika Sayyidina
Husain bersedia gugur walau dengan memberi pilihan kepada pengikutnya untuk
mundur ketika dikepung, beliau juga dalam perjuangannya bukan menuntut
kekuasaan. Yang beliau inginkan ketika itu adalah syu’ûr, rasa, kepekaan
terhadap ajaran agama dan nilai-nilainya. Yang beliau inginkan ketika itu
adalah tumbuh suburnya ajaran ini yang sejak masa ayah beliau sudah mulai
menjauh dari nilai-nilai yang diajarkan Rasul.
.
Abbas Al-Aqqad, seorang ulama Mesir yang
diakui otoritas keilmuannya, menulis dalam buku Abqarîyat ‘Ali mengatakan bahwa
kendati Sayyidina Ali merasa bahwa beliau wajar untuk menjadi khalifah setelah Rasul, tetapi beliau tidak
ingin menuntut itu sebelum umat menyerahkannya kepada beliau. Ditulis oleh
ulama-ulama Syiah, salah satunya di dalam buku Ashlu Syî’ah wa Ushulihâ, bahwa
Sayyidina Ali menerima kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar dan Umar, kepimpinan
dalam urusan kenegaraan karena beliau melihat bahwa apa yang dilakukannya sudah
sesuai dengan jalan Rasulullah. Walaupun dalam buku itu dikatakan beliau tidak
menyerahkan soal imamah keagamaan. Sekali lagi saya ingin katakan, ketika
Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain dan sebelumnya Sayyidina Ali, beliau tidak
pernah berpikir untuk duduk sebagai penguasa. Ini ‘kan suatu ajaran yang perlu
kita camkan sekarang ini.
.
Hal terakhir yang saya ingin
kemukakan dalam konteks berbicara tentang Imam Husain adalah bahwa beliau, menurut
Nabi SAW, adalah Sayyîd Asy-Syuhadâ, penghulu, tokoh yang terutama dari para
syuhada. Saya tidak ingin membatasi pengertian syuhada itu hanya dalam arti
orang yang gugur membela agama. Syuhada adalah bentuk jamak dari syahîd. Syahid
itu kata yang patronnya bisa berarti objek dan bisa berarti subjek. Syahâdah
adalah kesaksian. Kalau dia berarti subjek maka syahîd berati yang menyaksikan,
kalau dia berarti objek berarti bahwa beliau yang disaksikan.
.
Keguguran dan darah yang
terpancar memang menjadi saksi akan ketulusan perjuangan beliau. Tapi karena
kita tidak ingin membatasi arti syahadah hanya pada pengertian gugur di medan
juang, itu juga berarti ketika kita menjadikan beliau sebagai syahîd (yang
disaksikan), berarti kita ikut menyaksikan dihadapan Allah berdasarkan pada
pengetahuan kita bahwa beliau tokoh dan di sisi lain kita menyaksikan beliau
sebagai teladan kita dalam hidup. Itu sebabnya dalam Quran disebutkan: Wa
kadzâlika ja’alnâkum ummatan wasatha litakûnû syuhadâ ‘alâ an-nâs wa yakûna ar-
rasûl ‘alaikum syahîda. Dan Kami telah menjadikan kalian umat pertengahan agar
kamu menjadi teladan-teladan atas manusia, sedang Rasul adalah teladan kamu (QS.
Al-Baqarah [2] : 143)
.
Mengapa saya berkata begitu? Karena
kita tidak pernah berkata bahwa hidup ini hanya di dunia; kita berkata hidup di
dunia ini adalah perjuangan sepanjang masa. Kita perlu teladan- teladan yang
baik, dan keteladan Imam Husain itu berlanjut hingga sekarang. Itu sebabnya
tadi dikatakan sampai sekarang masih jutaan orang berkunjung ke Karbala, sampai
sekarang saya tahu persis di Mesir, Masjid Imam Husain itu dikunjungi orang; yang
berkunjung bukan hanya orang Syiah tapi juga Sunni yang mengelilingi bagaikan
bertawaf di sana. Mengagungkan Imam Husain karena perjuangannya sehingga kita
dapat berkata, “Siapa yang tidak mengagungkan beliau (Imam Husain) maka
diragukan keimanannya.” Aqûlu qauli hadzâ wastaghfirullâh lî walakum. (Deleteisrael/ICC.doc)
.
Sumber: Ceramah disampaikan
oleh Prof. DR. M. Quraish Shihab dalam acara Peringatan Arbain Imam Husain di
Islamic Cultural Center, Jakarta, pada tanggal 16 Februari 2009 (20 Shafar 1430
H).
Ketua PP Muhammadiyah Prof H
Syafiq A Mughni MA PhD mengatakan bahwa Syiah bukan ajaran sesat, hanya dalam
Syiah lebih cenderung kepada amaliah yang terkait langsung dengan sahabat nabi
Ali bin Abi Thalib.
“Syiah memang lebih cenderung
kepada amaliah yang terkait langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu
bukan berarti sesat, karena itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus individu”.
Namun di sisi lain Syafiq A Mughni menyampaikan bahwa Muhammadiyah tidak
sependirian dengan Syiah.
Menurut Syafiq, perbedaan
yang sangat menonjol terkait Syiah itu masalah kepemimpinan setelah Nabi
Muhammad.
“Dari sudut ajaran Islam, saya
memang tidak sepakat dengan Syiah, tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham
lain yang ada di dalam Islam,”menanggapi konflik Syiah di Sampang, Madura, Jatim.Ketua
PP Muhammadiyah Surabaya.
Ia juga mengatakan kepada
Syiah dan aliran keagamaan yang lain untuk saling menghormati dan membangun kehidupan
berbangsa lebih baik.
“Kepada Syiah dan aliran atau
paham apapun sebaiknya justru saling menghormati dan menghargai untuk membangun
kehidupan yang lebih baik,” jelas Guru Besar Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel
Surabaya ini.
Ketua PP Muhammadiyah Prof H
Syafiq A Mughni MA PhD berpendapat masalah Syiah dalam Islam sebenarnya hanya
berbeda dalam persoalan kepemimpinan Ali bin Abi Thalib.
“Dari sudut ajaran Islam, saya
memang tidak sepakat dengan Syiah, tapi perbedaan itu juga ada dalam paham-paham
lain yang ada di dalam Islam. Itu biasa dalam Islam dan justru harus menjadi
alasan untuk saling menghormati dan menghargai sesama Islam,” katanya kepada
ANTARA di Surabaya (29/8/2012).
Menurut mantan Ketua Pimpinan
Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur itu, hal yang tidak bisa disepakati
terkait Syiah adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib atau perbedaan politik
terkait kekhalifahan pasca-Nabi Muhammad SAW.
“Perbedaan dengan Syiah dalam
politik (kepemimpinan) itu memang berdampak pada beberapa amaliah keagamaan. Dalam
amaliah keagamaan, Syiah memang lebih cenderung kepada amaliah yang terkait
langsung dengan Ali bin Abi Thalib, tapi hal itu bukan berarti sesat, karena
itu hanya konsekuensi dari sebuah kultus individu,” kata Guru Besar IAIN Sunan
Ampel Surabaya itu.
Muhammadiyah : Syi’ah Hanya
Beda Kepemimpinan
Sementara dilansir di
Republika (29/8/2012), Ketua PP Muhammadiyah Prof H Syafiq A Mughni MA PhD
berpendapat masalah Syiah dalam Islam sebenarnya berbeda dalam persoalan
kepemimpinan Ali bin Abi Thalib. Menurut mantan Ketua Pimpinan Wilayah
Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur tersebut, hal yang tidak bisa disepakati umat
Islam lainnya terkait Syiah adalah kepemimpinan Ali bin Abi Thalib atau
perbedaan dalam aspek politik. Demikian la
Ia sendiri tidak sepandapat
dengan Syi’ah, tapi menurutnya, perbedaan itu juga ada dalam paham-paham lain
yang ada di dalam Islam. Ia juga menghimbau agar saling menghormati dan
menghargai untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Guru Besar Fakultas Adab
IAIN Sunan Ampel Surabaya itu menjelaskan perbedaan dengan Syiah dalam politik
atau kepemimpinan itu memang berdampak pada beberapa amaliah keagamaan.
Pandangan Prof .DR. Azyumardi
Azra Mengenai Syiah
Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA (Cendikiawan
Muslim, Direktur Sekolah PascaSarjana UIN Jakarta):
“Syiah adalah bagian integral
dari umat Islam dan tidak ada perbedaan yang prinsipil dan fundamental dalam
Syiah dan Sunni, kecuali masalah kepemimpinan politik”
“ Fatwa haram atau sesat
Syiah itu tidak diperlukan, baik secara teologis, ibadah dan fiqh karena
pertaruhannya Ukhuwah Islamiyah di Indonesia,”(republika.co.id)
Pandangan Prof .DR. Azyumardi
Azra Mengenai Syiah
Dalam kenyataan, antara Syiah
dengan ahlu Sunnah, lebih banyak persamaannya ketimbang perbedaannya. Sedikit
perbedaan hanya menyangkut hal yang tidak prinsipil. Misalnya, mengenai imamah (kepemimpinan)
mau pun dalam hal fiqhiyah, perbedaan dalam hal furu’iyah (ranting), bukan
pokok.
Karena itu, Syiah tidak bisa
disebut sekte (diluar Islam, menjadi agama tersendiri). Untuk memahami Syiah, harus
mengetahui akar sejarahnya. Secara sederhana, dalam bahasa Arab, syiah berarti
golongan, kelompok, atau partai. Dalam pengertian istilahi, mengacu kepada
kelompok atau golongan yang mendukung Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Terutama
setelah terjadinya peristiwa politik pada masa sahabat. Mungkin ironis, kelahiran
Syiah terkait kepada persoalan politik ketimbang persoalan keagamaan.
Jadi umat Islam sejak awalnya
bertikai karena persoalan politik bukan persoalan yang murni bersifat keagamaan.
Banyak orang berpendapat bahwa ini sifat dari politik atau kekuasaan yang
memang panas. Membuat orang cenderung tidak terkendali dan terpecah.
Awal Kelahiran Syi’ah
Kelahiran Syiah berkaitan
dengan pertikaian antara para pendukung Ali bin Abi Thalib dengan Utsman bin
Affan. Pada masa khalifah yang ketiga, Utsman bin Affan, dikalangan umat Islam
sudah mulai terjadi perpecahan dan pertikaian, terutama disebabkan Khalifah
Utsman ini dipandang terlalu lemah. Saya (penulis) tidak begitu yakin apakah
Khalifah Utsman sengaja melakukan praktik nepotisme.
Tapi saya kira hal ini lebih
disebabkan Khalifah Utsman seorang yang sangat wara’, ‘alim, dalam
kepemimpinannya lurus. Kelurusan dan keikhlasan dia dimanfaatkan kerabatnya
untuk merebut posisi kekuasaan yang ada. Dan inilah yang menimbulkan protes
dari Muslim lain. Sehingga akhirnya terjadilah perlawanan dan penentangan
terhadap Khalifah Utsman, kemudian Khalifah Utsman dikepung dirumahnya dan
beliau akhirnya dibunuh.
Saat itu juga Ali bin Abi
Thalib dikukuhkan oleh sebagian sahabat sebagai khalifah keempat. Pengangkatan
dan pembaiatan Ali bin Abi Thalib ditentang oleh dua kelompok. Kelompok pertama
dipimpin oleh Siti Aisyah, istri Rasulullah s.a.w., dengan alasan belum
waktunya Ali diangkat sebagai khalifah. Kelompok kedua dari keluarga Umayyah, dipimpin
oleh Mu’awiyyah bin Abi Sufyan.
Putra Abi Sufyan yang dulu
pernah menjadi musuh Rasulullah s.a.w. Mu’awiyyah bin Abi Sufyan berasal dari
keluarga Utsman yang secara umum disebut keluarga Umayyah. Sehingga pada
akhirnya untuk pertama kali, terjadilah peperangan diantara pendukung Ali (yang
kemudian dikenal dengan Syiah) dengan orang-orang yang dibawah pimpinan Siti
Aisyah. Siti Aisyah memimpin perang Jamal.
Beliau mengendarai unta. Diantara
pendukungnya, termasuk Thalhah dan Zubair bin Awwan. Siti Aisyah dikalahkan
oleh Ali bin Abi Thalib dan dikembalikan ke rumahnya, tidak diapa-apakan. Tapi
yang lebih sengit lagi adalah peperangan diantara para pendukung Mu’awiyyah bin
Abi Sufyan. Puncaknya pada perang Siffin.
Para pendukung Ali hampir
menang tapi dengan tipu muslihat tertentu, para pendukung Mu’awiyyah mengangkat
tahkim (tanda perdamaian) sehingga pendukung Ali tertipu sehingga Khalifah Ali
dalam sebuah pertemuan (kesepakatan) diturunkan dan pada saat yang sama
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dikukuhkan menjadi khalifah baru. Inilah masa awal
bangkitnya sebuah dinasti, yaitu dinasti Umayyah.
Perubahan Sistem Politik
Islam
Pada waktu itu pulalah
terjadi pergantian dan perubahan sistem politik Islam dari sistem khilafah (sistem
pemilihan, siapa yang paling ‘alim, taat, baik akhlaknya). Dengan munculnya
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan menjadi khalifah maka gelar khalifah tetap dipakai
tetapi bukan Khalifaturrasul, melainkan khalifatullah fil ardh dhillullah fil
ardh (pengganti wakil Allah dimuka bumi, bayang-bayang Allah dimuka bumi).
Jadi, Mu’awiyyah lebih hebat
lagi. Kalau Abu Bakar Siddik yang sangat dekat dengan Rasulullah s.a.w. hanya
menyebut dirinya khalifaturrasul (wakil Rasulullah), tapi Mu’awiyyah bin Abi
Sufyan mengklaim sebagai khalifatullah fil ardh dhillullah fil ardh. Dari
sinilah asal kemunculan Syiah, jelas merasa diliciki, dan memang diliciki oleh
Mu’awiyyah bin Abi Sufyan. Mereka kemudian menjadi kelompok yang kuat, yang
dikenal dengan Syiah.Karena itulah konsep Syiah yang paling menonjol dan khas
sebetulnya dalam bidang politik. Yang menjadi perbedaan antara aliran Syiah
dengan Sunnah adalah dalam bidang pemikiran politik.
Hak kekhalifahan bagi Ali bin
Abi Thalib dan keturunannya, yang disebut Imam. Jadi imam berbeda-beda dalam
Syiah, karena dalam Syiah juga muncul berbeda-beda, ada Syiah moderat (mayoritas),
ada juga kelompok ekstrem (ghulat). Kelompok ekstrem bahkan ada yang
berpendapat (sebagian kecil), tidak hanya menolak kepemimpinan Mu’awiyyah, tapi
juga kepemimpinan khulafaurrasyidin lain seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Bahkan
mengatakan bahwa hak kerasulan adalah hak Ali bin Abi Thalib bukan hak Muhammad
s.a.w. karena sebetulnya wahyu dipesankan oleh Allah melalui Jibril untuk
disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib, bukan kepada Muhammad s.a.w.
Yang ekstrem sangat sedikit, antara
lain berada di Yaman. Yang paling banyak Syiah duabelas, Itsna As’ariyah, atau
Syiah Imamiyah, yaitu imamnya dua belas.Imam-imam Syiah itu ada duabelas. Pertama
Ali bin Abi Thalib, Hasan bin Ali, Husein bin Ali, Ali bin Husein, Ali bin
Husein Zainal Abidin, Sayidina Muhammad bin Ali Al-Baqir, Imam Ja’far Muhammad
Shadiq, Imam Musa bin Ja’far Al-Qadhim, Imam Muhammad bin Ali Jawwad, Imam Ali
bin Muhammad Al-Hadi, Imam Hasan bin Muhammad Al-Askari, Imam Muhammad bin
Hasan Al-Qaim (yang disebut sebagai imam yang ghaib) Imam Al-Muntadhar, imam
yang ditunggu.Dalam tradisi Syiah, imam mempunyai posisi politik yang tinggi, terutama
sebelum munculnya kembali Imam Al-Muntadhar. Imam bukan hanya sebagai orang
yang memiliki otoritas dalam keagamaan, imam shalat, tetapi sekaligus sebagai
pemimpin politik. Dan oleh karena itu, politik atau kekuasaan adalah milik imam.
Dan imam adalah orang yang ma’shum (bebas dari dosa).
Di dalam tradisi Syiah, ulama-ulama
yang betul-betul ahli dalam ilmu syariah, sekitar sepuluh sampai dengan lima
orang, mereka dipilih dan dibentuk semacam dewan. Mereka inilah yang membentuk
sebuah lembaga yang disebut, dalam tradisi Syiah, wilayatul faqih. Dalam
tradisi Sunni sejenis wilayatul faqih ini sebetulnya juga ada, disebut ahlul
halli wal aqdhi. Yaitu kelompok ulama yang berwenang, memiliki otoritas dan
mengikat. Atau lebih dikenal dalam istilah lain, majelis syura. Di NU (Nahdhatul
‘Ulama) ada Majelis Syura, yang fungsinya sama dengan wilayatul faqih dalam
Syiah.
Meski pun dalam prakteknya, berbeda
dengan di Iran. Fungsi majelis syura dikalangan Muslim Sunni sangat lemah bahkan
dalam bidang politik tidak banyak berperan. Jadi hanya memberikan pandangan-pandangan
keagamaan, tidak mempunyai kekuatan nyata. Tetapi dalam tradisi Syiah, yang
namanya wilayatul faqih, sangat dominan, baik secara agama maupun politik.Itulah
yang kita saksikan di Iran, setelah Revolusi Islam Iran (RII), 1979, dan
sekarang fungsi dan kedudukan wilayatul faqih sangat dominan.
Sejauh yang dijelaskan dalam
naskah ini, kemunculan Syiah berkaitan dengan pertikaian politik. Karena itu
kemudian salah satu konsep sentral bagi Syiah adalah soal politik, yaitu
tentang kedudukan imam, kedudukan wakil imam, yang mutlak tidak hanya dalam
bidang keagamaan, tetapi juga dalam bidang politik. Dan karena itulah, kedudukan
imam sangat sentral. Setiap orang Syiah harus mengikuti imam.
Makanya, orang ahlu sunnah
wal jamaah setelah RII 1979 merasa frustrasi karena umat Islam tidak mau
bersatu. Kemudian dikalangan umat Islam Indonesia muncul gagasan, tirulah
konsep imamah dari Syiah. Pada tahun 80-an muncul konsep atau gerakan Islam di
Indonesia yang mengadopsi kepemimpinan imamah yang sentralistik. Atau kemudian
kalangan ahlu sunnah wal jamaah mengambil konsep tentang amirul mukminin, pemimpin
orang-orang beriman.
Tapi harus segera dikatakan, kalau
ada gerakan Indonesia yang memakai konsep kepemimpinan imamah, jangan dianggap
Syiah. Tidak. Yang mereka ambil dengan imamah adalah konsep kepemimpinan yang
sentralistik. Yang satu. Tidak terpecah-belah. Bisa dipahami, gerakan Islam di
Indonesia, khususnya anak muda, frustrasi dengan realitas kepemimpinan umat
Islam Indonesia.
Maka perlu mengadopsi
kepemimpinan imamah seperti di Iran, kepemimpinan yang sentralistik, tunggal.Dalam
Syiah, menyangkut kepemimpinan politik, sering dibandingkan orang dengan
tradisi di dalam gereja. Di Katolik, kepemimpinan berada di Vatikan, pada paus,
uskup, pastor dan struktur kebawahnya. Di dalam Sunni tidak ada imamah tunggal
karena tradisi imamah dalam Sunni adalah imam masjid, tidak berfungsi sebagai
social and political leadership.
Imam, menurut Sunni tidak memainkan
peran kepemimpinan sosial dan politik tapi hanya kepemimpinan dalam shalat saja.
Inilah yang membuat frustrasi, banyak kalangan ahlu sunnah wal jamaah melihat
kepemimpinan yang terpecah-belah, akhirnya mengadopsi model kepemimpinan Syiah.
Ulama yang terpilih untuk
menjadi anggota wilayatul faqih bukan ulama sembarangan. Sangat dipercayai
integritas dan keilmuannya. Mungkin berbeda dengan dalam tradisi Sunni; keulamaan
longgar, siapa pun boleh menjadi ulama. Tapi dalam tradisi Syiah tidak begitu. Ada
proses, bahkan ada pelatihan tertentu, pusatnya di Qum. Ada madrasah yang
khusus mencetak calon ulama Syiah yang disiapkan menjadi mujtahid. Dalam bidang
kalam, Syiah umumnya menganut kalam yang dikembangkan Mu’tazilah.
Suatu aliran tradisi kalam
dalam Sunni yang menekankan akal, disebut kaum rasional. Bahkan Muhammad Abduh,
pembaharu Islam di abad ke-20 dari Mesir, dipandang sebagai orang yang paling
berperan dalam menghidupkan kembali paham bahwa Islam adalah agama rasional. Agama
yang mendorong bahwa orang Islam harus proaktif, harus punya prakarsa, tidak
menyerah kepada takdir, seolah takdir sudah ditentukan begitu saja, sehingga
kita tidak perlu berupaya.
Inilah sikap yang ditolak
oleh orang Mu’tazilah.Jadi, Mu’tazilah menekankan pada semangat rasional, semangat
prakarsa. Orang Syiah mengikuti pandangan itu. Tentu saja ada perbedaan seperti
itu dikalangan orang Syiah dengan Sunni. Yaitu ketika berbicara mengenai siapa
saja yang dipandang ma’shum. Menurut tradisi Sunni, yang ma’shum hanya
Rasulullah Muhammad s.a.w. setelah itu tidak ada lagi yang bebas dari dosa. Tapi
orang Syiah menganggap para imamnya yang duabelas ma’shum.
Dalam pandangan orang Syiah, sama
dengan orang Sunni, Allah Maha Adil, tidak mungkin menghukum orang yang tidak
bersalah. Allah memberikan kebebasan pada manusia untuk memilih, karena melalui
kebebasan itulah maka bisa dituntut pertanggungjawabann ya. Seseorang tidak
bisa dituntut pertanggungjawabann ya jika terpaksa (mujbir). Inilah argumen
kaum rasionalis dalam Islam yang diikuti juga oleh Syiah.
Persamaan Dalam Tasawuf
Di dalam bidang tasawuf saya
malah melihat tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak
dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi’i yang ada
hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu
tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini
berkenaan dengan konsep mahabbah, ma’rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain.
Karena falsafi, sebagaimana
corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf
yang falsafi juga spekulatif.Yang kedua, tasawuf amali. Tujuannya adalah
meningkatkan amal, akhlak. Tokohnya adalah Imam Al-Ghazali. Menurut Al-Ghazali,
dalam beribadah, harus mencari makna terdalam atau asrar, rahasia, ibadah. Berbicara
mengenai asrar atau hikmah beribadah, maka berbicara soal tasawuf. Kata Imam Al-Ghazali,
ibadah jangan dikerjakan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan kewajiban. Misalnya
shalat, harus dicari asrar shalat.
Jika tidak paham rahasia
shalat, maka tidak akan mencapai tujuan shalat itu sendiri; mencegah dari
fahsya wal munkar. Mungkin kita mengerjakan shalat lebih sekedar hanya untuk
memenuhi kewajiban. Kalau tidak dilakukan, berdosa. Akibatnya, dengan
mengerjakan shalat, menjadi sangat mekanistis. Tapi tidak pernah memikirkan
fungsi, apakah makna terdalam dari shalat?
Buya Hamka sangat menekankan
tasawuf ‘amali dan tasawuf akhlaki. Jadi kalau baca Tasawuf Modern, itu adalah
tasawuf ‘amali, tasawuf akhlaki. Di dalam tradisi Syiah, dua tasawuf ini juga
diadopsi, tasawuf falsafi dan tasawuf ‘amali. Imam Ayatullah Khomeini juga
menekankan dua hal ini. Beliau pernah membuat komentar mengenai kitab yang
ditulis Ibnu ‘Arabi, Fushusul Hikam, tapi orang Syiah banyak yang lebih
menekankan pada tasawuf ‘amali. Jadi dalam tasawuf tidak ada perbedaan antara
Syiah dengan Sunni. Bahkan banyak juga orang Syiah yang menganut tasawuf Al-Ghazali,
yang menekankan tasawuf ‘amali.
Di dalam bidang fiqih, sesungguhnya
tidak banyak perbedaan. Yang sering muncul, katanya, dalam Syiah aliran
tertentu, mengizinkan kawin mut’ah. Tapi secara umum orang Syiah juga menolak. Dalam
fiqih Ja’fari memberi peluang untuk kawin mut’ah. Tetapi kalau saya lihat, syarat-syaratnya
sangat berat, tidak semudah yang dibayangkan banyak orang. Hanya dalam kasus-kasus
yang sangat istimewa saja kawin mut’ah terjadi.
Artikel Ditulis oleh Prof. Dr.
H. Azyumardi Azra, M.A, Rektor IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Mubaligh.
Naskah ini berasal dari Majelis Pengajian Ahad Pagi, pada tanggal 3 Juni 2001
di Masjid Raya.
Prof. DR. Komaruddin Hidayat:
Iran dan Syiah Memiliki
Kontribusi Besar dalam Peradaban Islam
“Siapa saja yang tidak
mengakui keberadaan Syiah pada hakikatnya tidak memiliki pengenalan sedikitpun
dengan sejarah Islam. Karena tidak satupun ulama Sunni yang mengingkari peran
dan kontribusi besar Iran dalam peradaban Islam.”
Iran dan Syiah Memiliki Kontribusi
Besar dalam Peradaban IslamMenurut Kantor Berita ABNA, Prof. DR. Komaruddin
Hidayat pemikir dan cendekiawan muslim Indonesia yang juga menjabat sebagai
Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sejak tahun 2006 dalam wawancaranya
dengan wartawan the Jakarta Post menegaskan, “Siapa saja yang tidak mengakui
keberadaan Syiah pada hakikatnya tidak memiliki pengenalan sedikitpun dengan
sejarah Islam. Karena tidak satupun ulama Sunni yang mengingkari peran dan
kontribusi besar Iran dalam peradaban Islam.”
Prof. Dr. Komaruddin Hidayat (Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta):
“ Syiah merupakan bagian dari
sejarah Islam dalam perebutan kekuasaan, dari masa sahabat, Karenanya akidahnya
sama, Alqurannya, dan nabinya juga sama,”(republika.co.id)
GUSDUR
gus dur mesir
Syiah dan NU mirip
.
Almarhum Gus Dur dulu pernah
mengatakan Nahdlatul Ulama (NU) itu Syiah minus Imamah, Syiah itu NU plus
Imamah. Bukan tanpa alasan statemen itu dilontarkan, memang NU dan Syiah secara
budaya memiliki banyak kesamaan
Almarhum Gus Dur yang sebagai
ulama besar sekaligus Ketua Umum NU semasa hidupnya pernah mengatakan bahwa NU
adalah golongan Syi’ah yang minus imamah
Menurut Sumber : Majalah
Berita Mingguan GATRA Edisi : 25 November 1995 ( No.2/II ) bahwa Kiai Bashori
mengatakan pernah mendengar pidato Gus Dur di Bangil, Jawa Timur, menyebut
Ayatullah Khomeini sebagai waliyullah atau wali terbesar abad ini. Padahal, menurut
pendapat ahlusunah waljamaah, jelas bahwa Syiah itu menyimpang dari Islam. Maka
Kiai Bashori bertanya, “Bagaimana sih sebenarnya akidah sampeyan tentang Syiah
ini?” . Menurut Effendy Choiri, yang dikenal sebagai pendukung Gus Dur, jawaban
Gus Dur sebagai berikut: dari segi akidah, memang beda antara Syiah dan Sunni. Saya
melihat Khomeini itu waliyullah bukan dalam konteks akidah, melainkan dalam
konteks sosial. Khomeini adalah satu-satunya tokoh Islam yang berhasil
menegakkan keadilan, memberantas kezaliman, dan lain-lain. Jadi soal akidah
kita tetap beda dengan Syiah.
Dan baru-baru ini Ketua Umum
NU Said Aqil Siroj juga mengakui bahwa NU banyak kemiripan dan sampai membela
mati-matian Syi’ah di Indonesia
berikut ini kutipan kutipan
tulisan dari twitter ulil abshar abdalla yang saya peroleh dengan
susah payah :
Ulil Abshar Abdalla
@ulil Ulil Abshar Abdalla
“Syiah punya keyakinan yg
beda dgn Sunni. Sunni punya keyakinan yg beda dgn Mu’tazilah. Apakah kalau beda
keyakinan terus saling menista?”..
.
Ulil Abshar Abdalla
@ulil Ulil Abshar Abdalla
”Kalau orang Syiah punya
akidah yg beda dgn kaum Sunni, maka akidah mereka tak bisa dianggap menodai
akidah Sunni. Beda bukan menodai”…
.
Ulil Abshar Abdalla
@ulil Ulil Abshar Abdalla
”Sekte Syiah dan Sekte Sunni
berbeda. Tak ada ulama manapun yg minta Syiah atau Sunni jadi agama sendiri di
luar Islam”
Sumber:
Komentarku ( Mahrus
ali):
Kalau saya tinjau dari ajaran
Syi`ah, kesyirikan,kebid`ahan dan bagaimana pendapat Ibn Taimiyah, Imam Syafii
dll, maka tetap Syi`ah adalah sekte ahli bid`ah yang lebih banyak kesyirikannya
dari pada ahli bid`ah di Indonesia.
Lihat lagi disini:
ari 27, 2012
Syi`ah mirip Yahudi, kata tokoh Salafy
Syiah itu dipelihara Amerika
Syi`ah Iran mau rebut Mekkah dan Medinah
Penyimpangan akidah Syi`ah
Kesyirikan Syi`ah ke 2
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan