Ferdian Kakkashi menulis
Di dalam kitab beliau, Minhaj Al-Firqoh
An-Najiyah wat Thoifah Al-Manshuroh, Asy-Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu menjelaskan
kerusakan dan penyimpangan acara peringatan Maulid Nabi. Di antaranya adalah
sebagai berikut:
1. Kebanyakan orang-orang yang
mengadakan peringatan Maulid terjatuh pada perbuatan syirik, yakni ketika
mereka menyanyikan bait-bait syair (nasyid-nasyid atau qosidah) pujian kepada
Rasulullah dalam acara itu (yang sering di sebut sholawatan). Mereka mengatakan:
يا رسول الله غوثا و مدد يا رسول الله عليك
المعتمد
يا رسول الله فرج كربنا ما رآك الكرْبُ إلا و
شرَد
“Wahai Rasulullah, berilah kami
pertolongan dan bantuan.
Wahai Rasulullah, engkaulah sandaran
kami.
Wahai Rasulullah, hilangkanlah
derita kami.
Tiadalah derita itu melihatmu, kecuali
ia akan melarikan diri. “
Sungguh, seandainya saja Rasulullah
sholllahu ‘alaihi wa sallam hidup dan mendengar nyanyian tersebut, tentu beliau
akan menghukuminya dengan syirik besar (bahkan beliau pasti akan melarang
mereka dari perbuatan tersebut). Mengapa? Karena pemberian pertolongan, tempat
sandaran dan pembebasan dari segala derita hanyalah Allah Ta’ala saja.
Allah Ta’ala berfirman:
أَمَّنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ
وَيَكْشِفُ السُّوءَ
“Atau siapakah yang memperkenankan (doa)
orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan (siapakah pula) yang
menghilangkan kesusahan….”(QS. An-Naml: 62).
Allah Ta’ala memerintahkan
Rasulullah shollahu ‘alaihi wa sallam agar menyampaikan kepada segenap manusia:
قُلْ إِنِّي لا أَمْلِكُ لَكُمْ ضَرًّا وَلا
رَشَدًا
“Katakanlah (Wahai Muhammad): “Sesungguhnya
aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak pula
suatu kemanfaatan….” (QS. Al-Jin: 21).
Bahkan Nabi Muhammad shollahu
‘alaihi wa sallam sendiripun bersabda (dalam rangka memberi nasehat kepada Ibnu
Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan juga umat beliau lainnya):
إِذَا سَأَلْتَ فَسْأَلِ اللَّهَ ، وَإِذَا
اسْتَعَنْتَ فَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ
“Bila engkau meminta, mintalah
kepada Allah. Dan apabila engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan
kepada Allah). “ HR. At-Tirmidzi, dan beliau berkata: “Hadits ini Hasan Shohih”).
2. Mayoritas perayaan maulid yang
diadakan itu didalam terdapat sikap Al-Ithro’ (berlebih-lebihan) dan menambah-nambah
dalam menyanjung (memuji) Nabi shollallahu ‘alahi wa sallam. Padahal Nabi
sholallahu ‘alaihi wa sallam melarang hal tersebut dalam sabda beliau:
لاَ تــطروْنِيْ كَماَ أطرتِ النَّصَارَى ابْنَ
مَرْيَمَ فَإِنَّمَا أَنَا عَبْدٌ فَقَوُلْوا عَبْدُ اللهِ وَ رَسُوْلِهِ
“Janganlah kalian berlebih-lebihan
dalam memujiku, sebagaimana orang-orang Nasrani berlebih-lebihan dalam memuji
Isa bin Maryam. Aku tak lebih hanya seorang hamba, maka katakanlah (tentang aku)
‘Abdulllah (Hamba Allah) dan Rasul-Nya!’“ (HR. Al-Bukhari).
Kemudian dalam acara Maulid itu juga,
sering dibacakan kitab Diba’ yang berisi sejarah perjuangan Nabi Muhammad
shollallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam salah satu syair kitab ini menceritakan
dan di yakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad
sholallahu ‘alahi wa sallam dari cahaya-Nya, lalu Ia menciptakan segala sesuatu
dari Nur Muhammad (cahaya Muhammad).
Sungguh ini adalah ucapan dusta. Sebaliknya,
Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam itu justru diciptakan Allah dengan
perantara seorang bapak dan ibu. Beliau adalah manusia biasa yang dimuliakan
dengan diberi wahyu oleh Allah.
Bahkan mereka juga menyenandungkan
syair Diba’ yang menyatakan bahwa Allah menciptakan alam semesta ini kerena
Muhammad. Ini pun juga ucapan dusta, karena Allah Ta’ala justru berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا
لِيَعْبُدُونِ
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku. “(QS. Adz-Dzaariyaat: 56).
3. Dalam acara perayaan atau
peringatan maulid nabi itu banyak terjadi ikhthilat, (bercampur laki-laki dan
wanita dalam satu tempat, tanpa adanya hijab/tabir pemisah diantara mereka), padahal
ini diharamkan dalam syariat agama kita.
4. Dalam penyelenggaraan acara
maulid nabi ini, sering terjadi sikap tabzdir (pemborosan harta), baik untuk
biaya dekorasi, konsumsi, transportasi dan sebagainya yang terkadang mencapai
jumlah jutaan. Uang sebanyak itu habis dalam sekejap padahal mengumpulkannya
sering dengan susuh payah, dan sesungguhnya hal itu lebih dibutuhkan umat Islam
untuk keperluan lainnya, seperti membantu fakir miskin, memberi beasiswa
belajar bagi anak-anak yatim, menyelesaikan pembangunan masjid dan sebagainya.
5. Waktu yang digunakan untuk
mempersiapkan dekorasi, konsumsi dan transfortasi sering membuat lengah atau
lalai para panitia peringatan maulid, sehingga tidak jarang mereka sampai
meninggalkan sholat berjamaah dengan alasan sibuk atau yang lainnya.
Dan tak jarang pula acara peringatan
Maulid itu berlangsung hingga larut malam, akibatnya banyak di kalangan mereka
tidak sholat subuh berjamaah di masjid (karena bangun kesiangan) atau bahkan
ada yang tidak subuh sama sekali.
6. Merayakan maulid (hari kelahiran)
adalah sikap tasyabbuh (meniru atau menyerupai) orang-orang kafir. Mengapa? Lihatlah,
orang-orang Nasrani punya tradisi memperingati natal (hari kelahiran) Isa Al-Masih,
dan juga hari natal atau ulang tahun setiap anggota keluarga mereka. Lalu, umat
Islam pun ikut-ikutan merayakan bid’ah tersebut. Padahal, Rasulullah
shollallahu ‘alahi wa sallam mengingatkan kita:
مَنْ تَـشَـبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barang siapa menyerupai suatu kaum,
maka dia termasuk golongan mereka. “(HR. Abu Dawud, shahih).
7. Sudah menjadi tradisi dalam
peringatan maulid itu, bahwa di akhir bacaan maulid, sebagian hadirin berdiri, karena
mereka menyakini bahwa pada waktu itu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam
hadir didalam majelis mereka. Sungguh ini adalah kedustaan yang nyata. Mengapa?
Ya karena Allah Ta’ala berfirman:
وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَى يَوْمِ
يُبْعَثُونَ
“Dan di hadapan mereka (orang-orang
yang telah mati) ada barzakh (dinding) sampai hari mereka dibangkitkan. “(QS. Al-Mu’minin:
100).
Yang dimaksud barzakh (dinding) pada
saat tersebut adalah pembatasan antara dunia dan akhirat, sehingga tidak
mungkin orang yang telah mati bangkit atau ruhnya yang bangkit.
Di samping itu, seandainya
Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam masih hidup, tentu beliau tidak senang
di sambut dengan cara berdiri menghormat beliau, sebagaimana dinyatakan oleh
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
“Tidak ada seorang pun yang lebih
dicintai oleh para sahabat daripada Rasulullah shollallahu ‘alahi wa sallam. Tetapi
jika mereka melihat Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mereka tidak
berdiri untuk (menghormati) beliau, karena mereka mengetahui bahwa Rasulullah
membenci hal tersebut. “(HR. Ahmad dan At-Tirmidzi, shohih)
Maroji’:
Minhaj Al-Firqoh An-Najiyah, karya
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu.
Wallahu A'lam...
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan