Lingkarannews.com- Ada sebuah pepatah “dimana bumi dipijak, disitulah
langit dijunjung”, kalimat yang menjadi alasan bagi seorang seperti Bung Tomo
untuk berbicara mengenai Nasionalisme yang dimiliki oleh kaum tionghoa
Sebagai pejuang revolusi kemerdekaan, Bung Tomo menilai ada
banyak orang Tionghoa di Indonesia yang sikap dan perilakunya jauh dari nilai-nilai
nasionalisme. Hidup dan mencari makan di Indonesia , tapi sama sekali tidak
memberikan kontribusi bagi perjuangan bangsa. Sikap dan perilaku seperti itu
diperlihatkan sejak masa sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, menurut
Bung Tomo, banyak orang Tionghoa pada masa kolonial yang menjadi kepanjangan
tangan Belanda untuk menindas rakyat Indonesia .
Memang, tulis Bung Tomo, kalau di suatu daerah sedang ada
penguasa Indonesia ,
mereka menunjukkan loyalitasnya kepada Republik. Tapi, begitu kekuasaan Belanda
menduduki daerah RI, segera Cina-cina (warga Tionghoa) itu membantu tuannya
yang lama. “Hanya seorang atau dua saja dari seribu orang Cina di Indonesia
yang benar-benar membantu perjuangan kita dengan konsekuen selama kita melawan
kolonialisme. Itulah kenyataan. Dan itu mereka teruskan sampai sekarang.”
Bahkan Bung Tomo pernah menulis surat terbuka kepada pemimpin Republik Rakyat
Cina Mao Tse Tung dan pemimpin Taiwan Chiang Kai-shek. Intinya, dia meminta
perhatian kedua pemimpin itu untuk membantu menarik sekitar 2 juta warga
Tionghoa dari Indonesia
kembali ke negara masing-masing.
“Apakah Tuan-tuan tidak malu bangsa Tuan-tuan diberi nama
julukan parasit-parasit demikian itu? Saya rasa Tuan-tuan pun malu. Oleh karena
itu, demi nama baik kita semua, saya usulkan agar Tuan-tuan suka memikirkan
kemungkinan untuk mengadakan repatriasi bagi orang-orang Cina asing di Indonesia .”
Bila Mao dan Chiang dapat melaksanakan pemulangan 2 juta
warga itu ke RRC atau Taiwan, tulis Bung Tomo, kedua tokoh itu niscaya bakal
tercatat dalam sejarah sebagai tokoh-tokoh Asia yang berhasil melenyapkan
kolonialisme di Indonesia. “Berilah orang-orang Cina itu makan di negeri Cina
sendiri.”
Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Djoko
Suryo, menilai sikap yang diperlihatkan Bung Tomo sejatinya bukan rasialis dan
anti-Tionghoa. Sebagai pejuang, Bung Tomo hanya ingin agar segenap orang
berprinsip “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”.
Karena itu, ketika ada kebijakan penataan kewarganegaraan
dengan strategi hukum pada 1950-an, Bung Tomo termasuk yang mendesak pemerintah
menyatakan secara tegas kepada siapa pun supaya memilih, tidak peduli itu Tionghoa , India ,
atau Arab. “Kalau berada di Indonesia ,
ya harus memiliki patriotisme, nasionalisme, dan kecintaan pada Tanah Air. Jadi
posisi Bung Tomo ini menegaskan dan mendukung kebijakan pemerintah,” kata Djoko.
Bambang Sulistomo, putra kedua Bung Tomo, juga menegaskan
ayahnya semasa hidup punya banyak sahabat orang Tionghoa. Apa yang disampaikan
dalam pidato dan surat terbuka itu, kata Bambang, maksudnya agar keturunan mana
pun yang tinggal dan menjadi warga Indonesia harus menjunjung dan memiliki
nasionalisme, kecintaan terhadap Tanah Air, dan patriotisme kepada negeri ini.
“Jangan mendua. Dulu, pada zaman penjajahan Belanda, masyarakat
Indonesia kan terbelah-belah. Ada yang diprioritaskan dan mendapat
perlakuan berbeda, seperti warga Eropa, keturunan orang Timur Tengah. Dan
masyarakat Indonesia
disebut pribumi. Yang diharapkan Bung Tomo, kalau sudah berada di Indonesia , ya
tidak boleh mendua, apalagi mendukung penjajah,” ujarnya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan