Muhammad Idrus Ramli menyatakan lagi:
Pandangan
Al Albani yang diikuti oleh mahrus Ali dalam menolak otoritas hadits dhaif
bertentangan dengan pendapat para ulama ahli hadits, ahli ushul fiqih, dan ahli
fiqih sejak generasi salaf, yang mengakui otoritas hadits dhaif dalam konteks
fadhail al a’mal, dan sesamanya. Berikut ini akan kami sebutkan beberapa ulama
salaf yang mengatakan bahwa hadits dhaif dapat dijadikan hujjah dalam fadhail
al a’mal, yang dikutip oleh Muhammad Khalaf Salamah dalam kitab Lisan al
Muhadditsin (II/ 287):
1.
Sufyan Ats Tsauri
لاَ تَأْخُذُوا
هَذَا اْلعِلْمَ فِي الْحَلاَلِ وَالْحَرَامِ إِلاَّ مِنَ الرُّؤَسَاءِ الْمَشْهُوْرِيْنَ
بِالْعِلْمِ الَّذِيْنَ يَعْرِفُوْنَ الزِّيَادَةَ وَالنُّقْصَانَ وَلاَ بَأْسَ مَا
سِوَى ذَلِكَ مِنَ الْمَشَايِخِ
Janganlah
mengambil ilmu ini dalam urusan halal dan haram, kecuali dari para ulama yang
terkemuka, yang populer kealimannya, yang dapat mengenali adanya penambahan dan
pengurangan dalam suatu hadits, dan boleh menerima hadits-hadits selain dalam
konteks di atas dari para ulama kebanyakan.[1]
Komentar (Mahrus Ali):
Pendapat tersebut dirasa kurang
pas, seolah-olah permasalahan akidah, iman kepada Allah, malaikat, hari akhir,
tata cara ibadah, syirik, dan tauhid boleh mengambil dari perawi lemah, ini
sangat riskan. Masalah-masalah tersebut juga harus berlandaskan hadits sahih
dan bukan hadits lemah.
كَيْفَ
لَا وَالنَّوَوِيُّ رَحِمَهُ اللهَ نَقَلَ الْاِتِّفَاقَ عَلَيه فِي أَكْثَرَ مِنْ
كِتَابٍ وَاحِدٍ مِنْ كُتُبِهِ ؟ وَفِيمَا نَقَلَهُ نَظَرٌ بَيِّنٌ لِأَنَّ
الْخِلاَفَ فِي ذَلِكَ مَعْرُوفٌ فَإِنَّ بَعْضَ الْعُلَمَاءِ الْمُحَقِّقِينَ
عَلَى أَنَّه لَا يُعْمَلُ بِهِ مُطْلَقًا لَا فِي الْأَحْكَامِ وَلَا فِي
الْفَضَائِلِ
Bagaimana tidak? Imam Nawawi
–rahimahullah- telah mengutip dua tau lebih dari kitab karyanya bahwa hal itu
muttafaq, yakni telah disetujui secara mufakat. Namun, kutipan Nawawi ini masih
perlu dikaji ulang, sebab perselisihan dalam hal ini populer sekali.
Sesungguhnya sebagian ulama yang ahli telah mengkaji menyatakan bahwa hadits
lemah tidak boleh diamalkan sama sekali, baik mengenai hukum atau fadhilah.
Komentar (Mahrus Ali):
Ternyata ulama ahli tahkik
menyatakan tidak mengamalkan hadits dhaif secara mutlak.
قَالَ
الشَّيْخُ الْقاسِمِيُّ رَحِمَهُ اللهُ فِي " قَوَاعِدُ التَّحْدِيثِ
"(ص 94):
“ حَكَاهُ
اِبْنُ سَيِّدِ النَّاسِ فِي " عُيُونِ الْأثَرِ " عَنْ يَحْيَى بْنِ
مَعِينٍ وَنَسَبَهُ فِي " فَتْح الْمُغِيثِ " لِأَبِي بَكْرٍ بْنِ
الْعَرَبِيِّ وَالظّاهِرُ أَنَّ مَذْهَبَ الْبُخَارِيِّ وَمُسْلِمٍ ذَلِكَ أيضا.
وَهُوَ
مَذْهَبُ اِبْنِ حَزْمٍ.
Syaikh Al Qasimi
–rahimahullah- dalam kitab Qawaid tahdis 94. Ibnu Sayyidinnas yang menceritakan
hal tersebut dalam kitab Uyunul Atsar dari Yahya bin Ma’in yang disandarkan
dalam kitab Fathul Mughits karya Abu Bakar bin Al Arabi, yang jelas madzhab
Imam Bukhari dan Muslim pun demikian. Demikianlah madzhab Ibn hazm.
Komentar (Mahrus Ali):
Lihatlah, Imam Bukhari, Muslim,
dan Ibnu Hazm enggan menggunakan hadits lemah untuk amalan baik.
قُلْتُ : وَهَذَا هُوَ الْحَقُّ
الَّذِي لَا شَكَّ فِيه عندِي لِأُمُورٍ : الْأَوَّلُ : أَنَّ الْحَديثَ
الضَّعِيفَ إِنَّمَا يُفِيدُ الظَّنَّ المرجوح وَلَا يَجُوزُ الْعَمَلُ بِهِ
اِتِّفَاقَا فَمَنْ أُخْرِجَ مِنْ ذَلِكَ الْعَمَلُ بِالْحَديثِ الضَّعيْفِ فِي
الْفَضَائِلِ تَمامُ الْمِنَّةِ فِي التَّعْلِيقِ عَلَى فِقْهِ السَّنَةِ –(ج 1 /
ص 35)
Saya (Albani) berkata, ”Ini yang
benar yang tidak diragukan lagi menurutku karena beberapa perkara.
1. Sesungguhnya hadits lemah itu
memberikan faidah degaan yang rajih (dugaan yang bukan mendekati kebenaran
tetapi jauh darinya). Secara mufakat tidak boleh mengerjakan sesuatu dengan
menggunakan hadits lemah, lantas siapakah yang menyatakan kecuali amalan yang
utama. Lihat Jamamul Minnah Fitta’liq Fiqhis Sunnah 35/1.
لاَبِدُ أَنَّ يَأْتِيَ بِدَليلِ
وَهَيْهاتَ الثَّانِي : أَنَنِي أَفْهَمُ مِنْ قَوْلِهُمْ :”.
.فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ " أَيُّ الْأَعْمَالِ
الَّتِي ثَبَتَتْ مَشْرُوعِيَّتُهَا بِمَا تَقُومُ الْحُجَّةُ بِهِ شَرْعًا
وَيَكُونُ مَعَه حَديثٌ ضَعِيفٌ يُسَمَّى أَجْرَا خاصَّا لِمَنْ عَمِلَ بِهِ فَفِي
مِثْلِ هَذَا يُعْمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ لِأَنَّه لَيْسَ فِيه
تَشْرِيعُ ذَلِكَ الْعَمَلِ بِهِ وَإِنَّمَا فِيه بَيَانُ فَضْلٍ خاصٍّ يُرْجَى
أَنْ يَنَالَهُ الْعَامِلُ بِهِ
Jika harus mendatangkan dalil,
tidak mungkin mereka bisa melakukannya. Saya memahami perkataan mereka dalam
amalan utama adalah amalan-amalan yang ada dalilnya menurut syara’, lalu ada
lagi hadits lemah yang menyebutkan pahala istimewa bagi orang yang
melaksanakannya. Dalam hal ini, hadits lemah bisa dijadikan dasar untuk
amalan-amalan utama, sebab tidak ada unsur untuk membuat amalan tersebut,
tetapi hanya sekedar menjelaskan pahala istimewa yang akan diperoleh orang yang
melaksanakannya.
وَعَلَى هَذَا الْمَعْنَى حَمَلَ
الْقَوْلَ الْمَذْكُورَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ كَالْشَّيْخِ عَلِي الْقَارِي
رَحِمَهُ اللهُ فَقَالَ فِي " الْمِرْقَاةِ "(2 / 381):" قَوْلَهُ
: إِنَّ الْحَديثَ الضَّعِيفَ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ وَإِنَّ لَمْ
يَعْتَضِدْ إِجْمَاعَا كَمَا قَالَهُ النَّوَوِيُّ مَحَلُّهُ الْفَضَائِلُ
الثَّابِتَةُ مِنْ كِتَابٍ أَوْ سُنَّةٍ “
Menurut pengertian seperti itu,
maka sebagian ulama mengarahkan perkataan tersebut, seperti Syaikh Ali Al Qari
–rahimahullah- dalam kitab Al Mirqat 381/1, yaitu, ”Sesungguhnya
hadits lemah bisa dilaksanakan untuk
amalan utama walaupun bukan ijma’ sebagaimana dikatakan oleh Imam
Nawawi. Letak pengamalan hadits lemah adalah pada amalan utama yang berdalil
dari Al Quran dan hadits.
وَكَمْ هُنَاكَ مِنْ أَمُورٍ عَدِيدَةٍ شَرَعُوهَا لِلنَّاسِ وَاِسْتَحَبُّوهَا لَهُمْ إِنَّمَا شَرَعُوهَا بِأَحادِيثِ ضَعِيفَةٍ لَا أَصْلَ لِمَا تَضَمَّنَتْهُ مِنَ الْعَمَلِ فِي السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ
Dan masih banyak lagi perkara yang merka syariatkan untuk
manusia, dan mereka sunnahkan dengan berdasarkan pada hadits-hadits lemah dan
tidak didukung oleh hadits-hadits sahih.
وَلَا يَتَّسِعُ الْمَقَامُ لِضَرْبِ الْأَمْثِلَةِ عَلَى ذَلِكَ وَحَسْبُنَا مَا ذَكَرْتُهُ مِنْ هَذَا الْمِثَالِ وَفِي الْكِتَابِ أَمْثِلَةٌ كَثِيرَةٌ سَيَأْتِي التَّنْبِيهُ عَلَيهَا فِي مَوَاطِنِهَا إِنَّ شَاءَ اللهُ
Dan, tidak layak untuk membuat permisalan, hal itu karena
kondisinya tidak mengizinkan dan kita cukupi saja apa yang telah saya cantumkan
dari permisalan ini. Dan, dalam hal ini terdapat banyak contoh yang nanti akan
kita bahas pada tempatnya –insyaallah-.
Komentar (Mahrus Ali):
Jadi, pada intinya, Syaikh Albani mengatakan bahwa hadits
lemah tidak dapat dijadikan hujjah atas sebuah amalan, tetpi dibolekan jika
didukung oleh hadits sahih,
Menurut saya, gunakan saja hadits yang sahih dan
tinggalkan hadits yang lemah agar tidak membingungkan. Apalagi pahala yang
dicantumkan oleh hadits lemah itu terlalu dibesar-besarkan, tidak wajar
sehingga pelakunya ingin sekali mendapatkannya dan merasa dirinya sudah banyak mendapat
pahala, tetapi malah mengabaikan hal penting lainnya yang sudah jelas
diperintahkan dalam Al Quran dan hadits. Sebaiknya, kita ikuti saja perkataan
Imam Bukhari, Muslim, dan Ibnu Hazm yang menolak hadits lemah secara
keseluruhan. Kebanyakan hadits lemah itu bukan perkataan Rasulullah, perawinya
kebanyakan adalah pendusta. Ikuti saja ayat ini:
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ
تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu
tidaka menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya
yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu.
(QS. Al Hujurat: 6).
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan