Sayidina Hasan dan Sayidina Husain suatu ketika melihat seseorang sedang
berwudhu. Sayangnya, cara wudhu orang tersebut tidak sempurna, tidak
sesuai dengan tuntunan agama.
Kedua cucu baginda Nabi SAW yang tengah beranjak remaja itu pun berpikir tentang cara mengoreksinya secara bijak. Mereka tak ingin menyinggung dan berharap pesan nasehatnya dapat diterima dengan lapang dada.
Lalu salah seorang dari keduanya akhirnya mengatakan kepada orang tersebut, ”Wahai paman, saya dan saudara saya beda pendapat mengenai siapa di antara kami yang paling benar dan bagus cara wudhunya. Kami minta tolong paman untuk menilai kami, siapa yang terbaik wudhunya!”
Orang itu setuju. Hasan dan Husain lantas berwudhu sementara ia memperhatikan satu persatu dengan seksama, disertai rasa kagum akan cara wudhu dua anak dimaksud. Saat itu, ia beruntung karena mendapatkan pelajaran praktik dari kedua anak itu. Pelan-pelan kesadarannya tumbuh bahwa ia telah melakukan kesalahan.
Setelah Hasan dan Husain selesai “lomba berwudhu” tiba saatnya untuk menentukan pemenangnya. ”Wudhu kalian berdua sangat istimewa,” kata orang itu sembari tersenyum seolah mengucapkan terima kasih.
Tidak ada pemenangnya. Memang tujuannya bukan untuk mencari pemenang.
Apapun situasinya, nasihat-menasihati merupakan prinsip esensial dalam Agama. Sayangnya prinsip ini semakin luntur, karena banyak orang yang “berat” menasihati orang lain dan banyak pula orang yang merasa “berat” untuk menerima nasihat.
Tampaknya, dibutuhkan kiat yang tepat untuk menyampaikan nasihat, dan tidak harus selalu diungkapkan secara tersurat, seperti yang dilakukan dua pemuda ahli surga tadi. Formatnya barangkali tidak menasihati walaupun secara tersirat kandungannya adalah nasihat.
Saya teringat saat belajar di salah satu madrasah ibtidaiyah di Jakarta. Saat itu saya belum mengerti kenapa setiap akan pulang sekolah guru-guru kami meminta semua siswa menutup pelajaran dengan membaca surat “Al-Ashr”. Rupanya para sahabat Rasul SAW, tabiin dan generasi sesudahnya mempunyai kebiasaan mengakhiri majelis atau pertemuan mereka dengan membaca surat tersebut. Surat al-Ashr yang berisikan deklarasi kerugian manusia, kecuali mereka yang beriman, melakukan amal saleh, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.
Kedua cucu baginda Nabi SAW yang tengah beranjak remaja itu pun berpikir tentang cara mengoreksinya secara bijak. Mereka tak ingin menyinggung dan berharap pesan nasehatnya dapat diterima dengan lapang dada.
Lalu salah seorang dari keduanya akhirnya mengatakan kepada orang tersebut, ”Wahai paman, saya dan saudara saya beda pendapat mengenai siapa di antara kami yang paling benar dan bagus cara wudhunya. Kami minta tolong paman untuk menilai kami, siapa yang terbaik wudhunya!”
Orang itu setuju. Hasan dan Husain lantas berwudhu sementara ia memperhatikan satu persatu dengan seksama, disertai rasa kagum akan cara wudhu dua anak dimaksud. Saat itu, ia beruntung karena mendapatkan pelajaran praktik dari kedua anak itu. Pelan-pelan kesadarannya tumbuh bahwa ia telah melakukan kesalahan.
Setelah Hasan dan Husain selesai “lomba berwudhu” tiba saatnya untuk menentukan pemenangnya. ”Wudhu kalian berdua sangat istimewa,” kata orang itu sembari tersenyum seolah mengucapkan terima kasih.
Tidak ada pemenangnya. Memang tujuannya bukan untuk mencari pemenang.
Apapun situasinya, nasihat-menasihati merupakan prinsip esensial dalam Agama. Sayangnya prinsip ini semakin luntur, karena banyak orang yang “berat” menasihati orang lain dan banyak pula orang yang merasa “berat” untuk menerima nasihat.
Tampaknya, dibutuhkan kiat yang tepat untuk menyampaikan nasihat, dan tidak harus selalu diungkapkan secara tersurat, seperti yang dilakukan dua pemuda ahli surga tadi. Formatnya barangkali tidak menasihati walaupun secara tersirat kandungannya adalah nasihat.
Saya teringat saat belajar di salah satu madrasah ibtidaiyah di Jakarta. Saat itu saya belum mengerti kenapa setiap akan pulang sekolah guru-guru kami meminta semua siswa menutup pelajaran dengan membaca surat “Al-Ashr”. Rupanya para sahabat Rasul SAW, tabiin dan generasi sesudahnya mempunyai kebiasaan mengakhiri majelis atau pertemuan mereka dengan membaca surat tersebut. Surat al-Ashr yang berisikan deklarasi kerugian manusia, kecuali mereka yang beriman, melakukan amal saleh, saling nasihat-menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat-menasihati dalam kesabaran.
Komentarku ( Mahrus
ali):
Saya
baru dengar kisah itu, belum pernah membaca. Insya Allah kisah itu adalah
kedustaan Syi`ah yang anti kejujuran dan senang kedustaan. Maunya ingin
mengangkat pamor Husain dengan kisah dusta bukan kisah yang jujur
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan