Muslimdaily.net - Masih banyak orang
menganggap bahwa kedatangan kolonial Barat (Portugis dan Belanda) ke
negeri ini karena motif ekonomi semata. Mereka datang untuk mengeruk
kekayaan alam negeri ini. Motif agama sering dilupakan. Padahal, sejarah
menunjukkan ada hubungan erat antara kolonialisme dan Kristenisasi.
Masuk dan menyebarnya agama Kristen (Katolik maupun Protestan) di
Indonesia terjadi serentak dengan masuknya kolonialisme Barat. Portugis
maupun Belanda sama-sama datang dengan membawa misi Kristen.
Di dalam Encyclopædie van Nederlandsch-Indië, Jilid IV, tentang Zending, hlm. 829 disebutkan, “Mengenai sikapnya terhadap perkara agama di kepulauan ini (Nusantara), orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan didapatinya telah ada pribumi yang Kristen, keadaan mereka itu tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun didapatinya belum ada, dia berusaha menanam Kristen di tengah-tengah mereka.”
Jadi, selain mengeksploitasi kekayaan alam, kolonialisme Barat juga berusaha menghancurkan Islam yang dipeluk oleh pribumi. Pribumi yang masuk Kristen tentu lebih setia kepada pemerintah kolonial, yang sama-sama beragama Kristen, dibanding pribumi yang beragama Islam. Tulisan singkat berikut akan memaparkan hubungan erat kolonialisme dan misi Kristen dalam sejarah Indonesia.
Kedatangan Bangsa Barat dan Penyebaran Agama Kristen
Beberapa sarjana Kristen berpendapat bahwa pengkabaran Injil ke beberapa tempat di Indonesia ini sudah dimulai pada zaman Patristik, pada masa sebelum kedatangan Islam. Diduga bahwa orang-orang Kristen Nestorian dari Mesir dan Persia sempat singgah di beberapa tempat di Indonesia dalam perjalanan mereka ke Tiongkok pada abad V. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang timbulnya Kerajaan Sriwijaya. Namun demikian, nasib agama Kristen untuk jangka waktu yang lama tidak begitu jelas setelah periode ini dan tidak meninggalkan bekas. Tidak ada data sejarah yang dapat menjelaskan perkembangan Kristen Nestorian itu.
Baru pada awal abad XVI agama Kristen mulai berkembang dan menyebar dengan kedatangan bangsa Barat ke Nusantara. Portugis datang dengan semangat Perang Salib dan memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. Oleh karena itulah ketika Alfonso d'Albuquerque berhasil menduduki Malaka pada 1511, dia berpidato, "Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor (sebutan untuk kaum muslimin_red) dari negara ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini... Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka (orang-orang Moor), Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis."
Dalam ekspansinya, Portugis juga mendapatkan mandat dari Paus untuk menyebarkan agama Kristen kepada penduduk yang mereka jumpai. Ketika Paus Alexander VI pada 4 Mei 1493 membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol, salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi Katolik Romawi di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka itu. Maka dari itu, kedatangan Portugis ke Nusantara –yang waktu itu penduduknya telah banyak yang masuk Islam– tersebut dengan diikuti oleh sejumlah pendeta dan misionaris. Seorang misionaris, Franciscus Xaverius, selama lima belas bulan bekerja di Maluku berhasil membaptis beribu-ribu orang. Selain Maluku, misi Katolik juga segera menyebar di daerah-daerah yang ditaklukkan Portugis, seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Sejak 1600, Belanda dan Inggris berhasil merebut kuasa di laut dari Portugis dan Spanyol. Dua tahun berikutnya, didirikanlah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), sebuah organisasi dagang yang dibentuk untuk mencegah persaingan antarkelompok dagang Belanda. Selain mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, VOC juga mendapat mandat dari Gereja Protestan Belanda (Gereformeerde Kerk), yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang antara lain berbunyi, "Juga jabatan itu (maksudnya tugas pemerintah) meliputi: mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang."
Seperti halnya Portugis, kedatangan VOC ke Nusantara juga disertai oleh pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Mereka bertugas bukan saja menyelenggarakan kebutuhan ruhani para pedagang, pegawai dan pasukan Belanda di pulau-pulau tempat VOC telah membuka kantornya, tetapi juga mengusahakan pertaubatan orang kafir dan pendidikan anak-anak mereka. Yang dimaksud dengan orang kafir di sini tentu saja semua orang di luar penganut Kristen Protestan, termasuk orang Islam.
Akan tetapi, selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di Nusantara, pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil minim. VOC hanya memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol, seperti Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta terbatas pada melayani orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang telah masuk Kristen. Orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik dipaksa untuk berpindah ke Protestan aliran Calvinisme. VOC lebih memedulikan keamanan keuntungan komersial yang diraih daripada mengonversikan orang-orang Indonesia. Upaya-upaya konversi terhadap pribumi, terutama di Jawa, dihindari karena mereka takut akan pengaruh negatifnya terhadap perolehan keuntungan ekonomi.
Setelah VOC runtuh pada 1799, Indonesia tidak lagi milik suatu badan perdagangan, tetapi menjadi wilayah jajahan negara Belanda. Sejak 1795, Belanda diduduki oleh tentara Prancis. Hal ini mendorong pemerintah Inggris menginvasi Jawa dan mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintah Belanda. Masa peralihan sementara ini berlangsung dari 1811 hingga 1816. Di bawah Thomas Stanford Raffles, Gubernur Inggris yang ditunjuk untuk memerintah di Indonesia, agama Kristen –khususnya Kristen Protestan—mulai bisa menghirup udara segar. Orang-orang Kristen Inggris memainkan peran menonjol dalam kerja-kerja misionaris, dan Masyarakat Misionaris London (London Missionary Society) kemudian mendirikan Gereja Baptis Inggris pertama di Batavia (kini Jakarta).
Dengan berakhirnya pelbagai perang yang disulut Napoleon, Hindia Belanda kembali jatuh ke tangan pemerintah Belanda. Sejak saat itu dan selanjutnya, agama Kristen mulai mengakar di tanah Indonesia. Berbagai lembaga misionaris pun dibentuk dan berlomba-lomba mengembangkan agama Kristen di kalangan pribumi. Di antara lembaga misionaris tersebut, misalnya, adalah sebagai berikut. Pada 1797 di Belanda dibentuk Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) yang pada 1848 mengirim Jallesma ke Jawa. Tahun 1847, Gereja Mennonite di Belanda mendirikan Doopsgezinde Vereeniging ter bervordering der Evangelie-verbreiding in de Nederlandsche bezittingen (DZV) yang mengirim Janz ke Jawa empat tahun kemudian. Tahun 1851 di Batavia didirikan Het Genootschap voor In-en Uitwendige Zending oleh orang-orang non-Gereja yang terimbau oleh gerakan Kristenisasi, seperti Esser, residen di Timor, dan F.L. Anthing, wakil ketua Mahkamah Agung di Batavia. Tahun 1855 dibentuk Het Java Comite di negeri Belanda. Tahun 1858 berdiri Nederlandsche Zendings Vereeniging yang memilih daerah berbahasa Sunda sebagai lokasi kegiatan. Tahun 1859 terbentuk pula De Utrechtsche Zendings Vereeniging. Juga tahun 1859 berdiri De Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereeniging (NGZV) yang beroperasi di Jawa Tengah kecuali beberapa daerah di sekitar Gunung Muria dan Salatiga. Kedua daerah ini digarap oleh lembaga misionaris lainnya.
Oleh karena sangat pesatnya perkembangan Kristen pada abad XIX, sampai-sampai Sierk Coolsma dalam bukunya Dezendingseeuwvoor Nederlandsche Oost-Indie menjuluki seluruh abad XIX sebagai periode misioner agung dan jaya. Julukan ini memang oleh Karel Steenbrink dikatakan tidak benar. Sebab, baru setelah tahun 1850 terjadi kebangkitan religius dan misioner di Belanda, dan dampaknya di daerah koloni baru menjadi jelas tahun 1870-an ketika jumlah misionaris meningkat. Namun demikian, dibandingkan abad-abad sebelumnya, penyebaran agama Kristen mengalami peningkatan yang cukup berarti pada abad XIX. Memasuki abad XX, peningkatan tersebut semakin tajam dengan mendapatkan dukungan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dukungan Pemerintah Kolonial Terhadap Upaya Penyebaran Agama Kristen
Pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak memberikan dukungan terhadap upaya penyebaran Kristen, baik berupa kebijakan politik maupun finansial. Pada 1810, Raja William I dari Belanda mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa para misionaris akan diutus ke Indonesia oleh pemerintah. Pada 1835 dan 1840, dekrit lain dikeluarkan yang menyatakan bahwa administrasi gereja di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial di Indonesia. Pada 1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan, yang mencerminkan bahwa kedua badan di atas saling berkaitan. Dekrit itu menyebutkan bahwa administrasi gereja antara lain berfungsi mempertahankan doktrin agama Kristen. Karena itu, sejumlah fasilitas diberikan kepada para misionaris, termasuk subsidi dan sumbangan finansial serta keringanan pajak.
Agama Katolik yang pada zaman VOC dilarang mulai berkembang kembali sejak 1808. Pemerintah kolonial memberikan gaji kepada para imam Katolik. Dalam paruh pertama abad XIX, pemerintah menyetujui maksimal 7 orang imam yang digaji pemerintah berkarya di Hindia Belanda. Jumlah ini terus mengalami peningkatan. Gaji tersebut menjadi pijakan finansial untuk hampir semua kegiatan misioner sampai dengan tahun 1890-an, ketika jumlah para imam melampaui jatah imam yang digaji pemerintah dan lebih banyak pendapatan berasal dari dukungan misioner di Belanda.
Sampai dengan tahun 1870 sebagian besar gereja dibangun dengan bantuan yang sangat banyak dari pemerintah. Paroki-paroki di Batavia, Surabaya dan Padang menerima subsidi pemerintah untuk membangun dan memugar gereja-gereja mereka. Subsidi terakhir dan terbesar (hampir sebesar f 80.000) diberikan untuk Semarang.
Seringkali pemerintah Hindia Belanda menyatakan bersikap netral terhadap agama. Akan tetapi dalam kenyataannya, pernyataan ini berbeda antara teori dan praktek. Dalam hubungan antara Islam dan Kristen, pemerintah melakukan diskriminasi terhadap pihak Islam. Para fungsionaris agama Islam diperintahkan dengan tegas agar mereka tidak boleh campur tangan dalam hal politik. Para haji diamati dengan saksama, dan beberapa guru tarekat diasingkan hanya karena alasan sederhana, semisal terlalu berhasil dan mengumpulkan terlalu banyak murid dan pengikut. Para pejabat agama Protestan dan Katolik Eropa mendapat gaji lumayan besar (f 600-800 per bulan, kontras dengan f 100-150 untuk seorang penghulu atau kepala masjid kabupaten). Pemerintah kolonial membayar banyak ongkos perjalanan, termasuk tiket kapal kelas satu dari Eropa ke Indonesia. Di samping itu, banyak pembayaran insidental untuk agama Kristen dibebankan pada anggaran kolonial, khususnya biaya pembangunan gereja-gereja.
Jika pada abad XIX strategi penyebaran agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, masih diarahkan pada dakwah langsung, maka pada abad XX strategi ini diganti dengan mendirikan sekolah dan rumah sakit, rumah yatim piatu dan beberapa kegiatan sosial lainnya. Melalui alat dakwah yang tidak langsung ini akhirnya diharapkan diperoleh penganut yang lebih besar. Strategi ini disebut pre-evangelisation: suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya siap menerima pesan dan intisari dari agama Kristen.
Pemerintah kolonial banyak memberikan subsidi pada sekolah, rumah sakit, klinik, dan kegiatan sosial yang dilakukan para misionaris dan zendeling karena dianggap sejalan dengan politik etis yang berusaha untuk “memberadabkan” pribumi. Politik etis sendiri sejatinya adalah kerangka kerja yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. Sementara itu, subsidi untuk sekolah-sekolah Islam sangat sedikit, belum lagi dikeluarkannya ordonansi guru; sebuah peraturan yang membatasi dan mempersulit sekolah-sekolah Islam. Pada tahun 1919, di Pulau Jawa terdapat 331 sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial. Dari jumlah itu, 155 adalah sekolah Kristen, sisanya sekolah Jawa maupun priyayi, baru kemudian sekolah Islam, seperti sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Dalam memberikan anggaran tahunan untuk Islam maupun untuk Kristen (Protestan dan Katolik), nampak sekali diskriminasi pemerintah kolonial. Pihak Kristen yang jumlahnya minoritas itu mendapatkan anggaran tahunan yang jauh lebih besar daripada pihak Islam yang mayoritas. Padahal, anggaran tersebut didapatkan juga dari pajak yang dibayarkan oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam. Kita bisa melihat diskriminasi tersebut dalam angka-angka di bawah ini dari anggaran selama 20 tahun. Angka-angka ini telah dibulatkan ke atas supaya genap paling sedikit 100 rupiah.
Kesimpulannya, kolonialisme dan misi Kristen mempunyai hubungan erat.
Agama Kristen datang dan menyebar di negeri ini seiring dengan datang
dan menyebarnya kolonialisme Barat. Dukungan pemerintah kolonial
terhadap misi Kristen juga merupakan fakta keras (hard fact) yang tak
terbantahkan. Kalaupun dalam beberapa kasus pemerintah membatasi dan
melarang kegiatan misi, hal itu bukan berarti mereka memusuhi cita-cita
agama Kristen. Pemerintah melakukan itu untuk mengatur serta menjaga
keamanan dan ketertiban. Akhirnya, sebagaimana dikatakan oleh Sartono
Kartodirdjo , opini lama yang berpendapat bahwa conquistadores Spanyol datang ke Benua Baru demi Kejayaan, Kebesaran Tuhan, dan Emas (Glory, God and Gold) itu memang benar-benar berlaku bagi imperialisme Belanda. Wallahu a’lam. [mzf]
Penulis: Muhammad Isa AnshoriPeneliti pada Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Di dalam Encyclopædie van Nederlandsch-Indië, Jilid IV, tentang Zending, hlm. 829 disebutkan, “Mengenai sikapnya terhadap perkara agama di kepulauan ini (Nusantara), orang Belanda berdasarkan contoh sama dengan orang Portugis. Di mana pun dia tinggal dan didapatinya telah ada pribumi yang Kristen, keadaan mereka itu tidak disia-siakannya. Sebaliknya, di mana pun didapatinya belum ada, dia berusaha menanam Kristen di tengah-tengah mereka.”
Jadi, selain mengeksploitasi kekayaan alam, kolonialisme Barat juga berusaha menghancurkan Islam yang dipeluk oleh pribumi. Pribumi yang masuk Kristen tentu lebih setia kepada pemerintah kolonial, yang sama-sama beragama Kristen, dibanding pribumi yang beragama Islam. Tulisan singkat berikut akan memaparkan hubungan erat kolonialisme dan misi Kristen dalam sejarah Indonesia.
Kedatangan Bangsa Barat dan Penyebaran Agama Kristen
Beberapa sarjana Kristen berpendapat bahwa pengkabaran Injil ke beberapa tempat di Indonesia ini sudah dimulai pada zaman Patristik, pada masa sebelum kedatangan Islam. Diduga bahwa orang-orang Kristen Nestorian dari Mesir dan Persia sempat singgah di beberapa tempat di Indonesia dalam perjalanan mereka ke Tiongkok pada abad V. Peristiwa ini terjadi pada masa menjelang timbulnya Kerajaan Sriwijaya. Namun demikian, nasib agama Kristen untuk jangka waktu yang lama tidak begitu jelas setelah periode ini dan tidak meninggalkan bekas. Tidak ada data sejarah yang dapat menjelaskan perkembangan Kristen Nestorian itu.
Baru pada awal abad XVI agama Kristen mulai berkembang dan menyebar dengan kedatangan bangsa Barat ke Nusantara. Portugis datang dengan semangat Perang Salib dan memandang semua penganut Islam adalah bangsa Moor dan musuh yang harus diperangi. Oleh karena itulah ketika Alfonso d'Albuquerque berhasil menduduki Malaka pada 1511, dia berpidato, "Tugas besar yang harus kita abdikan kepada Tuhan kita dalam mengusir orang-orang Moor (sebutan untuk kaum muslimin_red) dari negara ini dan memadamkan api Sekte Muhammad sehingga ia tidak muncul lagi sesudah ini... Saya yakin, jika kita berhasil merebut jalur perdagangan Malaka ini dari tangan mereka (orang-orang Moor), Kairo dan Mekkah akan hancur total dan Venesia tidak akan menerima rempah-rempah kecuali para pedagangnya pergi dan membelinya di Portugis."
Dalam ekspansinya, Portugis juga mendapatkan mandat dari Paus untuk menyebarkan agama Kristen kepada penduduk yang mereka jumpai. Ketika Paus Alexander VI pada 4 Mei 1493 membagi dunia baru antara Portugis dan Spanyol, salah satu syaratnya adalah raja atau negara harus memajukan misi Katolik Romawi di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada mereka itu. Maka dari itu, kedatangan Portugis ke Nusantara –yang waktu itu penduduknya telah banyak yang masuk Islam– tersebut dengan diikuti oleh sejumlah pendeta dan misionaris. Seorang misionaris, Franciscus Xaverius, selama lima belas bulan bekerja di Maluku berhasil membaptis beribu-ribu orang. Selain Maluku, misi Katolik juga segera menyebar di daerah-daerah yang ditaklukkan Portugis, seperti Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.
Sejak 1600, Belanda dan Inggris berhasil merebut kuasa di laut dari Portugis dan Spanyol. Dua tahun berikutnya, didirikanlah Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), sebuah organisasi dagang yang dibentuk untuk mencegah persaingan antarkelompok dagang Belanda. Selain mengejar keuntungan ekonomis dan ikut membangun imperium Belanda, VOC juga mendapat mandat dari Gereja Protestan Belanda (Gereformeerde Kerk), yang waktu itu berstatus sebagai gereja negara, untuk menyebarkan iman Kristen, sesuai dengan isi pasal 36 Pengakuan Iman Belanda tahun 1561, yang antara lain berbunyi, "Juga jabatan itu (maksudnya tugas pemerintah) meliputi: mempertahankan pelayanan Gereja yang kudus, memberantas dan memusnahkan seluruh penyembahan berhala dan agama palsu, menjatuhkan kerajaan Anti-Kristus, dan berikhtiar supaya kerajaan Yesus Kristus berkembang."
Seperti halnya Portugis, kedatangan VOC ke Nusantara juga disertai oleh pendeta-pendeta sebagai pegawai VOC. Mereka bertugas bukan saja menyelenggarakan kebutuhan ruhani para pedagang, pegawai dan pasukan Belanda di pulau-pulau tempat VOC telah membuka kantornya, tetapi juga mengusahakan pertaubatan orang kafir dan pendidikan anak-anak mereka. Yang dimaksud dengan orang kafir di sini tentu saja semua orang di luar penganut Kristen Protestan, termasuk orang Islam.
Akan tetapi, selama 200 tahun menguasai beberapa wilayah di Nusantara, pertumbuhan agama Kristen pada zaman VOC mempunyai hasil minim. VOC hanya memprioritaskan daerah-daerah bekas koloni Portugis dan Spanyol, seperti Maluku, Minahasa dan lainnya. Kegiatan para pendeta terbatas pada melayani orang-orang Eropa dan orang-orang pribumi yang telah masuk Kristen. Orang-orang Maluku yang sudah beragama Katolik dipaksa untuk berpindah ke Protestan aliran Calvinisme. VOC lebih memedulikan keamanan keuntungan komersial yang diraih daripada mengonversikan orang-orang Indonesia. Upaya-upaya konversi terhadap pribumi, terutama di Jawa, dihindari karena mereka takut akan pengaruh negatifnya terhadap perolehan keuntungan ekonomi.
Setelah VOC runtuh pada 1799, Indonesia tidak lagi milik suatu badan perdagangan, tetapi menjadi wilayah jajahan negara Belanda. Sejak 1795, Belanda diduduki oleh tentara Prancis. Hal ini mendorong pemerintah Inggris menginvasi Jawa dan mengambil alih kekuasaan dari tangan pemerintah Belanda. Masa peralihan sementara ini berlangsung dari 1811 hingga 1816. Di bawah Thomas Stanford Raffles, Gubernur Inggris yang ditunjuk untuk memerintah di Indonesia, agama Kristen –khususnya Kristen Protestan—mulai bisa menghirup udara segar. Orang-orang Kristen Inggris memainkan peran menonjol dalam kerja-kerja misionaris, dan Masyarakat Misionaris London (London Missionary Society) kemudian mendirikan Gereja Baptis Inggris pertama di Batavia (kini Jakarta).
Dengan berakhirnya pelbagai perang yang disulut Napoleon, Hindia Belanda kembali jatuh ke tangan pemerintah Belanda. Sejak saat itu dan selanjutnya, agama Kristen mulai mengakar di tanah Indonesia. Berbagai lembaga misionaris pun dibentuk dan berlomba-lomba mengembangkan agama Kristen di kalangan pribumi. Di antara lembaga misionaris tersebut, misalnya, adalah sebagai berikut. Pada 1797 di Belanda dibentuk Nederlandsche Zendeling Genootschap (NZG) yang pada 1848 mengirim Jallesma ke Jawa. Tahun 1847, Gereja Mennonite di Belanda mendirikan Doopsgezinde Vereeniging ter bervordering der Evangelie-verbreiding in de Nederlandsche bezittingen (DZV) yang mengirim Janz ke Jawa empat tahun kemudian. Tahun 1851 di Batavia didirikan Het Genootschap voor In-en Uitwendige Zending oleh orang-orang non-Gereja yang terimbau oleh gerakan Kristenisasi, seperti Esser, residen di Timor, dan F.L. Anthing, wakil ketua Mahkamah Agung di Batavia. Tahun 1855 dibentuk Het Java Comite di negeri Belanda. Tahun 1858 berdiri Nederlandsche Zendings Vereeniging yang memilih daerah berbahasa Sunda sebagai lokasi kegiatan. Tahun 1859 terbentuk pula De Utrechtsche Zendings Vereeniging. Juga tahun 1859 berdiri De Nederlandsche Gereformeerde Zendings Vereeniging (NGZV) yang beroperasi di Jawa Tengah kecuali beberapa daerah di sekitar Gunung Muria dan Salatiga. Kedua daerah ini digarap oleh lembaga misionaris lainnya.
Oleh karena sangat pesatnya perkembangan Kristen pada abad XIX, sampai-sampai Sierk Coolsma dalam bukunya Dezendingseeuwvoor Nederlandsche Oost-Indie menjuluki seluruh abad XIX sebagai periode misioner agung dan jaya. Julukan ini memang oleh Karel Steenbrink dikatakan tidak benar. Sebab, baru setelah tahun 1850 terjadi kebangkitan religius dan misioner di Belanda, dan dampaknya di daerah koloni baru menjadi jelas tahun 1870-an ketika jumlah misionaris meningkat. Namun demikian, dibandingkan abad-abad sebelumnya, penyebaran agama Kristen mengalami peningkatan yang cukup berarti pada abad XIX. Memasuki abad XX, peningkatan tersebut semakin tajam dengan mendapatkan dukungan pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Dukungan Pemerintah Kolonial Terhadap Upaya Penyebaran Agama Kristen
Pemerintah kolonial Hindia Belanda banyak memberikan dukungan terhadap upaya penyebaran Kristen, baik berupa kebijakan politik maupun finansial. Pada 1810, Raja William I dari Belanda mengeluarkan dekrit yang menyatakan bahwa para misionaris akan diutus ke Indonesia oleh pemerintah. Pada 1835 dan 1840, dekrit lain dikeluarkan yang menyatakan bahwa administrasi gereja di Hindia Belanda ditempatkan di bawah naungan Gubernur Jenderal pemerintah kolonial di Indonesia. Pada 1854, sebuah dekrit lain dikeluarkan, yang mencerminkan bahwa kedua badan di atas saling berkaitan. Dekrit itu menyebutkan bahwa administrasi gereja antara lain berfungsi mempertahankan doktrin agama Kristen. Karena itu, sejumlah fasilitas diberikan kepada para misionaris, termasuk subsidi dan sumbangan finansial serta keringanan pajak.
Agama Katolik yang pada zaman VOC dilarang mulai berkembang kembali sejak 1808. Pemerintah kolonial memberikan gaji kepada para imam Katolik. Dalam paruh pertama abad XIX, pemerintah menyetujui maksimal 7 orang imam yang digaji pemerintah berkarya di Hindia Belanda. Jumlah ini terus mengalami peningkatan. Gaji tersebut menjadi pijakan finansial untuk hampir semua kegiatan misioner sampai dengan tahun 1890-an, ketika jumlah para imam melampaui jatah imam yang digaji pemerintah dan lebih banyak pendapatan berasal dari dukungan misioner di Belanda.
Sampai dengan tahun 1870 sebagian besar gereja dibangun dengan bantuan yang sangat banyak dari pemerintah. Paroki-paroki di Batavia, Surabaya dan Padang menerima subsidi pemerintah untuk membangun dan memugar gereja-gereja mereka. Subsidi terakhir dan terbesar (hampir sebesar f 80.000) diberikan untuk Semarang.
Seringkali pemerintah Hindia Belanda menyatakan bersikap netral terhadap agama. Akan tetapi dalam kenyataannya, pernyataan ini berbeda antara teori dan praktek. Dalam hubungan antara Islam dan Kristen, pemerintah melakukan diskriminasi terhadap pihak Islam. Para fungsionaris agama Islam diperintahkan dengan tegas agar mereka tidak boleh campur tangan dalam hal politik. Para haji diamati dengan saksama, dan beberapa guru tarekat diasingkan hanya karena alasan sederhana, semisal terlalu berhasil dan mengumpulkan terlalu banyak murid dan pengikut. Para pejabat agama Protestan dan Katolik Eropa mendapat gaji lumayan besar (f 600-800 per bulan, kontras dengan f 100-150 untuk seorang penghulu atau kepala masjid kabupaten). Pemerintah kolonial membayar banyak ongkos perjalanan, termasuk tiket kapal kelas satu dari Eropa ke Indonesia. Di samping itu, banyak pembayaran insidental untuk agama Kristen dibebankan pada anggaran kolonial, khususnya biaya pembangunan gereja-gereja.
Jika pada abad XIX strategi penyebaran agama Kristen, baik Protestan maupun Katolik, masih diarahkan pada dakwah langsung, maka pada abad XX strategi ini diganti dengan mendirikan sekolah dan rumah sakit, rumah yatim piatu dan beberapa kegiatan sosial lainnya. Melalui alat dakwah yang tidak langsung ini akhirnya diharapkan diperoleh penganut yang lebih besar. Strategi ini disebut pre-evangelisation: suatu usaha yang perlu diadakan untuk mempersiapkan daerah supaya siap menerima pesan dan intisari dari agama Kristen.
Pemerintah kolonial banyak memberikan subsidi pada sekolah, rumah sakit, klinik, dan kegiatan sosial yang dilakukan para misionaris dan zendeling karena dianggap sejalan dengan politik etis yang berusaha untuk “memberadabkan” pribumi. Politik etis sendiri sejatinya adalah kerangka kerja yang di atasnya konsolidasi agama Kristen di Indonesia dimapankan. Sementara itu, subsidi untuk sekolah-sekolah Islam sangat sedikit, belum lagi dikeluarkannya ordonansi guru; sebuah peraturan yang membatasi dan mempersulit sekolah-sekolah Islam. Pada tahun 1919, di Pulau Jawa terdapat 331 sekolah yang mendapatkan subsidi dari pemerintah kolonial. Dari jumlah itu, 155 adalah sekolah Kristen, sisanya sekolah Jawa maupun priyayi, baru kemudian sekolah Islam, seperti sekolah yang didirikan oleh Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Dalam memberikan anggaran tahunan untuk Islam maupun untuk Kristen (Protestan dan Katolik), nampak sekali diskriminasi pemerintah kolonial. Pihak Kristen yang jumlahnya minoritas itu mendapatkan anggaran tahunan yang jauh lebih besar daripada pihak Islam yang mayoritas. Padahal, anggaran tersebut didapatkan juga dari pajak yang dibayarkan oleh penduduk yang mayoritas beragama Islam. Kita bisa melihat diskriminasi tersebut dalam angka-angka di bawah ini dari anggaran selama 20 tahun. Angka-angka ini telah dibulatkan ke atas supaya genap paling sedikit 100 rupiah.
Tahun |
Untuk Protestan & Katolik |
Untuk Islam |
1920 | f 1.010.100 | f 5.900 |
1921 | f 1.010.100 | f 5.900 |
1922 | f 1.077.100 | f 5.900 |
1923 | f 1.095.100 | f 5.900 |
1924 | f 1.116.100 | f 5.900 |
1925 | f 1.115.000 | f 4.000 |
1926 | f 1.108.000 | f 4.000 |
1927 | f 1.417.000 | f 4.000 |
1928 | f 1.748.000 | f 4.000 |
1929 | f 1.728.000 | f 4.000 |
1930 | f 1.641.000 | f 4.000 |
1931 | f 1.612.000 | f 4.000 |
1932 | f 1.862.300 | f 4.700 |
1933 | f 1.601.300 | f 7.700 |
1934 | f 1.511.500 | f 7.500 |
1935 | f 1.176.500 | f 7.500 |
1936 | f 1.007.500 | f 7.500 |
1937 | f 1.004.500 | f 7.500 |
1938 | f 1.022.500 | f 7.500 |
1939 | f 1.197.500 | f 7.500 |
1940 | f 1.304.400 | f 4.600 |
Penulis: Muhammad Isa AnshoriPeneliti pada Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan