RIMANEWS - Dalam "Millennial Values Fellows", para pemuda datang ke
Universitas Georgetown dari seluruh Amerika, untuk berbicara tentang
agama dan isu-isu lain yang dihadapi generasi mereka.
Abigail Clauhs, mahasiswi jurusan agama pada Universitas Boston, mengatakan, “Anak muda yang disebut millennials mempunyai hubungan kompleks dengan agama. Itu terjadi dalam kehidupan pribadi saya."
Clauhs dibesarkan di South Carolina oleh ayah pemeluk Protestan Baptis dan ibu pemeluk Katolik Roma.
Jajak pendapat oleh Berkley Center for Religion, Peace & World Affairs pada Universitas Georgetown mendapati bahwa banyak pemuda itu meninggalkan agama yang mereka anut sejak kecil, umumnya memilih untuk tidak menganut agama tertentu. Sekitar seperempat malah tidak memeluk agama apapun.
Ini merupakan gejala umum yang disaksikan Clauhs di kampus.
"Ada banyak pergeseran, dan orang cenderung untuk tidak berkomitmen pada seperangkat doktrin atau dogma yang ketat, meskipun mereka mungkin masih percaya Tuhan," ujarnya lagi.
Hanya 23 persen responden dalam jajak pendapat itu menyatakan percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan dan harus dipahami secara harfiah.
Kampus-kampus perguruan tinggi pada umumnya adalah tempat yang paling tidak ramah terhadap agama di Amerika, karena banyak orang menjauh dari agama ketika masih muda. Tetapi, anak-anak muda ini tampaknya melakukannya dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya.
"Tetapi, seperti Anda lihat, pada dasarnya semua aliran agama dalam Kristiani mengalami kemunduran," ujar Robert Jones, kepala Public Religion Research Institute, yang ikut dalam jajak pendapat itu.
Ia menambahkan, "Salah satu hal yang kami dapati dalam laporan ini adalah para pemuda di negara ini – berusia 18 sampai 24 tahun - benar-benar ingin mengubah wajah agama di negara ini."
Wajah agama di Amerika telah lama tampak seperti itu. Tetapi, menurut Jones, kajian Georgetown itu menunjukkan para pemuda itu menolak agama yang tradisional dan lebih menyukai kehidupan spiritual yang tidak terlalu mengikat.
"Mereka tidak mencari pengalaman di dalam gereja yang tradisional," tambah Jones.
Banyak dari mereka yang tidak selalu menemukannya di internet. Peneliti mendapati, kurang dari 50 persen para pemuda itu yang punya akun Facebook menyebut agama pada halaman profil mereka.(wrh/voa)
Abigail Clauhs, mahasiswi jurusan agama pada Universitas Boston, mengatakan, “Anak muda yang disebut millennials mempunyai hubungan kompleks dengan agama. Itu terjadi dalam kehidupan pribadi saya."
Clauhs dibesarkan di South Carolina oleh ayah pemeluk Protestan Baptis dan ibu pemeluk Katolik Roma.
Jajak pendapat oleh Berkley Center for Religion, Peace & World Affairs pada Universitas Georgetown mendapati bahwa banyak pemuda itu meninggalkan agama yang mereka anut sejak kecil, umumnya memilih untuk tidak menganut agama tertentu. Sekitar seperempat malah tidak memeluk agama apapun.
Ini merupakan gejala umum yang disaksikan Clauhs di kampus.
"Ada banyak pergeseran, dan orang cenderung untuk tidak berkomitmen pada seperangkat doktrin atau dogma yang ketat, meskipun mereka mungkin masih percaya Tuhan," ujarnya lagi.
Hanya 23 persen responden dalam jajak pendapat itu menyatakan percaya bahwa Alkitab adalah firman Tuhan dan harus dipahami secara harfiah.
Kampus-kampus perguruan tinggi pada umumnya adalah tempat yang paling tidak ramah terhadap agama di Amerika, karena banyak orang menjauh dari agama ketika masih muda. Tetapi, anak-anak muda ini tampaknya melakukannya dengan cara yang berbeda dari generasi sebelumnya.
"Tetapi, seperti Anda lihat, pada dasarnya semua aliran agama dalam Kristiani mengalami kemunduran," ujar Robert Jones, kepala Public Religion Research Institute, yang ikut dalam jajak pendapat itu.
Ia menambahkan, "Salah satu hal yang kami dapati dalam laporan ini adalah para pemuda di negara ini – berusia 18 sampai 24 tahun - benar-benar ingin mengubah wajah agama di negara ini."
Wajah agama di Amerika telah lama tampak seperti itu. Tetapi, menurut Jones, kajian Georgetown itu menunjukkan para pemuda itu menolak agama yang tradisional dan lebih menyukai kehidupan spiritual yang tidak terlalu mengikat.
"Mereka tidak mencari pengalaman di dalam gereja yang tradisional," tambah Jones.
Banyak dari mereka yang tidak selalu menemukannya di internet. Peneliti mendapati, kurang dari 50 persen para pemuda itu yang punya akun Facebook menyebut agama pada halaman profil mereka.(wrh/voa)
Komentarku (
Mahrus ali):
Di negara Amirika, remajanya ingin bebas tanpa ikatan agama
apapun. Jadi mengarah kepada ateis. Berlainan dengan kondisi mereka di Saudi
arabia yang anti ateis, gemar kepada Islam dan sedikit sekali yang kristen. Di
Amirika Kristen lebih banyak. Tapi sudah banyak dari kalangan mereka yang
meninggalkan grejanya. Di Saudi masjid – masjid sangat ramai waktu Jama`ah. Itulah
Amirika - keadaan negara yang tingkat pengetahuan keduniaannya tinggi, sedang pengetahuan Islamnya sangat down
sampai ke bawah jurang. Dan ini akan menimbulkan kerusakan sosial yang tinggi,
individualisme yang sangat. Hidup selalu di selimuti dengan kekufuran,
kedurhakaan bukan keislaman dan ketaatan. Lihat ayatnya;
أَلَمْ يَأْتِكُمْ نَبَأُ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ فَذَاقُوا
وَبَالَ أَمْرِهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ(5)
Apakah belum datang kepadamu (hai orang-orang kafir) berita orang-orang
kafir dahulu? Maka mereka telah merasakan akibat yang buruk dari perbuatan
mereka dan mereka memperoleh azab yang pedih. Taghabun.
Pergilah
ke blog kedua http://www.mantankyainu2.blogspot.com/
Atau blog bahasa arabku http://mahrusaliindonesia.blogspot.com/
Blog ke tiga
Peringatan: Bila
mesin pencari diblog tidak berfungsi, pergilah ke google lalu tulislah: mantan kiyai nu lalu teks yang kamu cari
Mau nanya hubungi kami:
088803080803. 081935056529
088803080803. 081935056529
Alamat rumah: Tambak sumur 36 RT 1 RW1
Waru Sidoarjo
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan