Minggu, Oktober 27, 2013

Ketika Para Wanita mulai Sadar Produk Halal (1)

UBN saat mengisi acara seminar sehari “Bergaya Hidup Halal-Kuliner Halal dan Thoyyib”
Hidayatullah.com--Suara peserta seminar sehari “Bergaya Hidup Halal-Kuliner Halal dan Thoyyib”  mulai riuh. Satu sama lain saling berbisik. Rasa cemas sekaligus khawatir tampak dari ekspresi mereka.
Seminar yang hampir keseluruhan pesertanya adalah wanita itu, saling membahas tentang kehalalan makanan yang mereka konsumsi sehari-hari.
Tak lama kemudian sekitar 120 orang peserta terlihat serius ketika Lia Amalia, Kepala Bidang Edukasi Halal dan Promosi, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI) mengatakan bahwa minyak goreng bisa berindikasi haram.
“Setelah saya audit ke perusahaan minyak, ternyata untuk pemurniannya agar menjadi bening biasanya menggunakan karbon aktif yang bisa berasal dari lemak babi. Itulah mengapa perlunya sertifikasi halal,” ujar Lia Amalia  saat acara Seminar yang diselenggarakan di AQL Islamic Center di Jalan Tebet Utara I no. 40, Jakarta Selatan.
Selain menyinggung proses pembuatan minyak goreng,  lulusan Teknologi Pangan Universitas Pasundan itu mengatakan, hal yang sama juga berlaku untuk gula.
“Ibu-Ibu tahu, apa warna gula?” tanyanya.
Serentak peserta menjawab spontan. “Putiiih,” Mendengar jawaban itu, kemudian Lia menjawab: “Yakin nih, putih?” Para peserta mulai bimbang. Kemudian Lia memaparkan berbagai warna gula pasir. Selain putih, gula pasir juga ada yang berwarna coklat. Bahkan untuk bumbu masakan ada yang warna coklat kehitam-hitaman.
Untuk pemurniannya, kata Lia, sama dengan minyak goreng, menggunakan karbon aktif.  Karbon aktif dinilai bisa terbuat dari tulang, batok kelapa atau bahan tambang. Jika berasal tulang sapi sekalipun, kita harus lebih kritis karena penyembelihannya bisa jadi tidak sesuai syariat Islam.
Selain tulang sapi, karbon aktif juga bisa menggunakan tulang babi. Di sinilah titik kritisnya. Namun peserta mulai tenang ketika  Lia melanjutkan pernyataan, “Alhamdulillah, perusahaan gula, terutama perusahaan besar di Indonesia, sudah memiliki sertifikasi halal,” ulasnya.
Itulah gambaran suasana seminar yang diadakan oleh Ummahatun Mu’minin Indonesia (UMI). Acara yang diadakan tanggal 24 Oktober 2013, di Arrahman Quranic Learning Islamic Center (AQLIC), Tebet, Jakarta Selatan, itu berlangsung seru.
Sebagai “penjaga gerbang” asupan gizi keluarga, para Muslimah mengaku merasa perlu mengetahui titik-titik kritis produk pangan yang dikonsumsi suami dan anak-anaknya.
Antusiasme untuk mengetahui kehalalan produk pangan, terlihat pada berbagai pertanyaan yang mereka lontarkan.
Menjauhi Makanan Haram
Selain mendatangkan Kepala Bidang Edukasi Halal dan Promosi, Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM-MUI), dalam seminar sehari tersebut, UMI juga mengundang  Ustadz Bachtiar Nasir (UBN), pimpinan AQLIC dan praktisi Thibun Nabawi, dr. Zaidul Akbar.
Dalam paparannya, UBN menjelaskan hakikat menjauhi makanan yang haram.
Ia menyinggung surat al-Baqarah ayat 168, tentang bagaimana Islam memerintahkan kaumnya  untuk memakan makanan halal.
“Jadi, makanan yang kita konsumsi, seharusnya membuat kita terus mengingat bahwa hanya dari Allah-lah rezeki yang kita dapatkan,”ucap Ustadz Bachtiar.
Menurut UBN, makanan menjadi pintu gerbang masuknya unsur baik dan buruk dalam tubuh. Tidak hanya mempengaruhi fisik, tapi juga ruhani. Hal ini perlu diperhatikan oleh para Muslimah.
“Biasanya Ibu-Ibu kalau membeli makanan pertimbangannya murah, enak dan banyak,”ucapan Ustadz Bachtiar itu disambut peserta dengan suara gaduh. Mereka tersipu. Padahal, diatas semua itu, standar utama pemilihan produk makanan adalah kehalalannya.
Menurut Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) itu, keterbatasan akal manusia seringkali membuatnya menolak apa yang sudah disyariatkan oleh Allah SWT. Padahal, seharusnya akal tunduk kepada wahyu. “Ikuti saja dahulu apa yang diperintahkan, baru nanti kita akan mengetahui manfaatnya,”ungkap Ustadz yang dikenal dengan kajian Tadabbur Qur’an-nya itu.
Hal senada diungkapkan oleh dr. Zaidul Akbar. Dokter yang rutin mengisi rubrik Thibbun Nabawi di majalah Suara Hidayatullah itu menceritakan kisah sebuah rumah tangga yang karam akibat harta yang tidak halal. Secara kasat mata, persoalan suami-isteri yang diceritakan oleh Zee-panggilan dr. Zaidul Akbar-, berasal dari nihilnya penghasilan sang suami.
Selain karena si suami adalah orang yang pemalas, ternyata pusaran masalah yang membelit disebabkan penghasilan sang isteri yang tidak halal. Harta yang tidak berkah itu bahkan sampai membuat gugatan cerai menemukan jalan buntu. “Setelah ditanya lebih lanjut, pekerjaannya dibagian keuangan membuatnya kerap menerima uang suap,”tutur Ketua Asosiasi Bekam Indonesia, itu. *
Rep:
Rias Andriati
Editor: Cholis Akbar

Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan