Menguak Ulah Minoritas Kafir dalam Menyerang Umat Islam
Minoritas kafir bekerjasama dengan
para pembenci Islam (walau mungkin mengaku dirinya Muslim bahkan seperti
tokoh Islam namun sejatinya musuh) telah sangat tega dalam memerangi
Umat Islam.
Pantas saja sampai ada doa dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap pemimpin yang menyengsarakan Umat
Islam maka agar disengsarakan Allah.
Laknat Allah atas pemimpin yang menyulitkan Umat Islam
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ (أحمد ، ومسلم عن عائشة)
“Ya Allah, siapa yang menjabat suatu
jabatan dalam pemerintahan ummatku lalu dia mempersulit urusan mereka,
maka persulitlah dia. Dan siapa yang menjabat suatu jabatan dalam
pemerintahan ummatku lalu dia berusaha menolong mereka, maka tolong
pulalah dia.” (HR Ahmad dan Muslim dari Aisyah).
{ وَمَنْ وَلِيَ مِنْهُمْ شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَعَلَيْهِ بَهْلَةُ اللَّهِ فَقَالُوا : يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا بَهْلَةُ اللَّهِ قَالَ : لَعْنَةُ اللَّهِ } رَوَاهُ أَبُو عَوَانَة فِي صَحِيحِهِ
Dan barangsiapa memimpin mereka
dalam suatu urusan lalu menyulitkan mereka maka semoga bahlatullah
atasnya. Maka para sahabat bertanya, ya RasulAllah, apa bahlatullah
itu? Beliau menjawab: La’nat Allah. (HR Abu ‘Awanah dalam shahihnya. Terdapat di Subulus Salam syarah hadits nomor 1401).
Amien ya Rabbal ‘alamien.
Allah Ta’ala telah memberikan peringatan
{ لَتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ } [آل عمران: 186]
186. kamu sungguh-sungguh akan diuji
terhadap hartamu dan dirimu. dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan
mendengar, dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari
orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang
menyakitkan hati. jika kamu bersabar dan bertakwa, Maka Sesungguhnya
yang demikian itu Termasuk urusan yang patut diutamakan. (QS Ali ‘Imran:
186)
Cacian, makian, suara-suara yang tidak
mengenakkan bahkan menyakitkan orang Muslim yang dilontarkan orang-orang
ahli kitab (yahudi dan nasrani) dan orang-orang musyrik pasti terdengar
di telinga orang-orang Muslim. Lebih dari itu, bahkan nyawa Muslimin
pun terancam, masjid-masjidnya dibongkar, bayi-bayi yang akan lahir
dihalangi secara ramai-ramai dengan propgram kafirin yakni apa yang
disebut keluarga berencana (KB) untuk menekan jumlah umat Islam. Itu
sebenarnya dan hakekatnya termasuk yang menyakitkan bagi Umat Islam.
Untuk mengetahui seberapa teganya
minoritas kafir ataupun yang sejatinya memusuhi Islam dalam
menyengsarakan Umat Islam, berikut ini di antara berita dan sorotannya.
***
Kado Satu Tahun Jokowi Ahok, Masjid Bersejarah Dibongkar
Rabu, 16/10/2013 22:20:20 | syaiful falah.Jakarta - Setelah sebelumnya membongkar masjid Baitul Arif di Jatinegara yang dilakukan tanpa musyawarah dengan masyarakat setempat, kini masjid Amir Hamzah menjadi korban selanjutnya atas kebijakan Pemprov DKI. Pembongkaran tersebut tepat di momen satu tahun pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama. Dan masjid yang dirobohkan adalah masjid bersejarah di kawasan Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat.Masjid Amir Hamzah telah dibongkar sejak Agustus 2013. Kabarnya, di lokasi bekas masjid bersejarah itu akan didirikan gedung Fakultas Film Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan sebuah taman.Beredar kabar, bahwa sejak awal, sejumlah pihak di lingkungan TIM dan juga civitas akademika IKJ menentang pembongkaran masjid yang dibangun pada zaman pemerintahan Gubernur Ali Sadikin itu.Pembongkaran masjid tersebut sangat disesalkan oleh masyarakat sekitar. “Iya kita sayangkan saja, kok bisa dibongkar padahal masjid ini sudah lama berdiri dan dibangun sejak era Ali Sadikin,” ujar seorang karyawan IKJ seperti dikutip okezone.com, Rabu (16/10/2013).Masyarakat dan mahasiswa yang ingin melaksanakan salat, untuk sementara dipindahkan di dalam basement yang terletak tidak jauh dari lokasi pembongkaran masjid.red: syaiful/ (SI Online)
***
Ganasnya Minoritas Kafir terhadap Muslimin
.
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ [آل عمران : 28]
28. janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia
dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari
sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu
terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu). (Ali Imran: 28).
[192] Wali jamaknya auliyaa: berarti teman yang akrab, juga berarti pemimpin, pelindung atau penolong.
Penjajah Belanda yang beragama Kristen,
dan mereka itu adalah minoritas di Nusantara, terbukti telah bercokol
mencengkeramkan kuku-kukunya di Nusantara selama 350-an tahun dengan
aneka pelanggaran dan pemerkosaan hak-hak sipil. Berapa ribu ulama yang
telah dibantai dengan cara diadu domba. Contohnya, di zaman Amangkurat
I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di
Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para
ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun
(lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai. Sejarahnya sebagai
berikut:
Amangkurat I membantai ribuan ulama
Pembantaian terhadap umat Islam kadang
bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang
dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu
di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam
di Jawa, tahun 1646.
Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut:
‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar
terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala
Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan
membunuhnya seluruhnya secara serentak.’[1]
Masalah ini ditegaskan lagi oleh
Sjamsudduha pada halaman lain: ‘Penyebaran Islam pernah mengalami
hambatan yang bersifat politis, yaitu adanya pergolakan intern dalam
kerajaan-kerajaan Islam. Hambatan yang paling hebat dalam proses
penyebaran Islam terjadi ketika Amangkurat I melakukan pembunuhan
besar-besaran terhadap lima sampai enam ribu ulama dan keluarganya.
Penyebaran Islam di Jawa mengalami stagnasi untuk beberapa lama karena
kehabisan muballigh, dan perasaan takut.’[2]
Dibantainya lima ribu sampai enam ribu ulama itu adalah masalah yang sangat besar. Sumber yang lain menyebutkan:
‘Amangkurat I, juga terkenal dengan nama
Amangkurat Tegal Arum atau Tegal Wangi (karena mangkat di tempat
tersebut) ialah putera Sultan Agung; naik tahta Mataram (1645) sebagai
pengganti ayahnya. Berlainan dengan Sultan Agung yang bijaksana,
Amangkurat I pada waktu hidupnya membuat beberapa kesalahan dan sebagai
tanda kelemahan ia mengadakan perjanjian perdamaian dengan Kompeni
Belanda (1646). Tindakannnya ini ditentang oleh beberapa golongan, di
antaranya para alim ulama, sehingga mereka ini disuruh bunuh.’[3]
Peristiwa besar berupa pembantaian
terhadap ribuan ulama itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada
penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I.
Penjajah Belanda itu jumlahnya sedikit,
minoritas, tetapi memegang kendali kepemimpinan, terbukti memainkan
peran jahatnya terhadap inti umat Islam yaitu membantai ribuan ulama.
Kelompok minoritas itu sampai membantai yang mayoritas saja tidak takut,
apalagi kejahatan-kejahatan lainnya.
Di Zaman penjajahan menyusu penjajah, zaman merdeka bertingkah
Berikut ini sebagian data kejahatan
minoritas kafir penjajah Belanda terhadap umat Islam dalam hal memberi
dana sangat besar kepada Kristen dan Katolik, sebaliknya sangat kecil
terhadap Islam.
Semenjak masa pemerintah kolonial
Belanda, Katolik terutama Protestan memperoleh dana bantuan yang besar
sekali, tidak demikian dengan Islam. Sebagai contoh pada tahun 1927
alokasi bantuan untuk modal dalam rangka pengembangan agama, adalah
sebagai berikut:
Protestan memperoleh € 31.000.000
Katolik memperoleh € 10.080.000
Islam memperoleh € 80.000.[4]
Dana besar dari penjajah Belanda itu
digunakan oleh orang Kristen dan Katolik untuk membangun gedung-gedung,
sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Sedang ummat Islam tidak punya
uang. Pada gilirannya, anak-anak orang kafirin itu telah makan sekolahan sedang
anak-anak Muslimin belum, kecuali sedikit, maka ketika merdeka,
orang-orang kafirin Nasrani itu masuk ke pos-pos pemerintahan di
mana-mana. Padahal mereka itu ogah-ogahan untuk merdeka, lebih enak
menyusu pada penjajah sesama kafir. Jadi, yang berjuang mengorbankan
nyawa dan harta untuk melawan penjajah kafir itu orang Islam, namun
ketika merdeka, penyusu Belanda itu justru yang leha-leha duduk di kursi-kursi pemerintahan.
Keadaan itu makin didukung oleh sikap
pemerintahan Soekarno yang bersama PKI (Partai Komunis Indonesia)
mempecundangi ummat Islam. Senjata ampuh Soekarno dan PKI adalah
istilah DI (Darul Islam) yang harus dihabisi sampai seakar-akarnya. Di
situ kafirin Nasrani bersorak kegirangan karena ummat Islam dikuyo-kuyo (dipecundangi, disengsarakan). Di masa Soeharto berkuasa 32 tahun pun ummat Islam dikuyo-kuyo lagi
oleh Soharto, Ali Moertopo, Benny Moerdani, Sudomo (sebelum masuk
Islam) dengan tunggangan Golkar. Sampai hanya untuk bicara agama saja
harus pakai SIM (Surat Izin Muballigh). Dan ummat Islam banyak dibantai
di mana- mana, di Aceh, Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng Jabar dan
sebagainya. Lagi-lagi kafirin Nasrani bersorak sorai.
Mereka yang sorak sorai –selama umat Islam dibantai, dikuyo-kuyo dan
didhalimi– itu kini diusulkan oleh Dawam Rahardjo (pembela
aliran-aliran sesat yang merusak Islam seperti Ahmadiyah, Lia Eden,
Sepilis –sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme— dan
semacamnya) untuk memimpin Departemen Agama. Padahal diadakannya
Departemen Agama itu sendiri menurut sejarahnya adalah hadiah bagi umat
Islam, karena para ulama dan umat Islam telah berjuang mati-matian untuk
meraih kemerdekaan.
Bagaimana kira-kira kalau usulan Dawam Rahardjo itu terlaksana?
Kalau toh penyengsaraan terhadap umat
Islam tidak sampai tingkat pembantaian, maka seandainya dari kalangan
Kristen memimpin Departemen Agama, lakon nenek moyangnya dalam ideology
dan agama, yaitu penjajah Belanda, bisa diterapkan pula. Yaitu dana
untuk Nasrani 41 juta Gulden, sedang untuk Islam hanya 80 ribu Gulden
saja.
Tidak usah jauh-jauh ke zaman Belanda,
di saat pemerintahan Orde Baru pimpinan presiden Soeharto, ketika Benny
Moerdani yang Nasrani itu dijadikan Menteri Pertahanan dan Keamanan/
Panglima Angkatan Bersenjata, ternyata ratusan umat Islam dibantai di
Tanjung Priok, Jakarta Utara, 12 September 1984. Diperkirakan ratusan
Muslimin dibantai, diangkut bertruck-truck entah ke mana dikuburkannya,
tak jelas.
Kemudian ketika TB Silalahi dari
Nasrani pula dijadikan Menteri Aparatur Negara, makamembuat kebijakan
yang mengarah pada pembunuhan madrasah-madrasah sore hari, dengan cara
menambah lama bersekolah di sekolah-sekolah umum sampai agak sore,
sehingga mengakibatkan rontoknya madrasah-madrasah sore hari. Masih pula
ditambah denganmenghapus pengadaan guru-buru negeri untuk sekolah
swasta, yang artinya adalah membunuh madrasah-madrasah (swasta)
se-Indonesia. Hingga kini setelah tahun 2000 pun dampaknya makin
memprihatinkan. Madrasah-madrasah (swasta) mengalami koleps, rata-rata dalam keadaanmegap-megap,
karena kekuarangan guru. Untuk seluruh Indonesia diperkirakan butuh
200.000-an guru madrasah, dan khabarnya sampai sekarang kalau
Departemen Agama RI mengajukan kepada pemerintah untuk mengadakan tenaga
guru itu senantiasa ditolak, kecuali sangat sedikit. Sebaliknya, TB
Silalahi walau sudah tak jadi menteri masih aktif dalam kenasraniannya
secara nasional, misalnya jadi ketua panitia natalan tingkat nasional,
yang mampu menggiring para pejabat Muslim sampai tingkat presiden untuk
hadir di upacara bernatalan ria, satu hal yang telah diharamkan oleh MUI
(Majelis Ulama Indonesia) bagi umat Islam. Seakan fatwa MUI itu
dianggap angin lalu oleh para pejabat Muslim. Padahal, mereka
(pejabat-pejabat Muslim) itu ketika sebelum naik jabatan biasanya
mendekat-dekat kepada umat Islam, paling kurang dengan cara hadir di
masjid-masjid,guna meraih simpati umat Islam, misalnya. Terkutuklah
mereka. Agama dijadikan alat untuk meraih jabatan.
Betapa bedanya antara pejabat yang
Muslim dengan yang kafir. Kalau pejabat kafir, sampai sudah tidak
menjabat pun masih gigih menjajakan kekafirannya, seperti menjadi
panitia upacara nasional kekafiran mereka, dan mampu menggiring pejabat
yang masih aktif untuk hadir di acara kekafiran mereka. Sebaliknya,
pejabat-pejabat Muslim, ketika masih menjabat saja sudah lupa terhadap
Islam dan umat Islam. Justru biasanya mereka ikut-ikutan ke acara-acara
kafir. Kemudian setelah mereka tidak punya jabatan lagi, baru sebagian
mendekat-dekat lagi ke umat Islam, tetapi sudah tidak ada daya apa-apa,
hanya sekadar mengisi waktu menunggu umur. Itu saja sering-sering hanya
berfungsi untuk mengendur-ngendurkan perjuangan Islam, dengan alasan
persatuan dan kesatuan, misalnya; lalu cenderung ke pluralisme agama,
menyamakan semua agama, atau paling tidak ya sekuler. Yang nampak di
permukaan biasanya seperti itu, bila kebetulan tidak tersangkut perkara
korupsi dan semacamnya yang mengakibatkan sakit atau malahan meninggal
sebelum sempat diadili.
Kalau ketika jadi pejabat dikenal galak, atau pelit, atau lebih dari itu justru tukang peras, biasanya ketika pensiun, mereka minggat, menjauh dari tempat semula. Entah dengan cara membeli tanah di kompleks yang suasananya dianggap aman, atau sekadar ndompleng ke anak atau menantu, bila perlu. Perkara nasib mereka di akherat seperti apa, itu urusan Allah subhanahu wata’ala terhadap mereka. Kalau di dunia sudah banyak mendhalimi manusia, bahkan agama Allahsubhanahu wata’ala,
maka betapa ngerinya. Maka mumpung masih hidup, sebaiknya bertaubat,
memperbanyak amal sholih, ikhlas lillahi Ta’ala, agar husnul khotimah.
Kembali kepada sikap Dawam Rahardjo,
perlu diingatkan mengenai kegigigihan orang kafir tersebut. Yang telah
dikemukakan itu tadi, orang-orang Nasrani sampai sebegitu jauhnya dalam
memecundangi Islam dan umat Islam. Padahal mereka itu tidak langsung
memegang jabatan yang berkaitan dengan agama Islam. Bagaimana pula
seandainya mereka yang Nasrani itu menjadi menteri agama? Tidak jadi
menteri agama saja, terbukti pencelakaan terhadap umat Islam sudah
sedemikian drastisnya. Lha kok Dawam Rahardjo yang dijuluki
sebagai cendekiawan Muslim malahan sama sekali buta terhadap lakon jahat
orang Nasrani yang telah ditusukkan kepada umat Islam se-Indonesia,
padahal jelas-jelas di depan mata.
Sebaiknya Dawam Rahardjo membuka mata, melihat sejarah, agar ada sedikit gambaran tentang betapa mengenaskannya (memprihatinkannya) kondisi umat Islam akibat disengsarakan oleh kelompok minoritas anti Islam.
Kembali ke kekejaman Belanda (minoritas
tapi menjajah) dalam membunuhi umat Islam.Peristiwa Perang Paderi selama
13 tahun (1824-1837M), antara Islam (Salaf)[5] yang
dipimpin Imam Bonjol dan kaum adat (Islam tradisional) di Sumatera
Barat dicampur tangani Belanda. Belanda memihak kaum adat. Kaum adat
berdebat sesamanya. Sebagian kaum adat memihak ke Imam Bonjol, dan
sebagian menyerah terhadap Belanda. Lalu Imam Bonjol sendiri ditipu oleh
Belanda dengan cara pura-pura akan diadakan perdamaian, namun hanya
menipu untuk menangkapnya, kemudian membuangnya ke Betawi, ke Cianjur
Jawa Barat, lalu ditahan di Ambon, dipindah ke Menado, dan wafat di sana
setelah 10 tahun di Menado, 6 November 1864.[6]
Belum lagi perang Aceh, Belanda dengan
dipanas-panasi oleh penasihatnya, Snouck Hurgronje bahwa satu-satunya
jalan hanyalah berlaku keras terhadap para ulama dan umat Islam, lalu
dibantailah para ulama di Aceh, beserta umat Islam.
Sikap Snouck terhadap Islam, Ulama, dan Muslimin
Fakta sejarah menunjukkan kedustaan
Snaouck Hurgronje dan rencana penyamarannya bukan tidak mungkin
menunjukkan bahwa masuk Islamnya di Jeddah serta hubungannya dengan
orang-orang Aceh di Mekkah al-Mukarramah pun termasuk perbuatan
pura-puranya. Namun, dusta tersebut telah memberinya jalan memasuki
daerah Aceh, tempat dia akan mengumpulkan informasi-informasi yang dapat
memberi saham dalam mewujudkan pemecahan masalah atas daerah Aceh bagi
Belanda. Untuk itu Snouck Hurgronje menerima pekerjaan di Batavia.
Di Batavia, dia mulai mengumpulkan
informasi tentang pengajaran Islam di sekolah-sekolah Jawa Barat dan
Jawa Tengah, serta tentang apa yang dinamakan hierarki keagamaan Islam
yang berkali-kali disangkal keberadaannya oleh Snouck Hurgronje. Pada
dasarnya, Snouck benar karena di dalam Islam tidak dikenal sistem
hierarki sebagaimana dalam Katolik atau Kristen pada umumnya. Kemudian
datang perintah untuknya agar melaksanakan tugas resmi yang telah
digambarkan dalam rekomendasi-rekomendasi sebagai sesuatu yang sangat
rahasia. Dalam perjalanan mata-matanya itu, orang-orang Aceh, termasuk
beberapa ulama, menaruh kepercayaan penuh kepadanya. Mereka memberi
sambutan hangat dan menerima kedatangannya. Laporan-laporannya (kepada
pemerintah Belanda, pen) berisi kebencian, dendam, pemutarbalikan, dan
kebohongan, khususnya terhadap para ulama yang dianggap sebagai kendala
penghambat tunduknya daerah Aceh kepada pemerintah Belanda. Para ulama
merupakan motor penggerak spitritual masyarakat dalam membela daerah itu
sehingga di dalam laporan-laporan spionasenya, para ulama itu
berpuluh-puluh kali dijuluki gerombolan ulama. Selain itu, diapun menyampaikan usul kepada pemerintah kolonial untuk menempuh cara politik kekerasan dan penumpasan terhadap para ulama dengan menyatakan:
“Sesungguhnya musuh utama dan yang
giat adalah para ulama dan para petualang yang menyusun
gerombolan-gerombolan yang kuat. Sekalipun jumlah mereka sedikit dan
tumbuh di antara lapisan-lapisan masyarakat yang bermacam-macam, mereka
mendapat tambahan dari sebagian penduduk dan pemimpin-pemimpinnya. Tidak
mungkin akan diperoleh manfaat dalam perundingan dengan partai musuh
ini karena akidah dan kepentingan pribadi mereka mengharuskan mereka
untuk tidak tunduk, kecuali dengan penggunaan kekerasan terhadap mereka. Sesungguhnya persyaratan yang paling mendasar untuk mengembalikan peraturan di daerah Aceh haruslah mengkaunter para ulama dengan kekerasan sehingga
‘ketakutan’ menjadi faktor yang menghalangi orang-orang Aceh untuk
bergabung dengan pemimpin-pemimpin gerombolan agar terhindar dari
bahaya. Menurut pendapat saya, mesti dipersiapkan rencana mata-mata yang
efektif dan terorganisasi untuk memata-matai Tuanku Kuta Karang
(pemimpin ulama pada tahun 1892) dan gerombolannya. Pasti akan ada hasil
awalnya. Biarpun saya tidak mampu menjelaskan seluruh rinciannya, namun
saya berani berkata bahwa pekerjaan mata-mata itu adalah suatu
kemungkinan.”[7]
Demikianlah faktanya. Snouck telah
melibatkan dirinya untuk kepentingan penjajahan dengan bukti pernyataan
dan laporannya kepada Jendral Van Houts untuk memerangi kaum muslimin di seluruh wilayah jajahan Belanda. Dengan kata lain ia mengusulkan untuk menggunakan kekerasan dalam menumpas kaum muslimin. Karena itu Jendral tadi mendapat julukan “pedang Snouck yang ampuh” karena keberhasilannya dalam memerangi umat Islam.
Di samping itu Snouck Hurgronye juga
banyak membantu dalam pembinaan kader missionaris Belanda dan membuka
sekolahan untuk mengkristenkan muslimin di seluruh wilayah jajahannya.
Terdapat fakta lain pula bahwa seorang
tokoh missionaris kondang dan sangat disegani di kalangan kaum
orientalis yang bernama Hendrick Kraemer adalah murid Snouck Hurgronje,
dari tahun 1921 hingga tahun 1935. Hubungan di antara guru dan murid
terus berkesinambungan tanpa putus. Snouck Hurgronje wafat pada tahun
1936.[8]
Dr Van Koningsveled berkata: “Tidak
terputus surat menyurat antara Snouck Hurgronje dan muridnya, Hendrik
Kraemer, misisionaris terkenal dan berpengaruh dalam lingkungan aktivis
kristenisasi dari tahun 1921 sampai dengan 1935. Menurut penjelasan
Boland, buku Hendrik Kraemer, Misi Kristen di Dunia Non Kristen[9] mengungkapkan dengan jelas bahwa orang-orang Kristen mempunyai rencana untuk mengkristenkan dunia, khususnya Indonesia. Mereka bertujuan menundukkan dunia Islam.[10] Bahkan, Kreamer membandingkan Islam dengan Nazi.[11]
Zaman merdeka, minoritas pun membantai umat Islam
Bahkan di zaman merdeka dan setelah
tahun 2000 pun Indonesia yang mayoritas Muslim ini, kaum minoritas
membantai umat Islam di Poso Sulawesi, juga di Ambon. Tibo, otak
pembantaian terhadap umat Islam di Poso, dikabarakan mengaku didoakan
oleh gereja ketika mau melakukan pembantaian itu.[12] Majalah Sabili No 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H memberitakan sebagai berikut:
Gereja acap kali disebut-sebut dalam
berbagai kerusuhan di tanah air. Keterlibatan gereja pula yang disebut
tervonis mati Tibo baru-baru ini.
Menjelang eksekusi mati, panglima
pasukan Merah saat konflik Poso berkecamuk beberapa waktu lalu ini,
mengungkap keterlibatan Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah
(GKST). GKST pimpinan pendeta Damanik yang berpusat di Tentena ini,
menurut Tibo terlibat dalam pembantaian umat Islam Poso.
Menurut Tibo, (pihak gereja) GKST
memberikan dukungan moril dan lainnya kepada pasukan Merah yang hendak
menyerang kaum Muslimin Poso. Bahkan, lanjut Tibo, para pendeta mendoakan mereka dengan upacara ala Kristen di Gereja tersebut.
Hasilnya? Sebuah tragedy kemanusiaan
yang di luar batas kewajaran manusia. Pembantaian dan penganiayaan
terhadap umat Islam secara biadab telah dilakukan pasukan Merah. Fakta
ini terungkap dari keterangan sejumlah saksi saat persidangan Tibo
beberapa waktu yang lalu.
Kesadisan pasukan Kelelawar pimpinan
Tibo terhadap kaum Muslimin terungkap di persidangan. Menurut salah satu
saksi, pembina pesantren Walisongo Poso, Ustadz Ilham, ia melihat
rekannya dibacok pasukan Merah pimpinan Tibo, sebelum ia nekad loncat
dari mobil dan meloloskan diri.
Sebelumnya, Ustadz Ilham bersama 28
orang lainnya disuruh buka baju. Selanjutnya tangan diikat satu persatu
dengan sabut kelapa, tali nilon dan kabel. Kemudian digiring lewat hutan
tembus desa Lempomawu. Rombongan Ustadz Ilham berjalan ke desa
Ranononco dan ditampung di sebuah baruga.
Di sanalah mereka disiksa dalam keadaan
berbanjar dua barisan. Selanjutnya ikatan tangan ditambah sampai
bersusun tiga. Badan Ustadz Ilham diiris, ditendang dan dipukul dengan
berbagai alat. Tak puas dengan itu, mereka menyirami umat Islam dengan
air panas selama dua jam.
Kebringasan pasukan Merah itu juga
diungkap saksi lainnya, Tuminah. Menurut kesaksian Tuminah, pasukan
Merah mengikat mereka dengan tali dan memisahkan antara laki-laki dan
perempuan. Di bilik sebuah sekolah, Dominggus meminta para Muslimah
melepas bajunya dan disuruh berputar-putar di depannya.
Jauh sebelumnya, keterlibatan Gereja
juga disebut-sebut saat penyerangan kaum Kristen terhadap umat Islam
Maluku di akhir tahun 1999. Sehari setelah Natal, Ahad (26/12 1999),
dengan amat tiba-tiba, massa Kristen menyerang dan membantai kaum
Muslimin di Kecamatan Tobelo, Maluku Utara.
Seorang saksi menceritakan, pembantaian
yang menyayat hati umat Islam tersebut. Menurut ceritanya, sebelum
penyerangan biadab itu terdengar suara lonceng Gereja saling bersahutan
serta suara gaduh tiang listrik, bak pertanda kesiapan untuk menyerang.
Seketika, massa Kristen yang membawa
berbagai senjata tajam sudah mengepung dan membombardir Masjid Jami’
tempat berlindungnya ribuan kaum Muslimin. Masjid Jami’pun diguyur
bensin dan dengan cepat api menjilat tembok-temboknya.
Jerit tangis anak-anak kecil bayi yang
kepanasan dan istighfar para Muslimah terdengar bersahut-sahutan. Yang
mencoba keluar masjid langsung dibantai. Kurang lebih 750 orang kaum
Muslimin yang berada di dalam masjid tersebut terbakar hidup-hidup,
hingga mengeluarkan aroma daging terbakar.[13]
Sejumlah pihak pun mensinyalir
keterlibatan Gereja di sejumlah daerah konflik lainnya. Sebut misalnya,
kerusuhan Timor Timur (saat masih masuk wilayah Indonesia). Ketika itu,
kepala Kanwil Departemen Agama di Timor Timur seorang Katolik. Ternyata
karyawannya yang beragama Islam, hanya mau berkhutbah Jum’at di masjid
saja dilarang oleh Kakanwilnya yang Katolik itu.Pengakuan karyawan
Kanwil Departemen Agama Timor Timur bahwa dirinya dilarang oleh
Kakanwilnya untuk berkhutbah di masjid itu penulis dengar langsung
ketika penulis bersama rombongan wartawan Islam dari Jakarta berada di
Dilly Timor Timur, waktu masih jadi wilayahIndonesia. Nah, kalau menteri
agamanya dari Katolik atau Kristen, jenis-jenis pembantaian terhadap
umat Islam dan pelarangan-pelarangan khutbah di masjid-masjid bagi
karyawan Departemen Agama, apakah tidak dilancarkan, bahkan
digalakkan? Dawam Rahardjo perlu berpikir ulang, kalau memang masih
mengaku Muslim, atau berpikiran obyektif.
Tirani minoritas
Apakah itu tidak pernah terdengar di
telinga seorang professor yang menyandang gelar cendekiawan Muslim
seperti Dawam Rahardjo? Sedang tidur di mana dia? Selain itu, apakah
tidak pernah mendengar bahwa dalam perpolitikan di Indonesia selama masa
Orde baru di bawah rezim Soeharto, dalam tempo 25 tahun dari 32 tahun
kekuasaannya sering diistilahkan adanyatirani minoritas, lantaran
kebijakan Soeharto mengikuti pihak minoritas dengan CSIS-nya dan di
bidang kekuasaan adalah Benny Murdani-nya? Kemudian setelah ada
kerenggangan antara Benny dan Soeharto, lantas terjadilah aneka
kerusuhan di daerah-daerah Indonesia bagian timur yang di sana campur
antara Muslim dan Kristiani, maka umat Islam dibantai, dibakari
rumahnya, tokonya, dan bahkan masjid-masjidnya seperti yang terjadi di
Timor Timur, Flores dan lainnya. Apakah Dawam tak pernah
dengar? Bagaimana ketika pegawai Departemen Agama saja tidak boleh
khutbah di masjid oleh atasannya ketika atasannya orang Katolik seperti
yang terjadi di Timor Timur, padahal secara penduduk Indonesia, Katolik
adalah minoritas. Apakah Dawam tak pernah dengar? Bagaimana misalnya
menteri agamanya itu orang Kristen, lalu melarang pegawai Departemen
Agama berkhutbah di masjid, sebagaimana Kepala Kanwil Depag Timor Timur
waktu masih jadi wilayah Indonesia melarang pegawainya berkhutbah di
masjid yang sudah ada, bahkan untuk didirikan musholla saja sulit di
sana? Masih banyak lagi tentunya.
Bukan hanya di wilayah yang banyak
orang Kristennya. Di zaman Soeharto, saat berlangsung tirani minoritas,
maka pencekalan terhadap khotib-khotib dan muballigh pun berlangsung,
hingga ada istilah SIM (Surat Izin Muballigh). Daftar apa yang disebut
muballigh-muballigh ekstrim pun beredar. Hingga muballigh digagalkan
untuk berkhutbah hari raya seperti Pak Dr Deliar Noer yang digagalkan
hingga masuk berita di Koran pun, Dawam tentunya dengar. Kenapa? Karena
umat Islam dikuyo-kuyo oleh kebijakan yang memihak pada minoritas Kristen.
Nah, sekarang ini, rupanya Dawam justru
menjadikan dirinya rela, suka ria, menjadi orang yang tidak perlu
ditekan-tekan oleh minoritas Kristen, justru mencadangkan diri untuk di
bagian depan sebagai orang yang rela untuk ditepuki oleh orang Kristen.
Makin ramai tepuk sorak orang Kristen, makin bersemangatlah Dawam.
Padahal, nanti kalau meninggal dunia, Pak Dawam apakah akan dirumat oleh
orang Kristen? Apakah yang memandikan, mengkafani, mensholati, dan
memasukkan ke liang kubur nanti diharapkan dari orang-orang Kristen? Dan
misalnya masih percaya terhadap doa, apakah lebih baik yang mendoakan
mayat Dawam nanti orang Kristen dengan nyanyian-nyanyian kemusyrikannya?
Kalau Dawam Rahardjo istiqomah dengan
pendapatnya, maka logika yang dapat dipetik: Lebih baik nanti yang
merawat jenazah saya adalah dari pihak yang minoritas, misalnya Kristen.
Karena mereka yang minoritas itu nanti tidak akan berani
sewenang-wenang terhadap jasad saya. Berbeda dengan kalau yang merawat
sampai menguburkan jasad saya itu dari pihak yang mayoritas, yakni kaum
Muslimin, mereka pasti akan berbuat sewenang-wenang, karena merasa
mayoritas, dan tidak dapat dikontrol dalam hal merawat jasad saya. Jadi
saya lebih memilih untuk dirawat oleh orang Kristen dari proses
perawatan jenazah saya sampai penguburannya. Kalau dapat, justru yang
paling minoritas, yaitu orang yang tidak beragamalah yang harus merawat
sampai menguburkan jenazah saya. Karena kalau yang paling minoritas,
maka tidak mungkin akan berani untuk berbuat sewenang-wenang terhadap
jasad saya. Berbeda dengan kalau yang mayoritas. Jadi saya lebih memilih
untuk dirawat jenazah saya oleh orang yang tidak beragama, daripada
yang beragama.” Itu logika yang pas dari ungkapan-ungkapan Dawam
Rahardjo yang telah terlontar sebelumnya, bila dirangkaikan dengan
kematiannya, kapan-kapan. (haji).
nc
—– Original Message —–
Sent: Wednesday, April 12, 2006 9:35 AM
Subject: Re: Tibo pahlawan HAM?
Saya juga sungguh bingung dan geram dengan perkembangan kasus Tibo yang semakin tidak jelas dan menjauh dari konteks.
Saya melihat media, baik media cetak
maupun elektronik berperan sangat besar dalam membuat kasus tibo
menjauh dari substansinya.
Sebagian besar media jelas sekali
menutup mata dan tidak mau peduli atas fakta-fakta yang menunjukan
bahwa “trio pembantai” ini — Tibo, Da Silva, dan Marianus Riwu,
jelas-jelas terlibat dalam pembantaian ratusan Santri di Poso, mereka
bertiga bahkan berperan sebagai pimpinan dari pasukan kelelawar hitam,
pasukan kelompok merah yang memobilisasi pembantaian terhadap
ratusan santri di Poso.
Membaca artikel Kompas beberapa
hari lalu, saya sungguh geram dan bingung. Bagaimana tidak ? dalam
artikel itu,Tibo dikesankan sebagai seorang yang religius dan tak
berdosa, sang wartawan sama sekali tidak menyentuh peran Tibo dalam
kasus Pembantaian di Poso. Reaksi dari sebagian kecil masyarakat yang
meminta pembatalan hukuman mati terhadap Tibo Cs, diexpose secara
besar-besaran baik di Koran maupun TV, sementara reaksi dukungan
masyarakat agar Tibo segera dieksekusi sama sekali tak ditayangkan.
Apakah seperti yang namanya Cover Both sides? Media juga terlihat
menerapkan diskriminasi dan standar ganda dalam memberitakan Kasus Tibo
Cs, dan Amrozi Cs.
Standar Ganda dan diskriminasi dalam
melihat permasalahan hukum ternyata juga diterapkan oleh “para aktivis
kemanusiaan” dan para pakar hukum di negeri ini.Mereka — aktivis
manusia dan praktisi hukum– seperti kebakaran jenggot ketika
ditetapkannya keputusan agar Tibo Cs dieksekusi mati, belasan
artikel mereka tulis di koran-koran tentang penentangan pelaksanaan
hukuman Mati di negeri ini, mereka bilang Hukuman Mati adalah warisan
dari Zaman Jahiliah, tetapi kemana suara mereka ketika keputusan
hukuman mati dijatuhkan kepada Imam Samudra Cs???
Sungguh semua hal di negeri ini sudah
terbolak-balik, bahkan kepada media, aktivis kemanusiaan, dan para
pakar hukumpun saya sudah tak percaya lagi.
Banyak contoh dan fakta bahwa Media
sering berat sebelah dalam memberitakan sesuatu, banyak fakta juga yang
menunjukan kapan para aktivis kemanusiaan akan berteriak keras dan
kapan mereka akan bungkam seribu bahasa. Hal yang sama juga terjadi
pada para pakar hukum.
Di negeri ini semuanya Anomali, Jika
Mayoritas Islam yang jadi korban itu bukan masalah, media diam, aktivis
kemanusiaan bungkam, pakar hukum tutup mulut, tetapi jika Minoritas
sedikit saja jadi korban, maka media akan bersuara kencang, aktivis
kemanusiaan akan berteriak keras : Ini melanggar HAM!, sementara para
aktivis hukum akan bertindak layaknya pahlawan pembela kebenaran,
Hahahhaaa
Sungguh dagelan seperti ini memilukan buat saya..
[13] Majalah SabiliNo 22, Th XIII, 18 Mei 2006/ 20 Rabi’ul Akhir 1427H, halaman 20-21.
(nahimunkar.com)
[1] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia, Usaha Nasional,Surabaya, 1987, halaman 119.
[2] Ibid, halaman 167.
[3] Prof. Mr, AG. Pringgodigdo –Hassan Shadily MA, Ensiklopedi Umum, Penerbit Yayasan Kanisius, Yogyakarta, 1977, halaman 45.
[4] Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam – Katolik- Protestan di Indonesia,_Usaha Nasional Indonesia, cet II, 1987, hal 129.
[5] Sebelum
Imam Bonjol datang dari Makkah, sudah berlangsung pemurnian Islam di
Minangkabau menjelang akhir abad 18, dengan dibereskannya
tarikat-tarikat Syatariyah dan sebagainya ke arah lebih mengikuti
syara’. Lalu datanglah Imam Bonjol dan tokoh-tokoh yang baru pulang dari
Makkah dan mengikuti manhaj salaf, sesuai dengan Islam yang disampaikan
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarisi para sahabat,
tabi’in, tabi’it tabi’in dan diteruskan ilmunya serta penyebarannya
oleh para ulama. Kaum Padri (pimpinan Imam Bonjol) itu mengganti
penghulu-penghulu adat dengan qodhi (hakim agama) dan imam. Dengan ini,
Imam Bonjol dan jama’ahnya mengubah system social adat. Tapi ini hanya
berlangsung 3 tahun. (Sistem Imam Bonjol tentunya system Islam, hukum
waris ya cara Islam. Sayangnya, hanya berlangsung 3 tahun, kembali ke
adat lagi. Sampai buku ini ditulis, tahun 2006, walaupun masyarakat
Sumatera Barat atau Minangkabau itu beragama Islam, tetapi dalam hal
warisan harta orang yang meninggal dunia, memakai cara adat, khabarnya,
tidak memakai hukum Islam).
Sesudah 3 tahun itu imam tetap ada,
tetapi yang berkuasa adalah penghulu adat, bukan imam. Tahun 1827,
Belanda mulai ikut-ikutan campur tangan. Imam Bonjol mengajak para
penghulu adat untuk menentukan sikap. Tetapi para penghulu adat
berdebat sesamanya, ada yang mau perang, ada yang mau menyerah. Imam
Bonjol akhirnya pergi – dia tidak kuasa…
Lalu Belanda menipu Imam Bonjol dengan
liciknya, yaitu diajak berunding, tetapi ditangkap, 29 Oktober 1837,
lalu diasingkan. Mula-mula di Bukittinggi, lalu Cianjur, Ambon,
dan Manado. (Lihat Leksikon Islam,Pustaka Azet Perkasa, Jakarta 1988, jilid 2, halaman 561).
[6] (lihat Ensiklopedi Umum, Pringgodigdo, 1977, halaman 444).
[7] K. Van de Maaten, Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog, Leiden, 1948, hal 95, dikutip Dr Qasim Assamurai, Al-Istisyraqu bainal Maudhu’iyati wal Ifti’aliyah, terjemahan Prof. Dr Syuhudi Isma’il dkk, Bukti-bukti Kebohongan Orientalis, GIP, Jakarta, cetakan pertama 1417H/ 1996M, hal 158.
[8] Dr Ahmad Abdul Hamid Ghurab, ru’yah Islamiyyah lil Istisyraq, terjemahan AM Basalamah, Menyingkap Tabir Orientalisme, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, I, 1992, hal 97-98.
[9] Hendrik Kraemer, the Crisitian Message in a non-Christian World, London, 1938, edisi kedua, 1947.
[10] B.J Boland, the Strugle of Islam in Modern Indonesia’s Gravenhage, 1970, hal 236, dikutip Qasim Assamurai hal 164.
[11] Kraemer, op cit, hal 353, bandingkan Boland, op cit, hal 240, no 146, dikutip Qasim, ibid, hal 164.
[12] To:insistnet@yahoogroups.com
From:”Syahril” <Syahril_CW@cni.co.id Add to Address Book
Date:Wed, 12 Apr 2006 17:43:32 +0700
Subject:[INSISTS] Fw: Tibo pahlawan HAM?
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan