Selama 70 tahun Indonesia berdiri, umat Islamlah
yang paling banyak dirugikan. Dengan dalih harus toleran, umat ini dipaksa
mengatur kehidupannya bukan dengan aturan yang bersumber dari Islam. Padahal 87%
lebih penduduk negeri ini beragama Islam. Sedangkan menjalankan aturan Islam merupakan bagian
dari ibadah yang diwajibkan oleh Allah swt.
Lalu, apakah salah jika umat Islam menginginkan Islam
yang mengatur hidupnya?
Jika merujuk kepada UU 45 pasal 29 ayat 2, negara akan
menjamin umat beragama untuk menjalankan Agamanya. Bahkan tanpa UU itupun, umat
Islam tetap harus menjalankan agamanya sebagai konsekuensi keimanan kepada
Allah Awt.
Namun jaminan yang tertera dalam UU itu tak kunjung
terealisasi. Setiap upaya penerapan aturan Islam dianggap sebagai bentuk
Intoleran kepada Agama lain. Padahal tuduhan itu tidak pernah terbukti sema
sekali. Salah satu contoh, umat Islam yang ingin menerapkan syariat Islam
dianggap sebagai teroris yang akan menyebabkan perpecahan. Hal ini tidak sesuai
dengan fakta dimana selama belasan abad umat Islam dalam naungan khilafah
Islamiyah mampu nenerapkan Islam dan menyatukan berbagai ras, agama, suku dan
budaya di dunia. Tentu pendapat itu merupakan fitnah yang sangat keji terhadap
syariat Islam yang agung.
Yang lagi ramai diperbincangkan adalalah kasus
penertiban warung nasi yang buka saat
bulan Ramadhan di serang yang menimpa Ibu Saeni (57 th). Banyak yang
berpendapat bahwa apa yang dilakukan Satpol PP karena adanya Peraturan Daerah “intoleran”
Nomor 2 tahun 2010 tentang Penyakit Masyarakat yang dikeluarkan oleh Wali Kota
serang. Padahal sejatinya perda itu untuk melindungi hak umat Islam menjalankan
ibadah puasa. Ada
perda saja orang berani langgar, apalagi jika tidak ada.
Kasus itu terus diblow-up media nasional online sehingga
mengundang simpati banyak orang. Isu ini dimanfaatkan oleh kaum liberal dan
pemerintah Jokowi untuk menyudutkan syariat Islam dan upaya penghapusan perda
Islami. Upaya itu terlihat jelas ketika
Pemerintah melalui tim kementrian dalam negeri langsung mengevaluasi perda
nomor 2 tahun 2010 itu. (CNN, 14/06/2016). Tak tanggung, Jokowi pun turut
menyumbang korban razia untuk menunjukan ketidaksukaannya terhadap perda yang
dianggap intoleran tersebut.
Bukan hanya itu, sebelumnya perda yang melarang perederan
minuman keras juga akan dihapus karena dianggap menghambat pertumbuhan ekonomi
dan investasi asing. Padahal sangat jelas, beberapa pelaku kejahatan seksual
dilakukan setelah menenggak minuman keras. Yang paling diuntungkan dalam hal ini
adalah perusahan dan importir minuman keras.
Dari beberapa kejadian diatas bisa kita simpulkan bahwa
rezim jokowi hari ini memang anti Islam dan pro kapitalis. penghapusan perda
Islami untuk menunjukan kebencian mereka kepada Islam dan merupakan bentuk
pengabdian mereka kepada tuan-tuannya yaitu
kaum pemilik modal (kapitalis) baik lokal maupun asing. Hal ini juga
menunjukan ketakutan pemerintah akan tegaknya syariat Islam di Indonesia, karena mengancam eksistensi mereka yang selama ini
menzalimi rakyat.
Selama sistem yang digunakan untuk memili penguasa dan
menetapkan aturan menggunakan Demokrasi, maka akan lahir rezim-rezim yang benci
terhadap Islam. Maka sudah sepatutnya kita campakkan Demokrasi dan terapkan
Sistem Islam. (si)
Alimudin Baharsyah. S. Sos
Ketua BE Kornas BKLDK) 2016-2017
[Nusanews.com]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan