Judul:
Mamba’ul Barakat fi Sab’il Qira’at
Penulis: KH. Ahsin Sakho Muhammad
Penerbit: IIQ Jakarta
Cetakan: I, September 2012
Jilid: I
Tebal: 182 halaman
Peresensi: A. Khoirul Anam*
Masyarakat umum mungkin mengenal adanya perbedaan bacaan Al-Qur’an dari para qori’. H. Mu’ammar ZA misalnya sering memperdengarkan ayat-ayat dalam surat-surat pendek yang dihafal masyarakat dengan logat yang berbeda.
Misalnya, kata “maliki” dalam surat al-Fatihah, “ma” yang biasa dibaca panjang, oleh para qari’ dibaca pendek. “Kufuwan” dalam surat al-Ihlas, dibaca “kufa” atau “kufwa”. “Waddluha” dalam surat adl-Dluha dibaca “wadluhe”, dan masih banyak lagi yang sering diperdengarkan.
Adanya ragam bacaan al-Qur’an yang dikenal dengan istilah qira’at sab’ah itu menunjukkan betapa Nabi Muhammad SAW bisa menerima perbedaan. Al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab. Namun seperti suku-suku besar lain di dunia, di kalangan masyarakat Arab terdapat banyak sekali logat yang berbeda. Dan perbedaan itu diakomodir semua.
Jika boleh berandai-andai; Andaikan Nabi Muhammad mendengarkan orang Indonesia yang terdiri dari banyak suku ini melafadzkan Al-Qur’an dengan logat yang sedikit berbeda dengan orang Arab, mungkin belia pun maklum. Sungguhpun demikian, membaca al-Qur’an dengan logat yang paling dekat dengan orang Arab, atau tepatnya melalui riwayat yang paling sahih tetaplah yang paling utama.
Ihwal qira’at sab’ah ini, menurut pakar ilmu al-Qur’an yang juga Rektor Institut Ilmu al-Qur’an Jakarta (IIQ) Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA dalam satu wawancara, masyarakat Arab pada saat turunnya Al-Qur’an terbagi ke dalam kabilah-kabilah. Masyarakat Arab yang nomaden tersebut menyebar ke berbagai tempat dan mempunyai cara bertutur kata atau dialek masing-masing. Maka kemudian dikenal ada qira’at tujuh itu.
Adalah Abu Bakar Ibnu Mujahid Ahmad bin Musa (w.324 H) yang berinisiatif untuk menetapkan bacaan tujuh itu karena bacaan yang beredar di masyarakat terlalu banyak dan membingungkan. Banyak imam atau guru besar al-Qur’an dengan yang dengan bacaan yang berbeda. Maka ia mengambil tujuh imam yang representatif. Dari negeri Syam diambil satu dari ulama yang paling sahih riwayat qiraatnya, yaitu Abdullah Ibnu Amr Asy’ari. Dari negeri Makkah, diambil dari Abdullah Ibnu Katsir Almakki. Dari Madinah, Nafi’ Ibnu Abi Nu’aim Al-Asfahani. Dari Basra, Muammar Al-Basri. Dari Kuffah, diambil tiga orang, yaitu Asyim, Hamzah, dan Qisai. Menjadilah qira’at sab’ah.
Untuk memasyarakatkan qira’at sab’ah, KH Ahsin Sakho, menawarkan metode praktis pengajaran qira’at sab’ah dengan satu buku panduan bertajuk “Mamba’ul Barakat fi Sab’il Qira’at” (Sumber berkah dalam tujuh bacaan Al-Qur’an). Buku panduan yang ditulis dalam bahasa Arab ini lebih terlihat seperti kitab kuning.
Penulisnya mengatakan, buku ini sebenarnya dipersiapkan untuk mahasiswi IIQ Jakarta, khusus untuk mengajarkan seputar qira’at sab’ah. Namun karena sifat dari ilmu-ilmu al-Qur’an adalah terbuka untuk semua yang ingin belajar, maka tentunya buku ini tidak hanya khusus untuk kalangan tertentu.
Mamba’ul Barakat fi Sab’il Qira’at disusun seperti karya tafsir tahlili, yang diulas dari ayat perayat, berurutan dari juz ke-1hingga 30. Pertama-tama, satu ayat dituliskan lengkap. Kemudian beberapa lafadz atau kata yang mempunyai banyak versi bacaan dicetak dengan tinta merah, lalu dalam pembahasan berikutnya, lafadz-lafadz yang tercetak dengan tinta merah dijelaskan dalam beberapa versi bacaan dan menurut banyak imam. Kadang-kadang perbedaan bacaan menyebabkan perbedaan pemaknaan dan ini diulas juga.
Saat ini Mamba’ul Barakat fi Sab’il Qira’at baru terbit satu juz, atau juz pertama Al-Qur'an yang dimulai dari surat al-Fatihah sampai ayat 141 surat al-Baqarah, dan rencananya akan diterbitkan dalam 30 juz lengkap. Paling tidak, buku ini ingin menunjukkan bahwa ihwal qira’ah sab’ah itu bukan pengetahuan yang sulit untuk dipelajari oleh para pecinta al-Qur’an. Semoga benar-benar berkah!
* Peresensi adalah redaktur NU Online, alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
Penulis: KH. Ahsin Sakho Muhammad
Penerbit: IIQ Jakarta
Cetakan: I, September 2012
Jilid: I
Tebal: 182 halaman
Peresensi: A. Khoirul Anam*
Masyarakat umum mungkin mengenal adanya perbedaan bacaan Al-Qur’an dari para qori’. H. Mu’ammar ZA misalnya sering memperdengarkan ayat-ayat dalam surat-surat pendek yang dihafal masyarakat dengan logat yang berbeda.
Misalnya, kata “maliki” dalam surat al-Fatihah, “ma” yang biasa dibaca panjang, oleh para qari’ dibaca pendek. “Kufuwan” dalam surat al-Ihlas, dibaca “kufa” atau “kufwa”. “Waddluha” dalam surat adl-Dluha dibaca “wadluhe”, dan masih banyak lagi yang sering diperdengarkan.
Adanya ragam bacaan al-Qur’an yang dikenal dengan istilah qira’at sab’ah itu menunjukkan betapa Nabi Muhammad SAW bisa menerima perbedaan. Al-Qur’an memang diturunkan dalam bahasa Arab. Namun seperti suku-suku besar lain di dunia, di kalangan masyarakat Arab terdapat banyak sekali logat yang berbeda. Dan perbedaan itu diakomodir semua.
Jika boleh berandai-andai; Andaikan Nabi Muhammad mendengarkan orang Indonesia yang terdiri dari banyak suku ini melafadzkan Al-Qur’an dengan logat yang sedikit berbeda dengan orang Arab, mungkin belia pun maklum. Sungguhpun demikian, membaca al-Qur’an dengan logat yang paling dekat dengan orang Arab, atau tepatnya melalui riwayat yang paling sahih tetaplah yang paling utama.
Ihwal qira’at sab’ah ini, menurut pakar ilmu al-Qur’an yang juga Rektor Institut Ilmu al-Qur’an Jakarta (IIQ) Dr. KH. Ahsin Sakho Muhammad, MA dalam satu wawancara, masyarakat Arab pada saat turunnya Al-Qur’an terbagi ke dalam kabilah-kabilah. Masyarakat Arab yang nomaden tersebut menyebar ke berbagai tempat dan mempunyai cara bertutur kata atau dialek masing-masing. Maka kemudian dikenal ada qira’at tujuh itu.
Adalah Abu Bakar Ibnu Mujahid Ahmad bin Musa (w.324 H) yang berinisiatif untuk menetapkan bacaan tujuh itu karena bacaan yang beredar di masyarakat terlalu banyak dan membingungkan. Banyak imam atau guru besar al-Qur’an dengan yang dengan bacaan yang berbeda. Maka ia mengambil tujuh imam yang representatif. Dari negeri Syam diambil satu dari ulama yang paling sahih riwayat qiraatnya, yaitu Abdullah Ibnu Amr Asy’ari. Dari negeri Makkah, diambil dari Abdullah Ibnu Katsir Almakki. Dari Madinah, Nafi’ Ibnu Abi Nu’aim Al-Asfahani. Dari Basra, Muammar Al-Basri. Dari Kuffah, diambil tiga orang, yaitu Asyim, Hamzah, dan Qisai. Menjadilah qira’at sab’ah.
Untuk memasyarakatkan qira’at sab’ah, KH Ahsin Sakho, menawarkan metode praktis pengajaran qira’at sab’ah dengan satu buku panduan bertajuk “Mamba’ul Barakat fi Sab’il Qira’at” (Sumber berkah dalam tujuh bacaan Al-Qur’an). Buku panduan yang ditulis dalam bahasa Arab ini lebih terlihat seperti kitab kuning.
Penulisnya mengatakan, buku ini sebenarnya dipersiapkan untuk mahasiswi IIQ Jakarta, khusus untuk mengajarkan seputar qira’at sab’ah. Namun karena sifat dari ilmu-ilmu al-Qur’an adalah terbuka untuk semua yang ingin belajar, maka tentunya buku ini tidak hanya khusus untuk kalangan tertentu.
Mamba’ul Barakat fi Sab’il Qira’at disusun seperti karya tafsir tahlili, yang diulas dari ayat perayat, berurutan dari juz ke-1hingga 30. Pertama-tama, satu ayat dituliskan lengkap. Kemudian beberapa lafadz atau kata yang mempunyai banyak versi bacaan dicetak dengan tinta merah, lalu dalam pembahasan berikutnya, lafadz-lafadz yang tercetak dengan tinta merah dijelaskan dalam beberapa versi bacaan dan menurut banyak imam. Kadang-kadang perbedaan bacaan menyebabkan perbedaan pemaknaan dan ini diulas juga.
Saat ini Mamba’ul Barakat fi Sab’il Qira’at baru terbit satu juz, atau juz pertama Al-Qur'an yang dimulai dari surat al-Fatihah sampai ayat 141 surat al-Baqarah, dan rencananya akan diterbitkan dalam 30 juz lengkap. Paling tidak, buku ini ingin menunjukkan bahwa ihwal qira’ah sab’ah itu bukan pengetahuan yang sulit untuk dipelajari oleh para pecinta al-Qur’an. Semoga benar-benar berkah!
* Peresensi adalah redaktur NU Online, alumni Pondok Pesantren Lirboyo Kediri
Komentarku ( Mahrus
ali):
Saya sendiri kurang begitu
suka, hampir saja tidak suka tentang qira`ah sab`ah ini,Setahu saya,
qira`ah sab`ah itu, dalil – dalil hadisnya
kurang akurat, kurang valid, masih rapuh. Apalagi qiraah sab`ah untuk seluruh
al Quran, tambah sekedar bacaan menurut ulama ini begini dan ulama itu begitu,
ulama lainnya tidak begitu.
Saya hawatir dengan keberadaan qiroah sab`ah untuk
seluruh Qur`an ini malah membikin merobah huruf quran, tahrif, tabdil (
mengganti) atau bikin bacaan yang bermacam – macam boleh jadi akan mengurangi
kevalidah al Quran itu sendiri dan mengacaukannya. Kita kembali saja kepada
Quran Usmani, itu lebih baik. Artikel Terkait
tentang puasa tasu'a dan asyuro..gmn ustadz ? mohon penjelasan...
BalasHapusUntuk wahyunugroho
BalasHapusKetika Ramadhan di wajib, Rasul tidak pernah puasa asyura` . Redaksi hadis - hadis masih kacau . Saya belum bisa putuskan.
kapan2 dibahas ya ustadz...
BalasHapusUntuk wahyunugroho
BalasHapusSabarlah, membahasnya perlu waktu kosong yang cukup banyak agar keputusannya bisa benar dan jeli. Dan harus buka puluhan kitab hadis. Insya Allah akan di bahas juga.