Senin, 12/11/2012 19:04
Judul: Sufi “Ndeso” Vs. Wahabi Kota, Sebuah Kisah Perseteruan Tradisi Islam Nusantara
Penulis: Agus Sunyoto
Penerbit: NouraBooks, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: 277 halaman
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*
Tradisi khas Islam Indonesia macam tahlilan, peringatan hari kematian, peringatan Maulid Nabi, talqin mayit dan haul dalam kurun waktu belakangan ini ramai-ramai digugat. Bid’ah jadi kosakata lazim guna melabeli laku yang sudah mendarah daging sejak ratusan tahun silam itu. Model pemahaman keislaman mereka yang menggugat –buku ini menyebut Wahabi- adalah model tekstual dan kaku. Baginya, tradisi-tradisi itu tidak ada dalilnya baik dari Alquran maupun hadis.
Tudingan di atas adalah tudingan sepihak dan alpa sejarah. Buku ini memaparkan secara gamblang ihwal sejarah manis dan damainya masuknya Islam ke Indonesia melalui pendekatan budaya. Sejatinya Islam dapat berkelindan dengan budaya Nusantara. Jalinan itu menghasilkan nilai positif dengan lahirnya budaya baru tanpa meninggalkan esensi dari budaya lama. Dengan begitu, wajah Islam di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri. Pun, Islam nyatanya mampu bertegur sapa dan saling mengisi dengan budaya lokal.
Pola penyebaran Islam di Indonesia sudah maklum diketahui sebagai penyebaran tanpa genangan darah dan sabetan pedang. Penyebar Islam merupakan para pedagang asal Arab, Persia, dan India. Interaksi para pedagang asing itu dengan masyarakat Indonesia berkembang menjadi perbincangan keimanan. Ajaran Islam menurut Agus cepat berkembang salah satunya dikarenakan ada kesamaan pandangan terutama dalam ranah tasawuf. Namun, sejarawan memberikan tambahan sejumlah teori seperti melalui jalur pendidikan, pernikahan, kesenian, dan politik.
Kredit poin penyebar Islam tempo dulu adalah kecerdasan mereka dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Pendekatan budaya semisal wayang atau arsitektur menara masjid berbentuk candi merupakan bukti bahwa Islam tidak antipati terhadap budaya yang terlebih dahulu eksis.
Inilah win-win solution ala penyebar Islam tempo dulu dalam mengompromikan agama dengan budaya lokal. Lebih lanjut dieliminasinya istilah-istilah ritual agama berbahasa Arab yang kemudian diganti dengan bahasa Jawa seperti salat diganti sembahyang, shaum diganti upawasa, khitan diganti selam sekali lagi juga menunjukkan bahwa ajaran Islam mampu bersinergi dengan kebudayaan (bahasa) lokal.
Tanpa bermaksud mengadu domba, buku ini hanya menyajikan realitas kekinian mengenai suatu kelompok yang membuat gugatan-gugatan terhadap tradisi Islam di Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip kelompok ini adalah melarang semua perbuatan kecuali ada dalilnya dari Alquran maupun hadis. Sebaliknya, pelaku tradisi itu juga berlandaskan pada prinsip kebolehan untuk melakukan semua perbuatan kecuali ada dalil Alquran dan hadis yang melarangnya.
Ada dua contoh yang dipaparkan Agus Sunyoto terkait kritik dari Wahabi. Pertama, soal menggelar acara peringatan kematian 7, 40, 100, 1000 hari. Wahabi mengatakan tradisi itu sebagai warisan ajaran Hindu yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Agus lalu menunjuk hidung. Wahabi di sini ia arahkan kepada buku karangan Makhrus Ali yang menggugat tradisi tahlilan, istigatsah, dan ziarah para wali. Agus sebagai salah seorang peneliti sejarah Islam Nusantara tak segan-segan melibas argumen Makhrus tersebut sebagai kengawuran.
Agus berujar bahwa tradisi acara peringatan kematian itu bukanlah mengadopsi dari ajaran Hindu. Bahkan Hindu tidak mengenal tradisi itu. Justru tradisi itu adalah hasil pengadopsian dari amalan Syi’ah yang dibawa oleh penyebar Islam dari Campa ke Indonesia. Jadi, Agus ingin mengatakan bahwa Wahabi buta sejarah, asal bicara tanpa berlandaskan fakta.
Kedua, kekurangsukaan Wahabi terhadap obat medis yang dianggap tidak islami dan mempunyai efek samping karena terdiri dari zat-zat kimia. Sedangkan pengobatan herbal dan bekam diklaim sebagai pengobatan islami. Agus kembali meluruskan pandangan keliru itu. Dikatakan baik obat herbal maupun medis masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Metode pengobatan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tendensi pada agama tertentu.
*Pencinta buku, kelahiran Kudus
Penerbit: NouraBooks, Jakarta
Cetakan: I, Juli 2012
Tebal: 277 halaman
Peresensi: Muhammad Itsbatun Najih*
Tradisi khas Islam Indonesia macam tahlilan, peringatan hari kematian, peringatan Maulid Nabi, talqin mayit dan haul dalam kurun waktu belakangan ini ramai-ramai digugat. Bid’ah jadi kosakata lazim guna melabeli laku yang sudah mendarah daging sejak ratusan tahun silam itu. Model pemahaman keislaman mereka yang menggugat –buku ini menyebut Wahabi- adalah model tekstual dan kaku. Baginya, tradisi-tradisi itu tidak ada dalilnya baik dari Alquran maupun hadis.
Tudingan di atas adalah tudingan sepihak dan alpa sejarah. Buku ini memaparkan secara gamblang ihwal sejarah manis dan damainya masuknya Islam ke Indonesia melalui pendekatan budaya. Sejatinya Islam dapat berkelindan dengan budaya Nusantara. Jalinan itu menghasilkan nilai positif dengan lahirnya budaya baru tanpa meninggalkan esensi dari budaya lama. Dengan begitu, wajah Islam di Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri. Pun, Islam nyatanya mampu bertegur sapa dan saling mengisi dengan budaya lokal.
Pola penyebaran Islam di Indonesia sudah maklum diketahui sebagai penyebaran tanpa genangan darah dan sabetan pedang. Penyebar Islam merupakan para pedagang asal Arab, Persia, dan India. Interaksi para pedagang asing itu dengan masyarakat Indonesia berkembang menjadi perbincangan keimanan. Ajaran Islam menurut Agus cepat berkembang salah satunya dikarenakan ada kesamaan pandangan terutama dalam ranah tasawuf. Namun, sejarawan memberikan tambahan sejumlah teori seperti melalui jalur pendidikan, pernikahan, kesenian, dan politik.
Kredit poin penyebar Islam tempo dulu adalah kecerdasan mereka dalam menghadapi situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Pendekatan budaya semisal wayang atau arsitektur menara masjid berbentuk candi merupakan bukti bahwa Islam tidak antipati terhadap budaya yang terlebih dahulu eksis.
Inilah win-win solution ala penyebar Islam tempo dulu dalam mengompromikan agama dengan budaya lokal. Lebih lanjut dieliminasinya istilah-istilah ritual agama berbahasa Arab yang kemudian diganti dengan bahasa Jawa seperti salat diganti sembahyang, shaum diganti upawasa, khitan diganti selam sekali lagi juga menunjukkan bahwa ajaran Islam mampu bersinergi dengan kebudayaan (bahasa) lokal.
Tanpa bermaksud mengadu domba, buku ini hanya menyajikan realitas kekinian mengenai suatu kelompok yang membuat gugatan-gugatan terhadap tradisi Islam di Indonesia yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran Islam. Prinsip kelompok ini adalah melarang semua perbuatan kecuali ada dalilnya dari Alquran maupun hadis. Sebaliknya, pelaku tradisi itu juga berlandaskan pada prinsip kebolehan untuk melakukan semua perbuatan kecuali ada dalil Alquran dan hadis yang melarangnya.
Ada dua contoh yang dipaparkan Agus Sunyoto terkait kritik dari Wahabi. Pertama, soal menggelar acara peringatan kematian 7, 40, 100, 1000 hari. Wahabi mengatakan tradisi itu sebagai warisan ajaran Hindu yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia. Agus lalu menunjuk hidung. Wahabi di sini ia arahkan kepada buku karangan Makhrus Ali yang menggugat tradisi tahlilan, istigatsah, dan ziarah para wali. Agus sebagai salah seorang peneliti sejarah Islam Nusantara tak segan-segan melibas argumen Makhrus tersebut sebagai kengawuran.
Agus berujar bahwa tradisi acara peringatan kematian itu bukanlah mengadopsi dari ajaran Hindu. Bahkan Hindu tidak mengenal tradisi itu. Justru tradisi itu adalah hasil pengadopsian dari amalan Syi’ah yang dibawa oleh penyebar Islam dari Campa ke Indonesia. Jadi, Agus ingin mengatakan bahwa Wahabi buta sejarah, asal bicara tanpa berlandaskan fakta.
Kedua, kekurangsukaan Wahabi terhadap obat medis yang dianggap tidak islami dan mempunyai efek samping karena terdiri dari zat-zat kimia. Sedangkan pengobatan herbal dan bekam diklaim sebagai pengobatan islami. Agus kembali meluruskan pandangan keliru itu. Dikatakan baik obat herbal maupun medis masing-masing memiliki kelemahan dan keunggulan. Metode pengobatan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tendensi pada agama tertentu.
*Pencinta buku, kelahiran Kudus
Komentarku ( Mahrus
ali):
Dikatakan dalam artikel itu:
Pola penyebaran Islam di Indonesia sudah maklum diketahui sebagai penyebaran tanpa genangan darah dan sabetan pedang
Komentarku ( Mahrus
ali):
Bagaimana tentang kisah peperangan pasukan
Majapahit dengan pasukan Sunan Giri atau
raja Fatah yang berperang melawan Maja pahit?
Apakah itu bukan pertumpahan darah untuk
tegaknya kebenaran dan runtuhnya kebatilan.
Di
katakan dalam artikel tsb sbb:
Tanpa bermaksud mengadu
domba, buku ini hanya menyajikan realitas kekinian mengenai suatu kelompok yang
membuat gugatan-gugatan terhadap tradisi Islam di Indonesia yang dinilai tidak
sesuai dengan ajaran Islam
Komentarku ( Mahrus
ali):
Tradisi kebid`ahan biasanya
mengandung kesyirikan , ia bukan tradisi Islam tapi tradisi kekufuran dan
kesesatan . Baca lagi tentang syiriknya manakib, Istighosah dll.
Klik lagi disini:
Di
katakan dalam artikel tsb sbb:
Ada dua contoh yang
dipaparkan Agus Sunyoto terkait kritik dari Wahabi. Pertama, soal menggelar
acara peringatan kematian 7, 40, 100, 1000 hari. Wahabi mengatakan tradisi itu
sebagai warisan ajaran Hindu yang kemudian diadopsi oleh masyarakat Indonesia.
Agus lalu menunjuk hidung. Wahabi di sini ia arahkan kepada buku karangan
Makhrus Ali yang menggugat tradisi tahlilan, istigatsah, dan ziarah para wali.
Agus sebagai salah seorang peneliti sejarah Islam Nusantara tak segan-segan
melibas argumen Makhrus tersebut sebagai kengawuran.
Agus berujar bahwa tradisi
acara peringatan kematian itu bukanlah mengadopsi dari ajaran Hindu. Bahkan
Hindu tidak mengenal tradisi itu. Justru tradisi itu adalah hasil pengadopsian dari
amalan Syi’ah yang dibawa oleh penyebar Islam dari Campa ke Indonesia. Jadi,
Agus ingin mengatakan bahwa Wahabi buta sejarah, asal bicara tanpa berlandaskan
fakta.
Komentarku ( Mahrus
ali):
………………..
6- Bagaimana dng Muktamar NU
pertama diSurabaya tgl 13 RabiulTsani 1345 H (21 Oktober 1926 M) menetapkan
dengan tegas bahwa selamatan setelah kematian adalah Bid’ah yg hina, apakah itu
suatu fitnah?
Fakta nyata bahwa sampai
detik ini belum ada seorangpun dari Habib, Gus, Kiai, Ulama yg bisa menemukan
kalau selamatan, yasinan dan tahlilan 3-7-40 hari dst Al Qur’an maupun dari
Hadits Rosulullah. Adanya dikitab suci agama Hindu yaitu WEDA Manawa Darna
Sastra,Weda Samerti hal 192-193, dan di Sama Weda Samhita Buku I hal1, Bab 10
no i hal 20, (Fakta nyata itu adalah ritualnya orang yg beragama Hindu dan
bukan dari Islam). terimakasih mohon dengan sangat akan penjelasannya.
Kurang jelas Klik lagi disini:
Di
katakan dalam artikel tsb sbb:
Kedua, kekurangsukaan Wahabi
terhadap obat medis yang dianggap tidak islami dan mempunyai efek samping
karena terdiri dari zat-zat kimia. Sedangkan pengobatan herbal dan bekam
diklaim sebagai pengobatan islami. Agus kembali meluruskan pandangan keliru
itu. Dikatakan baik obat herbal maupun medis masing-masing memiliki kelemahan
dan keunggulan. Metode pengobatan sama sekali tidak ada kaitannya dengan
tendensi pada agama tertentu.
Komentarku ( Mahrus
ali):
Ini kekeliruan yang nyata
bukan kebenaran yang samar , keterangan menyesatkan bukan membimbing kebenaran.
Banyak pil dan perobatan kimiawi yang mengandung glatin babi dan itu tidak
diperkanankan sekalipun untuk
pengobatan. Sebab masih ada obat yang halal yang ditinggalkan.
Klik lagi disini:
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan