Tasawuf
merupakan gerakan berpola pikir filsafat klasik yang mengekor kepada para
filosof dan ahli syair Romawi, India dan Persia. Namun, dalam hal ini, kita
akan membatasi kajian masalah sufi dengan berkedok Islam.
Kedok Islam
ini dikenakan sebagai upaya menutupi hakikatnya. Maka barangsiapa yang meneliti
dan mengamati gerak-geriknya, niscaya akan berkesimpulan, bahwa sufi bukan
Islam. Baik menyangkut aqidah, prilaku dan pendidikan.
MENGENAL BEBERAPA KEYAKINAN SUFI
Sesungguhnya
para penguasa sufi telah berusaha memelihara keyakinan-keyakinan tasawuf,
yakni, dengan merancukan dan menghapuskan ayat-ayat Al-Kitab Al-Karim.
Membolak-balik, serta merubah pemahaman Sunnah An-Nabawiyah yang telah suci. Akan
tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menakdirkan untuk agama ini, orang-orang
yang memperbaharui agama-Nya.
Yakni,
dengan membersihkan Islam dari bermacam aqidah dan filsafat yang mengalir dalam
benak manusia akibat pengaruh pola pikir keberhalaan. Maka, diungkaplah
borok-borok mereka, dipilah perkataan mereka serta diterangkan kebohongannya.
Metoda merekapun dibuyarkan dengan menelaah kitab-kitab induk sufi. Berikut
secara ringkas ditampilkan keyakinan-keyakinan mereka.
ILMU LADUNI
Istilah ini
dikaitkan kepada firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala tentang nabi Khidir:
"wa 'allamnaahu
min Ladunnaa 'ilmaan" Artinya :...Dan Kami ajarkan kepadanya ilmu dari
sisi Kami.". [Al-Kahfi : 65].
Yang
dimaksud dengan ayat diatas, menurut mereka, adalah disingkapnya alam ghaib
bagi mereka. Caranya, dengan kasyaf (penyingkapan), tajliyat (penampakan) serta
melakukan kontak langsung dengan Allah dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam[1]. Mereka berdalil dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala. "Artinya
: Dan bertaqwalah kepada Allah, maka Allah akan mengganjari kepada kalian
semua". [Al-Baqarah : 282].
Pemikiran
ilmu laduni dipelopori oleh Hisyam Ibnu Al-Hakam (wafat 199H), seorang penganut
Syi'ah yang mahir ilmu kalam. Ia berasal dari Kufah. [2] Orang-orang sufi,
dalam rangka merealisir ajarannya, menempuh beberapa jalan. Jalan terpenting
itu, diantaranya :
[1]
Menjauhkan diri dari menuntut ilmu syar'i. Dikatakan oleh Al-Junaid, seorang
pentolan sufi, "Yang paling aku sukai pada seorang pemula, bila tak ingin
berubah keadaannya, hendaknya jangan menyibukkan hatinya dengan tiga perkara
berikut : mencari penghidupan, menimba ilmu (hadits) dan menikah. Dan yang
lebih aku sukai lagi, pada penganut sufi, tidak membaca dan menulis. Karena hal
itu hanya akan menyita perhatiannya".[3]
Demikian
pula yang dikatakan Abu Sulaiman Ad-Darani, "Jika seseorang menimba ilmu
(hadits), bepergian untuk mencari penghidupan, atau menikah, sungguh ia telah
condong kepada dunia."[4]
[2]
Menghancurkan sanad-sanad hadits dan menshahihkan hadits-hadits dha'if (lemah),
munkar dan maudhu' (palsu) dengan cara kasyaf. Sebagaimana dikatakan Abu Yazid
Al-Busthami, "Kalian mengambil ilmu dari mayat ke mayat. Sedang kami
mengambil ilmu dari yang Maha Hidup dan tidak pernah mati.
Hal itu
seperti yang telah disampaikan para pemimpin kami : "Telah mengabarkan
pada aku hatiku dari Rabbku". Sedang kalian (maksudnya, kalangan Ahlu
Al-hadits) mengatakan : "Telah mengabarkan kepada kami Fulan".
Padahal, bila ditanya dimana dia (si Fulan tersebut) ?.
Tentu akan
dijawab : "Ia (Fulan, yakni yang meriwayatkan ilmu atau hadits tersebut)
telah meninggal". "(Kemudian) dari Fulan (lagi)". Padahal, bila
ditanyakan dimana dia (Fulan tadi)? Tentu akan dijawab : "Ia telah
meninggal".[5] Dikatakan pula oleh Ibnu Arabi, "Ulama Tulisan
mengambil peninggalan dari salaf (orang-orang terdahulu) hingga hari kiamat.
Itulah yang
menjauhkan atau menjadikan timbulnya jarak antara nasab mereka. Sedang para
wali mengambil ilmu dari Allah (secara langsung -peny). Yakni, dengan cara Ia
(Allah) mengilhamkan kedalam hati para wali"[6]. Dikatakan oleh
Asy-Sya'rani, "Berkenan dengan hadits-hadits. Walaupun cacat menurut para
ulama ilmu hadits, tapi tetap shahih menurut ulama ilmu kasyaf".[7].
[3]
Menganggap menimba ilmu (hadits) sebagai perbuatan aib dan merupakan jalan
menuju kemaksiatan serta kesalahan. Ibnu Al-Jauzi menukil, bahwa ada seorang
syaikh sufi melihat seorang murid membawa papan tulis (baca : buku), maka
dikatakannya kepada murid tersebut :"Sembunyikan auratmu".[8] Bahkan,
mereka saling mewariskan sebagian pameo-pameo yang bertendensi menjauhkan
peninggalan salaf, umpanya : Barang siapa gurunya kitab, maka salahnya lebih
banyak dari benarnya.
Sanggahan terhadap pernyataan-pernyataan sebagaimana diungkap diatas :
Pertama: Barangsiapa
berkeyakinan, bahwa dengan kemampuannya dapat berjumpa dengan Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti keadaan nabi Khidir dengan nabi Musa,
maka ia telah kafir berdasarkan ijma' para ulama kaum muslimin. Karena, nabi
Musa tidaklah diutus kepada nabi Khidir, dan tidak pula nabi Khidir diperintahkan
untuk mengikuti nabi Musa.
Padahal
Allah telah menjadikan masing-masing nabi mempunyai jalan dan minhaj yang
berbeda-beda. Dan peristiwa yang demikian itu, berulang kali terjadi sebelum
beliau diutus sebagai nabi. Seperti, sezamannya nabi Luth denga nabi Ibrahim,
nabi Yahya dengan nabi Isa.
Sesungguhnya
para nabi tersebut diutus untuk kaumnya saja, sedangkan Muhammad shalallallahu
'alaihi wa sallam di utus untuk seluruh manusia hingga hari kiamat. Telah
bersabda Shallallahu 'alaihi wa sallam. Artinya: "Adalah para nabi diutus
untuk kaumnya saja, sedangkan aku diutus untuk seluruh manusia". [Hadits
Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim].
Artinya: "Tidak
seorang pun dari umat ini yang mendengar tentangku, baik Yahudi atau Nashrani,
kemudian tidak beriman kepadaku, melainkan akan dimasukkan ke neraka"
[Hadits Shahih Riwayat Muslim I/93]
Aqidah
semacam ini merupakan asasnya Islam, berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala.
Artinya: "Tidaklah engkau Kami utus kecuali untuk seluruh manusia, sebagai
pemberi khabar gembira dan pemberi peringatan". [Saba' : 28]
Dan firman-Nya
Subhanahu wa Ta'ala. Artinya: "Katakanlah, wahai manusia, sesungguhnya aku
adalah utusan Allah kepada kalian semua". [Al-A'raf : 157]
Dan siapa
saja yang 'alim, baik jin maupun manusia, diperintahkan untuk mengikuti rasul
yang ummi ini. Maka barangsiapa yang mengaku bahwa dengan kemampuannya dapat
keluar dari minhaj dan petunjuk nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ke
minhaj lainnya, walaupun minhaj Isa, Musa, Ibrahim, maka dia sesat dan
menyesatkan. Telah bersabda Shalallahu 'alaihi wa sallam. Artinya: "Seandainya
Musa hidup, lalu kalian semua mengikutinya dan meninggalkan aku, maka sungguh
sesatlah kalian. Aku adalah bagian kalian, dan kalian adalah bagian dari
umat-umat yang ada". [Riwayat Baihaqi dalam Syu'abu al-Iman, dan lihat
pula dalam Irwa'al-Ghalil karangan Al-Bani hal. 1588]
Adapun
keyakinan orang-orang sufi bahwa nabi Khidir masih tetap hidup, selalu
berhubungan dengan mereka, mengajarkan kepada mereka ilmu yang diajarkan Allah
kepadanya, seperti nama-nama Allah yang Agung, hal ini merupakan dusta dan
mengada-ada. Karena menyelesihi Al-Qur'an secara nyata: Artinya: "Dan
tidaklah kami jadikan seorang manusiapun sebelummu abadi". [Al-Anbiya' :
34] Artinya: "Tidak ada satu jiwapun yang bernafas pada hari ini yang
datang dari zaman seratus tahun sebelumnya, sedangkan dia saat sekarang ini
masih hidup". [Hadits Riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Jabir]
Hadits-hadits
yang menerangkan masih hidupnya nabi Khidir semuanya maudhu' (palsu) menurut
kesepakatan seluruh ulama hadits.[9]
Kedua: Adapun
hujjah mereka dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala. Artinya: "Dan
bertaqwalah kepada Allah dan Allah akan mengajarimu (ilmu)". [Al-Baqarah :
282]
Hal itu
bukanlah hujjah, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah
menerangkan pemahaman ayat ini dan telah menentukan cara mencari ilmu yang
disyari'atkan dan diwajibkan atas setiap muslim. Seperti sabdanya Shallallahu
'alaihi wa sallam. Artinya: "Sesungguhnya ilmu itu (diperoleh) dengan cara
belajar". [Hadits Riwayat Daruquthni dalam Al-Ifrad wa al-Khatib dalam
tarikhnya dari Abu Hurairah dan Abu Darda'. Lihat Silsilah Ash-Shahihah 342]
Kata innama
(sesungguhnya) disini adalah untuk membatasi.
Ketiga: Perihal
pendapat mereka yang menyatakan, bahwa mencari ilmu dengan cara belajar adalah
jalan yang memayahkan, terlalu bertele-tele, dianggap condong kepada dunia
serta menyita perhatian dan kesungguhan (walaupun telah tinggi dalam menuntut
ilmu tadi), tetap dianggap tidak sempurna. Kecuali, bila ditempuh dengan cara
kasyaf dan ilham.
Berkenan
dengan ilmu itu sendiri, termasuk tentunya dalam pengamalannya. Bahkan sebatas
mencari ilmu semata. Berkata Ibnu Al-Jauzi, "Iblis menginginkan untuk
menutup jalan tersebut dengan cara yang paling samar. Memang jelas bahwa yang
dimaksud adalah mengamalkannya bukan sebatas mencari ilmu saja. Namun, dalam
hal ini para penipu itu telah menyembunyikan masalah pengamalannya. [10] Dan
tidaklah kasyaf yang mereka dakwakan itu, kecuali hanya khayalan setan belaka.
Artinya: "Maukah
Aku khabarkan kepada kalian tentang kepada siapa setan turun ? (Setan) turun
kepada setiap pendusta dan suka berbuat dosa. Mereka menghadapkan
pendengarannya itu (kepada setan), dan kebanyakan mereka adalah orang-orang
pendusta". [Asy-Syu'ara : 221-223]
Artinya: "Tidaklah
kamu melihat bahwasanya Kami telah mengirim setan-setan itu kepada orang-orang
kafir untuk menghusung mereka agar berbuat maksiat dengan sungguh-sungguh ?
Maka janganlah kamu tergesa-gesa memintakan siksaan bagi mereka, karena
sesungguhnya Kami hanya menghitung (hari siksaan) itu untuk mereka dengan
perhitungan yang teliti. Ingat ketika hari Kami mengumpulkan orang-orang yang
bertaqwa kepada Rabb yang Maha Pemurah sebagai perutusan yang terhormat. Dan
kami akan menghalau orang-orang yang durhaka ke neraka Jahannam dalam keadaan
dahaga". [Maryam : 83-86]
Adapun
pengakuan mereka, seperti pensyarah Al-Ushul katakan, bahwa kasyaf merupakan
bagian dari iman yang benar. Dan maksud kasyaf adalah disingkapkannya sebagian
yang tersembunyi, dan tidak tampak, mengetahui gerak-gerik jiwa dan niat serta
kelemahan sebagian manusia. Kasyaf semacam inilah yang disebutkan dalam hadits
syarif sebagai firasat seorang yang beriman. [11] Jadi bila ada perkataan
mereka semacam ini : "Telah mengabarkan kepadaku hatiku dari Rabb-ku"
tidak lain adalah perkataan khurafat.
Keempat: Sebagian
mereka mengakku dapat melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam
tidurnya, lalu mengajarkan kepadanya beberapa perkara dan memintanya untuk
berbuat begini dan begitu. Seperti, kata Ibnu Arabi, "Sesungguhnya aku
telah melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam mimpi. Aku
melihatnya saat sepuluh akhir di bulan Muharram 627H, di Mahrusah, Damsyiq. Saat
itu di tangan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam membawa kitab.
Maka
sabdanya kepadaku, 'Kitab ini adalah kitab Fushush Al-Hikam'. Ajarkan dan
sebarkan kepada manusia agar bisa memetik manfa'at darinya. Kemudian aku
katakan, Aku dengar dan taat kepada Allah, Rasul-Nya serta ulil amri diantara
kita sebagaimana yang engkau perintahkan. Maka, aku pun berusaha merealisasikan
cita-cita dan aku murnikan niatku serta kubulatkan tekad untuk mengajarkan
kitab ini sebagaimana diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. tanpa
mengurangi dan menambahinya".
Bantahan Terhadap Pendapat Diatas Adalah Sebagai Berikut:
[1] Para
Rasul tidak memerintahkan kemaksiatan apalagi kekufuran, seperti yang memenuhi
kitab Fushush Al-Hikam. Seperti, mengkafirkan nabi Allah, Nuh (hal. 70-72),
meyakini bahwa Fir'aun itu telah beriman (hal. 21), membenarkan pendirian
Samiri dan perbuatannya dalam membuat patung (yang menimbulkan fitnah di
kalangan bani Israil) hingga mengibadahinya (hal. 188).
[2]
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menyuruh menyelisihi syari'at.
Sesungguhnya, ada yang mengatakan bahwa setan menampakkan diri dalam bentuk
nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di hadapan Ibnu Arabi. Padahal mustahil hal
itu bisa terjadi. Dia (Ibnu Arabi) telah tertipu dan terperdaya.
Walau ia
mengatakan yang demikian itu dengan niat baik dan prasangka bersih. Tetapi yang
demikian itu mustahil, karena setan tidak akan mampu menyerupai nabi. Maka,
bagaimana hal itu bisa terjadi padahal Nabi yang ma'shum Shallallahu 'alaihi wa
sallam telah bersabda: Artinya : Barangsiapa yang melihatku (dalam mimpinya)
maka sesungguhnya akulah dia. Karena "sesungguhnya setan tidak bisa
menyerupaiku". [Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi dari Abu Hurairah,
mempunyai penguat yang sangat banyak, sebagiannya Shahih diriwayatkan Bukhari
dan Muslim. Lihat Shahih Al-Jami' dan ziyadahnya V/293]
Komentarku
( Mahrus ali):
Benar sekali
apa yang terkandung dalam artikel tsb. Artikel ini kiriman dari Berian al Huda
, semoga bermanfaat.
Pergilah ke blog kedua http://www.mantankyainu2.blogspot.com/
Dan kliklah 4 shared
mp3 jangan di panahnya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan