Cirebon, NU
Online
KH Abdurrahman Wahid selalu menghadirkan kenangan di benak banyak orang. Dari kalangan rakyat hingga pejabat. Tak lain, karena tangguhnya ia bersilaturahim dengan siapa pun, tanpa batas etnis, golongan politik, keyakinan ataupun kelas ekonomi.
KH Abdurrahman Wahid selalu menghadirkan kenangan di benak banyak orang. Dari kalangan rakyat hingga pejabat. Tak lain, karena tangguhnya ia bersilaturahim dengan siapa pun, tanpa batas etnis, golongan politik, keyakinan ataupun kelas ekonomi.
Salah
seorang yang selalu mengingat kiai yang biasa disapa Gus Dur tersebut adalah
Prof. John Mumu. Seorang pensiunan dosen Universitas Sam Ratulangi, yang juga
Wakil Rais Syuriyah NU Sulawesi Utara.
“Saya cukup lama bergaul dengan Gus Dur. Ada 20 tahunan lebih,” ungkapnya ketika ditemui NU Online, beberapa waktu lalu.
Ia mengaku kenal Ketua Umum PBNU 1984-1999 dan Presiden RI ke-4 sejak tahun 1980-an. “Ada pertemuan di Taman Mini waktu itu. Ketemu Gus Dur. Setelah acara itu, langsung dialog. Langsung akrab begitu. Kami kontak batin. Kemudian tidur-tidur dengan dia di kantor PBNU,” ungkapnya.
John Mumu, pria kelahiran Sulawesi tersebut, kemudian sering diajak jalan-jalan Gus Dur, seperti ziarah Wali Songo. Melalui Gus Dur pula ia mengenal istilah “lesehan”.
“Mulanya saya tidak tahu. Ketika di suatu warung makan, duduk bersama, Gus Dur menjelaskan lesehan,” kenangnya.
Ketika cucu Hadrotusy Syekh tersebut menjadi presiden, persahabatan tidak putus. “Malah saya sampai tidur-tidur di istana, ikut keliling-keliling juga.”
Yang paling berkesan, sambung John Mumu, ketika ia diminta bertemu Gus Dur saat akan melawat ke Korea Selatan. “Ia mau ke Korea. Saya diminta ketemu dulu. Saya terlambat. Lari-lari. Sudah di dalam mobil, sudah mau jalan. Tapi ketika dia dikasih tahu ada saya oleh Paspampres, dia turun dari dalam mobil.
Gus Dur kemudian menjelaskan bahwa ia akan memenuhi undangan pemerintah Korea. Dan minta didoakan oleh John Mumu.
“Saya bilang, bukan main penghargaannya kepada saya. Luar biasa! Ini presiden,” ungkap John Mumu geleng-geleng kepala.
Ia juga berkisah pernah tidur bareng Gus Dur. “Saya pernah satu bantal dua kepala. Kalau dia pegal, saya urut, sampai dia mendengkur.”
Dalam kesempatan lain, ia juga pernah menemani Gus Dur ke Surabaya. “Kami jalan-jalan hingga beberapa hari. Jenggot dan kumisnya Gus Dur kan sudah panjang. Tidak cukur-cukur. Dia kasih alat cukurnya itu. Kemudian ya saya cukur,” ungkapnya sambil tersenyum.
Gus Dur juga lupa obat tetes matanya tidak dibawa. “Saya punya, saya bawa. Saya tetesin ke matanya.”
“Saya cukup lama bergaul dengan Gus Dur. Ada 20 tahunan lebih,” ungkapnya ketika ditemui NU Online, beberapa waktu lalu.
Ia mengaku kenal Ketua Umum PBNU 1984-1999 dan Presiden RI ke-4 sejak tahun 1980-an. “Ada pertemuan di Taman Mini waktu itu. Ketemu Gus Dur. Setelah acara itu, langsung dialog. Langsung akrab begitu. Kami kontak batin. Kemudian tidur-tidur dengan dia di kantor PBNU,” ungkapnya.
John Mumu, pria kelahiran Sulawesi tersebut, kemudian sering diajak jalan-jalan Gus Dur, seperti ziarah Wali Songo. Melalui Gus Dur pula ia mengenal istilah “lesehan”.
“Mulanya saya tidak tahu. Ketika di suatu warung makan, duduk bersama, Gus Dur menjelaskan lesehan,” kenangnya.
Ketika cucu Hadrotusy Syekh tersebut menjadi presiden, persahabatan tidak putus. “Malah saya sampai tidur-tidur di istana, ikut keliling-keliling juga.”
Yang paling berkesan, sambung John Mumu, ketika ia diminta bertemu Gus Dur saat akan melawat ke Korea Selatan. “Ia mau ke Korea. Saya diminta ketemu dulu. Saya terlambat. Lari-lari. Sudah di dalam mobil, sudah mau jalan. Tapi ketika dia dikasih tahu ada saya oleh Paspampres, dia turun dari dalam mobil.
Gus Dur kemudian menjelaskan bahwa ia akan memenuhi undangan pemerintah Korea. Dan minta didoakan oleh John Mumu.
“Saya bilang, bukan main penghargaannya kepada saya. Luar biasa! Ini presiden,” ungkap John Mumu geleng-geleng kepala.
Ia juga berkisah pernah tidur bareng Gus Dur. “Saya pernah satu bantal dua kepala. Kalau dia pegal, saya urut, sampai dia mendengkur.”
Dalam kesempatan lain, ia juga pernah menemani Gus Dur ke Surabaya. “Kami jalan-jalan hingga beberapa hari. Jenggot dan kumisnya Gus Dur kan sudah panjang. Tidak cukur-cukur. Dia kasih alat cukurnya itu. Kemudian ya saya cukur,” ungkapnya sambil tersenyum.
Gus Dur juga lupa obat tetes matanya tidak dibawa. “Saya punya, saya bawa. Saya tetesin ke matanya.”
Penulis:
Abdullah Alawi
Komentarku ( Mahrus
ali):
Dikatakan dalam artikel tsb sbb:
KH
Abdurrahman Wahid selalu menghadirkan kenangan di benak banyak orang. Dari
kalangan rakyat hingga pejabat. Tak lain, karena tangguhnya ia bersilaturahim
dengan siapa pun, tanpa batas etnis, golongan politik, keyakinan ataupun kelas
ekonomi.
Komentarku ( Mahrus
ali):
Silatur rahmi itu bukan
kepada musuh Allah, tapi sesama muslim
bukan dengan kaum musrik, kristen, Budha atau lainnya. Kita tidak diperkenankan
simpati kepada kaum yang dhalim, lihat ayat sbb:
لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
[المجادلة : 22]
22. Kamu
tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling
berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya…(QS
Al-Mujadilah/58: 22).
تفسير البغوي – طيبة – (8 / 62)
أَخْبَرَ أَنَّ إِيمَانَ الْمُؤْمِنِينَ
يَفْسُدُ بِمُوَادَّةِ الْكَافِرِينَ وَأَنَّ مَنْ كَانَ مُؤْمِنًا لَا يُوَالِي
مَنْ كَفَرَ، وَإِنْ كَانَ مِنْ عَشِيرَتِهِ.
Allah mengabarkan bahwa iman
mukminin merusak kecintaan kepada kafirin dan bahwa orang yang mukmin tidak
berteman setia kepada orang kafir walaupun dia dari keluarganya. (Tafsir
Al-Baghawi –as-Syafi’i).
Klik lagi disini:
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan