Idrus Ramli anggota LBMNU Jember menulis
Dalam kitab al-Ruh karya Ibnu Qayyim
al-Jauziyyah (ulama rujukan wahabi) terdapat beberapa kisah yang
mengindikasikan bahwa orang yang sudah meninggal dapat memberikan manfaat
terhadap orang yang masih hidup. Tentunya hal ini sangat berseberangan dengan
keyakinan kaum Wahabi pada umumnya, termasuk juga Mahrus Ali. Dan ketika
argumen-argumen ini disodorkan kepada Mahrus Ali sering ditanggapi dengan
kurang obyektif.
Seringkali Mahrus Ali dengan berani menyalahkan hasil ijtihad guru-guru besar di kalangan Wahabi, seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab tentang apa yang mereka sampaikan bertentangan dengan keyakinan umum ummat Wahabi. Bahkan yang lebih parah lagi Mahrus Ali mengangggap bahwa al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim!.
Dalam buku Sesat Tanpa Sadar (hal. 95), Mahrus Ali berkata :
“Tim LBM NU Jember dalam MKB (hal. 16-17) menyitir pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah ulama besar yang biasanya tidak punya harga di kalangan mereka, sebagai berikut:
Nabi SAW telah menetapkan kepada umatnya, apabila mereka mengucapkan salam kepada ahli kubur agar mengucapkannya seperti layaknya salam yang diucapkan kepada orang yang masih hidup yang ada di hadapannya, dan ini berarti berbicara kepada orang yang mendengar dan berakal, andaikan tidak demikian, niscaya khitab ini sama dengan berbicara kepada sesuatu yang tidak ada atau tidak berjiwa. Ulama salaf sepakat tentang hal ini, dalil-dalil atsar seluruhnya mutawatir dari mereka bahwa mayyit mengetahui ziarahnya orang yang hidup, dan merasa senang dengannya. (al-Ruh, hal. 24)
Setelah menyebutkan pernyataan di atas Mahrus Ali berkomentar dalam bukunya:
”Sebagaimana disampaikan oleh Ulama Tahqiq, sangat meragukanjikalau kitab tersebut disandarkan kepada Ibnu Qayyim, bisa saja beliau mengarangnya tetapi pada waktu dalam permulaan mencari ilmu.” (Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali, hal. 95)
Sebenarnya dengan perkataan itu Mahrus Ali harus mengajukan bukti bahwa kitab tesebut memang bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Alangkah bagusnya andaikata Mahrus Ali mau membaca literatur Ibnu Qayyim yang seperti ini dengan pandangan ingin mengetahui kebenaran.
Untuk menjawab komentar Mahrus di atas, kami akan mengutip pernyataan al-Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid, salah satu ulama senior wahabi, beliau berkata dalam kitab Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Hayatuhu, Atsaruhu Wa Mawariduhu tentang keabsahan nisbah kitab al-Ruh terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Sudah populer di kalangan para penuntut ilmu bahwasannya kitab al-Ruh dikatakan bukan sebagai karya Ibnu Qayyim, seandainya memang itu adalah tulisan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, berarti beliau telah menulisnya sebelum menjadi murid Ibnu Taimiyah. Pernyataan inilah yang sering dibicarakan para ulama di majelis-majelis ilmu, akan tetapi saya tidak pernah mendapatkannya terbukukan dalam satu kitab, barangkali memang ada, akan tetapi belum terbaca oleh kami.” Permasalah yang timbul ini menggerakkan saya untuk mengkaji kembali serta membaca sekali lagi al-Ruh dari pertama sampai akhir, yang menghasilkan dua kesimpulan sebagai berikut:
Kitab al-Ruh murni karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal ini didasarkan pada beberapa alasan: Pertama, kitab ini banyak dikutip oleh beberapa ulama terkemuka dalam kitab-kitab mereka, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani. Kedua, Ibnu Qayyim mengisyaratkan akan adanya kitab ini dalam kitabnva yang lain yaitu Jala’ al-Afhamdi bab keenam, tatkala beliau menerangkan satu hadits, beliau berkata: ” Aku tulis hadits ini secara komprehensif dalam kitabku al-Ruh”. Ketiga, kitab ini mendapat apresiasi tinggi dari al-Imam Burhanuddin al-Biqa’i salah seorang murid al-Hafizh Ibnu Hajar, dengan menulis intisari kitab tersebut, dan beliau beri nama Sirr al-Ruh. Keempat, dalam kitab al-Ruh Ibnu Qayyim menyebut kitab yang lebih besar, yaitu Ma’rifah al-Ruh Wa al-Nafs, kitab ini juga beliau sebutkan dalam Jala’ al-Afham. Kelima, kalau kita betul-betul pengalaman membaca karya-karya Ibnu Qayyim serta memahami seluk-beluk bahasa yang digunakan, kita akan tahu bahwa al-Ruh merupakan tulisan Ibnu Qayyim.
Kitab al-Ruh ditulis setelah beliau berguru dengan Ibnu Taimiyah, hal ini meninjau dua alasan: Pertama, kutipan beliau akan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut, malah kitab tersebut beliau tulis setelah gurunya tersebut meninggal. Kedua, dalam urusan Aqidah beliau mengikuti konsep aqidah Ibnu Taimiyah, yaitu pembagian tauhid menjadi tiga, uluhiyyah, rububiyyah, dan asma’ wa al-sifat.
Kesimpulan dari pernyataan Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid sangat jelas, bahwa kitab al-Ruh adalah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, serta ditulis setelah berguru kepada Ibnu Taimiyah. Bahkan kitab tersebut ia tulis setelah gurunya meninggal. Yang menjadii pertanyaan, apa yang melandasi pendapat Mahrus Ali bahwa kitab al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah? Apakah hanya dikarenakan kitab tersebut banyak menyebutkan hal-hal yang berseberangan dengan faham wahabi?
Wallahu a’lam.
(Oleh: Ust. M. Idrus Ramli dalam buku “Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar?”)
Seringkali Mahrus Ali dengan berani menyalahkan hasil ijtihad guru-guru besar di kalangan Wahabi, seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab tentang apa yang mereka sampaikan bertentangan dengan keyakinan umum ummat Wahabi. Bahkan yang lebih parah lagi Mahrus Ali mengangggap bahwa al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim!.
Dalam buku Sesat Tanpa Sadar (hal. 95), Mahrus Ali berkata :
“Tim LBM NU Jember dalam MKB (hal. 16-17) menyitir pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah ulama besar yang biasanya tidak punya harga di kalangan mereka, sebagai berikut:
Nabi SAW telah menetapkan kepada umatnya, apabila mereka mengucapkan salam kepada ahli kubur agar mengucapkannya seperti layaknya salam yang diucapkan kepada orang yang masih hidup yang ada di hadapannya, dan ini berarti berbicara kepada orang yang mendengar dan berakal, andaikan tidak demikian, niscaya khitab ini sama dengan berbicara kepada sesuatu yang tidak ada atau tidak berjiwa. Ulama salaf sepakat tentang hal ini, dalil-dalil atsar seluruhnya mutawatir dari mereka bahwa mayyit mengetahui ziarahnya orang yang hidup, dan merasa senang dengannya. (al-Ruh, hal. 24)
Setelah menyebutkan pernyataan di atas Mahrus Ali berkomentar dalam bukunya:
”Sebagaimana disampaikan oleh Ulama Tahqiq, sangat meragukanjikalau kitab tersebut disandarkan kepada Ibnu Qayyim, bisa saja beliau mengarangnya tetapi pada waktu dalam permulaan mencari ilmu.” (Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali, hal. 95)
Sebenarnya dengan perkataan itu Mahrus Ali harus mengajukan bukti bahwa kitab tesebut memang bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Alangkah bagusnya andaikata Mahrus Ali mau membaca literatur Ibnu Qayyim yang seperti ini dengan pandangan ingin mengetahui kebenaran.
Untuk menjawab komentar Mahrus di atas, kami akan mengutip pernyataan al-Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid, salah satu ulama senior wahabi, beliau berkata dalam kitab Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Hayatuhu, Atsaruhu Wa Mawariduhu tentang keabsahan nisbah kitab al-Ruh terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Sudah populer di kalangan para penuntut ilmu bahwasannya kitab al-Ruh dikatakan bukan sebagai karya Ibnu Qayyim, seandainya memang itu adalah tulisan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, berarti beliau telah menulisnya sebelum menjadi murid Ibnu Taimiyah. Pernyataan inilah yang sering dibicarakan para ulama di majelis-majelis ilmu, akan tetapi saya tidak pernah mendapatkannya terbukukan dalam satu kitab, barangkali memang ada, akan tetapi belum terbaca oleh kami.” Permasalah yang timbul ini menggerakkan saya untuk mengkaji kembali serta membaca sekali lagi al-Ruh dari pertama sampai akhir, yang menghasilkan dua kesimpulan sebagai berikut:
Kitab al-Ruh murni karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal ini didasarkan pada beberapa alasan: Pertama, kitab ini banyak dikutip oleh beberapa ulama terkemuka dalam kitab-kitab mereka, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani. Kedua, Ibnu Qayyim mengisyaratkan akan adanya kitab ini dalam kitabnva yang lain yaitu Jala’ al-Afhamdi bab keenam, tatkala beliau menerangkan satu hadits, beliau berkata: ” Aku tulis hadits ini secara komprehensif dalam kitabku al-Ruh”. Ketiga, kitab ini mendapat apresiasi tinggi dari al-Imam Burhanuddin al-Biqa’i salah seorang murid al-Hafizh Ibnu Hajar, dengan menulis intisari kitab tersebut, dan beliau beri nama Sirr al-Ruh. Keempat, dalam kitab al-Ruh Ibnu Qayyim menyebut kitab yang lebih besar, yaitu Ma’rifah al-Ruh Wa al-Nafs, kitab ini juga beliau sebutkan dalam Jala’ al-Afham. Kelima, kalau kita betul-betul pengalaman membaca karya-karya Ibnu Qayyim serta memahami seluk-beluk bahasa yang digunakan, kita akan tahu bahwa al-Ruh merupakan tulisan Ibnu Qayyim.
Kitab al-Ruh ditulis setelah beliau berguru dengan Ibnu Taimiyah, hal ini meninjau dua alasan: Pertama, kutipan beliau akan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut, malah kitab tersebut beliau tulis setelah gurunya tersebut meninggal. Kedua, dalam urusan Aqidah beliau mengikuti konsep aqidah Ibnu Taimiyah, yaitu pembagian tauhid menjadi tiga, uluhiyyah, rububiyyah, dan asma’ wa al-sifat.
Kesimpulan dari pernyataan Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid sangat jelas, bahwa kitab al-Ruh adalah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, serta ditulis setelah berguru kepada Ibnu Taimiyah. Bahkan kitab tersebut ia tulis setelah gurunya meninggal. Yang menjadii pertanyaan, apa yang melandasi pendapat Mahrus Ali bahwa kitab al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah? Apakah hanya dikarenakan kitab tersebut banyak menyebutkan hal-hal yang berseberangan dengan faham wahabi?
Wallahu a’lam.
(Oleh: Ust. M. Idrus Ramli dalam buku “Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar?”)
Komentarku ( Mahrus ali):
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
Seringkali Mahrus Ali dengan berani
menyalahkan hasil ijtihad guru-guru besar di kalangan Wahabi, seperti Ibnu
Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab tentang apa
yang mereka sampaikan bertentangan dengan keyakinan umum ummat Wahabi. Bahkan
yang lebih parah lagi Mahrus Ali mengangggap bahwa al-Ruh bukan karya Ibnu
Qayyim!.
Komentarku ( Mahrus ali):
Saya ini tidak suka dengan ijtihad,
senang dengan dalil. Sebab ijtihad itu sama dengan berpendapat dalam agama.
Saya ingin dalil bukan pendapat. Bila guru ahli bid`ah membawakan dalil saya
terima dengan senang hati dan saya ucapkan jazakallohu khaira, karena saya
mendapat ilmu baru bukan ilmu lama, bukan mendapat ilmu akal – akalan atau ilmu kebid`ahan dan hurofat. Bila guru – guru
saya di Saudi arabia tidak membawa dalil, lalu akal – akalan , atau
membawa dalil tapi di tafsiri sesuai dengan ajaran golongannya, sekalipun
menurut pengamatan saya, hal ini jarang
mereka lakukan di bandingkan dengan kalangan tokoh ahli bid`ah, maka saya tolak , dan tidak saya terima selamanya.
Saya bukan figuritas, fanatik golongan, nasionalis, sektarian, saya ingin Islam
yang kaffah, landasannya dalil bukan opo jarene guru.atau apa kata lingkungan,
teman atau atasan. Saya berpegangan kepada ayat:
هَاتُوا بُرْهَانَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
صَادِقِينَ
Katakanlah: "Unjukkanlah bukti
kebenaranmu, jika kamu memang orang-orang yang benar".[1]
Bila tiada dalil, maka sudah tentu
dusta kepada agama, dusta kepada Allah dan RasulNya. Ini berat sekali. Lihat
ayatnya:
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ افْتَرَى عَلَى اللهِ
الْكَذِبَ وَهُوَ يُدْعَى إِلَى الْإِسْلاَمِ وَاللهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
Dan siapakah yang lebih zalim
daripada orang yang mengada-adakan dusta terhadap Allah sedang dia diajak
kepada agama Islam? Dan Allah tiada memberi petunjuk kepada orang-orang yang
zalim.[2]
Allah juga berfirman:
أَمْ لَكُمْ سُلْطَانٌ مُبِينٌ(156)فَأْتُوا
بِكِتَابِكُمْ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ
Atau apakah kamu mempunyai bukti
yang nyata? Maka bawalah kitabmu jika kamu memang orang-orang yang benar.[3]
Di katakan dalam artikel tsb sbb:
Sebenarnya dengan perkataan itu Mahrus Ali harus mengajukan bukti bahwa kitab tesebut memang bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Alangkah bagusnya andaikata Mahrus Ali mau membaca literatur Ibnu Qayyim yang seperti ini dengan pandangan ingin mengetahui kebenaran.
Saya jawab:
Mana manuskripnya? Sampai sekarang tidak ada, di saat
buku – buku milik Ibn Qayyim al jauziyah
yang lain ada manuskripnya. Ini sinyal kurang baik. Boleh jadi orang syi`ah
yang menulis lalu di atas namakan Ibn Qayyim, atau ahli bid`ah yang suka dusta
menulis lalu di atas namakan Ibn Qayyim sebagaimana kitab al aufaq , konon
bukan Imam Ghozali yang mengarangnya. Dan sering kali, orang Syi`ah melakukan
seperti itu sebagaimana kasus kitab Murojaat dll.
Tulisan
tangan Ibn Qayyim al Jauziyah sebagai manuskrip itu penting bukan tulisan mesin
cetak yang bisa di manipulasi.Lihat jawaban
al bani sbb:
Benarkah Kitab Ar-Ruh Karya Ibnul Qayyim (?)
ذكرت في تحقيقك لكتاب اﻻيات البينات للعلامة
اﻻلوسي
ان كتاب الروح مشكوك في نسبته الى ابن قيم الجوزية ما صحت ذلك؟
Engkau pernah
menyebutkan dalam tahqiq (penelitian) atas kitab “al-ayat al-bayyinat” karya
Al-’Allamah Al-Aluusi bahwa engkau meragukan kitab “ar-ruh” itu ditulis oleh
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, benarkah hal tersebut?
Jawab: Benar saya
meragukan kalau buku itu ditulis oleh Ibnul Qayyim, karena dalam kitab tersebut
dibawakan kisah-kisah dan riwayat-riwayat yang munkar. Sampai saat ini saya
belum mendapati manuskripnya untuk dijadikan rujukan utama dalam meneliti
apakah kitab tersebut ditulis oleh Ibnul Qayyim.
Syaikh Muhammad Naashiruddin Al-Albani
rahimahullahFatawa Al-Madinah 15
[1] Namel 64
[2] As shof 7
[3]
As shoffat 156-157
Artikel Terkait
Apa manfaat bagi kalian bantah2an dalam agama???
BalasHapusIni polemik untuk cari kebenaran dari pada diam saja dalam kesalahan dan kesalahan itu menyesatkan orang banyak. Marilah kita diskusikan
HapusKalau mau berpolemik lebih baik temuin lansung ustad Idrus Ramli nya, dan lagi nama account mantan kyai NU di blog bukan nama asli.. kenapa harus menutupi identitas asli?
BalasHapusUntuk muhammad syahreza
HapusTelp saja saya, nomer telpon saya banyak tercantum di bawah artikel blog ini, atau bantah saja artikel saya ini, nanti akan saya balas. Boleh juga pergilah ke rumah saya dan kita bahas dengan baik