Pembahasan:
1. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu
meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).
2.Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra, adalah tingkat
pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar
3.Tuhfat al-Mursalat ila ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif
pendek tentang wahdat al-wujud
4.Sedang kaum Syattar memperolehnya dengan bimbingan langsung dari
arwah para wali.
5. Menurut para tokohnya, dzikir kaum Syattar inilah jalan yang
tercepat untuk sampai kepada Allah SWT.
6. Bantahannya /
Poin pembahasan dan keritikan:
1.
Tarekat ini dari golongan syi`ah
2.
Mengajarkan manunggaling gusti
3.
Bimbingan langsung dari arwah wali
4.
Kebid`ahan tehnis dzikirnya.
Dalam sufinews.com. terdapat
keterangan sbb:
Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad
ke 15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa
mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar.
Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah)
dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut
Bistamiyah.
Kedua nama ini diturunkan dari nama Abu Yazid al-Isyqi, yang dianggap
sebagai tokoh utamanya. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya Tarekat
Syattariyah tidak menganggap dirinya sebagai cabang dari persatuan sufi mana
pun. Tarekat ini dianggap sebagai suatu tarekat tersendiri yang memiliki
karakteristik-karakteristik tersendiri dalam keyakinan dan praktik.
Hanya sedikit yang dapat diketahui mengenai Abdullah asy-Syattar. Ia
adalah keturunan Syihabuddin Suhrawardi. Kemungkinan besar ia dilahirkan di
salah satu tempaat di sekitar Bukhara.
Di sini pula ia ditahbiskan secara resmi menjadi anggota Tarekat Isyqiyah oleh
gurunya, Muhammad Arif.
Nisbah asy-Syattar yang berasal dari kata syatara, artinya membelah
dua, dan nampaknya yang dibelah dalam hal ini adalah kalimah tauhid yang
dihayati di dalam dzikir nafi itsbat, la ilaha (nafi) dan illallah (itsbah),
juga nampaknya merupakan pengukuhan dari gurunya atas derajat spiritual yang
dicapainya yang kemudian membuatnya berhak mendapat pelimpahan hak dan wewenang
sebagai Washitah (Mursyid). Istilah Syattar sendiri, menurut Najmuddin Kubra,
adalah tingkat pencapaian spiritual tertinggi setelah Akhyar dan Abrar. Ketiga
istilah ini, dalam hierarki yang sama, kemudian juga dipakai di dalam Tarekat
Syattariyah ini. Syattar dalam tarekat ini adalah para sufi yang telah mampu
meniadakan zat, sifat, dan af'al diri (wujud jiwa raga).
Namun karena popularitas Tarekat Isyqiyah ini tidak berkembang di tanah
kelahirannya, dan bahkan malah semakin memudar akibat perkembangan Tarekat
Naksyabandiyah, Abdullah asy-Syattar dikirim ke India oleh gurunya tersebut. Semula
ia tinggal di Jawnpur, kemudian pindah ke Mondu, sebuah kota
muslim di daerah Malwa (Multan).
Di India inilah, ia memperoleh popularitas dan berhasil mengembangkan
tarekatnya tersebut.
Tidak diketahui apakah perubahan nama dari Tarekat Isyqiyah yang
dianutnya semula ke Tarekat Syattariyah atas inisiatifnya sendiri yang ingin
mendirikan tarekat baru sejak awal kedatangannya di India ataukah atas inisiatif
murid-muridnya. Ia tinggal di India
sampai akhir hayatnya (1428).
Sepeninggal Abdullah asy-Syattar, Tarekat Syattariyah disebarluaskan
oleh murid-muridnya, terutama Muhammad A'la, sang Bengali, yang dikenal sebagai
Qazan Syattari. Dan muridnya yang paling berperan dalam mengembangkan dan
menjadikan Tarekat Syattariyah sebagai tarekat yang berdiri sendiri adalah
Muhammad Ghaus dari Gwalior
(w.1562), keturunan keempat dari sang pendiri. Muhammad Ghaus mendirikan
Ghaustiyyah, cabang Syattariyah, yang mempergunakan praktik-praktik yoga. Salah
seorang penerusnya Syah Wajihuddin (w.1609), wali besar yang sangat dihormati
di Gujarat, adalah seorang penulis buku yang
produktif dan pendiri madrasah yang berusia lama. Sampai akhir abad ke-16,
tarekat ini telah memiliki pengaruh yang luas di India. Dari wilayah ini Tarekat
Syatttariyah terus menyebar ke Mekkah, Madinah, dan bahkan sampai ke Indonesia.
Tradisi tarekat yang bernafas India ini dibawa ke Tanah Suci oleh
seorang tokoh sufi terkemuka, Sibghatullah bin Ruhullah (1606), salah seorang
murid Wajihuddin, dan mendirikan zawiyah di Madinah. Syekh ini tidak saja
mengajarkan Tarekat Syattariah, tetapi juga sejumlah tarekat lainnya, sebutlah
misalnya Tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian Tarekat ini disebarluaskan dan
dipopulerkan ke dunia berbahasa Arab lainnya oleh murid utamanya, Ahmad
Syimnawi (w.1619). Begitu juga oleh salah seorang khalifahnya, yang kemudian
tampil memegang pucuk pimpinan tarekat tersebut, seorang guru asal Palestina,
Ahmad al-Qusyasyi (w.1661).
Setelah Ahmad al-Qusyasyi meninggal, Ibrahim al Kurani (w. 1689), asal
Turki, tampil menggantikannya sebagai pimpinan tertinggi dan penganjur Tarekat
Syattariyah yang cukup terkenal di wilayah Madinah.
Dua orang yang disebut terakhir di atas, Ahmad al-Qusyasyi dan Ibrahim
al-Kurani, adalah guru dari Abdul Rauf Singkel yang kemudian berhasil
mengembangkan Tarekat Syattariyah di Indonesia. Namun sebelum Abdul Rauf. Telah
ada seorang tokoh sufi yang dinyatakan bertanggung jawab terhadap ajaran
Syattariyah yang berkembang di Nusantara lewat bukunya Tuhfat al-Mursalat ila
ar Ruh an-Nabi, sebuah karya yang relatif pendek tentang wahdat al-wujud. Ia
adalah Muhammad bin Fadlullah al-Bunhanpuri (w. 1620), juga salah seorang murid
Wajihuddin. Bukunya, Tuhfat al-Mursalat, yang menguraikan metafisika martabat
tujuh ini lebih populer di Nusantara ketimbang karya Ibnu Arabi sendiri.
Martin van Bruinessen menduga bahwa kemungkinan karena berbagai gagasan
menarik dari kitab ini yang menyatu dengan Tarekat Syattariyah, sehingga
kemudian murid-murid asal Indonesia yang berguru kepada al-Qusyasyi dan
Al-Kurani lebih menyukai tarekat ini ketimbang tarekat-tarekat lainnya yang
diajarkan oleh kedua guru tersebut. Buku ini kemudian dikutip juga oleh
Syamsuddin Sumatrani (w. 1630) dalam ulasannya tentang martabat tujuh, meskipun
tidak ada petunjuk atau sumber yang menjelaskan mengenai apakah Syamsuddin menganut
tarekat ini. Namun yang jelas, tidak lama setelah kematiannya, Tarekat
Syattariyah sangat populer di kalangan orang-orang Indonesia yang kembali dari Tanah
Arab.
Abdul Rauf sendiri yang kemudian turut mewarnai sejarah mistik Islam di
Indonesia pada abad ke-17 ini, menggunakan kesempatan untuk menuntut ilmu,
terutama tasawuf ketika melaksanakan haji pada tahun 1643. Ia menetap di Arab
Saudi selama 19 tahun dan berguru kepada berbagai tokoh agama dan ahli tarekat
ternama. Sesudah Ahmad Qusyasyi meninggal, ia kembali ke Aceh dan mengembangkan
tarekatnya. Kemasyhurannya dengan cepat merambah ke luar wilayah Aceh, melalui
murid-muridnya yang menyebarkan tarekat yang dibawanya. Antara lain, misalnya,
di Sumatera Barat dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanuddin dari Pesantren
Ulakan; di Jawa Barat, daerah Kuningan sampai Tasikmalaya, oleh Abdul Muhyi.
Dari Jawa Barat, tarekat ini kemudian menyebar ke Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Di Sulewasi Selatan disebarkan oleh salah seorang tokoh Tarekat Syattariyah
yang cukup terkenal dan juga murid langsung dari Ibrahim al-Kurani, Yusuf Tajul
Khalwati (1629-1699).
Martin menyebutkan bahwa sejumlah cabang tarekat ini kita temukan di
Jawa dan Sumatera, yang satu dengan lainnya tidak saling berhubungan. Tarekat
ini, lanjut Martin, relatif dapat dengan gampang berpadu dengan berbagai
tradisi setempat; ia menjadi tarekat yang paling "mempribumi" di
antara berbagai tarekat yang ada. Pada sisi lain, melalui Syattariyah-lah
berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang
didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer
orang Jawa.
Bersambung................
Artikel Terkait
Berkunjung, nice share...
BalasHapus