9. Hadits dhaif tentang keutamaan berhaji dengan jalan kaki
إِنَّ لِلْحَجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خَطْوَةٍ
تَخْطُوْهَا رَاحِلَتُهُ سَبْعِيْنَ حَسَنَةً، وَالْمَاشِي بِكُلِّ خَطْوَةٍ
يَخْطُوْهَا سَبْعَ مِئَةِ حَسَنَةٍ
“Sesungguhnya orang yang berhaji dengan berkendaraan mendapatkan 70
kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkan oleh kendaraannya. Sementara
orang yang berhaji dengan berjalan kaki, dengan setiap langkah yang ia
langkahkan mendapatkan 700 kebaikan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir,
3/15/2, dan Adh-Dhiya` dalam Al-Mukhtarah, 204/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 496)5
10. Keutamaan thawaf
مَنْ طَافَ بِالْبَيْتِ خَمْسِيْنَ مَرَّةً، خَرَجَ مِنْ
ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang thawaf di Baitullah 50 kali, maka ia terlepas dari
dosa-dosanya sehingga keberadaannya laksana hari ia dilahirkan oleh ibunya
(bersih dari dosa-dosa).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
dhaif, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1/164 dan selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah
no. 5102)
طَوَافُ سَبْعٍ لاَ لَغْوَ فِيْهِ يَعْدِلُ رَقَبَةً
“Thawaf tujuh kali tanpa melakukan perkara laghwi (sia-sia) di dalamnya
sebanding dengan membebaskan budak.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali), diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dalam
Al-Mushannaf, 5/8833. Lihat Adh-Dha’ifah no. 4035)
11. Hari Arafah
عَرَفَةُ يَوْمَ يُعَرِّفُ النَّاسُ
“Arafah adalah hari di mana manusia wuquf di Arafah.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Al-Harits bin Abi
Usamah dalam Musnad-nya, hal. 93, Ad-Daraquthni, 257, Ad-Dailami 2/292. Lihat
Ad-Dha’ifah no. 3863)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Guru Besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab beliau
Ijabatus Sa`il (hal. 567) berkata: “Adapun yang ditulis oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Silsilah Adh-Dha’ifah, ketika membacanya
benar-benar menenangkan hati kami (karena tepat dan telitinya penghukuman
beliau terhadap hadits, pen.).”
2 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits ini maudhu’, tampak
sekali kebatilannya) karena membuat anggapan telah diwahyukan kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menunaikan perkara yang disebutkan dalam
hadits berupa haji, ziarah kubur, dan berperang, bisa menggugurkan pelakunya
dari hukuman bila ia bermudah-mudahan dalam meninggalkan kewajiban-kewajiban
agama yang lain. Ini merupakan kesesatan. Sungguh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam amat jauh dari mengucapkan perkataan yang menimbulkan
anggapan yang salah. Bagaimana lagi dengan ucapan yang secara jelas menunjukkan
kesesatan?!” (Adh-Dha’ifah, 1/370)
3 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Qa’idah Al-Jalilah
(hal. 57) berkata: “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam seluruhnya dhaif. Tidak ada satupun yang bisa dijadikan sandaran
dalam agama ini. Karena itu, ahlu Shihah dan Sunan (ulama yang menyusun kitab
Shahih dan Sunan) tidak ada yang meriwayatkannya sedikit pun. Yang meriwayatkan
hadits-hadits semacam itu hanyalah ulama yang biasa membawakan hadits-hadits
dhaif seperti Ad-Daraquthni, Al-Bazzar, dan selain keduanya.”
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan hadits di atas. Setelah
itu beliau berkata: “Hadits ini kedustaannya jelas sekali. Hadits ini
menyelisihi agama kaum muslimin. Karena orang yang menziarahi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya dan beriman kepada beliau,
berarti orang itu termasuk shahabat beliau. Terlebih lagi bila orang itu
termasuk orang-orang yang berhijrah kepada beliau dan berjihad bersama beliau.
Telah pasti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Maka demi Zat yang jiwaku
berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas
semisal gunung Uhud, niscaya tidak dapat mencapai satu mud infak salah seorang
mereka, dan tidak pula setengahnya.”
Seseorang yang hidup setelah shahabat, tidaklah bisa sama dengan
shahabat hanya dengan mengerjakan amalan-amalan wajib yang diperintahkan
seperti haji, jihad, shalat lima
waktu, bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi
dengan amalan yang tidak wajib dengan kesepakatan kaum muslimin (yaitu
menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)? Tidak pula disyariatkan
untuk safar (menempuh perjalanan jauh) untuk mengerjakannya, bahkan dilarang.
Adapun safar menuju ke masjid beliau guna mengerjakan shalat di dalamnya maka
hal itu mustahab (disenangi).” (Lihat Adh-Dha’ifah, 1/123-124)
4 Memulai ihram dan mengucapkan talbiyah
5 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “Bagaimana bisa hadits ini
dianggap shahih, sementara yang ada justru sebaliknya? Di mana telah shahih
riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan haji dengan berkendaraan. Seandainya berhaji dengan jalan kaki itu
lebih afdhal, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memilih hal itu untuk
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, jumhur ulama berpendapat
bahwa haji dengan berkendaraan itu lebih utama, sebagaimana disebutkan oleh
An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim.” (Adh-Dha’ifah, 1/711-712)
Pergilah
ke blog kedua http://www.mantankyainu2.blogspot.com/
Dan kliklah 4 shared mp3 atau
di panahnya.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan