مَنْ تَزَوَّجَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ فَقَدْ بَدَأَ
بِالْمَعْصِيَةِ
“Siapa yang menikah sebelum menunaikan ibadah haji maka sungguh ia telah
memulai dengan maksiat.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
maudhu’, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, 20/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 222)
4. Banyak berhaji mencegah kefakiran
كَثْرَةُ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ تَمْنَعُ الْعَيْلَةَ
“Banyak melaksanakan haji dan umrah mencegah kepapaan.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh
Al-Muhamili. Lihat Adh-Dha’ifah no. 477)
5. Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang ingin berhaji
لاَ يَرْكَبُ الْبَحْرَ إِلاَّ حَاجٌّ أَوْ مُعْتَمِرٌ،
أَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ اللهِ، فَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرَ نَارًا وَ تَحْتَ
النَّارِ بَحْرًا
“Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang berhaji atau berumrah
atau orang yang berperang di jalan Allah, karena di bawah lautan itu ada api
dan di bawah api ada lautan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits
ini mungkar, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/389, Al-Khathib dalam At-Talkhis,
78/1. Lihat Adh-Dha’ifah no. 478)
6. Keutamaan ber-ihlal dari Masjidil Aqsha
مَنْ أَهَّلَ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ
اْلأَقْصَى إِلَى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ
ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، أَوْ وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa yang ber-ihlal haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke Masjidil
Haram, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan datang, atau
diwajibkan surga baginya.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits
ini dhaif, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/275, Ibnu Majah, 2/234-235,
Ad-Daraquthni, hal. 289, Al-Baihaqi, 5/30, dan Ahmad, 6/299. Lihat Adh-Dha’ifah
no. 211)
7. Ancaman bagi orang yang berhaji namun tidak menziarahi kubur Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Siapa yang haji ke Baitullah namun ia tidak menziarahi kuburku maka
sungguh ia telah berbuat jafa` (kasar) kepadaku.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, demikian dikatakan Al-Hafizh
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, 3/237, dibawakan oleh Ash-Shaghani dalam Al-Ahadits
Al-Maudhu’ah, hal. 6. Demikian pula Az-Zarkasyi dan Asy-Syaukani dalam
Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 42. Lihat Adh-Dha’ifah
no. 45)
8. Keutamaan menghajikan orang tua
مَنْ حَجَّ عَنْ وَالِدَيْهِ بَعْدَ وَفَاتِهِمَا كَتَبَ
اللهُ لَهُ عِتْقًا مِنَ النَّارِ، وَكَانَ لِلْمَحْجُوْجِ عَنْهُمْ أَجْرُ
حَجَّةِ تَامَّةٍ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang menghajikan kedua orang tuanya setelah keduanya wafat maka
Allah akan menetapkan dia dibebaskan dari api neraka. Dan bagi yang dihajikan
akan memperoleh pahala haji yang sempurna tanpa mengurangi pahala orang yang
menghajikan sedikitpun.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
mungkar, diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Ashbahani dalam At-Targhib. Lihat
Adh-Dha’ifah no. 5677)
إِذَا حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ تُقْبَلُ مِنْهُ
وَمِنْهُمَا، وَاسْتُبْشِرَتْ أَرْوَاحُهُمَا فِي السَّمَاءِ وَكُتِبَ عِنْدَ
اللهِ بَرًّا
“Apabila seseorang menghajikan kedua orang tuanya maka akan diterima
amalan itu darinya dan dari kedua orang tuanya, dan diberi kabar gembira ruh
keduanya di langit dan ia (si anak) dicatat di sisi Allah sebagai anak yang
berbakti (berbuat baik kepada orang tua).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam, As-Sunan,
272, Ibnu Syahin dalam At-Targhib, 299/1 dan Abu Bakr Al-Azdi Al-Mushili dalam
Hadits-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 1434)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan