Jakarta, NU Online
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj membuka acara "Pengajian Budaya dan Bedah Buku Atlas Wali Songo" dalam rangka Peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-87 NU, Kamis malam, yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2013.
“Harlah NU kali ini diadakan kecil-kecilan. Nanti yang besar insya Allah diadakan pada 16 Rajab 1434 atau sesuai dengan penanggalan Hijriyah,” kata kata Kang Said di halaman kantor PBNU Jakarta yang disulap menjadi ruang pertunjukan.
Harlah kali ini dilaksanakan oleh Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) yang membidik satu karya besar Agus Sunyoto yang diterbitkan oleh LTN sendiri, yakni "Atlas Wali Songo".
Kegiatan akan diadakan dua malam. Kamis malam LTN mengundang Emha Ainun Najib (Cak Nun) bersama Kiai Kanjeng-nya. Jum’at malam besok, digelar pentas wayang Sujiwo Tejo dengan lakon Sunan Kalijaga.
Kang Said, panggilan akrab KH Said Aqil Siroj mengatakan, kesenian tidak semata menjadi media dakwah, lebih dari itu dapat menjadi sarana dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Mengutip pernyataan tokoh sufi Dzunnun al-Misri, guru Syekh Abu Yazid al-Bustomi, menurut Kang Said, seni merupakan suara kebenaran yang bisa mengantarkan kepada kebenaran.
“Jadi barangsiapa menuju kepada kebenaran harus melalui seni. Jadi mestinya seni dulu, kosongkan diri dulu, takholli, baru berdzikir,” katanya.
Namun kepada Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng serta para undangan yang hadir, Kang Said mengingatkan, bahwa seni juga bisa melenakan manusia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj membuka acara "Pengajian Budaya dan Bedah Buku Atlas Wali Songo" dalam rangka Peringatan Hari Lahir (Harlah) ke-87 NU, Kamis malam, yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 2013.
“Harlah NU kali ini diadakan kecil-kecilan. Nanti yang besar insya Allah diadakan pada 16 Rajab 1434 atau sesuai dengan penanggalan Hijriyah,” kata kata Kang Said di halaman kantor PBNU Jakarta yang disulap menjadi ruang pertunjukan.
Harlah kali ini dilaksanakan oleh Pengurus Pusat Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) yang membidik satu karya besar Agus Sunyoto yang diterbitkan oleh LTN sendiri, yakni "Atlas Wali Songo".
Kegiatan akan diadakan dua malam. Kamis malam LTN mengundang Emha Ainun Najib (Cak Nun) bersama Kiai Kanjeng-nya. Jum’at malam besok, digelar pentas wayang Sujiwo Tejo dengan lakon Sunan Kalijaga.
Kang Said, panggilan akrab KH Said Aqil Siroj mengatakan, kesenian tidak semata menjadi media dakwah, lebih dari itu dapat menjadi sarana dalam mendekatkan diri kepada Allah.
Mengutip pernyataan tokoh sufi Dzunnun al-Misri, guru Syekh Abu Yazid al-Bustomi, menurut Kang Said, seni merupakan suara kebenaran yang bisa mengantarkan kepada kebenaran.
“Jadi barangsiapa menuju kepada kebenaran harus melalui seni. Jadi mestinya seni dulu, kosongkan diri dulu, takholli, baru berdzikir,” katanya.
Namun kepada Cak Nun dan rombongan Kiai Kanjeng serta para undangan yang hadir, Kang Said mengingatkan, bahwa seni juga bisa melenakan manusia.
“Barangsiapa mendengarkan
seni dengan sungguh-sungguh maka ia akan sampai pada hakikat. Tapi yang
mendengarkan dengan nafsu akan jadi zindiq,”
katanya.
Saat berita ini dimuat, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng-nya naik ke panggung, didampingi Wakil Ketua Umum PBNU KH As'ad Said Ali dan penyusun Atlas Wali Songo Agus Sunyoto.
“Buku ini tonggak. Bukan hanya informasi. Tantantan-tantangan yang saya hadapi, saya peroleh jawabannya di sini. Tepuk tangan untuk Mas Agus yang luar biasa! Buku ini akan kita bawa ke mana saja Kiai Kanjeng pergi,” katanya.
Penulis: A. Khoirul Anam
Saat berita ini dimuat, Cak Nun bersama Kiai Kanjeng-nya naik ke panggung, didampingi Wakil Ketua Umum PBNU KH As'ad Said Ali dan penyusun Atlas Wali Songo Agus Sunyoto.
“Buku ini tonggak. Bukan hanya informasi. Tantantan-tantangan yang saya hadapi, saya peroleh jawabannya di sini. Tepuk tangan untuk Mas Agus yang luar biasa! Buku ini akan kita bawa ke mana saja Kiai Kanjeng pergi,” katanya.
Penulis: A. Khoirul Anam
Komentarku ( Mahrus ali):
Kisah tentang wali songo banyak yang
tidak akurat, murat – marit. Banyak kedustaan di dalamnya, sedikit sekali
kejujurannya, banyak tambahan, juga banyak pengurangan lalu di arahkan bahwa
wali songo itu juga ahli bid`ah bukan ahlis sunnah.
Prof. Hasanu Simon berkata:
Kehutanan di Jawa telah
menyajikan sejarah yang amat panjang dan menarik untuk menjadi acuan
pengembangan strategi kehutanan sosial (social forestry strategy) yang sekarang
sedang dan masih dicari oleh para ilmuwan. Belajar sejarah kehutanan Jawa tidak
dapat melepaskan diri dengan sejarah bangsa Belanda. Dalam mempelajari sejarah
Belanda itu, penulis sangat tertarik dengan kisah dibawanya buku-buku dan Sunan
Mbonang di Tuban ke negeri Belanda. Peristiwa itu sudah terjadi hanya dua tahun
setelah bangsa Belanda mendarat di Banten. Sampai sekarang buku tersebut masih
tersimpan rapi di Leiden,
diberi nama "Het Book van Mbonang", yang menjadi sumber acuan bagi
para peneliti sosiologi dan antropologi.
Buku serupa tidak dijumpai
sama sekali di Indonesia.
Kolektor buku serupa juga tidak dijumpai yang berkebangsaan Indonesia. Jadi
seandainya tidak ada "Het Book van Mbonang", kita tidak mengenal sama
sekali sejarah abad ke-16 yang dilandasi dengan data obyektif Kenyataan sampai
kita tidak memiliki data obyektif tentang Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Kalijogo, dan juga tentang Syekh Siti Jenar.
Oleh karena itu yang
berkembang lalu kisah-kisah mistik bercampur takhayul, termasuk misteri Syekh
Siti Jenar yang hari ini akan kita bicarakan. Kisah Walisongo yang penuh dengan
mistik dan takhayul itu amat ironis, karena kisah tentang awal perkembangan
Islam di Indonesia, sebuah agama yang sangat keras anti kemusyrikan.
Pembawa risalah Islam,
Muhammad Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam yang lahir 9 abad sebelum era Wallsongo tidak
mengenal mistik. Beliau terluka ketika berdakwah di Tha'if, beliau juga terluka
dan hampir terbunuh ketika perang Uhud. Tidak seperti kisah Sunan Giri, yang
ketika diserang pasukan Majapahit hanya melawan tentara yang jumlahnya lebih
banyak itu dengan melemparkan sebuah bollpoint ke pasukan Majapahit. Begitu
dilemparkan bollpoint tersebut segera berubah menjadi keris sakti, lalu berputar-putar
menyerang pasukan Majapahit dan bubar serta kalahlah mereka. Keris itu kemudian
diberi nama Keris Kolomunyeng, yang oleh Kyai Langitan diberikan kepada
Presiden Gus Dur beberapa bulan lalu yang antara lain untuk menghadapi Sidang
Istimewa MPR yang sekarang sedang digelar, dan temyata tidak ampuh.
Kisah Sunan Kalijogo yang
paling terkenal adalah kemampuannya untuk membuat tiang masjid dari tatal dan
sebagai penjual rumput di Semarang
yang diambil dari Gunung Jabalkat. Kisah Sunan Ampel lebih hebat lagi; salah
seorang pembantunya mampu melihat Masjidil Haram dari Surabaya untuk menentukan arah kiblat.
Pembuat ceritera ini jelas belum tahu kalau bumi berbentuk bulat sehingga
permukaan bumi ini melengkung. Oleh karena itu tidak mungkin dapat melihat
Masjidil Haram dari Surabaya.
Islam juga mengajarkan bahwa
Nabi lbrahim ‘Alaihi
Sallam, yang hidup sekitar 45 abad sebelum era Walisongo, yang
lahir dari keluarga pembuat dan penyembah berhala, sepanjang hidupnya berdakwah
untuk anti berhala.
Ini menunjukakan bahwa kisah
para wali di Jawa sangat ketinggalan jaman dibanding dengan kisah yang dialami
oleh orang-orang yang menjadi panutannya, pada hal selisih waktu hidup mereka
sangat jauh.
"Het Book van
Mbonang" yang telah melahirkan dua orang doktor dan belasan master bangsa
Belanda itu memberi petunjuk kepada saya, pentingnya menulis sejarah
berdasarkan fakta yang obyektif "Het Book van Bonang" tidak
menghasilkan kisah Keris Kolomunyeng, kisah cagak dan tatal, kisah orang
berubah menjadi cacing, dan sebagainya.
Di katakan dalam artikel tsb
sbb:
Komentarku ( Mahrus ali):
Saya tidak paham dengan kalimat itu. Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan