By Asqi Resnawan on 3:55 AM
“Sukses” Joko Widodo saat menduduki kursi
Walikota Solo kembali dibeberkan di dunia maya. Melalui akun Twitter
@Fahrihamzah, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), membeberkan data “rasio
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pendapatan daerah Kota Surakarta di
era Jokowi.
Berdasarkan data hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, Fahri menegaskan bahwa terjadi penurunan PAD terhadap APBD Kota Surakarta di era Jokowi.
“Dari tabel nanti tampak bahwa sejak 2005 hingga 2010, rasio PAD dibanding Pendapatan Total Daerah selalu turun. Perlu dicatat bahwa yang turun adalah rasionya, bukan nominalnya. Perlu dicatat hati-hati adanya Kenaikan Rasio PAD pada tahun fiskal 2011 dan 2012 disebabkan oleh Pengalihan,” tulis @Fahrihamzah.
Menurut Fahri, penurunan rasion PAD terhadap APBD itu bisa diartikan bahwa, Kepala Daerah tidak mampu mengoptimalkan kerja Dinas Pendapatan, dalam hal melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah. Selain itu, Kepala Daerah tidak melakukan pengawasan yang memadai terhadap kebocoran dari Pajak dan Retribusi Daerah.
“Kepala Daerah mengandalkan uluran tangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah provinsi untuk menutup ‘defisit’ APBD yang semakin besar. Kepala Daerah dengan tipe seperti ini jika kelak menjadi Presiden, maka hanya akan mengandalkan utang negara,” kicau @Fahrihamzah.
Dari data yang dilampirkan @Fahrihamzah, memang terlihat bahwa pada 2005, rasio PAD terhadap APBD mencapai 18 persen, 2006 (15%), 2007 (15%), 2008 (14%), 2009 (14%), 2010 (13%).
Sementara pada 2011 naik menjadi 18 persen, dan 2012 (19%). Kenaikan itu disebabkan oleh pengalihan. ““Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta Pajak Bumi dan Bangungan (PBB), yang mulai 2011 dialihkan menjadi Pajak Daerah,” tulis @Fahrihamzah.
Berdasarkan data hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) itu, Fahri menegaskan bahwa terjadi penurunan PAD terhadap APBD Kota Surakarta di era Jokowi.
“Dari tabel nanti tampak bahwa sejak 2005 hingga 2010, rasio PAD dibanding Pendapatan Total Daerah selalu turun. Perlu dicatat bahwa yang turun adalah rasionya, bukan nominalnya. Perlu dicatat hati-hati adanya Kenaikan Rasio PAD pada tahun fiskal 2011 dan 2012 disebabkan oleh Pengalihan,” tulis @Fahrihamzah.
Menurut Fahri, penurunan rasion PAD terhadap APBD itu bisa diartikan bahwa, Kepala Daerah tidak mampu mengoptimalkan kerja Dinas Pendapatan, dalam hal melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pajak dan retribusi daerah. Selain itu, Kepala Daerah tidak melakukan pengawasan yang memadai terhadap kebocoran dari Pajak dan Retribusi Daerah.
“Kepala Daerah mengandalkan uluran tangan dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah provinsi untuk menutup ‘defisit’ APBD yang semakin besar. Kepala Daerah dengan tipe seperti ini jika kelak menjadi Presiden, maka hanya akan mengandalkan utang negara,” kicau @Fahrihamzah.
Dari data yang dilampirkan @Fahrihamzah, memang terlihat bahwa pada 2005, rasio PAD terhadap APBD mencapai 18 persen, 2006 (15%), 2007 (15%), 2008 (14%), 2009 (14%), 2010 (13%).
Sementara pada 2011 naik menjadi 18 persen, dan 2012 (19%). Kenaikan itu disebabkan oleh pengalihan. ““Bea perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan serta Pajak Bumi dan Bangungan (PBB), yang mulai 2011 dialihkan menjadi Pajak Daerah,” tulis @Fahrihamzah.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan