JAKARTA (voa-islam.com) - Jokowi dalam debat capres beberapa
hari lalu, di Balai Sarbini, tentang langkah pemberantasan korupsi dengan
'membual' melakukan pengawasan : "Dari detik ke detik, dari menit ke
menit", tukasnya. Jokowi mengatakan, pengawasan pembangunan sebagai kunci
pemberantasan korupsi. Tetapi, semua itu, kalau dilihat di DKI menunjukkan,
pengawasan yang dijalankan Jokowi tidak jalan.
Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi mengatakan, Jokowi justru terbukti lalai dalam pengawasan selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kasus korupsi Bus Transjakarta senilai Rp 2,3 triliun sudah membuktikan lemahnya pengawasan Jokowi di Jakarta.
"Kalau Jokowi tidak tahu apa-apa, berarti nggak ngawasin dong. Kemarin-kemarin kemana saja dia," kata Ucok, Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Sebelumnya, Jokowi mengaku tidak tahu-menahu kasus yang menjerat mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono. Padahal, penggunaan anggaran yang besar sudah seharusnya berada dibawah pengawasan gubernur.
Menurutnya, saat debat pilpres 2014 Jokowi terkesan hanya asal bicara tanpa tahu teknisnya. "Itu hanya sekadar semangat kampanye," katanya. Dalam kesempatan itu, Ucok juga mempertanyakan konsep manajemen pengawasan yang kelak akan diterapkan Jokowi jika nanti terpilih memimpin Indonesia ke depan.
"Bentuk pengawasannya seperti apa? Tidak jelas konsep pengawasannya seperti apa. Apakah pendekatan lembaga, atau pendekatan masyarakat. Kalau pendekatan masyarakat, berarti masyarakat ikut mengawasi melalui Twitter, media sosial," jelas Ucok.
Diketahui, saat debat pilpres 2014, Jokowi hanya mengatakan kalau manajemen pengawasan akan dilakukan setiap detik. "Manajemen pengawasan detik ke detik, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Paling lemah manajemen pengawasan," kata Jokowi.
Koordinator Investigasi Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Ucok Sky Khadafi mengatakan, Jokowi justru terbukti lalai dalam pengawasan selama menjadi Gubernur DKI Jakarta. Kasus korupsi Bus Transjakarta senilai Rp 2,3 triliun sudah membuktikan lemahnya pengawasan Jokowi di Jakarta.
"Kalau Jokowi tidak tahu apa-apa, berarti nggak ngawasin dong. Kemarin-kemarin kemana saja dia," kata Ucok, Jakarta, Rabu (11/6/2014).
Sebelumnya, Jokowi mengaku tidak tahu-menahu kasus yang menjerat mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono. Padahal, penggunaan anggaran yang besar sudah seharusnya berada dibawah pengawasan gubernur.
Menurutnya, saat debat pilpres 2014 Jokowi terkesan hanya asal bicara tanpa tahu teknisnya. "Itu hanya sekadar semangat kampanye," katanya. Dalam kesempatan itu, Ucok juga mempertanyakan konsep manajemen pengawasan yang kelak akan diterapkan Jokowi jika nanti terpilih memimpin Indonesia ke depan.
"Bentuk pengawasannya seperti apa? Tidak jelas konsep pengawasannya seperti apa. Apakah pendekatan lembaga, atau pendekatan masyarakat. Kalau pendekatan masyarakat, berarti masyarakat ikut mengawasi melalui Twitter, media sosial," jelas Ucok.
Diketahui, saat debat pilpres 2014, Jokowi hanya mengatakan kalau manajemen pengawasan akan dilakukan setiap detik. "Manajemen pengawasan detik ke detik, hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan. Paling lemah manajemen pengawasan," kata Jokowi.
Indonesia sudah terlalu banyak pekerja, namun kekurangan
pemimpin yang komit, tangguh dan kredibel. Akibatnya, jika para pekerja menjadi
pemimpin, yang muncul adalah rutinitas kerja tanpa visi dan imajinasi ke depan.
Lalu, bagaimana dengan rivalitas Prabowo vs Jokowi?
Dibagian lain, anggota Tim Pemenangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla
(JK), Budiman Sudjatmiko yang juga anggota DPR Fraksi PDIP mengakui bahwa
Jokowi-JK menampakkan sebagai pelaku, pekerja. Orang yang orientasinya praktek.
Dalam penjelasan-penjelasannya, Jokowi-JK sangat jarang ke arah naratif,
dibandingkan Prabowo-Hatta, dalam memberi gambaran besar, makro.
Kelebihan Prabowo-Hatta, keduanya melihat ketika membicarakan statemen
umum yang terlihat memang memiliki gagasan besar. Sehingga di bagian awal dan
akhir Prabowo-Hatta bisa tampil optimal dengan gagasan-gagasannya," ungkap
Budiman, anggota Komisi II DPR
RI ini.
Berbagai kalangan menilai, kelemahan pasangan Jokowi-JK adalah kurang
tajam ketika berbicara konsep besar. Mereka lebih suka mengambil contoh dengan
orientasi pemecahan masalah yang mikro. Dan itu tidaklah cukup, sebab memimpin
NKRI yang seluas London-Teheran ini, meminjam istilah Prof Nurcholish Madjid,
butuh gagasan, visi-misi yang tajam dan kepemimpinan yang kredibel.
Sebagai contoh Jokowi mengatakan dalam debat caprers-cawapres kemarin,
pengawasan pembangunan adalah kunci pemberantasan korupsi. Namun ketidakpahaman
Jokowi terhadap kasus korupsi bus TransJakarta itu menunjukkan dirinya tidak
memiliki pengawasan yang baik.
Setidaknya, Jokowi gagal melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap
bawahannya. Malah yang terjadi Jokowi justru bersikap tidak tahu-menahu. Ini
amat kontradiktif dengan ucapannya sendiri. Terbukti sudah, Jokowi tidak
memiliki pengawasan yang baik di Jakarta.
Saat ini mantan kepala dinas perhubungan yakni Udar Pristono sudah jadi
tersangka. Tapi, kenapa Jokowi seperti lepas tanggung jawab dengan menunjukkan
bahwa dia tidak tahu apa-apa?
Tidaklah salah kalau kemudian, bahwa pasca-debat capres-cawapres
kemarin, para diplomat Amerika, Eropa dan Asia
melirik ke pasangan nomor urut 1. Padahal dua bulan sebelumnya, para dubes
asing itu menolehnya ke Jokowi. Kini Prabowo-Hatta mulai didekati sejumlah
kedutaan besar di Jakarta.
Pendekatan ini menambah optimisme menghadapi Pemilu Presiden 9 Juli mendatang.
Anggota Tim Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Hatta Rajasa,
Romahurmuziy, mengaku, "Kedutaan-kedutaan asing ini sudah memberikan
sinyal-sinyal untuk bertemu, yang memang tidak disampaikan sebelumnya. Saya
tidak menyebutkan nama kedutaannya. Kedutaan-kedutaan yang mungkin cukup
sensitif sebab semula tidak ingin menggelar pertemuan khusus dengan Pak Prabowo,"
kata Romahurmuziy alias Romy.
Sebenarnya ini adalah bahasa halus dari pengakuan mereka bahwa
elektabilitas Prabowo meningkat tajam dan sangat mungkin menang, terpilih
sebagai presiden.
Di sinilah kepemimpinan Prabowo-Hatta menuai lirikan mata para Dubes
Asing, suatu isyarat dan tanda bahwa negara sebesar Indonesia tidak cukup hanya
dipimpin pekerja, namun diperlukan pemimpin bervisi negarawan dengan komitmen,
integritas dan kompetensi yang memadai.
Prabowo menunjukkan dirinya pemimpin dengan pemikiran yang visioner dan
itu lebih diharapkan rakyat ketimbang sekedar pekerja yang praktis dengan
pengalaman mikro yang jauh dari kebutuhan bangsa besar di tengah zaman besar
dengan tantangan besar. Bahasa tubuh dan artikulasi pikiran Prabowo menunjukkan
karakter kepemimpinannya, gagah dan percaya diri dengan gagasan bervisi, meski
masih normatif.
Jangan sampai terjadi zamannya zaman besar namun yang muncul justru
penguasa kerdil yang tidak visioner dan hanya bisa bekerja tanpa imajinasi dan
kreasi mumpuni. Prabowo-Hatta membawa harapan ke sana, meski bukan kepastian. Justru
kepemimpinan yang melambangkan harapan sangat signifikan sebab menjadi
inspirasi dan energi rakyat bagi perubahan.
Jadi Jokowi yang tampil dengan grogi di telivisi, bukan hanya karena
lemahnya visi dan pemahamannya sebagai pemimpin dari 240 juta rakyat Indonesia,
tetapi dia ini hanyalah seorang boneka yang sengaja dipilih para cukong
konglomerat cina, yaitu tokoh yang lemah, tanpa visi misi, dan hanyalah seorang
pekerja belaka. (jj/dbs/voa-islam.com)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan