Sepak
terjang jenderal jagal dari kalangan ABRI merah yang dipimpin kristen dan
dimotori oleh LB Moerdani yang anak didik Ali Moertopo sepanjang 30 tahun
terakhir di Indonesia
tak bisa dilupakan begitu saja.
Rentetan
kekejian, pembunuhan massal pada ratusan jiwa syuhada Indonesia wajib
dituntut hingga ke akar-akarnya. Tak puas menjadi jenderal jagal, LB Moerdani
membentuk murid-murid dari kalangan islam yang tidak taat alias abangan untuk
melestarikan kedigdayaannya. Muridnya adalah Try Sutrisno, LB Moerdani, Agum
Gumelar, Hendropriono hingga Wiranto dan bahkan Presiden SBY.
Jendral Leonardus Benny Moerdani
adalah orang kuat di lingkungan ABRI pada awal dekade 80-an. Salah satu
"legenda" dalam sejarah ABRI ini lulusan Candradimuka tahun 1950.
Tampilnya ia ke permukaan merupakan simbol peralihan tongkat estafet dari
generasi 45 ke generasi penerus.
Awal karirnya, ia berjuang
sebagai prajurit komando. Bersama Letkol Untung Syamsuri (kelak dikenal sebagai
pemimpin G30S/PKI), Benny Moerdani menorehkan prestasi membanggakan saat
perjuangan merebut Irian Barat. Lantaran prestasinya itu sempat ditawari
Presiden Soekarno untuk masuk Resimen Tjakrabhirawa. Tetapi ia menolak, sesuatu
yang langka terjadi pada saat itu, karena kebanyakan tentara menganggap melayani
Presiden Soekarno adalah suatu kebanggaan.
Hampir seluruh karir
militernya dihabiskan untuk mengurus soal-soal intelijen. Setelah berselisih
pendapat dengan Letjen Ahmad Yani, LB Moerdani harus meninggalkan korps baret
merah kebanggaannya (baca
LB Moerdani dan Baret Merah). Ia pun memulai karir sebagai perwira
intelijen. "Medan perang" nya
mula-mula adalah Malaysia,
kemudian dipindah tugaskan ke Seoul,
Korea selatan.
Setelah Peristiwa Malari
1974, ia dipanggil ke Jakarta
oleh Ali Moertopo untuk menangani masalah-masalah intelijen Hankam. Brigjen LB
Moerdani adalah generasi intelijen berikutnya yang dipercaya Soeharto setelah
Ali Moertopo dan Yoga Soegomo. Jendral Moerdani bersama-sama Ali Moertopo
terlibat dalam CSIS (Center for Strategic and International Studies) (lembaga
studi yang banyak membantu Soeharto dalam merumuskan kebijakan-kebijakan Orde
Baru. Peran CSIS kelak tersaingi ICMI yang diketuai BJ Habibie dan peran serta
ABRI Hijau seperti Prabowo). Sampai tahun 1998, nama Jendral LB Moerdani masih
dikait-kaitkan dengan agenda pihak oposisi untuk menggantikan kekuasaan
Soeharto.
Salah satunya tragedi pembataian yang di arsiteki LB Moerdani adalah
1) Pembantaian kaum muslim indonesia di Tanjung Priok 1984
2) Pembantaian Jamaah Warsidi di Talangsari Lampung 1989
3) Skenario Kejatuhan Suharto 1998
dan
lainnya.
Setelah
membahas Melawan
Lupa (3): 'License To Kill' Muslim Talangsari Lampung 1989 saatnya kita
beranjak ke peristiwa tak kalah sadis 5 tahun sebelum tragedi Talangsari
Tragedi ABRI Merah Bantai Umat Islam di Tanjung Priok
Kronologis:
12 September 1984, tengah malam.
Tanjungpriok bersimbah darah, ratusan umat Islam tersungkur ke tanah, tertembus timah panas yang menyalak dari senjata otomatis ratusan tentara.
Mereka yang masih hidup dan tidak sempat berlari, ditendang, diinjak-injak, dan dihajar denagn popor senjata hingga tewas.
Drama pembantaian keji itu berlanjut dengan datangnya senjumlah truk tentara. Tubuh-tubuh tanpa nyawa itu terlempar begitu saja ke atas truk, seperti buruh melempar karung beras.
Ditumpuk seperti ikan pindang. Menyusul kemudian sejumlah ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Kendaraan terakhir membersihkan sepanjang jalan itu dari simbahan darah.
Maka keesokkan harinya, nyaris tak dijumpai lagi jejak kebiadaban itu.” (dari buku Tanjungpriok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa?, kumpulan fakta dan data, Gema Insani Press)
Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok.
Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Ini petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
~Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984~
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan).
Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaian kepada jamaah kaum muslimin.
Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
~Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984~
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah.
Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
~Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984~
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak ada, termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubaligh dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko.
Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada.
Tanjungpriok bersimbah darah, ratusan umat Islam tersungkur ke tanah, tertembus timah panas yang menyalak dari senjata otomatis ratusan tentara.
Mereka yang masih hidup dan tidak sempat berlari, ditendang, diinjak-injak, dan dihajar denagn popor senjata hingga tewas.
Drama pembantaian keji itu berlanjut dengan datangnya senjumlah truk tentara. Tubuh-tubuh tanpa nyawa itu terlempar begitu saja ke atas truk, seperti buruh melempar karung beras.
Ditumpuk seperti ikan pindang. Menyusul kemudian sejumlah ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Kendaraan terakhir membersihkan sepanjang jalan itu dari simbahan darah.
Maka keesokkan harinya, nyaris tak dijumpai lagi jejak kebiadaban itu.” (dari buku Tanjungpriok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa?, kumpulan fakta dan data, Gema Insani Press)
Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok.
Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.
Ini petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.
~Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984~
Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan).
Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaian kepada jamaah kaum muslimin.
Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984
Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima.
Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu.
Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.
~Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984~
Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah.
Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.
~Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984~
Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak ada, termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubaligh dan memang tidak pernah mau naik mimbar.
Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.
Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko.
Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.
Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.
Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada.
selama
kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil
menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada.
Malahan
ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing
ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang
dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Lebih
mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang
tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum
tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh
mobil truk tersebut.
Jeritan
dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas
oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi
jalan.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja.
Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja.
Dua
buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena
tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.
Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Kira-kira
jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk
tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang
pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu
jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian
itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang
menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur
menggelepar-gelepar.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.
Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.
Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).
Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya
peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi
apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau
berusaha untuk mencegahnya,
Sebenarnya
peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi
apabila Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau
berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering
sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian
sedini dan seawal mungkin.
Ini
karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian
Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel
Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa
jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang
ditahan, disebabkan membakar motor petugas.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Tokoh-tokoh itu selayaknya diperiksa dalam kasus Priok.
Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.
Tokoh-tokoh itu selayaknya diperiksa dalam kasus Priok.
1.
LB Moerdani menjabat Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib,
2.
Try Sutrisno menjabat Pandam V Jaya/Panglaksus Jaya, dan
3.
AR Butarbutar menjabat Dandim Jakarta Utara.
Menurut beberapa saksi, saat itu aparat keamanan terlihat membiarkan situasi menjadi tak terkendali.
Menurut beberapa saksi, saat itu aparat keamanan terlihat membiarkan situasi menjadi tak terkendali.
Lihat saja pernyataan Soeharto dalam bukunya, Seoharto: Pikiran, Ucapan
dan Tindakan saya. Disitu ditulis,
“Sesungguhnya, peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.”
“Sesungguhnya, peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.”
Benarkan
ucapan Soeharto itu mengisyaratkan bahwa tragedi itu sudah direncanakan
sebelumnya?
9 Maret 1999:
9 Maret 1999:
Komnas
HAM mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani Marzuki Darusman dan Clementino
dos Reis Amaral. Isinya, hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi dari tim
yang dibentuk Komnas HAM untuk kasus Priok
Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tim ini.
Pertama, mempelajari semua penerbitan umum serta dokumen lainnya.
Kedua, melakukan pertemuan dengan keluarga korban, saksi korban, dan saksi lainnya.
Ketiga, melakukan kunjungan ke berbagai tempat yang diduga menjadi tempat penguburan korban peristiwa Priok.
Keempat, mengundang pejabat aparat keamanan pada waktu itu, antara lain mantan Pangdam Jaya dan mantan Dandim Jakarta Utara, untuk memperoleh data guna dicocokkan dengan data yang diperoleh dari masyarakat.
Dari hasil temuan itu, Komnas HAM berkesimpulan:
Dalam tragedi Priok telah terjadi pelanggaran HAM, yakni pelanggaran atas hak hidup (right to life) dan hak mendapatkan informasi (right information).
Kemudian, Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menjelaskan kepada masyarakat mengenai peristiwa Priok. Sementara para pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAMnya agar diadili.
18 November - 7 Desember 1998 : Try Sutrisno
Berdasarkan pernyatan itu, maka 18 November 1998,
Komnas HAM mengirimkan surat
pemanggilan ke Try Sutrisno. Tetapi, tampaknya Try lebih suka berkorespondensi.Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tim ini.
Pertama, mempelajari semua penerbitan umum serta dokumen lainnya.
Kedua, melakukan pertemuan dengan keluarga korban, saksi korban, dan saksi lainnya.
Ketiga, melakukan kunjungan ke berbagai tempat yang diduga menjadi tempat penguburan korban peristiwa Priok.
Keempat, mengundang pejabat aparat keamanan pada waktu itu, antara lain mantan Pangdam Jaya dan mantan Dandim Jakarta Utara, untuk memperoleh data guna dicocokkan dengan data yang diperoleh dari masyarakat.
Dari hasil temuan itu, Komnas HAM berkesimpulan:
Dalam tragedi Priok telah terjadi pelanggaran HAM, yakni pelanggaran atas hak hidup (right to life) dan hak mendapatkan informasi (right information).
Kemudian, Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menjelaskan kepada masyarakat mengenai peristiwa Priok. Sementara para pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAMnya agar diadili.
18 November - 7 Desember 1998 : Try Sutrisno
Buktinya,
7 Desember 1998, Try membalas berkirim surat
ke Komnas HAM. Isi suratnya, menolak memberikan klarifikasi.
Buktinya,
7 Desember 1998, Try membalas berkirim surat
ke Komnas HAM. Isi suratnya, menolak memberikan klarifikasi.
Dalam
surat itu, Try
berkilah, kasus Priok telah ditandatangi secara institusional oleh ABRI, bukan
ditangani oleh orang per orang. Baru dijawab oleh Try seperti itu, Komnas HAM
saat itu mati kutu.
400 Orang Tewas Dalam Pembantaian Tanjung Priok
400 Orang Tewas Dalam Pembantaian Tanjung Priok
Menurut
data temuan KPKP, sekitar 400 orang orang tewas, 40 orang cacat seumur hidup,
65 orang ditahan sewenang-wenang, dan 16 orang dinyatakan hilang.
Jumlah korban tewas itu kita ambil dari kesaksian. Pada setiap truk itu ada sekitar 40-50 orang. Kalau dihitung sepuluh truk, berarti jumlahnya ada sekitar 400 orang.
Jumlah korban tewas itu kita ambil dari kesaksian. Pada setiap truk itu ada sekitar 40-50 orang. Kalau dihitung sepuluh truk, berarti jumlahnya ada sekitar 400 orang.
Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena
CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia
untuk melawan komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa
lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan
"Hijau Islam".
Lalu,
Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka
berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan
Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan
Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).
Pater
Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia
untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa
lawan Amerika berikutnya di Indonesia
hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"
Berikut murid-murid LB Moerdani "Sang Jenderal Jagal"
1)
Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung atau bodyguard Megawati yang
disuruh Benny Moerdani);
2)
ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi
ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali
dilontarkan Benny Moerdani);
3)
Luhut Panjaitan;
4)
Sutiyoso;
5)
Wiranto
6)
AM Hendropriono,
7)
Try Sutrisno
8)
Menantu Try Sutrisno, Ryamizad Ryacudu
9)
Susilo Bambang Yudhoyono
Sang
Jenderal Jagal ini mereka semua berkumpul dalam koalisi ABRI Merah di
PDIP. Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan
dengan kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?
Silakan
perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard
Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila
Presiden Soeharto mangkat).
Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said
dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat
setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan
sebagai berikut:
"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang
kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan
dihabisi Soeharto jika dia tahu."
Ali Moertopo & Muridnya LB Moerdani :
Sebagai think thank di balik pemerintahan Orde
Baru, Ali
Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang memiliki
peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru di Indonesia. Ia pernah menjabat
Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983), Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil
Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Ali Moertopo berperan
besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia. Ia terlibat dalam
operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama
ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto. Pada
1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai
saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika
semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan
partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis
nasionalis). Pada 1971, bersama Soedjono
Hoemardhani, ia
merintis pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS)
yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia
menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran tentang
Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR
sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).
Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924,
itu tak terdengar mempunyai hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang
dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah
dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung
Karno.
1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah
keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di
mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo
(lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku
Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar
Harapan).
2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah
orang berkarakter militer dan sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah
dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih sebagai intelijen, dan
baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe
intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan
menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang
dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang dibangun Ali Moertopo bisa dibaca
di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia).
[RioCbaretaz/jabir/voa-islam.com]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan