Senin, Juni 09, 2014

Melawan Lupa (4): 'License To Kill' ABRI Merah & LB Moerdani Cs




Sepak terjang jenderal jagal dari kalangan ABRI merah yang dipimpin kristen dan dimotori oleh LB Moerdani yang anak didik Ali Moertopo sepanjang 30 tahun terakhir di Indonesia tak bisa dilupakan begitu saja.
Rentetan kekejian, pembunuhan massal pada ratusan jiwa syuhada Indonesia wajib dituntut hingga ke akar-akarnya. Tak puas menjadi jenderal jagal, LB Moerdani membentuk murid-murid dari kalangan islam yang tidak taat alias abangan untuk melestarikan kedigdayaannya. Muridnya adalah Try Sutrisno, LB Moerdani, Agum Gumelar, Hendropriono hingga Wiranto dan bahkan Presiden SBY.
Jendral Leonardus Benny Moerdani adalah orang kuat di lingkungan ABRI pada awal dekade 80-an. Salah satu "legenda" dalam sejarah ABRI ini lulusan Candradimuka tahun 1950. Tampilnya ia ke permukaan merupakan simbol peralihan tongkat estafet dari generasi 45 ke generasi penerus.


Awal karirnya, ia berjuang sebagai prajurit komando. Bersama Letkol Untung Syamsuri (kelak dikenal sebagai pemimpin G30S/PKI), Benny Moerdani menorehkan prestasi membanggakan saat perjuangan merebut Irian Barat. Lantaran prestasinya itu sempat ditawari Presiden Soekarno untuk masuk Resimen Tjakrabhirawa. Tetapi ia menolak, sesuatu yang langka terjadi pada saat itu, karena kebanyakan tentara menganggap melayani Presiden Soekarno adalah suatu kebanggaan.

Hampir seluruh karir militernya dihabiskan untuk mengurus soal-soal intelijen. Setelah berselisih pendapat dengan Letjen Ahmad Yani, LB Moerdani harus meninggalkan korps baret merah kebanggaannya (baca LB Moerdani dan Baret Merah). Ia pun memulai karir sebagai perwira intelijen. "Medan perang" nya mula-mula adalah Malaysia, kemudian dipindah tugaskan ke Seoul, Korea selatan.

Setelah Peristiwa Malari 1974, ia dipanggil ke Jakarta oleh Ali Moertopo untuk menangani masalah-masalah intelijen Hankam. Brigjen LB Moerdani adalah generasi intelijen berikutnya yang dipercaya Soeharto setelah Ali Moertopo dan Yoga Soegomo. Jendral Moerdani bersama-sama Ali Moertopo terlibat dalam CSIS (Center for Strategic and International Studies) (lembaga studi yang banyak membantu Soeharto dalam merumuskan kebijakan-kebijakan Orde Baru. Peran CSIS kelak tersaingi ICMI yang diketuai BJ Habibie dan peran serta ABRI Hijau seperti Prabowo). Sampai tahun 1998, nama Jendral LB Moerdani masih dikait-kaitkan dengan agenda pihak oposisi untuk menggantikan kekuasaan Soeharto.
Salah satunya tragedi pembataian yang di arsiteki LB Moerdani adalah
1) Pembantaian kaum muslim indonesia di Tanjung Priok 1984
2) Pembantaian Jamaah Warsidi di Talangsari Lampung 1989
3) Skenario Kejatuhan Suharto 1998
dan lainnya.
Setelah membahas Melawan Lupa (3): 'License To Kill' Muslim Talangsari Lampung 1989 saatnya kita beranjak ke peristiwa tak kalah sadis 5 tahun sebelum tragedi Talangsari
Tragedi ABRI Merah Bantai Umat Islam di Tanjung Priok
Kronologis:
12 September 1984, tengah malam.

Tanjungpriok bersimbah darah, ratusan umat Islam tersungkur ke tanah, tertembus timah panas yang menyalak dari senjata otomatis ratusan tentara.

Mereka yang masih hidup dan tidak sempat berlari, ditendang, diinjak-injak, dan dihajar denagn popor senjata hingga tewas.

Drama pembantaian keji itu berlanjut dengan datangnya senjumlah truk tentara. Tubuh-tubuh tanpa nyawa itu terlempar begitu saja ke atas truk, seperti buruh melempar karung beras.

Ditumpuk seperti ikan pindang. Menyusul kemudian sejumlah ambulans dan mobil pemadam kebakaran. Kendaraan terakhir membersihkan sepanjang jalan itu dari simbahan darah.

Maka keesokkan harinya, nyaris tak dijumpai lagi jejak kebiadaban itu.” (dari buku Tanjungpriok Berdarah, Tanggung Jawab Siapa?, kumpulan fakta dan data, Gema Insani Press)

Saksi Mata Ust. Abdul Qadir Djaelani Abdul Qadir Djaelani adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh aparat keamanan sebagai salah seorang dalang peristiwa Tanjung Priok.

Karenanya, ia ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai seorang ulama dan tokoh masyarakat Tanjung Priok, sedikit banyak ia mengetahui kronologi peristiwa Tanjung Priok.

Ini petikan kesaksian Abdul Qadir Djaelani terhadap peristiwa Tanjung Priok 12 September 1984, yang tertulis dalam eksepsi pembelaannya berjudul “Musuh-musuh Islam Melakukan Ofensif terhadap Umat Islam Indonesia”.

~Tanjung Priok, Sabtu, 8 September 1984~

Dua orang petugas Koramil (Babinsa) tanpa membuka sepatu, memasuki Mushala as-Sa’adah di gang IV Koja, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Mereka menyiram pengumuman yang tertempel di tembok mushala dengan air got (comberan).

Pengumuman tadi hanya berupa undangan pengajian remaja Islam (masjid) di Jalan Sindang. Tanjung Priok, Ahad, 9 September 1984 Peristiwa hari Sabtu (8 September 1984) di Mushala as-Sa’adah menjadi pembicaran masyarakat tanpa ada usaha dari pihak yang berwajib untuk menawarkan penyelesaian kepada jamaah kaum muslimin.

Tanjung Priok, Senin, 10 September 1984

Beberapa anggota jamaah Mushala as-Sa’adah berpapasan dengan salah seorang petugas Koramil yang mengotori mushala mereka. Terjadilah pertengkaran mulut yang akhirnya dilerai oleh dua orang dari jamaah Masjid Baitul Makmur yang kebetulan lewat. Usul mereka supaya semua pihak minta penengahan ketua RW, diterima.

Sementara usaha penegahan sedang berlangsung, orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak ada urusannya dengan permasalahan itu, membakar sepeda motor petugas Koramil itu.

Kodim, yang diminta bantuan oleh Koramil, mengirim sejumlah tentara dan segera melakukan penangkapan. Ikut tertangkap 4 orang jamaah, di antaranya termasuk Ketua Mushala as-Sa’adah.

~Tanjung Priok, Selasa, 11 September 1984~

Amir Biki menghubungi pihak-pihak yang berwajib untuk meminta pembebasan empat orang jamaah yang ditahan oleh Kodim, yang diyakininya tidak bersalah.

Peran Amir Biki ini tidak perlu mengherankan, karena sebagai salah seorang pimpinan Posko 66, dialah orang yang dipercaya semua pihak yang bersangkutan untuk menjadi penengah jika ada masalah antara penguasa (militer) dan masyarakat. Usaha Amir Biki untuk meminta keadilan ternyata sia-sia.

~Tanjung Priok, Rabu, 12 September 1984~

Dalam suasana tantangan yang demikian, acara pengajian remaja Islam di Jalan Sindang Raya, yang sudah direncanakan jauh sebelum ada peristiwa Mushala as-Sa’adah, terus berlangsung juga. Penceramahnya tidak ada, termasuk Amir Biki, yang memang bukan mubaligh dan memang tidak pernah mau naik mimbar.

Akan tetapi, dengan latar belakang rangkaian kejadian di hari-hari sebelumnya, jemaah pengajian mendesaknya untuk naik mimbar dan memberi petunjuk. Pada kesempatan pidato itu, Amir Biki berkata antara lain, “Mari kita buktikan solidaritas islamiyah.

Kita meminta teman kita yang ditahan di Kodim. Mereka tidak bersalah. Kita protes pekerjaan oknum-oknum ABRI yang tidak bertanggung jawab itu. Kita berhak membela kebenaran meskipun kita menanggung risiko.

Kalau mereka tidak dibebaskan maka kita harus memprotesnya.” Selanjutnya, Amir Biki berkata, “Kita tidak boleh merusak apa pun! Kalau ada yang merusak di tengah-tengah perjalanan, berarti itu bukan golongan kita (yang dimaksud bukan dan jamaah kita).” Pada waktu berangkat jamaah pengajian dibagi dua: sebagian menuju Polres dan sebagian menuju Kodim.

Setelah sampai di depan Polres, kira-kia 200 meter jaraknya, di situ sudah dihadang oleh pasukan ABRI berpakaian perang dalam posisi pagar betis dengan senjata otomatis di tangan.

Sesampainya jamaah pengajian ke tempat itu, terdengar militer itu berteriak, “Mundur-mundur!” Teriakan “mundur-mundur” itu disambut oleh jamaah dengan pekik, “Allahu Akbar! Allahu Akbar!” Saat itu militer mundur dua langkah, lalu memuntahkan senjata-senjata otomatis dengan sasaran para jamaah pengajian yang berada di hadapan mereka, selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada. 
selama kurang lebih tiga puluh menit. Jamaah pengajian lalu bergelimpangan sambil menjerit histeris; beratus-ratus umat Islam jatuh menjadi syuhada.
Malahan ada anggota militer yang berteriak, “Bangsat! Pelurunya habis. Anjing-anjing ini masih banyak!” Lebih sadis lagi, mereka yang belum mati ditendang-tendang dan kalau masih bergerak maka ditembak lagi sampai mati.

Tidak lama kemudian datanglah dua buah mobil truk besar beroda sepuluh buah dalam kecepatan tinggi yang penuh dengan pasukan. Dari atas mobil truk besar itu dimuntahkan peluru-peluru dan senjata-senjata otomatis ke sasaran para jamaah yang sedang bertiarap dan bersembunyi di pinggir-pinggir jalan.

Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Lebih mengerikan lagi, truk besar tadi berjalan di atas jamaah pengajian yang sedang tiarap di jalan raya, melindas mereka yang sudah tertembak atau yang belum tertembak, tetapi belum sempat menyingkir dari jalan raya yang dilalui oleh mobil truk tersebut.
Jeritan dan bunyi tulang yang patah dan remuk digilas mobil truk besar terdengar jelas oleh para jamaah umat Islam yang tiarap di got-got/selokan-selokan di sisi jalan.

Setelah itu, truk-truk besar itu berhenti dan turunlah militer-militer itu untuk mengambil mayat-mayat yang bergelimpangan itu dan melemparkannya ke dalam truk, bagaikan melempar karung goni saja.
Dua buah mobil truk besar itu penuh oleh mayat-mayat atau orang-orang yang terkena tembakan yang tersusun bagaikan karung goni.

Sesudah mobil truk besar yang penuh dengan mayat jamaah pengajian itu pergi, tidak lama kemudian datanglah mobil-mobil ambulans dan mobil pemadam kebakaran yang bertugas menyiram dan membersihkan darah-darah di jalan raya dan di sisinya, sampai bersih.

Sementara itu, rombongan jamaah pengajian yang menuju Kodim dipimpin langsung oleh Amir Biki. Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Kira-kira jarak 15 meter dari kantor Kodim, jamaah pengajian dihadang oleh militer untuk tidak meneruskan perjalanan, dan yang boleh meneruskan perjalanan hanya 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu, di antaranya Amir Biki.
Begitu jaraknya kira-kira 7 meter dari kantor Kodim, 3 orang pimpinan jamaah pengajian itu diberondong dengan peluru yang keluar dari senjata otomatis militer yang menghadangnya. Ketiga orang pimpinan jamaah itu jatuh tersungkur menggelepar-gelepar.

Melihat kejadian itu, jamaah pengajian yang menunggu di belakang sambil duduk, menjadi panik dan mereka berdiri mau melarikan diri, tetapi disambut oleh tembakan peluru otomatis. Puluhan orang jamaah pengajian jatuh tersungkur menjadi syahid.

Menurut ingatan saudara Yusron, di saat ia dan mayat-mayat itu dilemparkan ke dalam truk militer yang beroda 10 itu, kira-kira 30-40 mayat berada di dalamnya, yang lalu dibawa menuju Rumah Sakit Gatot Subroto (dahulu RSPAD).

Sesampainya di rumah sakit, mayat-mayat itu langsung dibawa ke kamar mayat, termasuk di dalamnya saudara Yusron. Dalam keadaan bertumpuk-tumpuk dengan mayat-mayat itu di kamar mayat, saudara Yusron berteriak-teriak minta tolong. Petugas rumah sakit datang dan mengangkat saudara Yusron untuk dipindahkan ke tempat lain.
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila PanglimaABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya,
Sebenarnya peristiwa pembantaian jamaah pengajian di Tanjung Priok tidak boleh terjadi apabila Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib Jenderal LB Moerdani benar-benar mau berusaha untuk mencegahnya, apalagi pihak Kopkamtib yang selama ini sering sesumbar kepada media massa bahwa pihaknya mampu mendeteksi suatu kejadian sedini dan seawal mungkin.
Ini karena pada tanggal 11 September 1984, sewaktu saya diperiksa oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, saya sempat berbincang-bincang dengan Kolonel Polisi Ritonga, Kepala Intel Kepolisian tersebut di mana ia menyatakan bahwa jamaah pengajian di Tanjung Priok menuntut pembebasan 4 orang rekannya yang ditahan, disebabkan membakar motor petugas.

Bahkan, menurut petugas-petugas satgas Intel Jaya, di saat saya ditangkap tanggal 13 September 1984, menyatakan bahwa pada tanggal 12 September 1984, kira-kira pukul 10.00 pagi. Amir Biki sempat datang ke kantor Satgas Intel Jaya.

Tokoh-tokoh itu selayaknya diperiksa dalam kasus Priok.
1. LB Moerdani menjabat Panglima ABRI/Panglima Kopkamtib,
2. Try Sutrisno menjabat Pandam V Jaya/Panglaksus Jaya, dan
3. AR Butarbutar menjabat Dandim Jakarta Utara.

Menurut beberapa saksi, saat itu aparat keamanan terlihat membiarkan situasi menjadi tak terkendali.
Lihat saja pernyataan Soeharto dalam bukunya, Seoharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan saya. Disitu ditulis,

“Sesungguhnya, peristiwa itu benar-benar hasil hasutan orang yang menempatkan diri sebagai pemimpin.”
Benarkan ucapan Soeharto itu mengisyaratkan bahwa tragedi itu sudah direncanakan sebelumnya?

9 Maret 1999:
Komnas HAM mengeluarkan pernyataan yang ditandatangani Marzuki Darusman dan Clementino dos Reis Amaral. Isinya, hasil temuan, kesimpulan, dan rekomendasi dari tim yang dibentuk Komnas HAM untuk kasus Priok

Ada serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tim ini.

Pertama, mempelajari semua penerbitan umum serta dokumen lainnya.

Kedua, melakukan pertemuan dengan keluarga korban, saksi korban, dan saksi lainnya.

Ketiga, melakukan kunjungan ke berbagai tempat yang diduga menjadi tempat penguburan korban peristiwa Priok.

Keempat, mengundang pejabat aparat keamanan pada waktu itu, antara lain mantan Pangdam Jaya dan mantan Dandim Jakarta Utara, untuk memperoleh data guna dicocokkan dengan data yang diperoleh dari masyarakat.

Dari hasil temuan itu, Komnas HAM berkesimpulan:

Dalam tragedi Priok telah terjadi pelanggaran HAM, yakni pelanggaran atas hak hidup (right to life) dan hak mendapatkan informasi (right information).

Kemudian, Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah menjelaskan kepada masyarakat mengenai peristiwa Priok. Sementara para pelaku dan penanggungjawab pelanggaran HAMnya agar diadili.

18 November - 7 Desember 1998 : Try Sutrisno
Berdasarkan pernyatan itu, maka 18 November 1998, Komnas HAM mengirimkan surat pemanggilan ke Try Sutrisno. Tetapi, tampaknya Try lebih suka berkorespondensi.

       

Buktinya, 7 Desember 1998, Try membalas berkirim surat ke Komnas HAM. Isi suratnya, menolak memberikan klarifikasi.
Buktinya, 7 Desember 1998, Try membalas berkirim surat ke Komnas HAM. Isi suratnya, menolak memberikan klarifikasi.
Dalam surat itu, Try berkilah, kasus Priok telah ditandatangi secara institusional oleh ABRI, bukan ditangani oleh orang per orang. Baru dijawab oleh Try seperti itu, Komnas HAM saat itu mati kutu.

400 Orang Tewas Dalam Pembantaian Tanjung Priok
Menurut data temuan KPKP, sekitar 400 orang orang tewas, 40 orang cacat seumur hidup, 65 orang ditahan sewenang-wenang, dan 16 orang dinyatakan hilang.

Jumlah korban tewas itu kita ambil dari kesaksian. Pada setiap truk itu ada sekitar 40-50 orang. Kalau dihitung sepuluh truk, berarti jumlahnya ada sekitar 400 orang.
Mengapa Benny Moerdani dan CSIS mau mendeislamisasi Indonesia?
Karena CSIS didirikan oleh agen CIA, Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis, namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam".
Lalu, Peter Beek menyimpulkan ABRI bisa dimanfaatkan untuk melawan Islam, maka berdirilah CSIS yang dioperasikan oleh anak didiknya di Kasebul, Sofjan Wanandi, Jusuf Wanandi, Harry Tjan Silalahi, mewakili ABRI: Ali Moertopo, dan Hoemardani (baca kesaksian George Junus Aditjondro, murid Pater Beek).
Pater Beek yang awalnya ditempatkan di Indonesia untuk melawan komunis namun setelah komunis kalah dia membuat analisa bahwa lawan Amerika berikutnya di Indonesia hanya dua, "Hijau ABRI" dan "Hijau Islam"
Berikut murid-murid LB Moerdani "Sang Jenderal Jagal"
1) Agum Gumelar-Hendropriyono (dua malaikat pelindung atau bodyguard Megawati yang disuruh Benny Moerdani);
2) ada Andi Widjajanto (anak Theo Syafeii) ada Fahmi Idris (rumahnya adalah lokasi ketika ide Peristiwa 27 Juli 1996 dan Kerusuhan Mei 1998 pertama kali dilontarkan Benny Moerdani);
3) Luhut Panjaitan;
4) Sutiyoso;
5) Wiranto 
6) AM Hendropriono,
7) Try Sutrisno 
8) Menantu Try Sutrisno, Ryamizad Ryacudu
9) Susilo Bambang Yudhoyono





Sang Jenderal Jagal ini mereka semua berkumpul dalam koalisi ABRI Merah di PDIP. Tidak percaya gerakan anti Prabowo di kubu Golkar-PDIP-Hanura-NasDem ada hubungan dengan kelompok anti Islam santri yang dihancurkan Prabowo?
Silakan perhatikan satu per satu nama-nama yang mendukung Jokowi-JK, ada Ryamizard Ryacudu (menantu mantan wapres Try Sutrisno-agen Benny untuk persiapan bila Presiden Soeharto mangkat).



Lho, Wiranto anak buah Benny Moerdani? Benar sekali, bahkan Salim Said dan Jusuf Wanandi mencatat bahwa Wiranto menghadap Benny Moerdani beberapa saat setelah dilantik sebagai KSAD pada Juni 1997. Saat itu Benny memberi pesan sebagai berikut:
"Jadi, kau harus tetap di situ sebab kau satu-satunya orang kita di situ. Jangan berbuat salah dan jangan dekat dengan saya sebab kau akan dihabisi Soeharto jika dia tahu."
Ali Moertopo & Muridnya LB Moerdani :
Sebagai think thank di balik pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang memiliki peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru di Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983), Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Ali Moertopo berperan besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto. Pada 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis). Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, ia merintis pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).
Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924, itu tak terdengar mempunyai hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno.

1. Menjatuhkan lawan menggunakan "gerakan massa" adalah keahlian Ali Moertopo (guru Benny Moerdani) dan CSIS sejak Peristiwa Malari di mana malari meletus karena provokasi Hariman Siregar, binaan Ali Moertopo (lihat kesaksian Jenderal Soemitro yang dicatat oleh Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Jenderal Soemitro dan Peristiwa 15 Januari 74 terbitan Sinar Harapan).

2. Menurut catatan TGPF Kerusuhan Mei 98 penggerak lapangan adalah orang berkarakter militer dan sangat cekatan dalam memprovokasi warga menjarah dan membakar. Ini jelas ciri-ciri orang yang terlatih sebagai intelijen, dan baik Wiranto maupun Prabowo adalah perwira lapangan tipe komando bukan tipe intelijen, dan saat itu hanya Benny Moerdani yang memiliki kemampuan menggerakan kerusuhan skala besar karena dia mewarisi taktik dan jaringan yang dibangun Ali Moertopo (mengenai jaringan yang dibangun Ali Moertopo bisa dibaca di buku Rahasia-Rahasia Ali Moertopo terbitan Tempo-Gramedia). [RioCbaretaz/jabir/voa-islam.com]


Artikel Terkait

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan