Jenderal Besar AH Nasution,
Prabowo dan Rivalitas TNI
Sebuah
opini pembuka kemajemukan,
Bisa
saja saya tulis buku dengan versi saya dan biar masyarakat yang menilai mana
yang benar, mana yang ngawur” jawab Prabowo saat diklarifikasi soal adanya
berbagai macam buku perihal dirinya yang beredar di masyarakat.
Ada yang begitu memojokan, namun ada pula yang memberikan
sudut pandang lain yang membelanya. Kedua buku itu pun sama-sama ditulis oleh
purnawirawan Jenderal Angkatan Darat.
Sedangkan
buku versi Habibie, saya rasa sudah tidak terlalu menarik lagi dibahas setelah
adanya pertemuan keduanya di Jerman beberapa saat yang lalu atas undangan
Habibie untuk minum kopi bersama.
“Saya
bisa ungkap, tapi saya ingin kesejukan. Jika saya ungkap hanya akan mengungkit
peristiwa yang lalu. Tidak ada untungnya,” katanya lagi saat kembali aku usil
mencecar pertanyaan seputar peristiwa tahun 1998 tersebut.
“Tapi
nanti orang-orang malah menuduh kalau Prabowo ngeles (mengelak)menjelaskan
kejadian sebenarnya loh, pak” kataku tak kapok mendesak.
“Saya
dulu dituduh membakar gereja, disebut saya anti kristen, tapi besoknya saya
juga dituduh membunuh kyai-kyai Jawa, dituduh membom Istiqlal, tidak tahu besok
dituduh apalagi, sudah kebal dituduh” ujar Prabowo sambil tertawa.
“Kalau
perihal fitnah kudeta bagaimana itu, pak?”
“Begini,
saya waktu itu Pangkostrad dengan 33 batalyon, nyatanya apakah saya kudeta? Itu
tidak akan saya lakukan karena sebagai prajurit sapta marga saya takut terhadap
konstitusi UUD 1945. Saya lebih memilih diam menanggapi fitnah itu, biarlah
waktu dan sejarah yang akan membuktikan. ‘Becik ketitik ala ketara‘,”
jelas Prabowo
“Apalagi,
kudeta itu selalu disambung kudeta lainnya. Apa anda mau Indonesia tidak
habis berkesudahan mengurusi perang saudara? Kapan membangun negara ini?”
tambahnya lagi.
Yayaya,
memang sulit sekali membuat Prabowo mau membuka kedok siapa sebenarnya dalang
kerusuhan tahun 1998 ini. Walau intuisiku mengatakan, ia tahu banyak dan detail
mengenai ini.
Sedangkan
perihal lingkaran setan kudeta, memang harus diakui itu benar sekali. Setiap
kudeta selalu dibalas kudeta. Hampir semua bangsa dan negara terjadi konsep
seperti itu.
Konsep
yang mungkin hanya di Jepang saja yang tidak begitu. Karena kalau dilhat dari
kisah legenda “47 Ronin” baik versi novel atau filmnya, para samurai tanpa tuan
itu sepakat untuk seppuku (bunuh diri) massal apabila “kudeta”nya
terhadap pembunuh daimyo (junjungan) nya berhasil. Hal ini perlu mereka
lakukan karena rantai balas dendam hanya bisa dihentikan dengan ‘upacara’ ini.
Kesepakatan
yang disertai cap jempol dengan darah yang tujuannya jelas, agar tidak terjadi
balas dendam pada generasi dibawahnya. Budaya ajaib yang tentu jarang terjadi
di muka bumi ini. Hanya dilakukan oleh para ksatria Samurai yang terhormat.
Namun,
usai dari pertemuan di Bukit Hambalang tersebut tidak serta merta membuatku
menyerah untuk menelisik lebih jauh ujung benang merah sejarah ini.
Jenderal
Besar TNI (Purn) AH Nasution (Sumber : Fb/Prabowo)
“Coba
selidiki hubungan Prabowo dengan pak AH Nasution” kata salah satu atasanku di
kantor yang kini sudah pensiun.
Wah,
rasanya ini seperti sebuah clue yang sepertinya menarik untuk
kuselidiki.Ya, pak Nas—panggilan akrab Jenderal Besar TNI (Purn) Abdul Haris
Nasution ini adalah satu dari tiga Jenderal Besar yang pernah ada di Indonesia
selain Pak Dirman dan pak Harto.
Pangkat
bintang lima
ini juga ternyata lazim disematkan kepada tokoh-tokoh militer diseluruh dunia.
Jika di Amerika disebut General of The Army, Inggris dengan Field
Marshal, Jerman Timur dengan Armeegeneral maka ada nama lain yang
sedikit familier dengan orang Indonesia. Nama pangkat tersebut adalah Pradhan
Senapati dari negara Nepal.
Ya, kata “Senapati” ini mirip kepangkatan jaman kerjaaan Nusantara zaman dulu yang
sering disebut “Senopati”.
Menariknya,
Prabowo ternyata sangat dekat dengan Jenderal Besar yang satu ini—Pak Nas. Dari
pengakuannya langsung, memang semenjak masih Taruna, menjadi perwira menengah
hingga perwira tinggi—Prabowo selalu berkunjung bertemu Pak Nas. Bahkan saat
menjelang meninggalnya Pak Nas, hanya Prabowolah yang bukan keluarga kandung
tetapi dipanggil untuk menemani beliau diujung umurnya.
Kedekatan
lainnya adalah penganugerahan anggota kehormatan Kopassus kepada pak Nas pada
tanggal 17 Februari 1998. Anugrah ini adalah bentuk apresiasi atas jasa besar
Pak Nas dalam pembentukan Kopassus tahun 1952 saat beliau masih menjadi KSAD
serta sumbangsih dan jasa beliau terhadap TNI.
Baret
Merah untuk Pak Nas dari Kopassus (Sumber: Fb/Prabowo)
Namun
ada petunjuk menarik dari bekas atasanku tersebut yang mengaku pernah membaca
berita tahun 1998 yang isinya adalah statement Pak Nas tahun tersebut saat Indonesia dalam
kekacauan. Isinya kurang lebih begini:
“Hanya Prabowo atau Amien Rais yang bisa menyelamatkan negara ini dari
kekacauan.”
Pernyataan
yang kuduga adalah menjadi pelatuk kemarahan Pak Harto, sang mertuanya. Bahkan
bisa jadi, istilah “penghianat” yang muncul dalam keluarga Soeharto ini juga
berawal dari kedekatan ini.
Harap
maklum, Pak Harto dan Pak Nas menjadi Jenderal Besar pada tahun yang sama yaitu
1997. Pangkat yang secara psikologis sangat penting, berpengaruh dan kuat dalam
keluarga TNI ini.
Walau
pun dalam buku Pembangunan Moral Inti Pembangunan yang ditulis pak Nas
tahun 1995 menyatakan bahwa “Adalah fitnah bahwa Jenderal Soeharto mengambil
alih pimpinan kekuasaan dari Presiden. Yang terjadi, justru Presiden
mengoper pimpinan Angkatan Darat dari Jenderal Soeharto,”.
Namun
pada sisi yang lain, jelas Pak Nas sangat berseberangan dan kritis dalam
kebijakan pembangunan Pak Harto yang lebih mementingkan faktor ekonomi.
Sedangkan beliau, lebih condong pada prioritas pembangunan haluan dan sistem
pendidikan (nations and character building) dengan kongkrit dan mengusulkan
agar pembangunan pendidikan mengalokasikan 25% dari APBN.
Belum
lagi kritikan soal komposisi anggota MPR jaman Orde Baru yang 61% adalah hasil
pengangkatan sedangkan sisanya—39% adalah hasil Pemilu tahun 1971. Serta kritik
Nasution pada mulai maraknya korupsi yg melibatkan istana, komersialisasi
jabatan, monopoli perdagangan cengkeh, pembangunan pabrik dan perusahaan yangg
melibatkan keluarga Soeharto, keterlibatan berbagai Yayasan disekitar istana
dlm berbagai komisi, bisnis dan lainnya.
Sehingga
AH Nasution yang pernah memimpin operasi anti korupsi di masa orde lama
(Operasi Budhi) mengusulkan dibentuknya sejenis ‘Komisi Negara’ yang berwibawa
untuk mengusut korupsi yang kini bernama KPK.
Puncaknya
tentu saja ujungnya adalah PETISI 50 yang Pak Nas juga termasuk tim inti
didalamnya. Hasilnya, akhirnya Pak Nas “dilucuti” pengaruhnya. Beliau tidak
boleh muncul dalam acara kenegaraan dimana ada Pak Harto. Bahkan sampai urusan
mobil Holden Priemer tua lungsuran dari Hankam yang dipakai Pak Nas
sehari-hari ikut ditarik dari kediamannya.
Tentu
saja, dari kisah ini kutebak bahwa memang telah terjadi perpecahan dan
rivalitas TNI pada level tertingginya yaitu tingkat “Jenderal Besar”nya.
Sedangkan dari kedekatan ini, boleh jadi Prabowo sangat terinspirasi oleh ahli
perang gerilya ini (Pak Nas) yang bukunya menjadi rujukan para komandan perang
gerilya diseluruh dunia.
Sekedar
tambahan informasi, dari pengakuan Jenderal Vietkong–buku “Pokok-Pokok Perang
Gerilya” karangan Pak Nas ini menjadi sejenis kitab suci untuk strategi perangnya
melawan Amerika yang memang sukses besar. Vietkong lebih memilih buku ini
daripada patokan strategi Mao Tse Tung karena alam tropis Vietnam lebih cocok
dengan alam Indonesia.
Sayangnya,
saat kucoba mengklarifikasi pendapatku—Prabowo malah dengan tegas mengingatkan
agar aku tidak membantu membentuk opini rivalitas dan perpecahan dalam TNI.
“TNI
itu pilar pengawal kedaulatan dan pembangunan bangsa. Kalau TNI pecah, pecahlah
negara ini! Bahaya!” katanya tegas
Penulis
: Hazmi Srondol
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan