By Wira TarunaPosted on December 3, 2016
Argumentasi sederhana ini cukup telak mematahkan fatwa Gus
Mus dan Said Aqil Siradj (SAS) terkait larangan sholat Jum’at di jalan. Gus Mus
sebut sholat Jum’at di jalan adalah bid’ah besar, sedangkan Said Aqil Siradj
sebut tidak sah.
Faktanya, bukan cuma jutaan umat Islam yang tidak mau
melaksanakan fatwa Gus Mus dan Said itu, Presiden Jokowi dan Wakil Presiden
Jusuf Kalla serta jajarannya pun mengabaikan fatwa petinggi organisasi PBNU itu.
Kenapa bisa demikian? Ulasan sederhana dari Pondok Pesantren
Tebuireng Jombang Jawa Timur KH Ahmad Musta’in Syafi’ie yang berjudul: “DAHSYATNYA
ENERGI AL-MAIDAH:51” ini coba menjawabnya.
—
DAHSYATNYA ENERGI AL-MAIDAH:51
Oleh : KH Ahmad Musta’in Syafi’ie
Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur
Sekian lama kiai toleransi sengaja “menyembunyikan-mu”, wahai
al-Maidah:51. Ternyata Pemilikmu tersinggung. Lalu, dengan cara-Nya sendiri Dia
bertindak. Cukup lidah Ahok diplesetkan dan NKRI tersentak menggelegar, menggelepar.
Kita petik hikmahnya :
1. Aksi 411 and 212 adlh bukti bhw Allah SWT itu ada dan
kehendakNya tdk bisa dibendung oleh siapapun. Pemerintah trpaksa harus mengalah,
pdhal sblumnya Jokowi sdh pamer militer. Kini aksi diarahkan menjadi doa. Ternyata
malah punya daya tarik yg luar biasa. Sluruh negeri menyambut dg nama berbeda, aksi
Nusantara Bersatu, istighatsah militer dll.
Negara jg trpaksa mengeluarkan dana sangt besar utk
menfasilitasi aksi 212. Aparat di jalanan trpaksa harus menyesuaikan diri dg
menggunakan simbol-simbol islam. Polisi pakai surban putih, membuat tim khusus
bernama ASMAUL HUSNA, polwan serentak berjilbab, Habib papan atas memimpin
istighatsah pakai ikat merah-putih melilit kepala. Lucu (?). Mungkin Tuhan sdng
menjewer telinga kita, agar slalu “putih” dlm mengemban amanat.
2. Mestinya penguasa dan para cukong sadar, bhw negeri ini
lebih didirikan oleh teriak “Allah Akbar” ketimbang “Haliluya”. Umat islam yg
selama ini diam, kini sbgian kecil berani menunjukkan jati dirinya scra alamiah
dan sangat militan. Inilah yg disebut “silent majority”. Maka jangan coba-coba
mengusik “air tenang” jika tidak ingin hanyut.
3. Aksi ini sungguh peringatan, bahwa : tasamuh, tawazun, tawassut
yg dislogankan NU itu perlu ditinjau kembali. Bukan pada konsepnya, tapi
praktiknya. Di samping ada batasan, wajib apa pengawalan yg tegas dan bijak. Sadarlah,
betapa kaum Nahdliyin diam-diam mengapresiasi aksi ini secara suka rela. Artinya,
mereka sdh mulai tdk sudi dan meninggalkan gaya PBNU yg tk jelas. Sok toleransi,
tapi tak ada aksi. Berdalih” RAHMATAN LIL ‘ALAMIN” tapi sejatinya “ADL’AFUL
IMAN”.
Dialah Rasulullah SAW, saat pribadinya disakiti, memaaf. Jika
agama dinista, beliau marah besar. Bbrpa suku dan pribadi dikutuk dan dilaknat.
Mukmin beneran itu tegas-keras kepada kafir, berkasih sayang sesama mukmin, ”
asyidda’ ‘ala al-kuffar, ruhama’ bainahum” (Al-Fath:29). Tapi sebagian oknum
PBNU, kiai toleransi, kiai seni sekarang cenderung sebaliknya, “asyidda’ ‘ala
al-mukminin, ruhama’ bain al-kuffar”. (?)
4. Gus Mus yg membid’ahkan shalat jum’ah di jalan raya dan
kiai Sa’id yg menghukumi tdk sah skrang diam soal shalat jum’ah di Silang Monas.
Wonten punopo kiai?. Begitulah bila fatwa beraroma dan tendensius, hanya
melihat illat hukum secara pendek dan sesaat. Terlalu naif menggunakan ikhtifah
fiqih utk kepentingan politik.
Benar, jika itu mengganggu lalu lintas. Tapi hanya sebentar
dan hanya pengguna jalan yg ketepatan lewat. Stelahnya, ada maslahah sangat
besar bagi umat islam pd umumnya. Maslahah inilah yg tdk beliau lihat. Lagian, tradisi
kita sdh biasa menutup jalan utk majlis dzikir, istighatsah, trmasuk haul Gus
Dur di pesantren Tebuireng.
Gus Mus pernah mencak-mencak saat amaliah kaum Nahdliyin
dibid’ahkan, tapi sekarang ganti membid’ahkan sesama muslim, “bid’ah besar”. Ternyata,
amunisi bid’ah yg ditembakkan Gus Mus ini lbh besar dibanding bid’ah yg
ditembakkan nonnahdliyin.
Skedar mmbaca sejarah, bhw zaman Umar ibn al-Khattab, tentara
islam shalat jum’ah di jalan sblum menaklukkan negeri futuhat. Sultan Muhammad
al-Fatih shalat jum’ah di sepanjang pantai Marmara sebelum menjebol benteng Konstatinopel.
Inilah awal khilafah Utsmniyah berdiri. Sekali lagi, orang ‘alim mesti melihat
sisi maslahah jauh ke depan ketimbang illat “bid’ah” sesaat.
Mengagumkan, fatwa dan puisi Gus Mus begitu manusiawi, tawadlu’,
filosufis dan sufistik sehingga mengesankan derajat beliau telah mencapai
hakekat keagamaan. Tiba-tiba tega merendahkan ilmu kiai-kiai MUI dengan
mengatakan ilmu Syafi’i Ma’arif lebih tinggi. Sungguh membuat penulis
tercengang. Ya. karena pernah kuliah di Jogya dan sedikit tahu.
Merendahkan ilmu kiai-kiai MUI sama saja dg merendahkan ilmu
ketua Syuriah NU, KH. Ma’ruf Amin. Begitu cerdiknya Gus Mus, “sekali dayung dua
kepala kena pentung”. Penulis membatin, ” kok bisa, sekelas ketua Syuriah NU
tega merendahkan sesama ketua Syuriah. Ini fenomena apa?”. Hadana Allah. Terpujilah
kiai Makruf tdk meladeni. Meski demikian, akan lebih elegan bila kiai Ma’ruf
Amin tdk merangkap jabatan. Mohon maaf kiai.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan