Acehpol, PROVINSI ACEH dikenal sebagai daerah yang
menerapkan Syariat Islam. Hal Ini dikarenakan mayoritas umat beragama yang di
Aceh beragama Islam. Namun di satu sisi lainnnya, ada minoritas non-muslim
yang juga tinggal di Aceh. Terutama
pemeluk agama Katolik.
Pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi Aceh juga ditanggapi negatif oleh
masyarakat di luar Aceh. Hal ini
akhirnya mengiring asumsi yang negatif terhadap pemerintah Aceh yang berkuasa saat ini. Stigma negatif juga lahir
dari pemberitaan media-media.
Asumsi ini membuat citra Aceh menjadi buruk di mata Dunia. Apakah benar
seperti itu?
Lantas bagai mana pelaksanaan Syariat Islam di Aceh di mata
pemuka Katolik yang tinggal di Daerah Aceh sendiri? Apakah pelaksanaan Syariat
Islam ini menjadi masalah bagi mereka yang non-muslim atau justru sebaliknya?
Simak wawancara khusus dari
mediaaceh.co, WiIdan EI FadhiI, bersama salah seorang Pemuka Agama
Katolik Kantor Wilayah Kementerian Agama
Aceh, Baron F. Pandiangan, S.Ag., M.Th, kini
sudah 5,5 tahun tinggal di Daerah Aceh. Dalam wawancara nya, Ia juga
berulangkali memuji pelaksanaan Syariat Islam di Aceh yang berdampak baik bagi
mereka.
Aceh merupakan sebuah daerah yang mayoritas beragama Islam. Apakah
Provinsi Aceh termasuk dalam daerah yang begitu toleran dalam menghargai
perbedaan agama?
Pengalaman saya dan kawan-kawan, sangat toleran. Dan dalam
kapasitas saya sebagai warga Katolik, jujur saya mengatakan justru saya
bersyukur di Aceh ini ditempatkan. Dan saya rasakan sebagai Katolik selama di
Aceh ini, saya merasakan sebagai Katolik yang betul-betul saya rasakan nilai
Katolik ya selama di Aceh ini.
Saya selama ini tugas di Medan, pendidikan saya juiga di
internal Katolik, tapi ketika saya dipindah tugaskan ke Aceh ini. Apa yang saya
alami sebelum ke Aceh ini, apa yang saya dengar dari keluarga sampaikan
tentang Aceh memang menyeramkan, tapi
setelah saya masuk dan masuk lagi dan tidak ada saya lihat. Bahkan dalam rapat
kami di tingkat direktorat tingkat nasional kita koordinasi, saya katakan pada
bapak pimpinan, "Pak Dirjen saya bersyukur ditugaskan di Aceh". Saya
tidak berbohong, saya merasakan hidup saya sebagai Katolik di Aceh.
Baca Juga; Asuransi Mobil Penting, Karena Risiko Kecelakaan
dan Kehilangan Bisa Terjadi Kapan Pun
Do'a-doa saya di Medan, saya ke gereja, di Aceh masih juga
saya alami itu. Dan saya dari Singkil kemarin, di 23 kabupaten itu saya sebagai
seorang Katolik tidak merasa terzalimi. Bahkan saya sebagai seorang Katolik
merasa syariat Islam kalau makin kaffah itu saya makin senang lah. Syariat
Islam Melindungi Kami. minimal kontak sosial untuk saya itu semakin sesuatu dan
keluarga saya masih nyaman walaupun saya dengan istri jauh.
Kondisi syariat itu juga mendorong saya untuk berperilaku
kemanusiaan, saya pikir poin-poin yang
diatur dalam adat istiadat Islam itu juga mengatur hubungan yang lebih harmonis
kan? Hablun minannasnya kan? dan kami setuju dengan itu, kami mengatur dengan
baik hubungan dengan sesama yang lain dan hubungan dengan tuhan. Saya pikir
kalau ada yang lain itu intrik-intrik, tidak persoalan agama. Menjelang natal
ini kami bebas saja melakukan latihan. Nanti
kami tanggal 24 malam ada kegiatan natal besar-besaran di gereja, dan kami
belum mendengar ada mendapat surat atau teguran, santai saja.
Dari penjelasan Anda bisa disimpulkan bahwa toleransi
beragama di Aceh begitu tinggi?
Ya tinggi, lihat di ruangan saya salib saya bawa tidak ada
yang complain, tidak ada yang marah.
Bagaimana interaksi sosial Anda dengan umat agama lain di
Aceh?
Kami selalu ikut, bagus juga dilibatkan hal-hal
kemasyarakatan, seperti di kampung saya di Mata Ie, boleh abang cek, abang
tanya itu, siapa Baron Pariangan? Maka mereka mau milih saya sebagai RT apalah
itu.
Kemarin maulid kami gotong royong bersama, makan bersama. Teman
yang di depan rumah itu mau pesta, sibuk orang komplek kita yang muslim, kita
siapkan tenda, kita bersihkan pekarangan rumah, kita siapkan semua, masak, cuci
piringnya, kita ikut lo. Bahkan mereka ada tahun kemarin juga yang akad nikah
di masjid Baiturrahman, kita juga bantu transportasinya, kita angkut, jemput
lagi, kita antar lagi. Bahkan tetangga saya yang di dekat rumah itu yang mau
pulang ke Seulimuem baru pulang dari rumah sakit, dia minta tolong saya. Saya
antar ke Seulimuem naik mobil saya, yang di dalamnya ada ornamen-ornamen
Katolik, tidak merasa canggung.
Aceh sudah menerapkan syariat Islam, apakah penerapan
tersebut mengusik peribadatan agama Anda?
Sampai saat ini tidak, karena gini yang saya pahami dan saya
dengar dari teman-teman pembuat regulasi syariat itu. Memang syariat itu
berlaku ketat kepada orang muslim, walaupun kami sebagai orang yang tinggal di
sini juga harus menghormati itu dan mengetahui koridor di situ, kami juga tidak mau menodai itu.
Kami juga paham bahwa
yang ditegaskan oleh syariat Islam itu mengatur hubungan baik supaya
lebih nyaman, lebih terkontrollah perilaku hidup orang di Aceh ini. Kami sangat
setuju di situ untuk mengontrol perilaku hidup, contoh perilaku berpakaian saja,
kami sangat senang itu, jangan ketat-ketat kali kan? Okelah masalah jilbab saya
pikir itu sudah masuk paham aqidah menurut pemahaman kami. Dan kami tidak perlu
ikut di situ dan kami tidak pernah mengalami paksaan atau tekanan untuk
memakainya.
Kalau pun ada teman kami bekerja di fasilitas umum, ya dia
cuma sebatas dia sendiri merasa tidak nyaman, tapi tidak ada paksaan dari
pimpinannya untuk memakai jilbab itu tidak, itu cuma biar dia enak
berkomunikasinya. Walaupun sebenarnya dia tidak ada paksaan dan tidak banyak
orang kita yang bekerja di situ kan?
Sering muncul isu SARA di Daerah Aceh seperti pembakaran
gereja di Aceh Singkil beberapa waktu lalu, bagaimana menurut Anda?
Saya persis tahu itu, saya satu minggu sebelum itu ada di
lokasi. Untuk isu SARA saya katakan tidak benar
sedikitpun. Bahkan saya tahu lokasi persis di mana gereja itu. Bahkan
satu Minggu sebelum itu sudah beredar SMS itu. Nah ini saya lihat dinamika sosial
di sana yang bergerak termasuk bidang politik, ekonomi, saya merasa SARA tidak
ada di sana, dalam konteks peristiwa itu ya. Setelah kejadian itu, besoknya
pasar-pasar sudah ramai, banyak orang non-muslim berdagang di situ, kalau SARA
sudah habis orang itu berlarian, bahkan yang mengungsi itu saya tidak setuju
pada awalnya.
Bahkan saya sendiri turun ke situ pasca kejadian itu, saya
turun saya ada larangan dari Brimob tidak boleh masuk, saya bilang saya tidak
mau, saya masuk dalam kondisi apapun. Saya ingin menunjukkan bahwa kondisi di
sini aman. Mereka tahu saya orang non muslim, bahkan saya bebas berjalan ke
sana. Jadi itu unsur SARA tidak ada.
Apa contoh kerukunan agama di Aceh yang bisa kita
kontribusikan untuk daerah lain di Indonesia?
Menghargai masing-masing itu ada di sini (Aceh). Dalam
prinsip kalau di Islam itu, saya Katolik ya laksanakan. Tapi sejauh ya
mengikuti kearifan lokal setempat, saya setuju itu. Contoh, mungkin ramai
pendirian rumah ibadah, itu yang sedikit kita evaluasi kembali bagaimana
turunan dari dua menteri itu, menteri dalam negeri dan menteri agama. Kemudian,
bagaimana pergub, perbupati lagi perlu dihormati lah.
Menjelang natal, apakah Anda pernah merasakan gangguan saat
melakukan ritual peribadatan selama berada
di Aceh?
Sampai saat ini tidak ada, Katolik tidak mengalami gangguan.
Bahkan pengalaman kami selama ini juga, kami dibantu oleh aparat juga. Kita
buat laporan, mereka datang sendiri untuk buat pengamanan untuk antisipasi, namun
yang saya khawatirkan agak jauhlah. Karena kita punya Gereja Katolik yang di
Banda Aceh ini Hati Kudus itu kan, yang sudah jauh ada sebelum republik ini, yang
fisik sekarang ini sudah ada tahun 1926 zaman Belanda dan tidak ada intimidasi
apapun.
Apa harapan Anda terhadap kerukunan beragama di Daerah Aceh?
Kita harus sepakat kerukunan dan harus kita jaga bersama. Kerukunan
itu harus kita kejar dan pelihara bersama-sama. Untuk rukun saya pikir kita
juga harus tahu Aceh ini multi cultural, dan multi budaya bahkan multi agama, itu
satu keniscayaan tidak bisa dinafikan. Bagaimana ini merajut, ya saya pikir itu
tadi saling menghargai dan menghormati tapi ikut juga peraturan yang berlaku.
Apa yang beda jangan disamakan, apa yang sama jangan
dibedakan, artinya dalam kontek Islam
itu sangat kental "Lakum dinukum waliya din". Dan saya sangat
senang itu, berarti kawan yang muslim juga menghormati agama lain, kami juga
harus. Tapi saya juga harus mantapkan aqidah saya sebagai Katolik di sini.
mediaaceh.co
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan