Jakarta, NU Online
Perbedaan Idul Fitri terjadi karena adanya penggunaan perhitungan yang menyimpang dari kelaziman astronomi modern, kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof Dr Thomas Djamaluddin.
"Penyimpangan dari kelaziman astronomi modern ini dengan masih digunakannya metode lama dalam hisab dan rukyat. Metode lama ini misalnya, hisab urfi hanya dengan periode tetap, dengan pasang air laut, serta metode wujudul hilal," kata Thomas Djamaluddin di Jakarta, Selasa.
Pakar astronomi ini menilai, organisasi massa (ormas) Islam, seperti Muhammadiyah, masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal.
"Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433, 1434 dan 1435 hijriyah juga akan berbeda, dan masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara. Mari kita saling menghormati," katanya. 1433 hingga 1435 Hijriyah sama dengan tahun 2012 hingga 2014 Masehi.
Menurut dia, perbedaan Idul Fitri itu akan terus berulang, yakni ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk, contohnya pada kasus penentuan Idul Fitri 2011, yakni saat Maghrib 29 Ramadhan atau 29 Agustus, bulan sudah positif, tetapi tingginya di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang.
Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan sudah wujud di atas ufuk saat Maghrib 29 Agustus 2011, padahal saat itu bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati sesuai dalil syar`i.
"Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya, tidak ada yang istimewa," katanya.
Sedangkan, menurut dia, metode Imkan Rukyat adalah tren baru astronomi yang berupaya menyelaraskan dengan dalil syar`i, ujar alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Ia mengakui sering mengritik metode hisab rukyat. Oleh karena, ia menilai, perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi, bahkan informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses di Internet.
Redaktur: Mukafi Niam
Sumber : Antara
Perbedaan Idul Fitri terjadi karena adanya penggunaan perhitungan yang menyimpang dari kelaziman astronomi modern, kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Prof Dr Thomas Djamaluddin.
"Penyimpangan dari kelaziman astronomi modern ini dengan masih digunakannya metode lama dalam hisab dan rukyat. Metode lama ini misalnya, hisab urfi hanya dengan periode tetap, dengan pasang air laut, serta metode wujudul hilal," kata Thomas Djamaluddin di Jakarta, Selasa.
Pakar astronomi ini menilai, organisasi massa (ormas) Islam, seperti Muhammadiyah, masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal.
"Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433, 1434 dan 1435 hijriyah juga akan berbeda, dan masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara. Mari kita saling menghormati," katanya. 1433 hingga 1435 Hijriyah sama dengan tahun 2012 hingga 2014 Masehi.
Menurut dia, perbedaan Idul Fitri itu akan terus berulang, yakni ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk, contohnya pada kasus penentuan Idul Fitri 2011, yakni saat Maghrib 29 Ramadhan atau 29 Agustus, bulan sudah positif, tetapi tingginya di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang.
Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan sudah wujud di atas ufuk saat Maghrib 29 Agustus 2011, padahal saat itu bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati sesuai dalil syar`i.
"Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum. Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya, tidak ada yang istimewa," katanya.
Sedangkan, menurut dia, metode Imkan Rukyat adalah tren baru astronomi yang berupaya menyelaraskan dengan dalil syar`i, ujar alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) itu.
Ia mengakui sering mengritik metode hisab rukyat. Oleh karena, ia menilai, perhitungan imkan rukyat kini sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi, bahkan informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses di Internet.
Redaktur: Mukafi Niam
Sumber : Antara
Artikel Terkait
Ikuti Allah SWT dan Rosulullah Muhammad SAW aja.. Kalau Rosulullah bersabada sempurnakan puasamu 30hari kalau mata telanjangmu tak mampu melihat hilal, ya turuti saja. Nggak usah sok-sok ngitung lagi. Akalmu "cetek" dibanding ketentuan Ilahi.. Kalau begini jadinya jangan2 suatu saat nanti orang yang batal wuduknya karena buang air dan kentut, akan menggantinya dengan hanya mencuci kemaluan dan duburnya saja karena akalnya mengatakan yang kotor adalah kemaluan dan dubur.
BalasHapusYa, yang penting rukyatul hilal . Ilmu hisab hanya sebagai pembantu belaka.
BalasHapusAssWrWb
BalasHapusSy 'salud' dg keberanian Amar ma'ruf Nahimunkar atas Keinsyafan Pak Kyai Mahrus Ali karena bbg amalan masa lampaunya yg ternyata tdk sesuai dg Al Qur 'an dan Hadits Sohih, dg koreksi obyektif, ilmiah dan tetap mengacu pada Al Qur 'an dan Hadits sohih shg banyak memberi pencerahan umat walau menuai ktitikan tajam umat yg berseberangan. Tapi dlm hal mengkomentari Masalah Rukyah hilal nampaknya Pak Mahrus Ali memang hanya berpedoman pada Jaman Rosulullah SAW yakni melihat dengan mata telanjang (bil aini), kendati takbisa dimungkiri pada Era IPTEK ini taksedikit umat Islam Alchmdulillah sdh tidak lagi spt periode Jaman Rosulullah yg kebnyakan bodoh dan buta huruf/umyyi sbagaimana pengakuan Nabi sendiri. Jadi salahkah atau tidak sesuai dg Sunnah Rosulullahkah melihat hilal bil ilmi/dengan menggunakan sekadar sarana dengan alat bantu seperti IPTEK Kedirgantaraan ( Satelit Penginderaan Jauh, teropong bintang) dengan tujuan bisa mendeteksi keberadaan hilal dengan lbh cermat, teliti dan teruji secara ilmiah kendati tingginya masih di bawah 2 derajat.Bukankah akhirnya kendati msh di bawah 2 derajat akhirnya banyak negara memutuskan Shollat Idul Fitri Pada Hari Selasa 30 September 2011 termasuk Arab Saudi dimana terdapat Ka'bah -arah kiblat-pemersatu umat.Memang berlainan dg Keputusan 'molor'(jauh melewati waktu Isak) Pemerintah Indonesia yg mengetok palu hasil sidang Isbath (layaknya votting alot) akhirnya menetapkan Shollat Iedul Fitri berlangsung Hari Rabu, 31 September 2011....mksh Wassalam
setahu saya masih mengharuskan rukyah dengan mata telanjang sebagaimana di masa sahabat .Dan al hamdulillah dalam hal ini di Indonesia bagi yang mengikuti rukyah tidak ada perbedaan yang berarti
BalasHapus