Wisnu Dewabrata menulis sbb:
BARU beberapa saat memasuki kawasan Kelurahan Sekardangan, Sidoarjo, Jawa Timur (Jatim), aroma gurih petis udang menyergap penciuman. Buat orang yang doyan makan petis, bisa jadi selera makannya langsung bangkit. Bahkan, dalam bayangannya bisa langsung muncul sepiring nasi hangat mengepul, lauk pauk di atas piring, plus racikan sambal petis berwarna kehitaman di dalam cobek batu. Semua siap untuk disantap.
Tidak ada yang tahu pasti kapan pertama kali industri rumah tangga petis udang diproduksi di kelurahan ini. Ada yang bilang, kerajinan petis sudah ada sejak tahun 1960-an. Ada lagi yang mengatakan, malah sejak zaman Jepang (tahun 1942-an) warga Sekardangan sudah berjualan petis di Pasar Wonokromo, Surabaya. Menurut H Tobroni (52), salah seorang pengusaha petis yang meneruskan bisnis orangtuanya, para pembuat petis berjalan kaki ke pasar Wonokromo, sembari menggendong bakul atau menyungginya.
Seperti juga H Tobroni, para pengusaha petis yang ada di sini mengaku melanjutkan bisnis warisan yang puluhan tahun lalu dimulai para orangtua mereka. Dengan demikian, para pengusaha petis yang ada saat ini adalah generasi kedua industri rumah tangga petis udang di Kelurahan Sekardangan.
Wisnu Dewabrata
"Saya mewarisi usaha almarhum ayah sejak tahun 1980-an. Waktu itu alat produksinya masih manual. Bahan baku kepala udang ditumbuk memakai palu dan lumpang kayu. Produksi petisnya pun masih sedikit dan hanya dipasarkan di sekitar Sidoarjo atau Surabaya," ujarnya.
Setidaknya ada delapan pengusaha petis di kawasan ini dengan kemampuan produksi beragam. Rata-rata produksi harian mereka mencapai tiga sampai tujuh kuintal petis. Selain itu, wilayah pemasarannya pun sudah semakin berkembang. Jika dulu hanya dijual di seputar Sidoarjo dan Surabaya, saat ini pemasarannya menjangkau beberapa kota di Jatim seperti Surabaya, Mojokerto, Malang, Probolinggo, Jember, Banyuwangi, Mojosari, dan bahkan DKI Jakarta.
"Akan tetapi, kebanyakan pesanan dari Jakarta berasal dari orang Jatim sendiri yang kebetulan tinggal di sana. Memang tidak semua orang tahu atau doyan makan petis. Di Jatim sendiri tidak semua daerah suka makan petis," ujar Hasanuddin (34) salah seorang pengusaha petis merek UD Mandiri.
***
BAIK H Tobroni maupun Hasanuddin mewarisi usaha ini sejak 20 tahun lalu. Namun, berbeda dengan orangtua mereka, industri petis udang saat ini menggunakan mesin giling bertenaga diesel untuk menggiling bahan baku kepala udang. Sedikitnya setiap pengusaha memiliki dua sampai tiga mesin. "Jika dibanding pengolahan secara manual, kemampuan produksinya juga jauh meningkat, lebih dari 30 persen," ujar Tobroni.
"Untuk menghasilkan 4,5 kuintal petis dibutuhkan bahan baku 1,2 ton kepala udang. Proses pembuatannya selama 24 jam, mulai dari merebus kepala udang, penggilingan, pemerasan, dan pemasakan air perasan hingga menjadi kaldu. Setelah dicampur dengan gula pasir dan bumbu-bumbu lain, adonan diaduk hingga mengental di atas api hingga berwarna kehitaman," jelas H Abdul Mudjib yang juga memproduksi petis udang di Kelurahan Sekardangan.
Sebenarnya tidak sulit memperoleh bahan baku kepala udang. Masalah satu-satunya kini adalah ketergantungan pada musim panen udang. Setiap produsen biasanya memiliki pemasok sendiri, kebanyakan adalah pabrik pengolahan dan pengepakan udang untuk ekspor. Pabrik pengolahan seperti ini memang banyak terdapat di Surabaya maupun Sidoarjo.
"Harganya murah antara Rp 200 sampai Rp 300 per kilogram. Bisa murah karena kepala udang ini sebenarnya dianggap limbah oleh pabrik. Hitung-hitung kami membantu mereka mengolah limbah. Tetapi, konsekuensinya kami harus selalu siap menampung berapa pun sisa limbah kepala udang mereka," ujar Tobroni.
Setiap produsen menghasilkan dua macam petis, jenis super dan jenis ekstra, yang masing-masing dijual dengan harga berbeda. Jenis super dijual Rp 70.000 per 10 kg sementara jenis ekstra Rp 52.000 per 12 kg.
"Perbedaannya pada proses pembuatan, petis jenis super dibuat dari kaldu kepala udang yang diperas pertama kali, sedangkan jenis ekstra adalah hasil perasan yang kedua. Petis yang dihasilkan dari perasan kedua ini lebih kasar daripada jenis super," jelas Tobroni.
Dalam sehari omzet rata-rata setiap produsen petis Desa Sekardangan bisa mencapai Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta. Bahkan, ketika petis ini sampai di tangan para pengecer langganan, keuntungan bisa berkali lipat. "Dari setiap kaleng blek petis isi 10 kilogram dan 12 kilogram mereka bisa untung Rp 100.000. Keuntungan diperoleh karena petis tersebut dikemas ulang ke dalam paket-paket yang lebih kecil dan diberi merek," ujar Hasanuddin.
Kalau ternyata lebih menguntungkan, lantas mengapa para produsen ini tidak mengemas dan memasarkan sendiri produk petis buatan mereka? "Niat sudah ada, tetapi modal dan tenaga belum memungkinkan. Sepertinya kami akan melakukan secara bertahap," ujar Hasanuddin.
Kedua hal di atas, baik modal maupun tenaga kerja, memang masih menjadi persoalan bagi beberapa produsen petis. Dengan rata-rata pekerja 10 hingga 15 orang, jumlah itu dirasa hanya mencukupi kebutuhan tenaga untuk proses produksi. Padahal, untuk mengerjakan pengemasan setidaknya diperlukan beberapa tambahan tenaga kerja lagi.
Setiap produsen harus menyediakan modal produksi Rp 3 juta sampai Rp 4 juta setiap hari. "Hingga sekarang saya masih mengandalkan modal yang diputar sendiri, dan tidak berminat mengajukan pinjaman kredit ke bank. Saya malas mengurus prosedurnya yang berbelit-
Komentarku ( Mahrus ali ) : Saya dan keluarga saya dulu di Telogojero , Sidomukti , Giri Kebomas Gresik suka sekali dengan petis , bahkan ibu saya selalu suka petis dan tidak enak makanan tanpa sambal petis. Saya di pesantren pun suka sekali dengan petis . Tapi kebanyakan santri di pesantren saya dulu lebih banyak mengkosumsi terasi dari pada petis.
Setelah dari Mekkah pun , saya masih suka dengan petis , baru lima tahun terahir ini , saya dan keluarga saya tidak mengkosumsinya .Sebab , petis itu di buat dari kepala – kepala udang yang banyak tahinya lalu di rebus bersamaan dengan tahi itu , lalu di jadikan petis. Dan Untuk udang sendiri , saya masih mengikuti Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa hewan laut yang bisa di makan hanya ikan . jadi udang tidak boleh di makan . Dan saya sendiri tidak mengetahui dalilnya untuk memakan udang . Saya cari si kitab – kitab fikih syafi`iyah , Hambaliyah Bahkan di kitab – kitab syarah hadis, saya tidak menjumpai ulama yang menghalalkannya . terus siapakah yang berani menghalalkan udang lalu mau bertanggung jawab , dan tidak cukup dengan tanggung jawab saja , tapi keluarkan dalilnya. Untuk hadis yang menyatakan semua hewan laut halal masih perlu di kaji ulang , bahkan ada ulama yang menyatakan palsu.
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan