Jakarta (voa-islam.com)
Selama ini banyak aktivis Islam menilai Amien Rais sudah tamat, sudah
gagal secara politik, terjerumus dalam pluralisme, dituduh mencari aman
di balik punggung rezim.
Tapi
sebagai kader Muhammadiyah, sebagai mantan Ketua PP Muhammadiyah,
ternyata Amien Rais masih punya taji, resistensi, dan militansi. Itu
terbukti dari isi ceramahnya yang cukup “radikal” di hadapan kader-kader Muhammadiyah Yogya, dalam acara “Rapat Kerja dan Dialog Pengkaderan” tanggal 23-24 Februari 2013.
Ceramah
yang kemudian ditranskrip itu dimuat di sebuah media internal milik
Muhammadiyah. Dalam ceramahnya Pak Amien sempat bilang, “Nah, ini cuma sekedar cerita, ini tidak boleh keluar di wartawan.” Pembaca bisa baca sendiri kira-kira apa isi ceramah itu.
Karena
isinya sangat penting, kami para jurnalis minta maaf ke Pak Amien,
kalau ceramahnya akhirnya keluar juga ke tengah publik. Bukan tak
menghargai privasi Prof. Amien, tapi kayaknya Umat perlu tahu
gagasan-gagasan beliau.
Berikut ini kami kutipkan pernyataan-pernyataan Prof. Dr. H. Amien Rais dari ceramah yang ditranskrip menjadi tulisan berjudul, Kader Muhammadiyah di Pentas Politik.
Karena panjangnya artikel, hanya dikutip bagian-bagian tertentu saja
yang dipandang sangat urgen diketahui Umat Islam. Selamat menyimak,
semoga mencerahkan!
1. FONDASI AKIDAH
Saya
akan membicarakan masalah yang mendasar terlebih dulu, bahwa kita ini
sebagai orang beriman diperintahkan di dunia ini, hanyalah untuk
mengabdi kepada Allah SWT. “Tidak aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadat kepada-Ku.” (Adz Dzariyat: 56)
Dalam
pandangan orang Islam, hidup kita ini adalah bulat, tidak terbagi-bagi.
Misalnya ini yang sekuler dan itu yang non sekuler, ini yang transenden
dan itu yang intransenden.
Hal ini disebabkan, kita sudah memproklamasi dan mendeklarasikan, bahwa
shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, aku persembahkan kepada Allah
Tuhan semesta alam. Ini sudah jelas sekali.
Karena the core of our lives must be based on tauhid. Nabi kita itu pelanjut dari millah, agama, tradisi, keyakinan, dari nabi-nabi sebelumnya. (Kutipan hal. 18-19).
2. ANTI PLURALISME
Dalam
hal ini saya wanti-wanti, karena kelompok non Muslim pandai sekali
mencari istilah, yang enak dan sejuk didengar, yaitu pluralism atau
kemajemukan.
Jangan sampai kita terseret gara-gara istilah kemajemukan itu kemudian
menyangka semua agama itu seperti madzhab-madzhab yang mencari kebenaran
di puncak gunung, dan boleh melewati lereng utara, lereng selatan atau
barat, yang akhirnya akan sampai juga ke puncak.
Orang-orang keblinger itu seolah-olah menyatakan, bahwa semua agama itu sama.
Yang
perlu digarisbawahi adalah, dari bacaan kita di koran, internet, dan
sebagainya, ada semacam angin yang menyapu berbagai negeri Muslim yaitu
angin pluralisme.
Sedihnya kemudian sebagian intelektualnya seperti kerbau tercocok
hidungnya, tanpa menggunakan daya kritis ikut melambungkan paham
pluralisme itu.
Padahal sekali kita menerima pluralisme tanpa kaca mata yang kritis,
seperti kita mengerek agama Allah yang kaffah, yang diridai Allah itu,
turun dari tingkat yang tinggi, seolah-olah agama kita sama dengan
agama-agama yang lain.
Kadang
kita tidak sadari, bahwa dengan ikut paham kemajemukan itu, kita justru
sedang menurunkan martabat level agama Allah yang sempurna ini turun ke
bawah, sama dengan Hindu, Budha, Kristen, Protestan, dan lain-lain.
Jadi
kalau Allah mengatakan, kita harus mengimani wahyu yang diturunkan
kepada Nabi Ibrahim, Nabi Isa, dan lain-lain, itu bukan berarti agama
lain itu sama dengan agama kita. Karena Allah juga mengatakan, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu, hingga kamu mengikuti agama mereka.” (Al Baqarah: 120) (Kutipan hal. 19).
Kita
ini tak boleh gegabah. Kalau anda dipuji-puji oleh orang “walan tardho”
(Yahudi-Nashrani) itu jangan malah bangga. “Wah, aku pluralis.” Jangan,
itu beracun. Saya punya seorang teman dekan dulu (dia dipuji sebagai
Muslim pluralis). Saya jawab, “Loh, anda itu dipuji-puji begitu berarti
kan Islamnya tipis, jadi komitmennya juga tipis to? Lha itulah, mereka
senang dengan anda, karena anda tidak mungkin macam-macam.” (Kutipan
hal. 22)
3. KERISAUAN
Muhammadiyah
telah berumur satu abad. Alhamdulillah masih segar, tetapi kalau kita
mau jujur, kita ini telah mengalami kekalahan. Tahun 1950-an jumlah umat
Islam itu 92 % dan sekarang tahun 2000-2013 sekitar 86 %. Sehingga ada
kemerosotan sekitar 6 %. Maka jika kemerosotan ini berlanjut,
jangan-jangan 200 tahun lagi umat Islam akan tinggal 70 %.
Walaupun
sesungguhnya sudah ada indikator kekalahan kita dalam perlombaan
dakwah, yakni melakukan perebutan wilayah keagamaan di dalam wilayah
bangsa besar yang kita cintai ini. Pendidikan dan hal-hal lain kita
memang semakin bertambah, tetapi sesungguhnya secara komparatif, baik
quality ataupun quantity, kita itu masih kalah.
Jumlah sekolah Islam dan sekolah Kristen, masih banyak sekolah Kristen.
Jumlah RS MUhammadiyah dan rumah sakit mereka (Kristen), juga masih
banyak mereka. Dan jumlah per kepala pun mereka terus bertambah,
sedangkan kita turun dalam kurun waktu beberapa waktu ini. (Kutipan hal.
19)
4. MENGABAIKAN SYIAR JIHAD
Bahkan
saya sering mengatakan, bahwa Muhammadiyah itu diam-diam juga
mempraktikkan bid’ah. Kita sering mengatakan NU bid’ah, tapi kita
kadang-kadang tidak terasa juga bid’ah, cuma bid’ah mengurangi (al ibdtida’u bil nuqshan). Dimana pengurangannya? Kita tidak sadar, kita tidak tahu, karena kita merasa tidak pernah melakukannya.
Tapi
lihat dalam training-training Muhammadiyah atau Aisyiyah, atau di
beberapa even Muhammadiyah, hampir jarang dibahas atau didorong tentang
konsep Al Qur’an yang namanya Al Jihad. Kita itu sepertinya dengan
konsep jihad, kalau alergi tidak, cuma sudah cukupkah jihad itu dengan
teologi Al Ma’un.
Sejak saya kecil Al Ma’un, saya di IMM Al Ma’un, saya jadi ketua PP
Muhammadiyah Al Ma’un, dan sampai sekarang Alhamdulillah juga masih
tetap Al Ma’un. Itu betul dan tidak salah.
Teori Al Ma’un itu tetap, tapi harus kita tambah lagi, karena yang
namanya jihad itu jumlahnya sebanyak kata zakat. Kenapa kita berani
membicarakan soal zakat dan lain-lain, tetapi soal jihad itu tidak
pernah kita ucapkan. (Kutipan, hal. 20)
5. IKHWANUL MUSLIMIN
Saya bukan pengagum Al Ikhwan, tapi saya kira Al Ikhwan itu betul. Misalnya, (semboyan mereka): Allahu Ghayatuna (Allah tujuan kami), Ar Rasulu Qudwatuna (Rasulullah teladan kami), Al Quran Dusturuna (Al Qur’an landasan hukum kami), Al Jihad Sabiluna (Jihad jalan kami), Syahid fi Sabilillah Asma Amanina (mati Syahid di jalan Allah, cita-cita kami yang tertinggi).
Jadi
mengapa Al Ikhwan seperti bergerak terus sampai ke Yordania, Eropa,
Amerika, dan seterusnya. Mungkin karena kata jihad itu tidak dijauhi.
Jadi kritik kita ke dalam, tiap kali kita baca Al Qur’an, jihad tidak
pernah dibahas. Mungkin ini untuk para kader juga perlu dipahami.
(Kutipan hal. 20)
6. PARTISIPASI POLITIK
Pada
zaman Bung Karno dulu politik adalah panglima. Jika kita berbicara di
tingkat realitas, justru memang politik itu adalah panglima. Definisi
politik itu sebenarnya: politics is who gets what, when, and how (politik itu siapa dapat apa, kapan, dan bagaimana).
Cuma karena kita orang beriman, kita tambah dengan why. Karena hal ini merupakan niat, innamal a’malu bin niyat. Politik itu sebenarnya adalah alokator dari segenap keperluan hidup manusia, dengan keputusan modern.
Membangun
itu bukan keputusan ekonomi, itu keputusan politik. Kita biarkan atau
kita awasi kegiatan Zending (Kristenisasi) orang-orang asing, itu
politik. Kita mau meminjam uang IMF atau Bank Dunia, itu politik.
Mengapa HPH yang sekian ratus hektar itu kita berikan si fulan dan bukan
si fulan? Sekarang Papua ingin merdeka, itu juga merupakan political
decision. Menghadapinya bukan dengan Tahlilan atau doa bersama; tapi
juga dengan liku-liku aksi politik.
Pada
waktu reformasi, hanya dengan dua atau tiga partai yang mulai berbicara
di tingkat power sharing, kita bisa mendudukkan tiga anggota
Muhammadiyah menjadi Menteri Pendidikan, Pak Yahya Muhaimin, Malik
Fadjar, dan Bambang Soedibyo.
Tetapi sekarang untuk mendapatkan uang ratusan juta saja, kita ini
berat? Karena apa? Karena politik itu alokasi, alokasi APBN, alokasi
apapun itu namanya politik.
Saya ingin mengatakan, bahwa di lembar abad kedua ini kita perlu menambah wawasan kita. Apa yang sudah kita warisi dalam hal education and health terus kita tambah, tapi kita juga harus melakukan pencak silat politik, karena Islam itu kaffah.
Kita diberi Allah untuk memperkuat dunia kita ini, supaya kita di waktu
mendatang bisa bersyukur dan berbahagia, bahwa Muhammadiyah itu semakin
kuat, tidak lagi pinggiran.
Saya
ingin Muhammadiyah tidak lagi marginal, tidak di peran pinggiran, tidak
lagi menjadi penonton, tapi harus di tengah. Bukan hanya penonton,
tetapi Muhammadiyah itu harus memegang kanvas, ikut melukis masa depan
Indonesia.
Kalau
kita ikut melukiskan, paling tidak kalau terlalu merah bisa ikut kita
mudakan (warnanya), terlalu kuning bisa kita agak dekatkan ke hijau
warna Islam.
Atau kalau memegang pahat, bisa ikut mengukir bersama anak bangsa yang
lain, untuk masa depan negeri kita ini. Tetapi jika hanya menonton, maaf
hanya plonga-plongo, maka akan sangat menyakitkan. (Kutipan hal. 20-21)
7. MENGAMBIL ORANG KAFIR SEBAGAI PEMIMPIN
Pertama-tama,
kita harus mencamkan, bahwa kita ini anak-cucunya Nabi Ibrahim, anak
cucunya Nabi Adam, dan sebagai pewarisnya, (kita) jangan sampai tidak
punya keinginan untuk memegang imamah.
Jadi pemimpin umat manusia yang beragama Kristen, Katolik, Kong Hu Chu,
Nasrani, Zoroaster, PKI, dan lain sebagainya itu; pemimpinnya seharusnya
orang beriman. Tetapi (janji Allah tentang imamah pada Surat Al Baqarah
124) tidak pernah sampai, tidak pernah mengenai orang-orang yang masih
zalim.
Orang zalim itu orang-orang yang menganiaya dirinya sendiri, sudah tahu
korupsi itu tidak boleh, malah nekat; sudah tahu bohong itu gak boleh,
malah nekat.
Bahwa kepemimpinan ini amat sangat penting. Kalau menurut saya, dari Al Qur’an itu orang beriman menjadi imaman lil muttaqin dan imaman lin naas (lihat Surat Al Furqan: 74).
Nah sekarang saya beritahu, kesalahan fatal umat Islam di muka bumi,
kesalahan fatal UII (Umat Islam Indonesia), kesalahan fatal umat
Muhammadiyah, barangkali karena tidak memperhatikan pesan-pesan Al
Qur’an.
Allah berfirman:
“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu mengambil orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu; sebagian mereka adalah pemimpin
bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka
sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak member petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al Maa’idah: 51)
(Jangan
menjadikan Yahudi dan Nasrani) tempat berlabuhmu, tempat bersandarmu,
tempat referensimu. Yahudi dan Nasrani itu sokong-menyokong untuk
menggencet orang Islam. Itu sudah jelas untuk menghancurkan umat Islam.
Saya
sudah menjelajah dunia Islam ini, saya sudah dari Malaysia sampai
Merauke, dari Thailand sampai Uzbekistan, kesalahannya mereka juga tidak
menyimak pesan Al Qur’an itu.
Arab Saudi itu masih adem ayem kalau sama Amerika. “Itulah sekutu kami.”
Padahal itu kan Yahudi dan Nasrani, sehingga ini yang menyebabkan kita
tidak bisa kuat.
Pukulan telak dan kesalahan fatal, yaitu ketika Jokowi dan Ahok itu
menang menjadi Gubernur DKI. Ini membuat saya agak resah, sampai mungkin
tidak bisa tidur dua atau tiga malam. Karena saya tahu apa yang
sebenarnya sedang terjadi. (Kutipan hal. 21).
8. TANGGUNG-JAWAB KEBANGSAAN
Kalau
kita melihat Al Qur’an, kita tidak boleh menjadi pupuk bawang, jadilah
lokomotif. Syuhada ‘alannaas. Syuhada itu orang di depan, jadi
referensi, jadi teladan, jadi contoh, di depan. Sebab tidak mungkin
syuhada kok di kanan atau di kiri. Syuhada itu selalu di depan.
Bagaimanapun
seandainya kalian tahu jeroan-nya Indonesia ini, umat Islam itu
betul-betul hanya hanya jadi penonton. Perbankan, pertambangan,
perkebunan, pertanian, kehutanan, dikuasai dan digenggam oleh mereka
(orang kafir). Umat Islam ini hanya diberi remah-remah kecil, tapi yang
the big goal, the biggest share, itu mereka yang genggam.
Kita
ini di samping sebagai kader yang memiliki kadar Islam dan niat yang
mendalam, tapi sebagai orang yang hidup di suatu bangsa, tidak ada
salahnya kita juga punya semangat wathoniyah, kebangsaan, atau
ketanahairan. Pandu kita bernama Hizbul Wathan, partainya tanah air.
Kata Hasan Al Bana, wathoniyah itu sesuatu panggilan yang sangat alami. Wathoniyah itu adalah sesuatu yang naluriah.
Nabi
itu ketika hijrah ke Madinah, betul-betul ingin kembali ke tumpah
darahnya, kembali ke Mekkah. Kembali ke masa muda, kembali ke masa
kecil, itu sesuatu yang sangat alami.
Di
sini saya berbeda dengan orang-orang ekstrim itu, bahwa “kebangsaan itu
taghut, Islam itu menyeluruh, tidak usah ada kebangsaan. Jadi negara
bubarkan saja, tidak perlu ada negara, Khilafah Islamiyah saja”.
Tapi
itu kan hanya dalam imagination, kenyataannya tidak ada. Tapi dalam
kebangsaan ini, saya wanti-wanti, bahwa kebangsaan itu sesuatu yang
alami acceptable, dapat kita terima; tetapi dalam hal kepemimpinan
bangsa, kita tidak boleh main-main. Apalagi kemudian kita serahkan
(kepemimpinan) kepada orang-orang yang laisa min hum (bukan golongan Islam).
“Hai
orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan teman kepercayaanmu
orang-orang dari luar kalanganmu, (karena) mereka tak henti-hentinya
menimbulkan kemadharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan
kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang
disembunyikan oleh hati mereka, adalah lebih besar lagi. Sungguh telah
Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (Ali Imran: 118)
Jadi
masalah leadership itu sesuatu yang sentral. Kita cinta negeri ini,
kita cinta bangsa kita, kita cinta tanah air kita. Kemudian yang penting
adalah mengupayakan, bagaimana agar pimpinan itu ada pada kita,
sehingga bangsa ini enlighten, disinari oleh agama Islam. (Kutipan hal.
22)
9. MISSI MENEGAKKAN KEADILAN
Kemudian
yang menyukai politik, yang memang terampil, biarlah masuk ke sana.
Diharapkan mereka tidak kagetan, tidak gumunan, dan tidak gampang
terjungkal hanya karena gebyar kilau dunia. Dalam hal ini ada cerita
ringan.
Golkar
itu dulu anak didiknya Pak Harto, jadi teman-teman Golkar dengan KKN
itu lumayan dekat. Tapi Golkar itu mengelus dada melihat partai Islam
(?) yang lebih pintar dan lebih ngawur dalam korupsi.
Saya
lima tahun di MPR, teman-teman (Golkar) berkata, “Pak Amin, kami kalah
Pak. Jam terbang kami sudah tiga dasawarsa, ini baru tiga tahun sudah
luar biasa.” (Orang Golkar 30 tahunan korupsi dengan cara-cara yang
“sopan”, tapi orang zaman reformasi baru 3 tahun memimpin cara
korupsinya seperti orang kesetanan).
Kita
punya kebangsaan yang harus kita kembangkan jadi kepemimpinan. Jangan
lupa, dalam kebangsaan itu pun seluruh nilai Islam harus dimasukkan.
Kita ini punya semboyan Amar Makruf Nahi Munkar. Itu bagus, tapi belum cukup. It is just good, but not good enough.
Di samping Amar Makruf Nahi Munkar, kita juga (perlu) mengembangkan Ya’muru bil ‘Adli wa Nahyu ‘aniz Zulmi (memerintahkan berbuat adil, mencegah kezhaliman).
Samakah orang yang jadi budak tadi itu, yang tergantung pada bangsanya
itu dengan orang yang menegakkan keadilan dan dia berada di jalan yang
lurus?
Kalau Allah SWT memerintahkan orang beriman menegakkan keadilan, tentu
sisi yang lain, adalah mencegah kezaliman. Syirik sendiri disebut
kezaliman yang teramat besar.
Muhammadiyah
yang besar ini (perlu) memantau dari Papua sampai Aceh, kira-kira mana
saja yang ada potongan jahitan yang bisa masuk ke gelanggang politik.
Karena itu penting jangan jangan sampai ditinggalkan.
Kalau kita tidak masuk ke situ, kita seperti anak yatim piatu. Kita mau
buat apapun, kalau payung politiknya tidak ramah, serba tidak bisa.
Seperti Muhammadiyah di Bangkalan itu, tidak pernah bisa mengadakan
Isra’ Mi’raj bersama-sama di gedung, karena (diganjal) bupati, sekda,
dan lain-lain.
Dulu
pernah ada menteri (pendidikan) namanya Daoed Joesoef. Waktu itu ada
ratusan dosen yang mau (sekolah) ke luar negeri. Asal namanya Islam,
dicoret. Walaupun tidak shalat, minum arak, kalau namanya Islam ya
dihabisi. Seperti salah seorang kawan saya bernama Amirudin.
Dulu
karena kita tidak punya kekuatan politik, siswa SMA negeri yang memakai
jilbab diundang kepala sekolahnya, disuruh lepas jilbab atau keluar.
Sekarang kalau ada seperti itu, tentu kepala sekolahnya yang disuruh
keluar, karena sudah tidak zamannya lagi (melarang siswi sekolah memakai
jilbab).
Dalam
hal kebangsaan itu, memang harus cerdas dan selalu berpegang kepada Al
Qur’an. Dan kita menghadapinya dengan optimis. Semoga Muhammadiyah abad
kedua ini tidak lagi di pinggir, tapi di mainstream. Tidak lagi tangan
di bawah, tetapi tangan di atas. Kalau kita kuat, kita akan menghidupi
banyak orang. SELESAI. (Kutipan hal. 22-23)
Catatan penyunting:
Tidak
semua pernyataan dikutip, karena teks aslinya cukup panjang dan
mempertimbangkan urgensinya. Tanda kurung dan judul tematik dari
penyunting, biar lebih mudah memahami. Bagian-bagian yang isinya satu
tema disatukan meski posisi agak berjauhan. Bentuk percakapan bahasa
daerah dan font Arabic ditiadakan, agar lebih praktis. Tulisan asli
berjudul: Dialog Bersama Amien Rais, Kader Muhammadiyah di Pentas Politik;
sumber ceramah Prof.Dr. H. Amien Rais dalam acara dialog kader bertema
“Rapat Kerja dan Dialog Pengkaderan” di Yogyakarta pada 23-24 Februari
2013. Teks asli disusun berdasarkan transkrip ceramah oleh redaksi
media, NS.
Penyunting: Abdul Hanif Fadhli, Jakarta.
Artikel Terkait
Konon waktu di era reformasi tokoh yang satu ini ditawarkan untuk memegang sebuah partai berbaju hijau, malah beliau menafiknya baju ini sempit baginya. Lalu, didirikannya sebuah partai baru dengan warna biru langit dengan hiasan pelangi beraneka ragamnya bak atap bumi yang mampu menaungi segala orang di atas permukaan bumi ini.
BalasHapusSejarah mencatat lain, impian yang 'kata'-nya mulia tersebut ternyata tidak mudah diwujudkannya. Walaupun beliau Tokoh Reformasi yang berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa 32 tahun, tapi rakyat nyatanya tidaklah sepenuhnya berpihak dengan partai yang didirikannya. Bukan nasib partainya saja yang tidak dapat dukungan yang kuat dari masyarakat sosial politik tapi tokoh ini pun tidak diimpikan orang untuk dijagokan menjadi 'calon' presiden. Akhirnya, berkat peran dan kepiawaian Tokoh Reformasi ini yang dipilihnya malah adalah Sang Suhu Tokoh Liberal Abdurrahaman Wahid alias Gus Dur dengan catatan sebagai tokoh garis tengah yang penting asal bukan Megawati-lah.
Sayangnya, gembar gembor semulanya berprinsip asal tidak mengenakan 'baju hijau' dan tetap memakai 'baju biru', dalam kenyataan kepemimpinan di partainya terkesan tidak konsekuen alias berbeda dengan pijakan awalnya yang nasionalis tulen karena semangat kehijauan sebagai tokoh Muhammadiyah dan cukup dekat dengan para Tokoh Masyumi, sehingga membuat beliau cendrung banyak berdakwah dari pada berpolitik. Dan inilah tulisan salah seorang pengamat politik yang menarik sbb.: Namun, ketika muncul kecenderungan Amien Rais ”menyetir” arah partai, kolegialitas ditanggalkan, eksklusivitas mengemuka, dan konservatisme melembaga, tokoh-tokoh reformis seperti Faisal Basri, Bara Hasibuan, dan yang lain meninggalkan PAN. Seperti kecenderungan partai-partai lain, PAN akhirnya memilih merapatkan diri dengan kekuasaan ketimbang menjadi diri sendiri sebagai ikon reformasi.
( http://aipi.wordpress.com/2010/01/12/fenomena-pan-dan-amien-rais/ )
Kini tindakan semacam itu diperbuat lagi terhadap lawan politiknya khususnya terkait dengan issu Joko Widodo bakal dijagokan oleh PDIP ya dalam kancah Pilpres 2014. Joko Widodonya belum tentu diojagokan oleh PDIP, tapi semburan kritikan sang tokoh reformasi ini sudah menyenggol masalah ya mirip kesaraan, pada hal beliau sendiri anti politik kehijauan alias berbau agamaan. Ya tokoh yang juga sangat mendukung gagasan Nurcholish Madjid bisa jadi mencemarkan dan bahkan bisa memojokkan perpolitikan umat Muslim di Indonesia.