JAKARTA (voa-islam.com) - Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Umat Islam Indonesia
 sudah kemasukan minyak babi yang terkandung pada mayoritas obat dan 
farmasi di Indonesia, karena nyatanya baru 22 produk yang bersertifikasi
 halal dari MUI.
"Di antara 30 ribu obat yang diproduksi sekitar 206 perusahaan di 
Indonesia, yang telah bersertifikat halal masih sangat sedikit. Dari 
kelompok obat-obatan, hanya ada lima perusahaan dengan 22 produk,” beber Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim, Sabtu (7/11).
Di kelompok jamu, ada 14 perusahaan yang telah memiliki sertifikat 
halal dengan 100-an produk. Pada kelompok suplemen, yang telah 
mengantongi sertifikat halal sebanyak 13 perusahaan dengan sekitar 50 
produk.
"Angka-angka tersebut masih sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk muslim yang mencapai lebih dari 200 juta jiwa," ujar Lukman.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) angkat bicara mengenai pernyataan 
Nafsiah Mboi soal masih adanyan obat menggunakan katalisator berbahan 
babi. MUI menegaskan, hal itu tetap haram meski hasil akhirnya sudah 
tidak terdeteksi. 
Menteri Kesehatan RI Nafsiah Mboi menolak sertifikasi halal produk 
Farmasi dalam Rancangan Undang-undang Jaminan Produk Halal (RUU 
JPH). Alasannya, hampir semua obat dan vaksin mengandung babi sehingga 
tidak bisa disertifikasi halal.
“Contohnya, walaupun bahan vaksin tidak mengandung babi, tapi katalisatornya itu mengandung unsur babi. Sehingga tidak bisa dinilai kehalalannya,” ujar Nafsiah 
Sehingga Mboi menilai produk farmasi perlu dipisahkan dari makanan 
dan minuman dalam RUU JPH. Nafsiah juga membenarkan adanya penggunaan 
minyak babi pada katalisator dalam pembuatan obat
Menurut Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amidhan, sesuai dengan 
kaidah ushuliah, sesuatu yang haram awalnya meski diproses sedemikian 
rupa, hasil akhirnya tetap haram. Amidhan berharap pemerintah lebih 
mendorong tersedianya obat halal, bukan malah menolak. Sebab, 
perlindungan terhadap konsumen muslim adalah hak konstitusional.
"Dalam Islam, hukum mengonsumsi obat dan vaksin sama dengan hukum mengonsumsi produk pangan, yakni harus halal,” ujar dia.
"Hal yang semacam itu di dalam paradigma fikih disebut istihalah, 
yaitu sesuatu yang haram setelah diproses berubah bentuk menjadi halal 
karena unsur haramnya tidak terdeteksi. Berdasar kaidah ushuliah di atas, MUI menolak perubahan bentuk istihalah tersebut," tutur Amidhan.
Menkes Wajib Beberkan Obat Mengandung Babi
Anwar Abbas, Ketua Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengatakan 
Kemenkes harus bersikap tegas terkait dengan peredaran produk-produk 
farmasi yang belum memenuhi standar kehalalan.
Menurutnya, pernyataan Menkes yang meminta tidak diberlakukan 
sertifikasi halal untuk produk farmasi sangat mengejutkan. Apalagi, 
alasannya adalah hampir semua obat di Indonesia mengandung unsur bahan 
haram.
"Saya merasa pernyataan itu mengejutkan karena selama ini umat 
Islam di Indonesia telah mengonsumsi obat-obatan yang haram," tuturnya.
Dia mendesak Menkes agar membeberkan obat-obatan apa saja yang 
mengandung bahan-bahan haram. Anwar juga meminta seluruh elemen, 
termasuk pemerintah, tidak berdiam diri melihat fenomena itu terus 
berlarut-larut. [dbs/rahmatullah/voa-islam.com]
Artikel Terkait
 
 
sejalan dengan heboh masalah obat-obatan harus diberi lebel 'hala-haram', yang ini pun berjalan juga yakni penggantian kepala BPOM???
BalasHapusBPOM selama ini sering memberikan kontribusinya tentang kandungan apa saja yang termuat dalam obat dan makanan pada MUI, apakah kerja sama ini masih bisa berjalan 'mulus' seperti sedia kalanya???
http://health.liputan6.com/read/767015/roy-sparinga-resmi-jadi-kepala-bpom-baru
Pelan tapi pasti para pejabat Muslim yang eselon tinggi nampaknya akan digesernya khususnya yang erat kaitannya bekerja sama dengan MUI.