Jumat, Desember 16, 2011

Jawaban anggota Tim LBMNU Jember dan sarkub yang salah

 

 Ada artikel di blog sarkub, lalu di jawab oleh komentator

Kesalahan Mahrus Ali Dalam Menilai Hadits Ibnu Umar Tentang Istighatsah dan Tawassul

December 13th, 2011 Luqman Firmansyah

Serial Akidah: Jawaban Terhadap Kebohongan Buku-buku Mahrus Ali 
عن اِبن عمررضي الله عنه انّه خدرت رجله فقيل له: اُذكر احبّ النّاس اِليك، فقال: يا محمّد، فكانّما نشط من عقال
“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar RA bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yangpaling Anda cintai!”. Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”
Hadits ini dengan tegas menyatakan akan kebolehan tawassul  dan istighatsah dengan dzat Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat. Abdullan bin Umar melakukan hal tersebut setelah Rasulullah SAW wafat. Sehingga hadits ini menunjukkan bahwa bertawassul dan ber-istighatsah dengan Rasulullah SAW setelah beliau wafat bukanlah termasuk perbuatan syirik meskipun dengan menggunakan redaksi nida’ (memanggil).

Apa Komentar Mahrus Ali?
Dalam bukunya Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali melakukan kebohongan ilmiah. Dia berkata dalam bukunya :
“Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani menyatakan bahwasanya hadits tersebut lemah, dalam kitabnya Dhaifu al-Adab al-Mufrad 148/964 dari Abdurrahman bin Sa’ad berkata…dst. ini juga lemah.” (al-Kalim al-Thayyib, 173/1).

Selanjutnya tetap di halaman yang sama Mahrus Ali mengatakan:
“Sanad hadits ini menurut Ibnu Sunni sebagai berikut: “Muhammad bin Ibrahim al-Anmati dan Amr bin al-Junaid bin Isa menceritakan kepadaku, keduanya berkata Muhammad bin Khaddasi bercerita kepada kami, Abu Bakar bin Ayyasy bercerita kepada kami, Abu Ishaq al-Sabi’i bercerita kepada kami dari Abu Syu’bah.” (Lihat buku “Sesat Tanpa Sadar” karangan Mahrus Ali, halaman 191-192).

Inti dari pernyataan Mahrus di atas adalah bahwa hadits Ibnu Umar tersebut tidak bisa dijadikan landasan dengan alasan dha’if, itupun tidak ada kejelasan riwayat. Kami akan tampilkan beberapa riwayat dari jalur yang berbeda, agar semua bisa menjadi jelas.

Tanggapan Kami

Kalau kita mau jujur dengan merujuk pada literatur- literatur hadits maka kita akan menemukan penjelasan yang berbeda 180 derajat dengan yang dikatakan Mahrus. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (hal. 324), al-Hafizh Ibrahim al-Harbi dalam Gharibul-Hadits (II/673-674), al-Hafizh Ibnu al-Sunni dalam ‘Amalul-Yaum wal- Lailah (hal. 72-73), bahkan Ibnu Taimiyah —ideolog pertama aliran Wahabi— dalam kitabnya al-Kalim al-Thayyib (hal. 88), menganjurkan untuk mengamalkan isi hadits ini.

Hadits di atas juga diriwayatkan melalui empat jalur:
1.    Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq al-Sabi’i dari Abdurrahman bin Sa’ad, seperti yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al Mufrad.
2.    Zuhair bin Mu’awiyah dari Abu Ishaq dari Abdurrahman bin Sa’ad, yang meriwayatkan melalui jalur ini diantaranya Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat, Ibrahim al-Harbi dalam Gharib al-Hadits, Ibnu Ja’ad dalam Musnad-nya, Ibnu Sunni dalam Amal al-Yaum Wa al-Lailah, Ibnu Asakir dalam Tarikh-nya, demikian juga al-Hafizh al-Mizzi dalam Tahdzib al-Kamal.
3.    Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hans, seperti riwayat Ibnu Sunni dalam Amal al- Yaum Wa al-lailah.
4.    Abu Bakar bin Ayyasy dari Abi Ishaq dari Abi Syu’bah, diantara yang meriwayatkan melalui jalur ini adalah Ibnu Taimiyah dalam al-Kalim al-Thayyib, Ibn-Qayyim Al-Jauziyyah dalam al-Wabil al-Shayyib dan al-Syaukani dalam Tuhfah al-Dzakirin, dimana ketiganya adalah ulama rujukan Mahrus Ali, juga meriwatkan dari jalur yang sama.

Sanad hadits di atas yang selalu ditampilkan oleh Mahrus Ali untuk dijadikan sebagai landasan. Tim LBMJember menduga bahwa dengan memasukkannya Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim akan hadits ini ke dalam kitabnya, cukup sebagai bantahan untuk membantah pernyataan Mahrus Ali dan bisa mcmbuat dia sadar akan kesalahan yang telah dia perbuat. Namun dugaan tersebut ternyata salah total dan kenyataannya berbalik 180 derajat, bukannya sadar dan mengakui kisalahannya, Mahrus Ali malah menyalahkan Ibnu Taimiyah yang notabene panutan utama kaum Wahabi.

Seandainya kita berpendapat bahwa hadits di atas dengan kitiga jalur sanadnya adalah dha’if, hadits tersebut masih tetap bisa dijadikan pijakan, sebab antara hadits yang satu dengan yang lain bisa saling menguatkan, sehingga posisinya naik pada peringkat selanjutnya, yaitu hasan. Bahkan ada seorang ulama bernama Majdi Ghassan yang menulis satu risalah khusus mengkaji hadits ini, dan ia namakan al- Qaul al-Fashl al-Musaddad Fi Sihhah Hadits Ya Muhammad.

Wallahu a’lam
(Ditulis kembali dan dipublikasikan oleh Tim Sarkub dari Buku Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar)


2 Responses to “Kesalahan Mahrus Ali Dalam Menilai Hadits Ibnu Umar Tentang Istighatsah dan Tawassul”

1.    Mas Halim Alwie says:
Mas Halim Alwie (1)
Namanya Mahrus Ali. Ada yang memanggilnya: Syeikh Mahrus, Kiai Mahrus, Ustadz Mahrus, Cak Haji atau Haji Mahrus (Majalah NU “Aula” No. 11 Tahun XXVIII Nopember 2006, hal. 15).
Memang Bapak dan Ibunya yang NU Toelen memberinya nama: Mahrus Ali, namun karena kemampuan dibidang tulis menulis buku tidak diragukan lagi, pengetahuan dan wawasan agama Islamnya sangat luas, bahkan telah menulis dan menterjemahkan berbagai buku, baik dalam tafsir dan lainnya dan benar-benar telah mengerti Agama Islam dengan segala cabangnya sekaligus mampu menilai derajat, sanad dan matan dalil-dalil yang akan dibuat hujjah, maka di depan namanya tercantum gelar KH. atau Kyai Haji tepatnya ketika karya tulisnya terbit, Februari tahun 2002. Jauh sebelum buku-buku “Serial Mantan Kiai NU” terbit, yang tahun pertama terbit, Juni 2007. Penerbit yang pertama kali mempopulerkan nama Mahrus Ali menjadi KH. Mahrus Ali adalah Pustaka Hikmah Perdana, Jakarta dalam bukunya: “Nama-Nama Indah Era Millenium”.
Hal yang sama juga terjadi pada Ahmad Sunarto, penulis asal Rembang-Jawa Tengah. Sewaktu karya-karya tulisnya banyak diterbitkan Pustaka Amani, Jakarta namanya masih Ahmad Sunarto, akan tetapi kini karya-karya tulisnya “Serial Khutbah Jum’at” (Khutbah Jum’at al-Mubin) yang diterbitkan “Halim Jaya, Surabaya”, nama beliau berganti: KH. Ahmad Sunarto, makanya sewaktu membuat judul “Mantan Ustadz NU Menggugat …..” Saya keberatan, saya katakan saya ini Kiai bukan Ustadz” Jawaban Penerbit sama persis dengan jawaban saya sebelumnya, gelar kiai itu kurang bagus lebih pas adalah ustadz/guru, karena Kerbau-pun ada yang bergelar kiai. Ya kerbau bule milik Kraton Solo juga bergelar Kiai, yaitu Kiai Slamet!
Kalau Penerbit menggunakan Nama “Mantan Kyai NU” (dengan persetujuan beliau), ini karena beliau pernah diberhentikan dengan tidak hormat oleh kiai setempat, yaitu: “KHM. Hasyim Hambali, Pimpinan Pondok Pesantren asy-Syafi’iyah, Tambak Sumur, Waru-Sidoarjo”, beliau Mengatakan: “Sebetulnya waktu minta tanda tangan kepada saya, itu karena saya pernah mengangkat Dia jadi khåtib di masjid kampung saya. Dan setelah itu saya berhentikan dengan tidak hormat” (Majalah NU “Aula” No. 06 Tahun XXX Juni 2008 halaman 35).
(Dikutip dari Buku: Tak Ingin Jadi Kyai? Hal.: 327-328)
2.    Mas Halim Alwie says:
Mas Halim Alwie (2)
Hadits tersebut diatas banyak mengandung cacat (Ma’lul), karena dilemahkan banyak ulama kritikus hadits, perhatikan hasil kajian dan penelitian KH. Mahrus Ali berikut ini:
Komentar KH. Mahrus Ali:
Sebagai jawabannya adalah sebagai berikut: Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani v menyatakan bahwa hadits tersebut lemah, dalam kitabnya Dhå’if Adabil Mufråd 148/964 dari Abdurråhman bin Sa`d berkata, ’…dst. Ini juga lemah, al-Kalimut Thåyyib 236, bahkan ada yang dari Mujahid, tapi palsu. Periksa hal ini dalam al-Kalimut Thåyyib 173/1. Abdulqådir al-Arnauth juga melemahkan hadits tersebut dalam tahqiq-nya terhadap kitab al-Wabil al-Shåyib halaman 181, karya Ibnu Qåyyim. Bahkan dalam al-Adzkar karya Imam an-Nawawi 305/1 dikatakan bahwa hadits tersebut lemah sanadnya.
Sanadnya menurut Ibnus Sunni sebagai berikut:

حَدَّثَنيِ مُحَمَّدٌ بْنُ إِبْرَاهِيْمِ اْلأَنْمَاطِي ، وَعَمْرُو بْنُ الْجُنَيْدِ بْنِ عِيْسَى ، قَالاَ: ثَنَا مُحَمَّدٌ بْنُ خَدَّاشٍ ، ثَنَا أَبُوْ بَكْرٍ بْنِ عَيَّاشٍ ، ثَنَا أَبُو إِسْحَاقَ السُّبَيْعِي ، عَنْ أَبِي شُعْبَةَ ،

Muhammad bin Ibråhim al-Anmathi dan Amru bin al-Junaid bin Isa menceritakan kepadaku, keduanya berkata, “Muhammad bin Khåddasy bercerita kepada kami, Abu Bakar bin Ayyasy bercerita kepada kami, Abu Ishaq al-Suba`i bercerita kepada kami, dari Abu Syu`bah….”
وَ قَالَ الْحَاكِمُ أَبُو أَحْمَدَ: لَيْسَ بِالْحَافِظِ عِنْدَهُمْ.
وَقَالَ ابْنُ سَعْدٍ………
وَ كَانَ ثِقَةً صَدُوْقًا عَارِفًا بِالْحَدِيْثِ وَ اْلعِلْمِ ، إِلاَّ أَنَّهُ كَثِيْرَ الْغَلَطِ.

Dalam Sanadnya terdapat Perawi Yang bernana:
I. Abu Bakar bin Ayyasy
Komentar ulama kritikus hadits tentang perawi yang bernama Abu Bakar bin Ayyasy:
1. al-Hakim Abu Ahmad berkata, “Dia (Abu Bakar bin Ayyasy) bukan seorang hafizh menurut mereka.”
2. Ibnu Sa`d berkata, “Abu Bakar bin Ayyasy seorang perawi terpercaya, alim terhadap hadits dan ilmunya banyak, hanya saja sering keliru.”
3. Perawi Muhammad bin Khåddasy tidak dicantumkan oleh Ibnu Hajar dan al-Dzahabi dalam kitab Tahdzib-nya. Ibnu Khaddasy bukanlah murid Abu Bakar bin Ayyasy.
4. Dalam kitab Hadzihi Mafahimuna disebutkan beberapa kritikan dari ulama ahli hadits yang menguasai ilmu Jarh Wa Ta’dil.
5. Disebutkan ada yang dari riwayat pertama tercantum dalam “Amal al-Yaum Wa al-Lailah Ibnu al-Suni”. Riwayat ini banyak mengandung cacat (Ma’lul), sehingga dinilai sebagai hadits yang ‘sangat lemah’.
II. Muhammad bin Mush’ab al-Qarqasani
Komentar ulama kritikus hadits tentang perawi yang bernama Muhammad bin Mush’ab al-Qarqasani
1. Ibnu Ma’in menilainya sebagai bukan bagian dari ahli hadits, seorang yang pelupa.
2. al-Nasa’i dan Abu Hatim al-Råzi menganggapnya sebagai perawi yang lemah.
3. Ibnu Hibban menyebutnya sebagai orang yang suka membolak-balikkan sanad dan menjadikan hadits mursal menjadi shåhih, karena itu riwayatnya tidak boleh dijadikan hujah.
4. al-Isma’ili menyebutnya sebagai orang yang termasuk dalam jajaran kelompok perawi lemah.
5. al-Khåthib mengatakan sebagai orang yang banyak salah dalam mencertikan hafalannya.
III. Dalam kitab yang sama tercantum juga riwayat kedua. Dalam riwayat ini terdapat perawi bernama Ghiyats bin Ibråhim, yang didustakan oleh para ulama.
Komentar ulama kritikus hadits tentang perawi yang bernama Ghiyats bin Ibråhim
1. Ibnu Ma’in mengatakan tentangnya, “Kadzab khabits, ‘pendusta lagi jelek’.” Terlalu panjang kajiannya, bagi pembaca yang ingin lebih mendalami kajian sanad dan teks hadits ini, dan yang semisalnya, bisa melihat dalam kitab Hadzihi Mafahimuna pada juz I dari halaman 30 hingga rampung.
Yang jelas perilaku menyeru orang yang dicintai agar mendapatkan kesembuhan adalah kebiasaan masyarakat Arab jahiliyah dahulu.
Hal ini juga ditegaskan oleh al-Alusi, dikutip dalam kitab Fathul Bayan Tatamatu Minja al-Ta’sis halaman 376, seteleh menyebutkan beberapa syair Arab, ‘Orang yang beranggapan bahwasanya para penyair tersebut mejadi hilang sakit kakinya setelah beristighåtsah dengan orang yang dicintai lelaki ataupun perempuan, adalah orang yang hilang akalnya dan kebodohannya keterlaluan atau bodohnya S2’.
Lalu siapakah yang menyatakan hadits tersebut shåhih? Siapakah para sahabat yang terbukti melakukan hal seperti itu?
Sayang di sini Tim Penulis LBM NU Cabang Jember tidak mencantumkan sanadnya, kalau disebutkan tentu lebih mudah dilacak pengakuan keshåhihan hadits tersebut.
Dari penelusuran sanad akan ketahuan identitas perawi-perawinya.
Imam Bukhåri dan Muslim tidak mencantumkan hadits tersebut dalam kitab Shåhih-nya. Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Imam Ahmad juga tidak meriwayatkan hadits tersebut. Saya mencarinya di dalam kitab Sunan Tirmidzi, tapi saya juga tidak menjumpainya.
Seorang penyair berkata,

وَإِنْ مَذِلَتْ رِجْلِي دَعَوْتُكِ أَشْتَفِي… بِدَعْوَاكِ مِنْ مَذْلٍ بِهَا فَيَهُونُ
Bila kakiku lunglai aku pun memanggilmu wahai kekasihku, aku berkeinginan kakiku sembuh dengan memanggil namamu terbebas dari penyakit hingga bisa bergerak.
Jadi, keyakinan bahwa penyakit bisa sembuh hanya dengan memanggil nama sang kekasih tidaklah dibangun pada landasan dari al-Quran dan al-Hadits. Hanya didasarkan pada perkataan Seorang Penyair, Zaman Jahiliyah dahulu. Orang yang paling dicintai, menurut teks hadits lemah tersebut, tidak harus Nabi Muhammad j Bisa kekasihnya dari gadis pujaannya atau lelaki dambaannya. Bahkan juga orang bejat dan tukang maksiat! Akankah?! (Dikutip dari buku “Sesat Tanpa Sadar Hal: 191-194)

Komentarku: Mahrus ali.
    Sabarlah , tunggu jawaban saya yang menyalahkan bukan membenarkan uraian artikel Muhammad Idrus Ramli itu - anggota Tim LBMNU Jember. 
Artikel Terkait

4 komentar:

  1. Ass. ww
    ni ada artikel: Tawassil Imam Abu Hanifah sbb.: http://www.sarkub.com/2011/tawassul-imam-abu-hanifah-kepada-rasulullah-saw/

    semoga bermanfaat dalam telaahan.
    wass. ww

    BalasHapus
  2. Balasan
    1. Sebetulnya bila kamu baca buku sesat tanpa sadar , sudah ada jawabannya.

      Hapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan