Selasa, November 01, 2011

Komentarku atas keputusan muktamar NU

MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG 
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu. [1]
KETERANGAN : 
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana  yang  ditanyakan  di atas  termasuk        BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’). 
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat  kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi  terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
SELESAI, KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
   REFERENSI :  Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif  wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
   CATATAN : Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim 1 : 90 dan  Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19 Tafsir Ibnu Katsir  ttg QS. An-Najm : 39, dll.

Imam An-Nawawi رحمه الله berkata di dalam Syarah Muslim 1: 90:
"Adapun bacaaan Al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang mashyur dalam madzhab Syafi'i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Adapun dalil Imam Syafi'i dan pengikutnya adalah firman Allah QS.An-Najm : 39: "Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri" dan sabda Rasulullah , "Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal yaitu: sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya."

Lihat juga: Raudhatut Thalibin, Imam An-Nawawi 2:145, Mughnil Muhtaj 1: 268, Hasyiyatul Qalyubi 1: 353, Al-Majmu' Syarah Muhadzab 5: 286, Al- Fiqhu Alal Madzahibil Arba'ah 1:539, Fathul Qadir 2:142, Nailul Authar 4:148. Berkata Imam Asy-Syafi’i  رحمه الله di dalam Al-Umm 1: 248:
"Aku membenci ma'tam, yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru."

Lebih lanjut di Kitab I'anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu'in, juz 2, hal.145 disebutkan:
“Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BID'AH MUNGKARAT yang bagi orang yang memberantasnya akan diberi pahala."
Sumber : http://sandhikusuma.multiply.com/journal/item/32
Komentarku ( Mahrus ali ) :

 Arabnya dari fatwa Ibnu hajar itu sbb :

2. Dalam Kitab Al-Fatawa al-Kubra:

وفي الفتاوى الكبرى فى أوائل الجزء الثانى ما نصه (وَسُئِل) أَعَادَهُ اللهُ عَلَيْنَا مِنْ بَرَكَاتِهِ عَمَّا يُذْبَحُ مِنَ النَّعَمِ وَ يُحْمَلُ مَعَ مِلْحٍ خَلْفَ الْمَيِّتِ إِلَى الْمَقْبَرَةِ وَ يُتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى الْحَفَّارِيْنَ فَقَطْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ ثَالِثَ مَوْتِهِ مِنْ تَهْيِئَةِ أَكْلٍ أَوْ إِطْعَامِهِ لِلْفُقَرَاءِ وَ غَيْرِهِمْ وَ عَمَّا يُعْمَلُ يَوْمَ السَّابِعِ كَذَلِكَ وَ عَمَّا يُعْمَلُ تَمَامَ الشَّهْرِ مِنَ الْكَعْكِ وَيُدَارُ بِهِ عَلَى بُيُوْتِ النِّسَاءِ التِي حَضَرْنَ الْجَنَازَةَ وَ لَمْ يَقْصُدُوْا بِذَلِكَ إِلاَّ مُقْتَضَى عَادَةِ أَهْلِ الْبِلاَدِ حَتىَّ أَنَّ مَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ صَارَ مَمْقُوْتًا عِنْدَ هُمْ حَسِيْسًا لاَ يَعْبَأُوْنَ بِهِ وَ هَلْ إِذَا قَصَدُوْا بِذَلِكَ الْعَادَةَ وَ التَّصَدَّقَ فِي غَيْرِ الْأَخِيْرَةِ أَوْ مُجَرَّدَ الْعَادَةِ مَا ذَا يَكُوْنُ الْحُكْمُ جَوَازًا أَوْ غَيْرَهُ. وَ هَلْ يُوْزَعُ مَا صُرِفَ عَلَى انْصِبَاءِ الْوَرَرَثَةِ عِنْدَ قِسْمَةِ التِّرْكَةِ وَ إِنْ لَمْ يَرْضَ بِهِ بَعْضُهُمْ وَ عَنِ الْمَيِّتِ عِنْدَ أَهْلِ المَيِّتِ إِلَى مُضِيِّ شَهْرٍ مِنْ مَوْتِهِ لِأَنَّ ذَلِكَ عِنْدَهُمْ كَالْفَرْضِ مَا حُكْمُهُ؟ (فَأَجَابَ) بِقَوْلِهِ جَمِيْعُ مَا يُفْعَلُ مِمَّا ذُكِرَ فِي السُّؤَالِ مِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ لَكِنْ لاَ حُرْمَةَ فِيْهِ إِلاَّ إِنْ فُعِلَ شَيْءٌ مِنْهُ لِنَحْوِ نَائِحَةٍ أَوْرَثَاءٍ وَمَنْ قَصَدَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْهُ دَفَعَ أَلْسِنَةِ الْجُهَّالِ وَ حَوْضِهِمْ فِي عَرْضِهِ بِسَبَبِ التَّرْكِ. يرْجَى أَنْ يَكْتَبَ لَهُ ثَوَابُ ذَلِكَ أَخْذًا مَنْ أَمْرِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي الصَّلاَةِ بِوَضْعِ يَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ. وَ عَلَّلُوْا بِصَوْنِ عَرْضِهِ عَنْ حَوْضِ النَّاسِ فِيْهِ عَلَى غَيْرِ هَذِهِ الْكَيْفِيَةِ وَلاَ يَجُوْزُ أَنْ يُفْعَلَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ مِنَ التِّرْكَةِ حَيْثُ كَانَ فِيْهَا مَحْجُوْرٌ عَلَيْهِ مُطْلَقًا أَوْ كَانُوْا كُلَّهُمْ رُشَدَاءَ لَكِنْ لَمْ يَرْضَ بَعْضُهُمْ.
Komentarku ( Mahrus ali ) :
Saya sendiri tidak cocok dengan pendapat Ibnu Hajar al haitsami yang di tokohkan kalangan madzhab Syafii dan terkenal ahli fikih bukan Ibn Hajar al asqalani yang ahli hadis . Dia Al Haitsami telah menyatakan mendapat pahala   terhadap bid`ah yang tercela .  Pada  hal  Rasulullah SAW  memerintahkan agar menghindari kebid`ahan  sebagaimana  hadis :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ *
Berhatilah  terhadap perkara baru. Sesungguhnya tiap perkara baru adalah bid`ah dan setiap bid`ah adalah sesat. [1]
   Bid`ah tercela itu sesat  lalu bagaimanakah bisa di beri pahala. Bid`ah itu di hadis lain di katakan tertolak . Allah menolak dan setan – setan manusia menerimanya , lalu Allah memberi pahala kepada orang yang melakukan bid`ah yang tercela ? dan memberi dosa kepada orang yang tidak melakukannya ? Ini pemikiran yang tidak logis sekali . Mana dalilmu bahwa bid`ah tercela mendatangkan pahala ? Saya belum tahu .
Ibnu Hajar al Haitsami itu mengutip hadis sbb :
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ  أَخْبَرَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : الْقَاسِمُ بْنُ الْقَاسِمِ السَّيَّارِىُّ بِمَرْوٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَلِىٍّ الْغَزَّالُ حَدَّثَنَا عَلِىُّ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ شَقِيقٍ حَدَّثَنَا الْفَضْلُ بْنُ مُوسَى عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ : إِذَا أَحْدَثَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ فِى الصَّلاَةِ فَلْيَضَعْ يَدَهُ عَلَى أَنْفِهِ ، ثُمَّ لِيَنْصَرِفْ.
Bila seseorang di antaramu  hadas waktu salat , maka letakkan tangan ke hidungnya ,lalu bubarlah .   Kanzul ummal 494 / 7
Komentarku ( Mahrus ali ) :

Hadis itu di antara ulama masih hilaf ada yang menyatakan mursal lemah atau musnad yang belum tentu sahih .  Imam Bukhari Muslim tidak meriwayatkannya dalam kitab  sahihnya  , Nasa`I  juga tidak meriwayatkannya  .
موسوعة التخريج - (ج 1 / ص 18748)
رواه جماعة عن هشام مرسلا دون ذكر عائشة فيه ورواه الثوري عن هشام مرسلا
         HR Jama`ah  dari Hisyam  dalam keadaan mursal  tanpa menyebut Aisyah . Tsauri  juga meriwayatkan  nya dari Hisyam  dalam keadaan mursal . . Mausuah ruwatil hadis
Abu dawud sendiri menyatakan mursal ( lemah ) , lihat mausuah takhrij  18748 /1
موسوعة التخريج - (ج 1 / ص 18748)
سمعت علي بن عمر الدارقطني الحافظ يقول سمعت أبا بكر الشافعي الصيرفي يقول كل من أفتى من أئمة المسلمين من الحيل إنما أخذه من هذا الحديث
Aku mendengar Ali bin Umar Ad daroquthni al Hafidh berkata : Aku mendengar Abu Bakar Assyafii  asshoirafi berkata : Setiap orang yang berfatwa  dari imam – imam  kaum musliminn  untuk helah  akan mengambil  pegangan dari hadis ini . Mausuah takhrij 18748/1


[1] HRAbu Dawud  / Assunnah /4607. Darimi /Muqaddimah /95
Artikel Terkait

3 komentar:

  1. assalamu'alaikum..barokallahu fiik..http://tentarakecilku.blogspot.com/

    BalasHapus
  2. sebaiknya anda berdiskusi secara terbuka aja dengan ulama2 NU,jangan seperti sekarang ini,cuma tulisan sepihak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jawablah artikel dengan artikel, akan ketahuan siapa yang benar dan yang salah. Mau debat terbuka silahkan asal jangan ormas NU yang mengadakan, tapi pemerintah pusat yang independen dan satu persatu, lihat disini:
      Ayo diskusi dengan saya satu persatu
      http://mantankyainu.blogspot.com/2011/07/ayo-diskusi-dengan-saya-satu-persatu.html

      Hapus

Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan