Hadits-hadits Dhaif Berkaitan dengan Ibadah Haji[1]
1. Keutamaan berhaji
الْحَاجُّ
يَشْفَعُ فِي أَرْبَعِ مِئَةِ أَهْلِ بَيْتٍ -أَوْ قَالَ: مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ-
“Orang yang berhaji akan memberi syafaat kepada 400 orang ahlu
bait –atau Nabi mengatakan: 400 orang dari ahlu bait (keluarga)nya–.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh
Al-Bazzar dalam Musnad-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 5091)
حُجُّوا
تَسْتَغْنُوْا...
“Berhajilah kalian niscaya kalian akan berkecukupan.…” (Al-Imam
Al-Albani menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Dailami, 2/83.
Lihat Adh-Dha’ifah no. 3480)
حُجُّوا،
فَإِنَّ الْحَجَّ يَغْسِلُ الذُّنُوْبَ كَمَا يَغْسِلُ الْمَاءُ الدَّرَنَ
“Berhajilah kalian, karena sesungguhnya haji itu mencuci dosa-dosa
sebagaimana air mencuci kotoran.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini maudhu’ (palsu), diriwayatkan oleh Abul Hajjaj Yusuf bin Khalil
dalam As-Saba’iyyat, 1/18/1. Lihat Ad-Dha’ifah no. 542)
حَجَّةٌ
لِمَنْ لَمْ يَحُجَّ خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ غَزَوَاتٍ، وَغَزْوَةٌ لِمَنْ حَجَّ
خَيْرٌ مِنْ عَشْرِ حُجَجٍ...
“(Menunaikan ibadah) haji bagi orang yang belum berhaji itu lebih
baik daripada sepuluh peperangan. Dan (ikut serta dalam) peperangan bagi orang
yang telah berhaji itu lebih baik daripada sepuluh haji….” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ibnu Bisyran dalam
Al-Amali, 27/117/1. Lihat Adh-Dha’ifah no. 1230)
إِذَا
لَقِيْتَ الْحَاجَّ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ وَصَافِحْهُ، وَمُرْهُ أَنْ يَسْتَغْفِرَ
لَكَ قَبْلَ أَنْ يَدْخُلَ بَيْتَهُ، فَإِنَّهُ مَغْفُوْرٌ لَهُ
“Apabila engkau bertemu dengan seorang haji, ucapkanlah salam
padanya dan jabatlah tangannya, serta mohonlah padanya agar memintakan ampun
bagimu sebelum ia masuk ke dalam rumahnya, karena orang yang berhaji itu telah
diampuni.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’,
diriwayatkan oleh Ahmad, 2/69 dan 128, Ibnu Hibban dalam Al-Majruhin, 2/265,
Abusy Syaikh dalam At-Tarikh, hal. 177. Lihat Adh-Dha’ifah no. 2411)
مَنْ
مَاتَ فِي هذَا الْوَجْهِ مِنْ حَاجٍّ أَوْ مُعْتَمِرٍ، لَمْ يُعْرَضْ وَلَمْ
يُحَاسَبْ، وَقِيْلَ لَهُ: ادْخُلِ الْجَنَّةَ
“Siapa yang meninggal dalam sisi ini, baik ia berhaji atau
berumrah, niscaya amalnya tidak dipaparkan kepadanya dan tidak akan dihisab.
Dan dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga.’” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni,
288. Lihat Adh-Dha’ifah no. 2187)
الْحَاجُّ
فِي ضَمَانِ اللهِ مُقْبِلاً وَمُدْبِرًا، فَإِنْ أَصَابَهُ فِي سَفَرِهِ تَعْبٌ
أَوْ نَصَبٌ غَفَرَ اللهُ لَهُ بِذلِكَ سَيِّئَاتِهِ، وَكَانَ لَهُ بِكُلِّ قَدَمٍ
يَرْفَعُهُ أَلْفَ دَرَجَةٍ، وَبِكُلِّ قَطْرَةٍ تُصِيْبُهُ مِنْ مَطَرٍ أَجْرُ
شَهِيْدٍ
“Orang yang berhaji itu dalam tanggungan/jaminan Allah ketika
pergi maupun pulangnya. Bila dia tertimpa kepayahan atau sakit dalam safarnya,
Allah akan mengampuni kesalahan-kesalahannya. Dan setiap telapak kaki yang ia
angkat untuk melangkah, ia dapatkan seribu derajat. Dan setiap tetesan hujan
yang menimpanya, ia dapatkan pahala orang yang mati syahid.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ad-Dailami, 2/98.
Lihat Adh-Dha’ifah no. 3500)
خَيْرُ
مَا يَمُوْتُ عَلَيْهِ الْعَبْدُ أَنْ يَكُوْنَ قَافِلاً مِنْ حَجٍّ أَوْ
مُفْطِرًا مِنْ رَمَضَانَ
“Sebaik-baik keadaan meninggalnya seorang hamba adalah ia
meninggal dalam keadaan pulang dari menunaikan ibadah haji atau dalam keadaan
berbuka dari puasa Ramadhan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits
ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Dailami 2/114. Lihat Adh-Dha’ifah no. 3583)
2. Keutamaan berhaji yang disertai menziarahi kubur Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ
حَجَّ حَجَّةَ اْلإِسْلاَمِ، وَزَارَ قَبْرِي وَغَزَا غَزْوَةً وَصَلَّى عَلَيَّ
فِي الْمَقْدِسِ، لَمْ يَسْأَلْهُ اللهُ فِيْمَا افْتَرَضَ عَلَيْهِ
“Siapa yang berhaji dengan haji Islam yang wajib, menziarahi
kuburku, berperang dengan satu peperangan dan bershalawat atasku di Al-Maqdis,
maka Allah tidak akan menanyainya dalam apa yang Allah wajibkan kepadanya.”
(Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’/palsu, disebutkan
oleh As-Sakhawi dalam Al-Qaulul Badi’, hal. 102. Lihat Adh-Dha’ifah no. 204)2
مَنْ
حَجَّ فَزَارَ قَبْرِي بَعْدَ مَوْتِي، كَانَ كَمَنْ زَارَنِي فِي حَيَاتِي
“Siapa yang berhaji, lalu ia menziarahi kuburku setelah wafatku,
maka dia seperti orang yang menziarahiku ketika hidupku.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3/203/2, dan Al-Ausath, 1/126/2. Diriawayatkan pula
oleh yang selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 47)3
3. Haji dilaksanakan sebelum menikah
الْحَجُّ
قَبْلَ التَّزَوُّجِ
“Haji itu dilaksanakan sebelum menikah.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, dibawakan oleh As-Suyuthi dalam
Al-Jami’ Ash-Shaghir. Lihat Adh-Dha’ifah no. 221)
مَنْ
تَزَوَّجَ قَبْلَ أَنْ يَحُجَّ فَقَدْ بَدَأَ بِالْمَعْصِيَةِ
“Siapa yang menikah sebelum menunaikan ibadah haji maka sungguh ia
telah memulai dengan maksiat.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adi, 20/2. Lihat Adh-Dha’ifah no.
222)
4. Banyak berhaji mencegah kefakiran
كَثْرَةُ
الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ تَمْنَعُ الْعَيْلَةَ
“Banyak melaksanakan haji dan umrah mencegah kepapaan.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, diriwayatkan oleh
Al-Muhamili. Lihat Adh-Dha’ifah no. 477)
5. Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang ingin berhaji
لاَ
يَرْكَبُ الْبَحْرَ إِلاَّ حَاجٌّ أَوْ مُعْتَمِرٌ، أَوْ غَازٍ فِي سَبِيْلِ
اللهِ، فَإِنَّ تَحْتَ الْبَحْرَ نَارًا وَ تَحْتَ النَّارِ بَحْرًا
“Tidak boleh mengarungi lautan kecuali orang yang berhaji atau
berumrah atau orang yang berperang di jalan Allah, karena di bawah lautan itu
ada api dan di bawah api ada lautan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/389, Al-Khathib
dalam At-Talkhis, 78/1. Lihat Adh-Dha’ifah no. 478)
6. Keutamaan ber-ihlal dari Masjidil Aqsha
مَنْ
أَهَّلَ بِحَجَّةٍ أَوْ عُمْرَةٍ مِنَ الْمَسْجِدِ اْلأَقْصَى إِلَى الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، أَوْ
وَجَبَتْ لَهُ الْجَنَّةُ
“Siapa yang ber-ihlal haji atau umrah dari Masjidil Aqsha ke
Masjidil Haram, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan yang akan
datang, atau diwajibkan surga baginya.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Abu Dawud, 1/275, Ibnu Majah,
2/234-235, Ad-Daraquthni, hal. 289, Al-Baihaqi, 5/30, dan Ahmad, 6/299. Lihat
Adh-Dha’ifah no. 211)
7. Ancaman bagi orang yang berhaji namun tidak menziarahi kubur
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
مَنْ
حَجَّ الْبَيْتَ وَلَمْ يَزُرْنِي فَقَدْ جَفَانِي
“Siapa yang haji ke Baitullah namun ia tidak menziarahi kuburku
maka sungguh ia telah berbuat jafa` (kasar) kepadaku.” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini maudhu’, demikian dikatakan Al-Hafizh
Adz-Dzahabi dalam Al-Mizan, 3/237, dibawakan oleh Ash-Shaghani dalam Al-Ahadits
Al-Maudhu’ah, hal. 6. Demikian pula Az-Zarkasyi dan Asy-Syaukani dalam
Al-Fawa`id Al-Majmu’ah fil Ahadits Al-Maudhu’ah, hal. 42. Lihat Adh-Dha’ifah
no. 45)
8. Keutamaan menghajikan orang tua
مَنْ
حَجَّ عَنْ وَالِدَيْهِ بَعْدَ وَفَاتِهِمَا كَتَبَ اللهُ لَهُ عِتْقًا مِنَ
النَّارِ، وَكَانَ لِلْمَحْجُوْجِ عَنْهُمْ أَجْرُ حَجَّةِ تَامَّةٍ مِنْ غَيْرِ
أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ
“Siapa yang menghajikan kedua orang tuanya setelah keduanya wafat
maka Allah akan menetapkan dia dibebaskan dari api neraka. Dan bagi yang
dihajikan akan memperoleh pahala haji yang sempurna tanpa mengurangi pahala
orang yang menghajikan sedikitpun.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan
hadits ini mungkar, diriwayatkan oleh Abul Qasim Al-Ashbahani dalam At-Targhib.
Lihat Adh-Dha’ifah no. 5677)
إِذَا
حَجَّ الرَّجُلُ عَنْ وَالِدَيْهِ تُقْبَلُ مِنْهُ وَمِنْهُمَا، وَاسْتُبْشِرَتْ
أَرْوَاحُهُمَا فِي السَّمَاءِ وَكُتِبَ عِنْدَ اللهِ بَرًّا
“Apabila seseorang menghajikan kedua orang tuanya maka akan
diterima amalan itu darinya dan dari kedua orang tuanya, dan diberi kabar
gembira ruh keduanya di langit dan ia (si anak) dicatat di sisi Allah sebagai
anak yang berbakti (berbuat baik kepada orang tua).” (Al-Imam Al-Albani
rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni
dalam, As-Sunan, 272, Ibnu Syahin dalam At-Targhib, 299/1 dan Abu Bakr Al-Azdi
Al-Mushili dalam Hadits-nya. Lihat Adh-Dha’ifah no. 1434)
9. Hadits dhaif tentang keutamaan berhaji dengan jalan kaki
إِنَّ
لِلْحَجِّ الرَّاكِبِ بِكُلِّ خَطْوَةٍ تَخْطُوْهَا رَاحِلَتُهُ سَبْعِيْنَ
حَسَنَةً، وَالْمَاشِي بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوْهَا سَبْعَ مِئَةِ حَسَنَةٍ
“Sesungguhnya orang yang berhaji dengan berkendaraan mendapatkan
70 kebaikan dengan setiap langkah yang dilangkahkan oleh kendaraannya.
Sementara orang yang berhaji dengan berjalan kaki, dengan setiap langkah yang
ia langkahkan mendapatkan 700 kebaikan.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Kabir,
3/15/2, dan Adh-Dhiya` dalam Al-Mukhtarah, 204/2. Lihat Adh-Dha’ifah no. 496)5
10. Keutamaan thawaf
مَنْ
طَافَ بِالْبَيْتِ خَمْسِيْنَ مَرَّةً، خَرَجَ مِنْ ذُنُوْبِهِ كَيَوْمَ
وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Siapa yang thawaf di Baitullah 50 kali, maka ia terlepas dari
dosa-dosanya sehingga keberadaannya laksana hari ia dilahirkan oleh ibunya
(bersih dari dosa-dosa).” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini
dhaif, diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, 1/164 dan selainnya. Lihat Adh-Dha’ifah
no. 5102)
طَوَافُ
سَبْعٍ لاَ لَغْوَ فِيْهِ يَعْدِلُ رَقَبَةً
“Thawaf tujuh kali tanpa melakukan perkara laghwi (sia-sia) di
dalamnya sebanding dengan membebaskan budak.” (Al-Imam Al-Albani rahimahullah
menyatakan hadits ini dhaif jiddan (lemah sekali), diriwayatkan oleh
Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf, 5/8833. Lihat Adh-Dha’ifah no. 4035)
11. Hari Arafah
عَرَفَةُ
يَوْمَ يُعَرِّفُ النَّاسُ
“Arafah adalah hari di mana manusia wuquf di Arafah.” (Al-Imam
Al-Albani rahimahullah menyatakan hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Al-Harits
bin Abi Usamah dalam Musnad-nya, hal. 93, Ad-Daraquthni, 257, Ad-Dailami 2/292.
Lihat Ad-Dha’ifah no. 3863)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
1 Guru Besar kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam kitab
beliau Ijabatus Sa`il (hal. 567) berkata: “Adapun yang ditulis oleh Asy-Syaikh
Al-Albani rahimahullah dalam kitabnya Silsilah Adh-Dha’ifah, ketika membacanya
benar-benar menenangkan hati kami (karena tepat dan telitinya penghukuman
beliau terhadap hadits, pen.).”
2 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “(Hadits ini maudhu’,
tampak sekali kebatilannya) karena membuat anggapan telah diwahyukan kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa menunaikan perkara yang disebutkan
dalam hadits berupa haji, ziarah kubur, dan berperang, bisa menggugurkan
pelakunya dari hukuman bila ia bermudah-mudahan dalam meninggalkan
kewajiban-kewajiban agama yang lain. Ini merupakan kesesatan. Sungguh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amat jauh dari mengucapkan perkataan
yang menimbulkan anggapan yang salah. Bagaimana lagi dengan ucapan yang secara
jelas menunjukkan kesesatan?!” (Adh-Dha’ifah, 1/370)
3 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Al-Qa’idah
Al-Jalilah (hal. 57) berkata: “Hadits-hadits tentang ziarah kubur Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam seluruhnya dhaif. Tidak ada satupun yang bisa
dijadikan sandaran dalam agama ini. Karena itu, ahlu Shihah dan Sunan (ulama
yang menyusun kitab Shahih dan Sunan) tidak ada yang meriwayatkannya sedikit
pun. Yang meriwayatkan hadits-hadits semacam itu hanyalah ulama yang biasa
membawakan hadits-hadits dhaif seperti Ad-Daraquthni, Al-Bazzar, dan selain
keduanya.”
Kemudian Ibnu Taimiyyah rahimahullah membawakan hadits di atas.
Setelah itu beliau berkata: “Hadits ini kedustaannya jelas sekali. Hadits ini
menyelisihi agama kaum muslimin. Karena orang yang menziarahi Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika hidupnya dan beriman kepada beliau,
berarti orang itu termasuk shahabat beliau. Terlebih lagi bila orang itu
termasuk orang-orang yang berhijrah kepada beliau dan berjihad bersama beliau.
Telah pasti sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Janganlah kalian mencela para shahabatku. Maka demi Zat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan
emas semisal gunung Uhud, niscaya tidak dapat mencapai satu mud infak salah
seorang mereka, dan tidak pula setengahnya.”
Seseorang yang hidup setelah shahabat, tidaklah bisa sama dengan
shahabat hanya dengan mengerjakan amalan-amalan wajib yang diperintahkan
seperti haji, jihad, shalat lima waktu, bershalawat kepada Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Bagaimana lagi dengan amalan yang tidak wajib dengan
kesepakatan kaum muslimin (yaitu menziarahi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam)? Tidak pula disyariatkan untuk safar (menempuh perjalanan jauh) untuk
mengerjakannya, bahkan dilarang. Adapun safar menuju ke masjid beliau guna mengerjakan
shalat di dalamnya maka hal itu mustahab (disenangi).” (Lihat Adh-Dha’ifah,
1/123-124)
4 Memulai ihram dan mengucapkan talbiyah
5 Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata: “Bagaimana bisa hadits
ini dianggap shahih, sementara yang ada justru sebaliknya? Di mana telah shahih
riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaksanakan haji dengan berkendaraan. Seandainya berhaji dengan jalan kaki itu
lebih afdhal, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memilih hal itu untuk
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena itulah, jumhur ulama berpendapat
bahwa haji dengan berkendaraan itu lebih utama, sebagaimana disebutkan oleh
An-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Muslim.” (Adh-Dha’ifah, 1/711-712)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan