- By nahimunkar.com on 7 July 201
- “Ini tahapan finalisasi untuk menguasai Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim.” (Rumusan konspirasi “cukong” yang berkumpul bersama petinggi Kompas Gramedia Group, elite PDIP dan misionaris Katolik setelah jago yang mereka usung yakni Jokowi-Ahok berhasil menguasai Jakarta).
- Di Antara jejak hitam komplotan Kompas, misionaris Katolik, dan konglomerasi Tionghoa: Ingat… tahun 1998 – 1999 ternyata Uskup Belo dan Kompas terlibat bermain mata untuk memuluskan kepentingan cukong yang mengincar sumber kekayaan minyak di Laut Timor. Dan untuk hajat busuk itu, maka jalan ekstrim disintegrasi (Timor Timur lepas dari NKRI) pun dimainkan.
- Sangat menyedihkan, konspirasi Kompas dan gereja Katolik yang dipimpin oleh Uskup Belo sukses menyulut api kebencian di hati rakyat Timor-Timur. Di mana ratusan ribu warga Indonesia yang sebagian besar berasal dari Pulau Jawa yang puluhan tahun menetap di Timor-Timur menjadi sasaran perlakuan tidak manusiawi, diusir dan ribuan dari mereka kehilangan nyawa serta harta bendanya.
- Kini Kompas Gramedia Group, cukong dan basis jaringan Katolik dengan mencolok tengah gencar memainkan “disintegrasi politik” yang memporak-porandakan tatanan sosial di negeri ini. Melalui penunggangan PDIP, Jokowi dipaksakan tampil sebagai boneka mereka untuk dipersiapkan memimpin Indonesia lima tahun ke depan.Skenario busuk itu tidak lain bertujuan untuk memperluas pengaruh Katolik dan cukong dalam penguasaan negara, sentra ekonomi-keuangan dan sebagainya. Ambisi itu sangat nyata, dan secara terbuka tokoh Katolik paling berpengaruh, Franz Magnis Suseno menyampaikan pesan berupa ancaman: “Bila Jokowi tidak jadi presiden maka Indonesia akan rusuh…”
Inilah sorotannya.
***
Bos Kompas: Katolik dan Cukong Wajib Dukung Jokowi
JAKARTA - Ada cerita menarik yang
beredar terbatas di kalangan petinggi Kompas Gramedia Group. Tentang konspirasi
di balik opini bentukan jaringan media menghadapi pemilu 2014. Tentang
“kolaborasi kotor” kelompok misionaris Katolik, konglomerasi Tionghoa dan elit
PDIP. Tentang rekayasa pencitraan Jokowi – Ahok menggilas akal sehat publik.
Kisah penuh misteri itu berawal di akhir bulan
Desember 2013. Orang – orang berduit triliun rupiah yang kemudian dikenal
dengan “cukong”, berkumpul bersama petinggi Kompas Gramedia Group, elite PDIP
dan misionaris Katolik. Atas nama kesamaan kepentingan ideologi, merumuskan
sebuah konspirasi jahat.
“Kita sudah berhasil membawa Jokowi – Ahok di posisi
jabatan strategis DKI Jakarta, kini selanjutnya mempermulus jalan untuk
memastikan Jokowi menjadi Presiden dan Ahok tampil memimpin Jakarta.” Sembari
menegaskan: “Ini tahapan finalisasi untuk menguasai Indonesia yang berpenduduk
mayoritas muslim.”
Sembari menegaskan: “Ini tahapan finalisasi untuk
menguasai Indonesia
yang berpenduduk mayoritas muslim.”
Dengan mengusung tema liputan “Indonesia Satu”, crew
redaksi Kompas bergerak lincah menyebarkan serangkaian isu dan opini penuh tipu
muslihat ke ruang publik. Sasaran mendongkrak popularitas Jokowi – Ahok dan
menghembuskan kebencian rakyat kepada elite dan partai non PDIP.
Hasilnya, dalam kurun waktu yang tidak lama, Jokowi –
Ahok diposisikan sebagai figur fenomenal di panggung politik nasional jelang
Pemilu 2014. Publik hampir setiap hari disuguhi berbagai berita dari aneka
lakon dua boneka yang terus melenggang bebas mewakili ambisi cukong dan
jaringan katolik.
Dengan mengabaikan visi, Jokowi – Ahok hadir bagai
sinetron berdurasi tanpa batas menyihir pembaca dan pemirsa. Mulai dari
serangkaian kisah blusukan Jokowi yang menguras anggaran miliaran rupiah dari
APBD, hingga celoteh penuh amarah tanpa etika diperankan secara membabi-buta
oleh Ahok. Mirip pertunjukan “topeng monyet”, yang setiap gerak-geriknya sudah
terlatih dan sepenuhnya dikendali oleh dalang alias cukong.
Jejak Hitam
Kompas punya sejarah panjang dalam kongsi kepentingan
dengan cukong. Media utama milik kelompok Katolik ini, telah menjadi jaringan
yang terus menggurita. Di tahun 1998 – 1999, Kompas sukses mencitrakan pengaruh
Uskup Belo dalam pergolakan politik paling spektakuler yang berujung pada
pelepasan Timor-Timur dari wilayah NKRI.
Uskup Belo dikesankan bagai pahlawan kemanusiaan yang
secara sporadis menyudutkan ABRI (TNI) sebagai penjahat HAM dalam serangkaian
kasus pembantaian massal di Timor-Timur. Tudingan tanpa bukti itu, nyaris
setiap hari menghias halaman utama koran Kompas dan memicu intervensi kekuatan
asing.
Setelah setahun Timor-Timur lepas dari NKRI, publik
kemudian baru menyadari ternyata: Uskup Belo dan Kompas terlibat bermain mata
untuk memuluskan kepentingan cukong yang mengincar sumber kekayaan minyak di
Laut Timor. Dan untuk hajat busuk itu, maka
jalan ekstrim disintegrasi pun dimainkan.
Sangat menyedihkan, konspirasi Kompas dan gereja
Katolik yang dipimpin oleh Uskup Belo sukses menyulut api kebencian di hati
rakyat Timor-Timur. Di mana ratusan ribu warga Indonesia yang sebagian besar
berasal dari Pulau Jawa yang puluhan tahun menetap di Timor-Timur menjadi
sasaran perlakuan tidak manusiawi, diusir dan ribuan dari mereka kehilangan
nyawa serta harta bendanya.
Tragedi berdarah lepasnya Timor-Timur (Timor Leste)
dari wilayah Indonesia
adalah fakta sejarah yang tak terlupakan. Wilayah yang berpenduduk mayoritas
Katolik tersebut oleh Kompas sangat berkepentingan untuk menjadikannya sebagai
negara boneka dalam kendali Australia, Eropa dan Amerika.
Timor Leste memiliki potensi sumber kekayaan alam dan
berada di zona strategis serta berdampingan dengan NTT yang berpenduduk
mayoritas Katolik. Dan oleh Australia, Timor Leste telah dijadikan pangkalan
militer yang setiap saat dapat memperluas pengaruhnya dengan mencaplok kawasan
di sekitarnya. Jalan kearah itu semakin terbuka lebar. Dan lagi-lagi, Kompas
menyembunyikan rencana licik itu dari perhatian publik.
Bagaimana dengan Jokowi – Ahok…?
Kompas Gramedia Group, cukong dan basis jaringan
Katolik dengan mencolok tengah gencar memainkan “disintegrasi politik” yang
memporak-porandakan tatanan sosial di negeri ini. Melalui penunggangan PDIP,
Jokowi dipaksakan tampil sebagai boneka mereka untuk dipersiapkan memimpin
Indonesia lima tahun ke depan.
Skenario busuk itu tidak lain bertujuan untuk
memperluas pengaruh Katolik dan cukong dalam penguasaan negara, sentra
ekonomi-keuangan dan sebagainya. Ambisi itu sangat nyata, dan secara terbuka
tokoh Katolik paling berpengaruh, Franz Magnis Suseno menyampaikan pesan berupa
ancaman: “Bila Jokowi tidak jadi presiden maka Indonesia akan rusuh…”
Lebih baik membawa mayoritas Katolik Timor-Timur lepas
dari NKRI dari pada bergabung dengan ummat Islam dalam kebhinekaan Indonesia…”
Pernyataan misionaris Katolik Franz Magnis Suseno,
tidak berbeda dengan apa yang pernah dilontarkan oleh Uskup Belo: “Lebih baik
membawa mayoritas Katolik Timor-Timur lepas dari NKRI dari pada bergabung
dengan ummat Islam dalam kebhinekaan Indonesia…”
Cara pandang para tokoh Katolik yang berkonsiprasi
dengan cukong, membuat banyak pihak bertanya: “Di mana sikap nasionalisme
Megawati dan politisi PDIP…?”.
Hem, uang dan kerakusan kekuasaan telah melunturkan
spirit nasionalisme elite partai. Masa depan rakyat di negeri ini tengah
berjalan menuju jurang kehancuran. Prihatin ! [Faizal Assegaf/visibaru]
voa-islam.com Senin, 9 Ramadhan 1435 H / 7 Juli 2014 05:00 wib
(nahimunkar.com)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan