Sahabat Voa Islam,
PERNAH dengar istilah mikul dhuwur mendem jero? Ungkapan kuno dalam
bahasa Jawa itu bermakna harfiah ‘mengangkat tinggi memendam dalam-dalam’.
Namun, makna pokoknya merupakan ajaran filsafat, bagaimana berperilaku terhadap
orang yang berjasa. Balas budi. Sebaliknya, bila ada salah atau kilaf dari
orangtua, maka Si Anak wajib mengubur dalam-dalam kekilafan tersebut. Itu
ajaran budi pekerti yang berkembang dalam kebudayaan Jawa. Ajaran itu berlaku
bukan sebatas hubungan anak-orangtua. Menjadi nilai sopan-santun.
Standar etikanya, yang dibantu wajib menghormati jasa yang membantu.
Sebutlah murid kepada guru di sekolah atau guru mengaji. Penerapan etika itu
bertujuan luhur.
Standar etikanya, yang dibantu wajib menghormati jasa yang membantu.
Sebutlah murid kepada guru di sekolah atau guru mengaji. Penerapan etika itu
bertujuan luhur. Supaya saling menghormati sekaligus menciptakan keharmonisan
dalam kehidupan bersama. Ajaran budaya itu berkembang kuat di lingkungan
masyarakat, khususnya masyarakat Jawa. Bila ada orang Jawa yang menyimpang dari
etika itu, bisa menuai sanksi sosial. Bentuk sanksinya penilaian miring. Bisa
dijuluki orang tak tahu diri, tak bermoral, kurang ajar, dan istilah
macam-macam yang bersifat tidak baik.
Ajaran itu mestinya juga dipahami Joko Widodo alias Jokowi. Apalagi dia
orang Solo! Mungkin karena itu pula, seorang wartawati yang pernah akrab dengan
Jokowi menjadi dongkol berat. Nama wartawan itu Nanik S Deyang. Perempuan
berdarah tulen Jawa itu bekerja sebagai wartawan tabloid The Politic yang
berpusat di Jakarta.
Sebagai peliput berita politik, Nanik S Deyang akrab dengan Jokowi maupun Bos
Partai Gerindra Prabowo Subianto, terutama saat proses pencalonan Gubernur
Jakarta akhir 2012.
Nanik tahu detil fakta, bagaimana Prabowo gigih berjuang agar Jokowi
berhasil menjadi Gubernur DKI. Prabowo sampai empat kali menemui Ketua Umum PDI
Perjuangan Megawati supaya partainya mengusung Jokowi menjadi Cagub DKI
Jakarta. Proses persetujuan alot karena semula PDI Perjuangan sudah menyiapkan
keputusan untuk mengusung Fauzi Bowo alias Foke. Bahkan saat Megawati
menyatakan partainya tak memiliki dana untuk memenangkan Jokowi, Prabowo siap
membiayai.
Jokowi setahun lebih sudah menjabat Gubernur DKI. Ambisi Prabowo
berhasil. Namun, menjelang penentuan Calon Presiden 2014, Jokowi yang dulu
diperjuangkannya, setelah tenar di jagad politik, menantang Prabowo berebut
kursi Presiden. Di titik itulah hati nurani Nanik Deyang bergolak. Dari
Prabowo, Nanik mendapat pengakuan menarik dan mengesankan perilaku buruk Jokowi
yang sejak dilantik menjadi Gubernur DKI ternyata belum pernah menyampaikan
ucapan terima kasih. Nanik juga pernah mengingatkan hal itu kepada Jokowi, tapi
mendapat jawaban yang terkesan cuek, ”Yang mendukung saya jadi Gubernur kan banyak, bukan hanya
Prabowo.”
Fakta lain yang didapat Nanik dari sisi Prabowo, mantan Komandan
Jenderal Kopasus itu ternyata lebih peka dan kaya hati terhadap orang yang
telah dianggapnya berjasa. Setahu Nanik, bekas sopir dan ajudan Prabowo yang
sudah 13 tahun pensiun karena usia, mereka masih digaji. Prabowo ingat peran
mantan pembantunya. Begitu Jokowi deklarasi dengan Jusuf Kalla untuk maju
menjadi kandidat Presiden, Nanik menggugat moralitas Jokowi melalui jagad
internet. Agak menggemparkan karena dilansir sebuah situs terkenal bereputasi
bagus Kompasiana.com. “Mulai hari ini saya mendukung Prabowo, karena saya
menyaksikan ada seorang calon Pemimpin Negara dalam pandangan saya sebagai
orang Jawa minus moral,” tulis Nanik.
Nanik mengungkapkan isi hatinya, jangankan Jokowi paham dengan
kesantuan ajaran budaya Jawa tadi, mengucapkan terimakasih saja tidak dilakukan
terhadap orang yang telah berjasa menjadikannya hebat dan populer. “Saya
berpandangan pemimpin itu harus memiliki keteladan moral,” ujar Nanik.
Karena itu, Nanik menyampaikan rasa jengkelnya terhadap orang-orang
yang sesungguhnya belum mengenal dan tidak tahu betul dengan Prabowo, tetapi
seenak perut mengecam Prabowo kasar, maniak, kejam dan sebagainya.
Sebab, di mata Nanik, justru Prabowo lebih memiliki hati mulia, bahkan,
“Jjauuuuuuh dibandingkan dengan yang secara fisik dianggap santun, ramah,
merakyat. Saya menyaksikan, bukan membaca berita.” Mungkin sebelum menyatakan
dukungan kepada Prabowo, hati Nanik diusik pertanyaan besar: memilih yang
populer dan terkesan merakyat, atau yang berhati mulia?
Gugatan serupa terhadap Jokowi sebelumnya datang dari budayawan Betawi Ridwan Saidi. Pencalonan Jokowi sebagai Presiden dianggap sebagai bentuk sikap moral pemimpin yang tidak amanah terhadap rakyat Jakarta. Tinggal gelanggang colong playu alias lari dari tanggungjawab terhadap janjinya berdasarkan visi-misi semasa kampanye Gubernur untuk menuntaskan beberapa masalah besar. “Katanya akan menyelesaikan masalah Jakarta dulu, tidak akan nyapres. Berarti dia pemimpin yang tidak konsisten,” semprot Ridwan di televisi.
Gugatan serupa terhadap Jokowi sebelumnya datang dari budayawan Betawi Ridwan Saidi. Pencalonan Jokowi sebagai Presiden dianggap sebagai bentuk sikap moral pemimpin yang tidak amanah terhadap rakyat Jakarta. Tinggal gelanggang colong playu alias lari dari tanggungjawab terhadap janjinya berdasarkan visi-misi semasa kampanye Gubernur untuk menuntaskan beberapa masalah besar. “Katanya akan menyelesaikan masalah Jakarta dulu, tidak akan nyapres. Berarti dia pemimpin yang tidak konsisten,” semprot Ridwan di televisi.
Digugat ke Pengadilan karena Tak Amanah
BILA pencapresan Jokowi ada yang mengaitkan dengan soal moral ditilik dari peran Prabowo yang memperjuangkannya menjadi Gubernur DKI, sebagian warga Jakarta ada yang menyaolkannya sebagai norma pelanggaran hukum. Karena itu, Jokowi digugat ke pengadilan atas kemauannya menjadi Capres. Yang menggugat atas nama Sentral Pemberdayaan Masyarakat (SPM). SPM menganggap pencalonan itu merupakan pengabaian amanah warga Jakarta yang sudah memilihnya.
BILA pencapresan Jokowi ada yang mengaitkan dengan soal moral ditilik dari peran Prabowo yang memperjuangkannya menjadi Gubernur DKI, sebagian warga Jakarta ada yang menyaolkannya sebagai norma pelanggaran hukum. Karena itu, Jokowi digugat ke pengadilan atas kemauannya menjadi Capres. Yang menggugat atas nama Sentral Pemberdayaan Masyarakat (SPM). SPM menganggap pencalonan itu merupakan pengabaian amanah warga Jakarta yang sudah memilihnya.
“Kami sudah melakukan kontrak politik dengan Jokowi dan ini mengikat
karena ini negara hukum. Dia telah meremehkan dan mengabaikan amanah warga Jakarta yang telah
memilihnya sebagai Gubernur DKI,” ujar Ketua SPM Nelly Rosa Yulhiana
Siringoringo, Rabu (19/3).
Nelly mengungkapkan, organisasinya sama sekali tidak menaruh dendam terhadap
Jokowi yang dinilai mengkhianati amanah warga Jakarta. “Kita berharap Pak Jokowi masih
mempunyai hati nurani, untuk menyelesaikan tugasnya sebagai gubernur.”
Sebelumnya, Tim advokasi Jakarta Baru melayangkan gugatan perdata
melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Gubernur Jokowi. Tim menilai
keputusan Jokowi meninggalkan jabatannya dan maju sebagai Presiden merupakan
perbuatan melawan hukum. Tujuan penggugat untuk mengingatkan Jokowi dengan
tugasnya sampai selesai. “Selesaikan dulu tanggungjawabnya sebagai Gubernur DKI
Jakarta,” kata anggota tim advokasi Jakarta Baru Ade Dwi Kurnia.
Hakim diminta memutuskan Jokowi bersalah telah melakukan perbuatan
melawan hukum, khususnya melanggar azas kepatutan karena lari dari
tanggungjawab sebelum merealisasikan janji-janji kampanye Pilgubnya. Tim
advokasi juga menuntut Jokowi untuk memenuhi semua janjinya yang sudah
dituangkan dalam kontrak politik dengan tim relawan dan berbagai macam LSM.
Belakangan banyak warga Jakarta yang mendemo Jokowi karena dia maju jadi Capres. “Hipotesa politik saya, warga bergerak secara natural, karena masyarakat sudah kecewa dengan Jokowi. Mereka ingin menagih janjinya,” ujar Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing.
Belakangan banyak warga Jakarta yang mendemo Jokowi karena dia maju jadi Capres. “Hipotesa politik saya, warga bergerak secara natural, karena masyarakat sudah kecewa dengan Jokowi. Mereka ingin menagih janjinya,” ujar Pakar Komunikasi Politik Emrus Sihombing.
Jokowi: Kuda Troya Pro-Komunis
Semua gerakan mendukung Joko Widodo (Jokowi) untuk pencapresan
sebenarnya bermula dari wacana sejumlah kalangan yang berhimpun dalam
Sekretaris Nasional (Seknas) di Jakarta. Karakter utama dari mereka yang
berhimpun dalam Seknas ini bisa diperhatikan dari pergulatan mereka dalam gerakan
sosial politik di Indonesia sejak dekade akhir ‘80an.
Sebuah dekade ketika para mantan anggota PKI atau simpatisan parpol
terlarang itu mulai dikenal kalangan aktivis HAM atau pembela kaum tertindas.
Rupanya, rezim Soeharto telah menciptakan rekayasa politik sedemikian rupa,
sehingga para aktor Orde Baru menjadi tidak realistis melihat situasi dan
kondisi politik di beberapa kota, seperti di Jakarta, Bandung, Yogyakarta,
Surabaya dan Makassar.
Rasa simpati terhadap kehidupan keluarga eks-PKI tumbuh di mana-mana.
‘Penistaan’ yang dilakukan rezim Orde Baru terhadap anggota keluarga itu memicu
reaksi balik dari aktivis ‘80an, yang memang cenderung kekiri-kirian, seperti
Fadjroel Rachman dan Tri Agus Susanto Siswomihardjo.
Tri Agus Susanto adalah Sekretaris Umum Pusat Informasi dan Jaringan
Aksi Reformasi (PIJAR) yang kini giat berkampanye mendukung Jokowi-JK
(Nefosnews, 31/5/2014). Selama aktif di PIJAR, pria ini dikenal sebagai sosok
pengusung gagasan-gagasan yang condong ke aliran kiri.
Sosok lain penggagas utama Seknas Jokowi adalah Mohammad Yamin dan
Dadang Juliantara di Jakarta pada 16 Desember 2013. Yamin merupakan alumni
Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Selama masa
mahasiswa, Yamin dikenal sebagai aktivis berhaluan kiri dalam kelompok Rode.
Kelompok ini memainkan peran sentral dalam mengembangkan pola pikir
kekiri-kirian untuk para mahasiswa lintas organisasi ekstra kampus.
Mereka giat membedah berbagai gagasan kiri dan digunakan sebagai
bingkai melihat persoalan-persoalan yang timbul selama Orde Baru berkuasa. Tren
pemikiran sosialis kiri begitu marak di Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan
Surabaya. Contohnya, Kelompok Studi Palagan di Yogyakarta sebagai wadah untuk
mengasah pemikiran kiri meski baru pada tingkat teoritis.
Sebab, pada saat itu pemerintah di bawah Orde Baru sangat membatasi
aksi turun ke jalan. Di Bandung, kelompok Somal tetap eksis dan menjadi rujukan
aktivis kiri menempa diri. Mereka kerap bertemu dan mendiskusikan isu-isu
aktual dalam perspektif kiri sembari menyemai simpati pada eks-PKI.
Pada saat yang sama, rekayasa rezim Soeharto begitu kuat dilakukan pada
para aktivis muslim di kampus-kampus. Pengawasan terhadap para aktivis ini
terjadi di mana-mana. Kian banyak intel-intel Pelaksana Khusus (Laksus, badan
inelijen semasa Orde Baru) disusupkan ke dalam komunitas masjid, mengawasi
gerak-gerik aktivis muslim.
Rekayasa penangkapan menjadi momok bagi aktivis-aktivis muslim. Mereka
sering dicurigai hendak mendirikan ‘Negara Islam’ atau melawan ‘Azas Tunggal’
Pancasila. Fokus perhatian rezim Orde Baru dengan Benny Moerdani sebagai
lokomotif kecurigaan berujung penangkapan aktivis-aktivis masjid, sesekali
diikuti jebakan menjerat aktivis-aktivis tersebut, ironinya kelompok-kelompok
kiri justru bebas sorotan.
Kelompok itu tumbuh subur bak jamur di musim hujan, tanpa pemantauan
pemerintah sama sekali. Sepanjang dekade ’80-an, suasana kota Yogyakarta, Solo,
Sragen, Klaten, Bandung, Jakarta dan Surabaya menjadi lahan persemaian ideologi
kiri pro-komunis. Rezim Orde Baru sangat alergi pada simbol-simbol Islam yang
muncul di lapangan, tetapi cenderung membiarkan kelompok-kelompok studi
mahasiswa belajar paham komunis tanpa pikiran kritis.
Rupanya, ajaran-ajaran sosialisme yang disebarkan diam-diam oleh para
tokoh sosialis Yogyakarta, seperti Imam Yudhotomo, telah menarik perhatian para
aktivis-aktivis kelompok studi di ‘kota gudeg’ tersebut. Dalam sejarah
Indonesia sesudah kemerdekaan, Yogyakarta memang merupakan salah-satu basis
kaum sosialis, selain Bandung.
Di kota ini sosialisme tumbuh subur dalam benak para akademisi dan
aktivis, yang kemudian menjadi sumber rujukan para generasi muda dekade ’80-an.
Para sastrawan Yogyakarta pun sangat terpengaruh dengan ide-ide kiri ini,
seperti Bambang Isti Nugroho, Umar Khayam dan Romo Mangun. Mereka menulis
pemikirannya dalam perspektif sosialis kiri dan menjadi bacaan santapan para
aktivis di kampus-kampus. Bahkan, sineas Teguh Karya juga merupakan sosok yang
lahir dari tradisi sosialis kiri Yogyakarta.
Pengaruh sosialisme kini di Yogyakarta sesungguhnya membuka ruang bagi
masuknya pandangan-pandangan pertarungan kelas gaya Marxisme. Namun, penerimaan
kelompok sosialis Yogyakarta pada Marxisme menemukan momentum setelah rezim
Soeharto mulai condong ke kelompok muslim, yakni dekade awal ’90-an.
Kaum sosialis Yogyakarta, sebagaimana juga para sosialis Bandung
(Witoelar bersaudara dkk.), merasa rezim Soeharto sudah menemukan kelompok yang
lebih lunak untuk dihantam, yakni kelompok muslim. Kelompok ini dalam pandangan
kaum sosialis lebih mudah dicap hitam, daripada kelompok ABRI yang semula
mendukung rezim Soeharto. Maka, sejak 1992 berhembus isu ‘ijo royo-royo’,
‘sektarian’ dan ‘primordial’ diarahkan ke ICMI serta pelbagai organisasi lain
yang seafiliasi.
Para aktivis sosialis ’80-an di Yogyakarta kemudian menemukan peluang
ketika para pendukung gagasan Marxisme mulai gencar berbicara soal kerakyatan.
Seni kerakyatan, ilmu sosial kerakyatan dan segala sesuatu yang diberi
embel-embel ‘kerakyatan’. Ada tiga seniman Yogyakarta ikut memprakarsai
pembentukan ‘Jaringan Kerja Kesenian Rakyat’ (Jakker). Mereka adalah Mulyono,
Semsar Siahaan dan Widji Thukul.
Para seniman itu merasa sudah lebih maju dalam mengemban misi
kerakyatan sebagaimana dulu perasaan serupa diwujudkan para seniman Lembaga
Kebudayaan Rakyat (Lekra) di era ‘60-an. Tampaknya, 20 tahun setelah Lekra
tiada, semangat Lekrais itu mewujud kembali dalam Jakker. Mereka tidak mau
menggunakan istilah ‘komunis’, karena bisa menimbulkan reaksi antipati luas, melainkan
mengaktifkan istilah ‘kerakyatan’, sehingga tak menimbulkan gejolak. Aktivitas
seniman Jakker bukan cuma di Yogyakarta, tetapi aktif ke berbagai daerah,
termasuk di Jatim, mendekati buruh dan mahasiswa.
Bagi konsumsi mahasiswa, para aktivis sosialis kiri ini mendorong
istilah ‘pro-demokrasi’, sebuah istilah yang tak lebih dari taktik agar banyak
mahasiswa tak alergi mendekati kelompok yang mulai pro-PKI ini. Sebuah hasil
liputan Majalah Gatra tahun 1995 melansir, kian banyak eks PKI yang diam-diam masuk
ke dalam kampus-kampus, menjadi dosen atau staf. Fenomena itu tampak bukan saja
di Yogyakarta, melainkan juga di Semarang, Solo, Bandung, Surabaya dan
kota-kota lainnya.
Mengapa Mengusung Joko Widodo?
Mantan Walikota Solo Jokowi sebenarnya sudah lama dicermati para
aktivis kiri era ‘80-an. Kader PDI Perjuangan ini bahkan memperoleh perhatian
khusus dari kelompok Mohammad Yamin. Sebagai staf ahli MPR yang direkrut oleh
Taufiq Kiemas (alm), Yamin sangat menguasai komunitas aktivis di Yogyakarta dan
sekitarnya. Melalui jejaring Yamin di Yogyakarta, upaya untuk mengangkat nama
Jokowi mulai dilakukan sejak 2006, seusai pelantikan Walikota Solo.
Sikap Taufiq Kiemas yang terbuka justru kemudian dimanfaatkan oleh para
sosialis kiri mem-‘branding’ sosok Jokowi, melalui berbagai upaya pencitraan.
Hubungan antarsesama aktivis era ’80-an memertemukan kelompok Yamin dengan
kelompok yang sama di Jakarta, menjelang pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Namun,
mereka sempat menahan diri karena tak punya kendaraan politik untuk mendaftarkan
Jokowi ke KPU Jakarta.
Tak lama, semua urusan prosedur administratif Pilgub Jakarta beres dan
kemudian Jokowi terpilih sebagai Gubernur DKI. Mulailah kelompok sosialis kiri
bermunculan, apalagi setelah memeroleh ‘suntikan semangat’ dari penyair
Goenawan Mohamad, kendati Jokowi tak pernah menjadi pengurus partai PDI
Perjuangan. Namun, pengalaman selama menggarap pencitraan Jokowi di Solo dan
Jakarta lalu menjadi modal utama sosialis kiri untuk membuat poros baru ke
dalam PDI Perjuangan. Mereka juga tak memedulikan cara ‘mendesain’ tampilan
Jokowi agak terkesan ‘PDI Perjuangan bangets’. Pakaian satgas pun, tak diyakini
mengurangi daya tarik Jokowi di mata massa mengambang.
Poros yang melibatkan Teten Masduki, Rieke Dyah Pitaloka dan Ribka
Tjiptaning perlu memastikan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati menetapkan
Jokowi sebagai capres pada 14 Maret 2014. Namun, kenyataan hasil pemilihan
legislatif (pileg) 9 April 2014 memperlihatkan ‘efek Jokowi’ yang sebenarnya
hanya slogan para sosialis kiri itu, justru tak mendongkrak perolehan suara PDI
Perjuangan.
Usai Pileg 2014, sepanjang April 2014, para sosialis kiri pro-PKI pun
kelabakan, karena pengurus internal PDI Perjuangan mulai menyingkap tujuan
kelompok sosialis kiri pro-PKI yang menunggangi partainya. Dan kelompok pro PKI
pun kemudian mulai memainkan isu melalui media massa dan mendekati sosok
seperti Surya Paloh dan Dita Indah Sari. Dan terbukti, Surya Paloh pun
terpengaruh dan terbuai hingga ‘menggadaikan’ institusi jurnalistiknya, MetroTV
untuk pencitraan Jokowi.
Melalui Dita yang memegang hasil survei abal-abal terhadap Jokowi dan
keberadaan Yenny Wahid serta Dhohir Farizi di kubu Partai Gerindra, Dita
berupaya meyakinkan Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar. Tak lama setelah itu, PKB
pun merapat ke Jokowi, seperti halnya Partai Nasdem.
Belakangan, kelompok Wiranto juga melihat peluang guna meraup
keuntungan politik di kubu Jokowi. Agum Gumelar dan Hendropriyono memainkan
peran sentral untuk menarik para purnawirawan ini, selain juga ada keterlibatan
Luhut Binsar Panjaitan yang kecewa pada Aburizal Bakrie.
Megawati dan lingkaran dalam PDI Perjuangan rupanya melihat perlunya
mengajak para purnawirawan itu bergabung melalui duet ‘jenderal pelindung’ yang
sudah punya rekam jejak baik di mata sang Ketum PDI Perjuangan. Para
purnawirawan di kubu Jokowi ini bolehlah disebut sebagai barisan pendukung
semangat Benny Moerdani. Sebab, mereka umumnya adalah pelanjut cara berpikir
ala Benny Moerdani, yang merupakan penjaga sesungguhnya Soehartoisme dan Orde
Baru.
Situasi ini membuat kaum sosialis kiri, seperti Hilmar Farid, Noer
Fauzi dan Teten Masduki, tak mengira kelompok purnawirawan Soehartois itu
merapat ke Jokowi. Apalagi kemudian dua orang mantan wakil Hendropriyono di
Badan Intelijen Nasional (BIN) era 2001-2004, yakni As’ad Ali dan Muchdi Pr,
juga ikut bergabung ke dalam kubu Jokowi. Triumvirat mantan BIN ini yang diduga
kuat oleh publik dan media massa punya rekam jejak atas tewasnya pejuang HAM
Munir Said Thalib SH pada tahun 2004. Kini, triumvirat ini bergabung ke Jokowi.
Pantas saja, kelompok sosialis kini berupaya menghindar dari sorotan publik.
Ada alasan utama mengapa para purnawirawan bermasalah dan sosialis kiri
itu bisa bersatu di dalam kubu Jokowi, yakni Jokowi lebih gampang dijadikan
‘kuda troya’. Jokowi bukan pengurus apalagi ketua partai, jadi kelak tidak
perlu terikat pada haluan partai. Karena bukan pengurus, apalagi ketua umum
partai, maka kelompok sosialis kiri pro-PKI bisa lebih mudah membisiki Jokowi
atas dasar simbiosis mutualisme, saling membutuhkan dan saling menguntungkan.
Posisi tawar Jokowi terbukti lemah dan bisa dilihat dari istilah
‘kerjasama tanpa syarat’ yang digembar-gemborkan PDI Perjuangan sepanjang April
2014. Perlu disimak, para sosialis kiri dan purnawirawan ‘haus darah’ muslim
tersebut sudah memersiapkan pelbagai rancangan kebijakan sesuai selera, seperti
kubu purnawirawan akan menggulirkan kebijakan keamanan lebih agresif atau
mengawasi gerak-gerik warganegara kalau perlu dengan pesawat tanpa awak
‘drone’. Tidak sekadar mengawasi isi khutbah Jumat di masjid-masjid kelak.
(TIM SApujagat)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan