Sahabat
Voa Islam, Mari mengurai konsporasi....
M.
Sembodo penulis buku ‘Pater Beek, Freemason dan CIA’ menulis tentang gerakan
apa yang disebut Kasbul (Katholik Sebulan). Dalam sebuah situs ‘tikus merah’
Sembodo mengulas skenario gerakan Kasbul, termasuk pengkaitan gerakan rahasia
ini dengan pencapresan Joko Widodo (Jokowi). Berikut tukilannya:
Kasbul
merupakan ajang bagi Pater Beek untuk mendidik kader-kader Katolik yang
militan. Awalnya, tempat kaderisasi terletak di Asrama Realiono, Yogyakarta. Letak asrama ini tak jauh dari kampus
Universitas Sanata Dharma di Jalan Gejayan (sekarang bernama Jalan Afandi) Yogyakarta. Di tempat inilah para kader Katolik muda
dididik untuk menghadapi kaum Komunis dan Islam.
Pater
Beek memang dikenal sebagai rohoniawan yang anti Komunis. Sebelum peristiwa
1965 pecah, Pater Beek mendidik mahasiswa-mahasiswa Katolik dalam Kasbul untuk
melawan kekuatan Komunis.
Richard Tanter (1991) menyatakan:
“
Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar bagi Indonesia maupun bagi Gereja, yaitu Komunisme dan Islam, di mana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan: sama-sama memiliki kualitas ancaman.”
Richard Tanter (1991) menyatakan:
“
Bagi (Pater) Beek, ada dua musuh besar bagi Indonesia maupun bagi Gereja, yaitu Komunisme dan Islam, di mana ia melihat keduanya memiliki banyak keserupaan: sama-sama memiliki kualitas ancaman.”
Oleh
sebab itu, Pater Beek mengkonsolidasi kekuatan untuk melawan Komunisme yang
saat itu kuat di Indonesia.
Ia kumpulkan mereka untuk diberi pendidikan. Terutama yang dihimpun adalah
mahasiswa-mahasiswa Katolik dari berbagai daerah. Dalam buku berjudul
“Bayang-bayang PKI” (1986) dijelaskan:
“Selama
bertahun-tahun Pater Beek memang telah menghimpun dan membina anak-anak muda,
terutama mahasiswa, untuk ditempa sebagi kekuatan anti-komunis. Basis utamanya
adalah PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), yang saat itu merupakan
organisasi underbouw Partai Katolik.
Tokoh-tokoh
PMKRI pula yang kemudian banyak terlibat dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa
Indonesia (KAMI). Dengan pengaruh dan jaringan anti-komunis yang kuat itu, tak
heran banyak dugaan bahwa Pater Beek memainkan peranan penting dalam gerakan
anti-komunis. Antara lain, ia sering disebut-sebut sebagai penghubung antara AD
dan CIA.”
Keterlibatan
Pater Beek adalam gerakan anti Komunis juga ditulis oleh Oei Tjoe Tat (1995)
dalam memoarnya. Ia memberikan kesaksian sebagai berikut:
“Pater
Beek itu, saya lihat pertama kali setelah saya dibebaskan. Saya di dalam
tahanan mendengar dari orang-orang PNI, BAPERKI, PKI, dan sebagainya bahwa
Pater Beek ini adalah agen CIA. Dia membina pemuda-pemuda keturunan Katolik,
terutama pemuda-pemuda keturunan Tionghoa-Katolik, untuk antara lain membakar
gedung Kedubesan RRT, membakar gedung Universitas Res Publika dan menghancurkan
semua gedung-gedung PKI atau rumah-rumah orang PKI. Ini dianggap ultra-kanan.
Selama saya mendengarkan itu, saya di RTM. Bagaimanapun saya Katolik. Jadi, ada
seorang pastur Katolik begitu, saya diam. Tapi pada waktu saya diperkenalkan
dengan Pater Beek dan datang ke sini [RTM-red] kemudian, dia mengaku. Dia
bilang begini pada saya, “Kalau pak Oei perlu sesuatu dari…, saya bisa. Ali
Moertopo, semua jenderal.” Saya dengar dia ini membantu Liem Bian Koen dan Liem
Bian Khie, Sumarlin. Semua ini di bawah dia. Dia juga kuat di PMKRI.”
Ketika
PKI ditumpas pasca Peristiwa 1965, Pater Beek, lewat Ali Moertopo, menyerahkan
5.000 nama orang-orang PKI pada CIA. Hal ini terungkap ketika wartawati Amerika
Serikat, Kathy Kadane yang mewawancarai mantan pejabat Kedubes Amerika Serikat
di Jakarta, pejabat CIA dan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat.
Ia
mendapatkan pengakuan dari nara
sumbernya itu. Salah satu yang diwawancarai adalah Lydman—mantan wakil kepala
misi Kedubes Amerika Serikat di Jakarta. Dalam wawancara tersebut Lydman
mengatakan pengumpulan nama-nama orang PKI selain dilakukan oleh stafnya juga
dibantu oleh Ali Moertopo.
Lantas
bagaimana nasib 5.000 nama orang-orang komunis tersebut? Robert J Martens yang
saat Peristiwa 1965 pecah menjabat sebagai Sekretaris I Kedubes Amerika Serikat
melakukan pengecekan terhadap 5.000 orang dalam daftar itu.
Dari
hasil pengecekannya didapatkan semua orang yang terdapat dalam daftar itu
ditangkap dan kemudian dibunuh. Menanggapi pembunuhan tersebut, Pater Beek
dalam wawancaranya dengan Aaad van Heuvel (1993) dengan ringan mengatakan:
“Masalahnya mereka atau kita (yang dibunuh).”
Setelah
orang-orang Komunis ditumpas, entah apa alasannya, pada tahun 1967 tempat
pendidikan Kasbul di pindahkan ke Klender, Jakarta Timur. Menurut Mujiburrahman
(2006) tempat di Klender dikelola oleh seorang suster bernama Mathilda Maria
Van Thienen. Dari wawancara dengan sang suster, Mujiburrahman mendapatkan
keterangan bahwa asrama di Klender terdiri dari tiga blok dengan 72 ruangan dan
114 tempat tidur. Biasanya Pater Beek akan datang empat kali dalam setahun
memimpin acara Kasbul.
Sistem Kaderisasi dalam Kasbul
Dalam
setiap pelatihan Kasbul, biasanya diikuti oleh 100 orang, 10 di antaranya
adalah perempuan. Mereka merupakan kader-kader Katolik terpilih dari berbagai
daerah dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda. Supaya bisa
mengikuti kaderisasi yang sifatnya rahasia ini, seseorang harus mendapatkan
rekomendasi dari romo di tempatnya berasal. Pendanaan dari acara ini sebagian
besar didapatkan dari luar negeri, terutama Belanda dan Jerman.
Aturan
Kasbul memang cukup berat. Seseorang yang telah mengikuti Kasbul dilarang keras
menceritakan keikutsertaannya pada orang lain, baik pada keluarga maupun teman.
Sebelum pelatihan, mereka akan menjalani serangkaian test psikologi.
Test
ini digunakan untuk mengatahui sifat dan keahlian seseorang yang kelak
diperlukan sewaktu melakukan penugasan. Sedangkan untuk menyembunyikan
identitas seseorang, maka selama pelatihan nama diubah sehingga antara satu
peserta dengan peserta yang lain tidak saling mengenal identitas sebenarnya.
Metode pelatihan yang diterapkan Pater Beek dalam Kasbul merupakan kombinasi antara kaderisasi Katolik ala Jesuit dan Komunis. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau selama kaderisasi dididik dengan disiplin yang keras. Menurut Mujiburrahman, selama pelatihan tak jarang mereka harus terlibat dalam adu fisik, direndahkan dan dilecehkan guna menggembleng mental. Apa yang diungkapkan Mujiburrahman juga dibenarkanoleh George J. Aditjondro:
Metode pelatihan yang diterapkan Pater Beek dalam Kasbul merupakan kombinasi antara kaderisasi Katolik ala Jesuit dan Komunis. Oleh karena itu, tak mengherankan kalau selama kaderisasi dididik dengan disiplin yang keras. Menurut Mujiburrahman, selama pelatihan tak jarang mereka harus terlibat dalam adu fisik, direndahkan dan dilecehkan guna menggembleng mental. Apa yang diungkapkan Mujiburrahman juga dibenarkanoleh George J. Aditjondro:
“Dalam
kegiatan Kasbul itu bukan cuma indoktrinasi yang dilakukan, bahkan latihan
fisik yang mendekati latihan militer juga diberikan. Di sana para kader dilatih menghadapi situasi
jika diintrograsi oleh lawan. Bagaimana meloloskan diri dari tahanan, bagaimana
survive dan sebagainya.”
Sementara itu, Richard Tanter juga memberikan pendapat yang serupa:
Sementara itu, Richard Tanter juga memberikan pendapat yang serupa:
“Dalam
pratiknya, kursus-kursus tersebut mengambil metode campuran, perpaduan
teknik-teknik pendidikan Jesuit dan Komunis, berbasiskan disiplin diri yang
kuat. Kursus atau pelatihan-pelatihan ini diselenggarakan dengan pendekataan
yang amat brutal atas para pesertanya: para calon kader bahkan kerap kali
diharuskan saling menghajar atau memukul rekan-rekan sepelatihannya sendiri, dihina
dengan keharusan merangkak di lantai yang penuh dengan kotoran, sesi-sesi
harian yang panjang penuh dengan umpatan mengejutkan di tengah malam buta.”
Selain
cara-cara yang telah diuraikan di atas, mereka juga diharuskan puasa sepanjang
hari dan berdoa semalam suntuk. Hal seperti itu juga dilakukan oleh Pater Beek.
Sementara itu, bagi peserta pelatihan yang melanggar disiplin yang telah
ditetapkan akan dihukum, dan apabila sudah berulang-ulang melakukan kesalahan,
maka akan dipulangkan.
Dalam
Kasbul seseorang juga diuji kejujurannya. Sebagaimana dituturkan Mujiburrahman,
cara pengujian ini dilakukan Pater Beek dengan cara meletakkan uang pada sebuah
buku yang sering dibaca oleh peserta. Bila uang itu hilang, maka Pater Beek
akan melakukan investigasi.
Ia akan mencoba mengidentifikasikan siapa yang mengambil uang tersebut. Pertama-tama ia akan menanyai penjual dikompleks pelatihan itu. Apabila uang tidak ditransaksikan di tempat itu, maka ia menanyai orang-orang yang dicurigai. Dan setelah uang ditemukan, ia akan menghukum orang tersebut.
Ia akan mencoba mengidentifikasikan siapa yang mengambil uang tersebut. Pertama-tama ia akan menanyai penjual dikompleks pelatihan itu. Apabila uang tidak ditransaksikan di tempat itu, maka ia menanyai orang-orang yang dicurigai. Dan setelah uang ditemukan, ia akan menghukum orang tersebut.
Setelah
Komunis berhasil dihancurkan oleh Orde Baru, sasaran Pater Beek pindah ke
Islam. Teori Pater Beek tentang Islam sebagai ancaman dikenal sebagai teori
“Lasser Evil Theory (Teori Setan Kecil).” Dalam teori itu dibabarkan bahwa
setelah komunis berhasil dihancurkan oleh tentara, maka akan muncul dua
ancaman. Tentang dua ancaman ini George J. Aditjondro memberikan uraian sebagai
berikut:
“Setelah
komunis dihancurkan oleh tentara, (Pater) Beek melihat ada dua ancaman (setan)
yang dihadapi kaum Katolik di Indonesia. Kedua ancaman sama-sama berwarna
hijau, Islam dan tentara. Tapi Beek yakin, tentara adalah ancaman yang lebih
kecil (lasser evil) dibandingkan Islam yang dilihatnya sebagai setan besar.
Berdasarkan pikiran itulah maka perintah Beek kepada kader-kadernya adalah
rangkul tentara dan gunakan mereka untuk menindas Islam.”
Tentang
pilihan Pater Beek memilih Orde Baru dan tentaram ditekankan Ricarad Tanter
sebagai berikut:
“Pemilihan semacam ini dibenarkan (Peter) Beek, dengan dalih sungguh pun banyak kesalahan yang dilakukan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selaian memberikan dukungan atas “the lesser evil (tentara).”
“Pemilihan semacam ini dibenarkan (Peter) Beek, dengan dalih sungguh pun banyak kesalahan yang dilakukan yang dibuat oleh Soeharto, watak Komunis maupun Islam yang tidak dapat diterimanya, membuatnya tidak bisa memilih lain, selaian memberikan dukungan atas “the lesser evil (tentara).”
B.
Suryasmoro Ispandrihari, salah satu narasumber Mujiburrahman dalam desertasinya
yang pernah ikut Kasbul pada tahun 1988, mengungkapkan bahwa para peserta
diajarkan untuk menjadikan Islam sebagai musuh yang menakutkan.
“Islam
adalah musuh Katolik… Dan jika diperlukan lulusan Kasbul harus mengambil
senjata untuk berjuang melawan Islam,” begitu penuturan B. Suryasmoro
Ispandrihari menirukan ucapan salah seorang pengajarnya di Kasbul.
Pernyataan
Suryasmoro Ispandrihari juga dibenarkan oleh Damai Pakpahan seorang peserta
Kasbul tahun 1984 dan sekarang menjadi aktivis LSM di Yogyakarta. Karena
doktrin dalam Kasbul yang Islamphobia, membuat Damai Pakpahan memilih keluar
dari jaringan Kasbul. Apa yang dilakukan oleh Damai Pakpahan juga dilakukan
George J. Aditjondro. Ia menuturkan sebagai berikut:
“Saya
sendiri juga pernah menjadi kader Pater Beek dan dilatih melawan komunis. Tapi
seperti juga Wangge, ketika CSIS sudah menjadikan Islam sasarannya, dan karena
CSIS menjadi tanki pemikir rezim Suharto, juga karena ikut berdarahnya tangan
CSIS di Timor Timur, saya tidak bisa lagi tetap berada dalam jaringan pengikut
Pater Beek.
Epilog: Setelah Katolik Dipinggirkan Soeharto
Setelah selesai kaderisasi para lulusan Kasbul diharuskan setia pada Peter Beek. Bentuk kesetiaan ini selain taat menjalankan perintah juga diharuskan membuat laporan setiap bulan. Tentang hal di diungkapkan oleh Ricard Tanter:
Setelah selesai kaderisasi para lulusan Kasbul diharuskan setia pada Peter Beek. Bentuk kesetiaan ini selain taat menjalankan perintah juga diharuskan membuat laporan setiap bulan. Tentang hal di diungkapkan oleh Ricard Tanter:
“Setelah
hari-hari yang melelahkan, dalam jam tidur yang mat pendek, dan lain
sebagainya, hasil akhirnya adalah: menjadi seorang kader yang sepenuhnya setia,
patuh kepada Beek secara personal; menjadi orangnya Beek seumur hidup, yang
bersedia melakukan apa saja baginya.
Ketika
para kader itu dipulangkan ke habitat asalnya, orang-orang muda ini kemudian
diminta untuk menghasilkan laporan bulanan atas segala hal yang mereka dengar
dan lihat di dalam organisasi masing-masing, yang dilakukan untuk Beek dan demi
Beek seorang. Secara bertahap Beek membangun kepentingan dirinya, sebuah
jaringan—kerja intelejen personal. Bagi pimpinan-pimpinan Gereja yang mendukung
program Beek, maka hasilnya tentu akan memuaskan.”
Apa
yang diungkapkan Richard Tanter memang benar. Para
lulusan Kasbul kemudian dibuatkan jaringan yang dikembangkan dengan sistem sel.
Masing-masing sel dipimpin oleh seorang koordinator yang berhubungan dengan
koordinator sel-sel lainnya. Dengan sistem ini, selain organisasinya rapi, juga
memungkinkan gerakan yang efektif. Sementara itu, para lulusan terbaik akan
dikirim ke luar negeri.
Posisi
politik Kasbul memang tidak konsisten. Setelah melawan Komunis, Islam, mereka
kemudian bergeser melawan Soeharto. Ini terjadi ketika pada tahun 1990-an
Soeharto mulai merangkul Islam dengan merestui berdirinya ICMI (Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia), dan posisi CSIS mulai disingkirkan.
Sejak
kejadian itu, bandul politik Kasbul menjadi anti Soeharto. Tidak mengherankan
kalau kemudian kader-kader Kasbul disebar masuk ke dalam gerakan prodemokrasi.
Tentu saja sebagian dari kader-kader Kasbul masuk dalam PRD (Partai Rakyat Demokratik)
yang pada waktu itu paling keras melawan orde baru.
Pencapresan Jokowi
Sekarang,
setelah Soeharto jatuh, dalam demokrasi terbuka, kader-kader Kasbul menyebar
lagi. Mereka tentu akan terus terlibat dalam politik. Menjelang Pemilu 2014,
mereka tentu mempunyai kepentingan untuk mendukung calon presiden tertentu.
Ajianto
Dwi Nugroho, misalnya, kader Kasbul lulusan Fisipol UGM, belakangan ikut
terlibat menggalang kekuatan untuk memajukan Jokowi sebagai presiden. Lewat
lembaga yang dimilikinya yang sebagian stafnya alumni Kasbul, dia ikut momoles
pencitraan Jokowi dalam berbagai media.
Kerja
Ajianto Dwi Nugroho bisa dijadikan contoh bagaimana kader-kader Kasbul bekerja.
Sewaktu mahasiswa, ia masuk dalam lingkaran pers mahasiswa UGM, Balairung.
Sembari di Balairung ia mendekat pada gerakan mahasiswa semacam SMID
(Solidaritas Mahasiswa untuk Demokrasi) Yogyakarta
dan Dewan Mahasiswa UGM. Walaupun agak terlambat, ia kemudian masuk menjadi
anggota PRD pada tahun 1999.
Untuk
survive ia sempat berpacaran dengan mahasiswi beragama Islam dan berkerudung,
guna membiayai hidupnya. Dengan pelatihan yang diperoleh ketika mengikuti
Kasbul, ia bisa mengambil peran dalam setiap perubahan politik yang ada. Itulah
salah satu kelebihan kader-kader Kasbul.
Yang
terbaru adalah ketika Jacob Soetoyo melalui jasa lobi Paus Fransicus kepada
Presiden Obama dalam pertemuan mereka di Vatikan pada 27 Maret 2014 lalu. Paus
meminta kesediaan Obama untuk mendesak kelompok kristen Indonesia
melonggarkan kendali mereka terhadap Jokowi. Kelompok kristen Indonesia itu
selama ini berkuasa atas diri Jokowi melalui peran James Riady yang juga
merupakan anggota Arkansas Connection yang memiliki kaitan erat dengan penguasa
Gedung Putih.
Atas
restu Paus dan izin Obama, Jacob Soetoyo mempertemukan Jokowi dengan sejumlah
duta besar di kediamannya, di bilangan Jakarta Selatan. Tidak
tanggung-tanggung, Jacob mempertemuan Jokowi beserta Ketua Umum PDIP Megawati
Soekarnoputri dengan dubes-dubes negara “hiu.” Meski demikian, sejatinya, Duta
Besar Vatikan untuk Indonesia
adalah sebagai tuan rumah pertemuan itu. Kediaman Dubes Vatikan tentu tidak
mungkin digunakan menyambut para tamu agung itu karena akan merugikan posisi
politik Jokowi di mata umat Islam Indonesia.
Jacob
memang lebih dikenal sebagai pengusaha. Tapi, dalam konteks menjadi fasilitator
pertemuan Jokowi-Mega dengan para duta besar tersebut, tentu kapasitasnya
sebagai bagian dari CSIS (Centre for Strategic and International Studies).
Sudah
banyak yang tahu bahwa CSIS merupakan lembaga pemikir orde baru yang memberikan
masukan strategi ekonomi dan politik pada Soeharto. Tapi, yang belum banyak
diketahui adalah hubungan CSIS dengan organisasi fundamentalis Katolik dengan
Kasbul tadi.
Keberhasilan elit Katolik merebut kendali atas diri
Jokowi, sayangnya ditumpangi oleh elit dan kader – kader eks partai komunis
atau simpatisan PKI yang kebetulan di wilayah Surakarta, Klaten, Sragen,
Sukoharjo dan Boyolali, banyak aktifis dan kader PKI yang menjadi penganut
Katolik untuk menghindar dari penangkapan oleh aparat saat operasi pembersihan
eks PKI dilancarkan di masa – masa awal orde baru. Mereka, para elit dan kader
komunis ini kemudian menjadi penumpang gelap dalam tim sukses atau pendukung
Jokowi di mana – mana terutama di Jawa Tengah dan Jakarta
Meski kelompok Katolik berhasil mendobrak benteng pertahanan Faksi
Kristen PDIP terhadap pengendalian atas diri Jokowi, Faksi Kristen tetap ngotot
dan terus berusaha agar tetap mendapat ruang kendali atas diri Jokowi, walaupun
tidak sepenuh dan sekuat saat Jokowi belum direbut Faksi Katolik dan Komunis.
Sejarah baru peta kekuatan politik di Indonesia sedang ditorehkan. Faksi
Kristen, Katolik dan Komunis yang sebelumnya selalu bermusuhan, kini bersatu
(untuk sementara) dalam rangka mendukung kemenangan capres Jokowi dalam pilpres
2014.
Bagaimana posisi umat Islam Indonesia ? Seperti biasa, meski
Islam mayoritas di Indonesia
(87%), namun tak berdaya dan tak mampu bersatu.
Seperti buih di lautan, dan selamanya katholik akan menjadi benalu….
[wahid/ahmed/yudisamara/voa-islam.com]
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan