Sahabat Jenius, Kritis dan Anti Anarkis...
Ditepi lain Ketua Dewan Pertimbangan Partai Nasdem Rachmawati
Soekarnoputri sedang mempersiapkan sebuah buku kecil untuk diberikan kepada
Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Dalam konteks Pilpres 2014, Rachma
memiliki sikap yang berbeda dengan Surya Paloh. Tidak seperti Surya Paloh yang
mendukung PDIP dan mendukung pencapresan Joko Widodo, Rachma memilih
sebaliknya, tidak mendukung PDIP dan tidak mendukung pencalonan Jokowi.
“Saya pernah punya rencana bertemu Jokowi. Tetapi dia tidak jadi
datang. Tadinya saya mau tanyakan sikap Jokowi tentang sejumlah hal yang saya
kira penting untuk dijelaskan,” ujar Rachma di kediamannya, di Jalan Jati Padang Raya, Jakarta
Selatan, Kamis petang (3/7).
Seperti dikutip dilaman RMOL Buku kecil yang sedang disiapkan Rachma
itu akan diberi judul “Dosa Politik Mega”. Di dalam buku itu Rachma akan
merangkum sejumlah kasus yang terjadi ketika Megawati Soekarnoputri berkuasa
antara 2001-2003.
Selain kepada Surya Paloh, buku itu juga akan dibagikan kepada
tokoh-tokoh nasional lainnya. Rachma bermaksud mengingatkan dan menjelaskan
kepada pimpinan Partai Nasdem bahwa ketika berkuasa Mega melakukan sejumlah hal
yang merugikan negara. Di antara kasus-kasus yang dirangkum Rachma itu, antara
lain adalah penjualan PT Indosat, penjualan ladang gas Tangguh, pembelian
Sukhoi “bodong”, penjualan VLCC, dan kebijakan memberikan pengampunan kepada
pengemplang BLBI melalui Release and Discharge. “Kasus-kasus ini perlu
dijelaskan kembali, agar publik mengingat kembali kualitas kepemimpinan Mega
dan partainya,” ujar Rachma.
Menurutnya, Joko Widodo yang didukung Mega dan PDI Perjuangan kali ini
pun tidak akan jauh berbeda dengan Mega. “Kita jangan seperti beli kucing dalam
karung. Jokowi mampu tidak membatalkan semua kebijakan politik Mega yang keliru
itu. Dengan ringan dia (Jokowi) mengatakan akan buy back Indosat. Saya kira dia
hanya asal bicara saja,” ujar Rachma lagi. (Bersambung) Tukar Guling Kasus Mega
dan Jokowi Masih ingat kasus sadapan yang terungkap dalam transkrif Bagaimana
tangan-tangan 'kuat' berusaha menyelamatkan Jokowi, dari badai korupsi. Mega
dan Rekaman penangguhan pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo,
diminta oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Ternyata ada tukar Guling, kata Ketua Progres '98 Faizal Assegaf ,
sebenarnya Jokowi tersandra oelh Megawati soal Transjakarta.
Ternyata ada tukar Guling, kata Ketua Progres '98 Faizal Assegaf ,
sebenarnya Jokowi tersandra oelh Megawati soal Transjakarta. Ia mengaku jika
diungkap maka transkrip itu adalah benar sebuah transkrip rekaman dari
seseorang yang mengaku utusan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Bambang Widjojanto. "Itu dia (utusan Bambang) memperdengarkan percakapan
antara Basrief Arief (Ketua Kejaksaan Agung) dan Mega pada awal Mei," kata
Faisal kepada VOA ISLAM.
"Saya minta rekaman itu, tujuh menit bicara sama dia (utusan
Bambang), tapi tidak dikasih," lanjutnya.
Dalam rekaman itu, kata Faisal, juga disebut sejumlah petinggi partai
seperti Ketua Umum Nasdem Surya Paloh, politikus PDIP Trimedya Pandjaitan dan
Todung Mulya Lubis. Menurut Ketua Progres '98 Faizal Assegaf mengaku menerima
sebuah transkrip rekaman dari orang yang mengaku utusan Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto.
"Berawal saat kami laporan proses rekening calon presiden Jokowi
ke KPK pada tanggal 29 Mei. Seminggu kemudian kita datang lagi, pada Jumat 6
Juni, meminta kepastian hukum tiga rekening kampanye Jokowi, karena terkait
gratifikasi gubernur," ungkap Faisal Usai melaporkan hal itu, lanjur
Faisal, dirinya makan siang di sebuah restoran, lalu dia didatangi oleh
seseorang yang mengaku utusan Bambang Widjojanto. "Dia mendengarkan
rekaman ke saya, lalu menyerahkan transkripnya. Namun dia menolak untuk
memberikan rekaman itu," tuturnya. "Saya tanya apa motivasi dia
(utusan Bambang) dengarkan rekaman dan kasih transkrip. Dia (utusan Bambang)
bilang, kata Pak Bambang jangan angkat gratifikasi (rekening kampanye Jokowi),
tapi dugaan korupsi Transjakarta saja," tandasnya.
Nampaknya, KPK akan mengambil alih kasus Transjakarta Terkuak
pembicaraan antara Megawati dengan Jaksa Agung, Basrief Arief, tentang
permintaan penaangguhan pemeriksaan terhadap Jokowi, terkait dengan kasus
Tranjakarta. Ini sebuah intervensi yang sangat merugikan, khususnya bagi aparat
penegak hukum yang ingin menegakan hukum di Indonesia.
Menurut Ketua Progres 98, Faizal Assegaf, di mana di a mengaku
mendapatkan transkrip rekaman yang diduga antara Ketum PDIP Megawati
Soekarnoputri dengan Jaksa Agung Basyrief Arief. Mega dalam 'Rekaman' meminta
penangguhan pemeriksaan terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Penangguhan
pemeriksaan itu diminta oleh Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri.
Ketua Progres '98 Faizal Assegaf mengaku menerima sebuah transkrip
rekaman dari seseorang yang mengaku utusan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto. Diduga Jokowi tersangkut kasus korupsi
Transjakarta Rp. 1,5 Triliun! Diduga Jokowi tersangkut kasus korupsi
Transjakarta Rp. 1,5 Triliun! Faizal mengatakan, transkrip itu membicarakan
permintaan Megawati agar kasus korupsi TransJakarta, tidak menyeret Jokowi.
Dalam kasus ini, mantan Kepala Dishub DKI Udar Pristono, sudah ditetapkan
sebagai tersangka.
Menurut dia, pembicaraan antara Megawati dengan Basrief berlangsung
tanggal 3 Mei 2014 pukul 23.09 WIB, dan durasinya selama 3 menit 12 detik.
Berikut yang diperoleh dari Faizal, saat memberikan
keterangan pers di kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (18/6/2014):
Basrief Arief: ... Terima kasih bu, arahannya sudah saya terima,
langsung saya rapatkan dengan teman-teman..."
Megawati: "... Itu anu, sampean jangan khawatir, soal media saya serahkan
ke Pak Surya, nanti beliau yang berusaha meredam..."
Basrief Arief: "... Makasih bu, eskalasi pemberitaan beberapa
hari agak naik, tapi alhamdulillah trendnya mulai menurun. Tim kami sudah
menghadap Pak Jokowi meminta yang bersangkutan agar tidak terlalu reaktif ke
media massa..."
Megawati: "... Syukurlah kalau begitu, intinya jangan sampai masalah ini
(kasus TransJakarta) melemahkan kita, bisa blunder hadapi Pilpres, tolong
diberi kepastian, soal teknis bicarakan langsung dengan Pak Trimedya dan mas
Todung, aku percaya sama sampaean..."
Basrief Arief: "... Tadi sore kami sudah berkoordinasi,
insyallah semuanya berjalan lancar, mohon dukungan dan doanya Bu, saya akan
berusaha maksimal, Pak Trimedia juga sudah menjamin data-datanya..."
Megawati: "... Amien, semua ini ujian, semoga tidak berlarut-larut, apa sih
yang ga dipolitisir, apalagi situasi kini makin dinamis, tapi saya percaya
sampean dan kawan-kawan bisa meyakinkan ke media, saya percaya bisa diatasi,
jangan kasus ini Pak Jokowi jadi terseret dan membuat agenda kita semua berantakan..."
Basrief Arief: "... Insya Allah saya usahakan, sekali lagi
terima kasih kepercayaan ibu kepada saya dan teman-teman, kita komit kok Bu,
untuk urusan ini (kasus TransJakarta) saya pasang badan..."
Bagaimana selama ini Jokowi di identikan sebagi tokoh yang jujur,
sederhana, merakyat. Ternyata sangat tidak jujur, dan tidak mau
bertanggungjawab atas kasus korupsi Transjakarta, yang tidak bisa dilepaskan
dari tanggungjawab Jokowi. Pun demikian saat Mega membebaskan memberikan
pengampunan kepada pengemplang BLBI melalui Release and Discharge. Jadi inilah
Tukar Guling Jokowi Mega, jika Jokowi jadi Presiden maka Megawati aman atas
kasus ini, dan Jokowi harus mau karena kalau tidak Jokowi tersandra kasus
Transjakarta. Nah lain cerita jika Prabowo Presiden maka Megawati diduga bakal
dibui.
Megawati Vs Rachmawati
Buku Rachamati Ini Menegaskan Bahwa Ada Pertikaian Di Dalam Tubuh Trah Sukarno..
Rachmawati vs Megawati..!!
Seperti yang di beritakan RMOL yang berjudul Rachmawati Siapkan Buku “Dosa
Politik Mega”, sebuah buku "Dosa-Dosa Politik" Megawati dipersiapkan
Rachmawati. Entah apa yang terjadi di dalam trah Sukarno tersebut.
Berikut sedikit kutipan dari catatan Rachmawati yang nantinya akan
dibuat buku, dan dibawahnya ada sedikit kutipan isi buku berjudul “Kekerasan
Budaya Pasca 1965″ karya Wijaya Herlambang yang terbit November 2013.
Bagi saya, kisah Mega dan Orde Baru bukan hal baru. Begitu juga soal
hubungan antara Mega dengan bekas Pangab L.B. Moerdani dan faksi faksi yang
bertikai ditubuh TNI, pun bukan hal baru.
Makanya, waktu mendengar bekas Koordinator Tim Pembela Demokrasi
Indonesia (TPDI) RO Tambunan membongkar informasi yang diberikan Benny Moerdani
kepada Mega sebelum terjadi tragedi 27 juli 1996 terjadi, saya cuma manggut
manggut.Saya sudah memperkirakan itu yang akan terjadi. Mega cuma jadi alat
dari pertikaian di tubuh TNI, khususnya Angkatan Darat.
Benny Moerdani mulai mendekati keluarga Bung Karno awal 1980-an. Suatu
ketika, pertengahan 1980-an, dalam sebuah acara keluarga Bung Karno di Bandung
, Benny Moerdani datang. Katanya dia mau mengenal lebih jauh dan berteman
dengan anak anak Bung Karno.Kami persilahkan saja. Tapi saat itu saya sudah
waspada. Pasti ada apa apanya nanti.
Waktu itu Benny Moerdani mulai pecah kongsi dengan Soeharto.
Hubungan mereka tidak harmonis lagi. Padahal sebelumnya, Benny Moerdani ini anak buah yang baik bagi Soeharto.
Hubungan mereka tidak harmonis lagi. Padahal sebelumnya, Benny Moerdani ini anak buah yang baik bagi Soeharto.
Dalam acara keluarga itu, saya sempat ngomong ngomong dengan dia.
Kelihatannya Benny Moerdani memang sedang sakit hati dengan Soeharto. Dia
dicopot dari posisi Pangab dan tidak dipakai Soeharto lagi. Ibarat wayang, oleh
sang dalang Benny Moerdani dimasukin kotak.
Ia mengakui, dirinya menyimpan obsesi untuk menjadi orang kedua di
republik ini. Tapi dia kecewa ambisi itu bagai menggantang asap. Menurutnya dia
tidak mungkin tampil sebagai wakil presiden. Sebab dia beragama non muslim.Dan
memang walau pun Benny Moerdani menggosok gosok namanya, tahun 1988 Soeharto
memilih Soedharmono yang dikenal sebagai arsitek sekretariat negara dan orang
top di Golkar, menjadi wakil presiden.
Saya sampai dipanggil ketek sama Soeharto. Waktu mau dicopot pun, saya
tidak diberi tahu sebelumnya. Saya diberi tahu akan dicopot dari posisi Pangab
cuma satu hari sebelumnya, begitu dia mengeluh.
Dulu, akhir 1970-an, kami, anak anak Bung Karno membuat kesepakatan
bersama. Dikenal dengan konsensus keluarga Bung Karno. Isinya, kami tidak akan
terjun ke dunia politik. Kami tidak mau anak dan keturunan Bung Karno
dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk kepentingan mereka Kami tidak mau dijebak.
Tapi sejak bergaul dengan Benny Moerdani, Mega mulai terlihat hendak
keluar dari consensus keluarga. Dan akhirnya Mega memang keluar. Dia bergabung
dengan PDI. Memang tidak tiba tiba . Sebelumnya Mega, juga suaminya Taufik
Kiemas, aktrif di Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI).
Nah, Mas Guntur sebagai anak tertua, yang tadinya saya harap bisa
mencegah langkah Mega itu, ternyata memilih untuk diam saja. Bahkan cenderung
untuk mendukung. Saat itu saya mulai was-was. Langkah Mega mendekati faksi
Moerdani dalam tubuh Orde Baru akan merugikan, tidak cuma keluarga Bung Karno ,
tapi juga seluruh Bangsa ini. Saat itu saya membaca, mereka tengah
mempersiapkan tampilnya seorang anak Bung Karno untuk memenangkan ambisi
politik mereka.
Dijadikan alat LB Moerdani, kok bangga??
Sebelum mendekati Mega, kelompok Benny Moerdani mendekati saya terlebih
dahulu. Mereka membujuk dan meminta saya tampil memimpin PDI. Permintaan orang
dekat dan tangan kanan Soeharto itu jelas saya tolak, Bagi saya, PDI itu cuma
alat hegemoni Orde Baru yang dibentuk sendiri oleh Soeharto tahun 1973. Coba
renungkan, untuk apa jadi pemimpin boneka.
Orang orang PDI yang dekat dengan Benny Moerdani, seperti Soerjadi dan
Aberson Marie Sihaloho, pun ikut mengajak saya gabung ke PDI. Tetapi tetap saya
tolak.
Tapi Mega tidak begitu, tidak seperti saya. Dia menuruti permintaan itu
dan dan senang pula. Ajakan itu diartikannya sebagai dukungan dan kepercayaan
dari orang banyak, kaum Marhaen, kepada dirinya untuk memimpin PDI. Padahal
motivasi di balik ajakan ajakan itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan
aspirasi kaum Marhaen.
Nah, pintu yang dipakai kelompok ini untuk mendekati Mega adalah Taufik
Kiemas, suaminya. Taufik memang dekat dengan kelompok itu. Hari ini pun, desas
desus soal kedekatan Taufik Kiemas dengan kelompok Benny Murdani beredar luas.
Di awal 1990-an , Mega semakin larut kejebak dalam skenario pembusukan
itu. Tahun 1993, dalam kongres luar biasa (KLB) PDI, di Surabaya, dia
mendeklarasikan dirinya sebagai ketua umum PDI.
Beberapa saat kemudian , dalam Munas PDI di Jakarta, deklarasi itu
dikukuhkan. Benny Moerdani mengerakahkan orang orangnya untuk memback up Mega dalam
suksesi di tubuh PDI itu. Beberapa orang yang terlibat mengamankan Mega dalam
fase itu sekarrang ini mendapat posisi enak di kabinet.
Di tahun 1993 pula saya sebelum KLB Surabaya , saya sempat bertemu
dengan Mega. Saksi pertemuan itu Panda Nababan. Saya tanya Mega, mengapa mau
bersekutu dengan Benny Moerdani. Tapi dia tidak menjawab sepatah katapun
pertanyaan itu.
Saya katakan lagi kepadanya, untuk melawan Orde Baru kita harus melihat
lihat siapa kawan yang bisa digandeng. Dan orang macam Benny Moerdani tidak
bisa dijadikan kawan abadi, Suatu saat mereka akan balik menyerang. Jangan mau
terjebak dalam pertarungan antara Benny Moerdani dan Soeharto. Saya tanya lagi
Mega, mengapa kamu mau menari di atas gendang orang orang lain. Mengapa kamu
mau diperalat.
Tiga jam saya bicara dengan Mega. Tapi tak satu patahpun dia menjawab
pertanyaan saya. Saya kira dia sudah tidak peduli lagi dengan nasehat nasehat
saya. Terakhir ya itu, saya dengar dia sudah mengantongi dukungan Benny
Moerdani untuk memimpin PDI.
Anggota keluarga Bung Karno lainnya tetap bungkam ketika Mega jadi
ketua umum PDI. Mereka tidak membaca situasi yang berkembang saat itu seperti
saya. Mas Guntur juga diam. Alasannya semua anak Bung Karno sudah dewasa.
Tapi apakah menggadaikan dan menggunakan nama Bung Karno untuk
kepentingan politik sesaat adalah sikap dewasa?
Saya yakin , Mega pun tidak akan menjawab pertanyaan itu.
Buku "Kekertasan Budaya Pasca 1965"
Tulisan dibawah ini ditulis berdasarkan buku yang berjudul, “Kekerasan
Budaya Pasca 1965″ karya Wijaya Herlambang yang terbit November 2013 lalu yang
mengungkapkan bahwa Goenawan Muhammad dibiayai lembaga filantropi mulai : Ford
Fondation, Rockefeller Fondation, Asia Fondation Open Society Institue, USAID
juga tokoh Yahudi George Soros.
Goenawan Mohamad sejak Tempo diberangus rezim Soeharto (1994)
menempatkan diri sebagai pelawan orde baru yang handal. Dengan lenyapnya Tempo
GM membangun Komunitas Utan Kayu (KUK) yang bermarkas di Jalan Utan Kayu
Jakarta Timur. Lembaga ini kemudian melahirkan serenceng lembaga kebudayaan
mulai AJI (Aliansi Jurnalistik Indonesia), Jaringan Islam Liberal (JIL), Teater
Utan Kayu (TUK) yang diplesetkan bulletin Boemiputra menjadi Tempat Umbar
Kelamin, sekaligus agen imperialis Barat.
Kehadiran JIL dirasakan umat Islam terbesar sebagai alat penghancuran
Islam di negeri ini. Karena itu JIL disebut dibiayai lembaga filantropi Barat
mencapai 150.000 USD/tahun.
Pendek kata KUK melalui lobby GM ke sejumlah orang-orang teras USAID,
berhasil menguras dananya sebesar 100.000 -200.000 USD, sehingga menempatkan
KUK sebagai agen Barat. Termasuk mendirikan ISAI (Institut Studi Arus
Informasi) pada 1995 dan belakangan membangun Salihara di kawasan Pasar Minggu
sebagai pusat budaya.
Yang sangat dirasakan menyakitkan bagi kelompok Islam mainstream,
kehadiran KUK di bawah GM, misalnya Radio FM 68, JIL, bahkan berbagai
penerbitan bawah tanahnya seperti Bergerak, X-Pos hingga Tempo majalah dan
Koran Tempo yang kini sejak era reformasi, kembali terbit, kesemua produk GM
ini cenderung menghantam aspirasi Islam.
Kini terbongkar melalui buku Wijaya Herlambang, semua ini tidak aneh,
GM sejatinya seorang komprador sejati, yang diakuinya sendiri, dia memang
dibiayai serenceng lembaga filantropi Barat dan Asia termasuk Asia Foundation
dan Japan Foundation, termasuk tokoh Yahudi Gerge Soros itu.
Memang Herlambang belum menyajikan ulasan bagaimana peranan GM saat
rezim Soeharto jatuh di mana Soros ikut memainkan peranan menghancurkan ekonomi
Indonesia. Hanya dikutip sekilas GM bersama Adnan Buyung Nasution terlihat
menonjol di saat itu namun bukanlah dua orang itulah sejatinya yang memainkan
peranan terpenting dalam reformasi Mei 1998 itu.
Yang jelas melalui seluruh penampilannya, GM cenderung berlawanan arus
dengan Islam. Tatkala umat Islam makin bersikeras menentang eksistensi aliran
sesat Ahmadiyah dan mendesak pemerintah membubarkannya, awal 2008, GM dan
kelompoknya menentangnya dan mendirikan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) dan memajang iklan di harian Kompas
menunjukkan eksistensinya seraya mengecam umat Islam mainstream yang dituduhnya
melanggar hak-hak asasi warga Ahmadiyah, mengancam kebhinekaan, sekaligus
menyebar kebencecian, kekerasan, dan ketakutan di tengah masyarakat. [RioC/wahid/voa-islam.com]
.....Bersambung (3)
Artikel Terkait
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pesan yang baik, jangan emosional.Bila ingin mengkeritisi, pakailah dalil yang sahih.Dan identitasnya jelas. Komentar emosional, tidak ditayangkan